Share

5.

Author: Demina07
last update Huling Na-update: 2021-08-03 18:17:36

POV Bella

            Setelah selesai membantu Ibu beres-beres dan mengantar keluarga om gilang sampai depan. Aku langsung kembali ke kamar mengistirahatkan badan dan jantungku, yang sampai sekarang masih berdetak tak beraturan saat didekat Rengga. Hufft padahal kami baru bertemu sekali, tapi kenapa aku selalu gugup didekatnya. Apalagi ketika dia menatapku dalam. Tatapannya itu jujur saja dapat menenggelamkan akan pesonanya.

            Segera kutepis pikiran-pikiran itu, tak kusangka ternyata diluar ekspektasi. Rengga bahkan dapat meluluhkanku hanya dengan tatapannya.

            Aku segera beranjak kuruang ganti, berganti baju, cuci muka dan tidur. Tenang Bella besok kamu masih harus bekerja seperti biasa hufft.

            Aku lihat pantulan wajahku dicermin apakah benar secantik itu aku. Tapi aku rasa biasa saja tidak ada yang spesial pada wajahku. Tapi memang lumayan si wajahku buktinya dulu aku pernah jadi model. Memang keturunan Ibu dan Ayah banget, banggaku terkekeh sendiri di depan meja rias. Setelah selesai pakai krim wajah kurebahkan diriku, berusaha meraih mimpi indah.

.

            Keesokan paginya aku berangkat kerja naik mobil. Karena terlalu lama bila aku harus naik kendaraan umum. Walau memang aku biasanya naik kendaraan umum. Tapi tak apa lah sekali-kali pakai mobil pribadi.

            Sebelum berangkat kupandangi lagi diriku di cermin apakah sudah cukup. Saat dirasa cukup aku kemudian segera beranjak menemui ibu di meja makan.

            “Pagi Bu,” sapaku sambil duduk disebelahnya.

            “Pagi Nak, sudah mau berangkat?” tanya Ibu seraya meletakkan susu dihadapanku. 

            “Iya Bu, takut telat karena pasti lebih lama jika berangkat dari rumah,” keluhku.

            “Ya sudah habiskan dulu susunya, Ibu sudah buatkan” aku mengangguk. Kemudian meminum susu yang sudah disiapkan Ibu hingga tandas.

            “Makasih Bu, aku berangkat dulu ya,” ucapku lalu mencium pipinya.

            “Hati- hati dijalan,” balas Ibu, mengusap kepalaku sekilas.

            Segera kusiapkan mobilku dan sedikit melihat apakah baik untuk kubawa kekantor.

            “Pak Hadi ini mobilnya sudah di service kan minggu lalu?” tanyaku mendekati mobilku.

            “Sudah non, seperti pesan non minggu lalu,” ucapnya lalu membukakan pintu mobil untukku.

            “Terimakasihnya ya pak, ini buat rokok bapak,” Kuberikan uang rokok sebagai imbalan sudah membawa mobilku ke bengkel.

            “Sama-sama non,” seraya menerima uang dariku.

            “Saya berangkat dulu ya pak,” pamitku kemudian menaikkan kaca.

            “Hati-hati di jalan non,” aku mengangguk menanggapi Pak Hadi.

            Aku jalankan mobilku diatas rata-rata. Karena memang jarak rumah ke kantor bisa mencapai 1 jam perjalanan, itupun bila tidak macet. Tapi meskipun aku sudah berangkat cukup pagi. Namun masih kena macet dan alhasil aku telat masuk 15 menit. Semoga aku tidak kena SP rapalku dalam hati.

            Sesampainya dikanor langsung kuparkirkan mobilku ke besmen dan segera mencari lift khusus pegawai. Karena memang sudah jam masuk kantor lift terlihat sepi, uh untunglah. Sesampainya di ruanganku Elli terus saja mengawasiku.

            “Tumben Bell telat,” tanya Elli saat aku sudah mencapai meja.

            “Iya Ell, ini tadi aku berangkat dari rumah,” jawabku, sambil meletakkan tas dan merapihkan meja.

            “Tika, tadi dicari si bos tuh.. nanyain hasil publish minggu lalu,” katanya yang membuatku teringat berkas yang belum sempat aku laporkan.

            “Oh iya lupa Ell, makasih ya udah diingatkan,” ucapku dengan senyuman dibibir.

            “Buruan gih keburu kelamaan,” Hanya kujawab anggukan sambil melangkah menuju ruang bos.

            Aku ketuk pelan pintunya, setelah dipersilahkan aku baru melangkah masuk ke dalam. Aku tundukkan kepalaku seperti biasa, sengaja menghindari kontak mata.

            “Ini pak laporan publish minggu lalu, bisa anda cek terlebih dahulu,” ucapku sopan.

            “Bisa kamu tatap saya jika berbicara dengan saya,” perintahnya dingin.  Aku terkejut dengan nada bicaranya yang dingin tapi tak urung kuturuti. Kudongakan kepalaku, dan aku terkejut untuk yang kedua kali.

            “Kenapa, apa kamu terkejut?” tanya brubah santai.

            “Maaf pak atas ketidaksopanan saya,” Jawabku dengan suara setengah bergetar.

            “Hey Bella, tak apa itu hanya peringatan jangan lagi melakukannya oke,” ucapnya santai.

            “Iya pak,”

            “Sekarang duduklah, aku akan lihat hasil laporanmu,” Sambil menunggu aku hanya melihat lemari bukunya yang penuh.

            “Bella,” panggilnya membuatku mengalihkan perhatian padanya.

            “Iya pak.”

            “Laporanmu sudah baik, tapi masih butuh sedikit perbaikan. Mungkin bisa kamu berikan setelah jam makan siang,”

            “Baik pak,”

            “Dan setelah ini, setengah jam dari sekarang meeting sama saya ya keluar,” katanya kembali membuatku heran.

            “Tapi pak kenapa saya?” tanyaku bingung.

            “Apakah kamu menolak perintah atasan kamu?” ucapnya menatapku dingin.

            “Tidak pak, hanya saja saya belum berpengalaman menangani klien,” jawabku sambil menunduk

            “Mulai sekarang kamu harus belajar Bell. Dan aku lupa semalam tidak minta nomor ponselmu untuk komunikasi kita kedepannya,”

            “Ah ya Mas, maaf biar aku catatkan ya,”

            “Ini,” Seraya mengangsurkan ponselnya padaku. aku ketikan sederet nomor di kontaknya sekaligus menamainya dan selesai.

            “Sudah Mas,” kataku sambil menyerahkan ponsel tersebut.

            “Terimakasih, nanti aku tunggu di lobi ya Bell,”

            “Ya Mas,” ujarku kemudian pamit meninggalkan ruangannya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • For Husband   74.

    POV Bella Pagi hari sebelum matahari menampakkan cahayanya. Mas Rengga sudah membangunkanku dengan cara kesukaannya. Berjalan pelan ke tepi pantai. Kami bertelanjang kaki menikmati air laut. Yang menjilat kaki kami seiring deburnya yang menepi. Lalu sedikit menjauh, duduk diatas pasir. Tanpa meminta, Mas Rengga sudah mengerti. Dengan menarikku perlahan untuk duduk dengan nyaman. Sweternya sudah membukus setengah badanku. Melindungi dari terpaan hawa dingin dipagi hari. Semalam, dengan telaten dia membereskan pakaian kami, ke dalam lemari yang sudah disediakan. Dan diluar dugaanku, dia bertahan tanpa menyentuhku. Walau setiap kali bersama, dia hampir lepas kendali. Posisiku begitu nyaman,

  • For Husband   73.

    POV Bella Hari selanjutnya, aku dikejutkan dengan kehadiran Dokter Brian saat makan siang. Mas Rengga juga memilih makan siang dirumah. Padahal jarak antara kantor kerumah ini, lebih jauh. Setelah berbincang santai dengan dokter Brian. Aku mulai paham, alasan kenapa dia datang. Bayangan yang memaksa hadir dalam pikiranku tersebut. Menjadi ketakutan tersendiri untukku. Setiap kali melihat ranjang dari sofa, yang berada bersebrangan. Selalu mengingatkanku, pada pesan Renita. Kemudian ulasan bayangan Rengga dan Renita. Bergumul dibawah selimut yang sama. Dengan tanpa satu helai kain yang menutupi tubuh mereka. Agaknya sering kali mengganggu pikiran dan mempengaruhi moodku. Selama sisa kami berad

  • For Husband   72.

    POV Rengga Andre datang setelah 15 menit kami menunggu. Aku silahkan dia memeriksa kondisi Bella, yang masih belum sadar. Aku was-was, menunggu hasil pemeriksaan Bella. Melihat raut wajah tenang Andre. Kini terasa tampak lebih mengkawatirkan. Dia sudah merapihkan alatnya, memasukkan kedalam tas. “Apakah Bella pernah punya riwayat gangguan kecemasan?” tanya Andre tenang. Pertanyaan Andre jelas tidak biasa. Mengingat Bella selalu tampak tenang, diam juga ceria. “Dia pernah mengalami sedikit trauma dibangku SMA Dok. Apakah ada hubungannya dengan keadaannya saat ini?” tanya Ibu cemas. Andre masih terlihat mengamati Bella yang belum sadar. “Sejauh ini. Itu diagnosa yang bisa saya berikan. Mung

  • For Husband   71.

    71 POV Bella Setelah perjalanan yang cukup lama. Karena dihadang kemacetan jakarta. Akhirnya kami sampai dikedai es krim. Yang biasa aku kunjungi bersama Mas Rengga. Dia membantuku turun dari mobil. Sedangkan kedua anak lelakiku, sudah gesit menarik kedua tanganku. “Hati-hati Aldo, Ares ingat kondisi Mama,” kata Mas Rengga dengan nada tegas. Aku usap kedua puncak kepala mereka. Berusaha mencairkan suasana, dengan senyuman lembut. Sedangkan Amira sudah digendong Mas Rengga, mengikuti dari arah belakang. “Papa hanya kawatir sayang,” ucapku menenangkan. Setelah kami sudah duduk didepan kedai.

  • For Husband   70.

    POV Rengga Dilorong menuju ruang praktek Andre. Aku lihat, Renita sudah mengirimkan nama ruangan, tempat Mamanya dirawat. Apakah tepat, jika aku mengajak Bella untuk ikut menjenguk Mamanya Renita. Aku baru saja dimaafkan. Aku tidak mau lagi diacuhkan oleh Bella. Batinku cemas. Aku berjalan menghampiri Bella, duduk disebelahnya. “Maaf ya lama,” kataku sebelum mencium keningnya. “Em Mas, jangan menciumku seenaknya seperti itu,” ujarnya. Sambil mengusap bekas ciumanku. Aku abaikan itu, biar saja semua orang melihat. Orang sekitar akan tahu. Jika wanita yang tengah minum air disebelahku ini, adalah istriku. Te

  • For Husband   69.

    POV Rengga Aku masih menggendong Arlan yang sempat rewel. Karena mulai tumbuh gigi, membuatnya tidak nyaman. Yang berakibat pada terpotongnya jam tidurku. Ayah sempat menengok ke kamar. Kemudian pergi, setelah mengetahui Arlan sudah ada dalam gendonganku. Beliau hanya tersenyum singkat. Lalu berlalu kembali ke kamarnya. Semenjak aku tak lagi menyentuh Bella, alias puasa diatas ranjang. Aku akan tertidur lebih malam dari biasanya, dan jarang sekali bisa nyenyak. Hal tersebut juga dikarenakan anak-anak. Yang mungkin terbangun dimalam hari. Jika ada sesuatu yang membuat mereka tidak nyaman. Setelah jam lewat tengah malam, Arlan baru terlelap. Aku kembali ke kamar, mendapati Bella yang tengah tertidur. Masih sambil menyusui Arga. Aku lihat putraku satu ini masih men

  • For Husband   68.

    POV Rengga Pagi ini aku merasa agak lega. Sebelum berangkat ke kantor, Bella ternyata masih memperhatikan penampilanku. Sudah beberapa hari ini, dia tak lagi menyiapkan setelan kantorku. Tetapi dari semua itu, dia masih peduli padaku. Walau tetap mengunci mulutnya. Hanya dengan berbicara pada orang lain saja. Aku dapat mendengarkan suaranya. Sebagai ganti ciuman, aku hanya puas dengan mengusap kepalanya. Aku sudah memesan rangkaian bunga mawar merah kesukaannya. Yang akan dikirimkan ke rumah. Aku harap dia dapat sedikit terkesan oleh perhatianku ini. Tidak banyak pertemuan hari ini. Jadi aku dapat langsung pulang. Setelah selesai berdiskusi bersama Reno. Mengenai beberapa file kerja sama yang harus aku pelajari.

  • For Husband   67.

    POV Bella Aku tengah berbaring, sambil menyusui Alex. Ketika Mas Rengga masuk kamar. Setelah beberapa saat lalu, aku dengar suara mobilnya berhenti. Setelah meletakkan tas kerjanya disofa. Dia mendekat, dengan seulas senyum dibibirnya. Selanjutnya mencium Alex, lalu beralih mencium keningku. Kehangatan memenuhi dada, saat dia mencium keningku lama. Seakaan melepas rindu diantara kami. Atau mungkin, hanya aku yang berpikir seperti itu. Karena seharian ini, pikiranku terus dipenuhi olehnya. Walau aku sudah berusaha mengalihkan pikiranku. Dengan lebih sibuk, mengurus anak-anak. Namun tak dapat dipungkiri, pikiranku masih tersita olehnya. Awalnya aku puas membuatnya berharap. Bahwa aku akan tetap mau dicium. Dan memberikan ciumanku, sebelum dia berangkat ke kantor. Aku ta

  • For Husband   66.

    POV Bella Akhirnya kami kembali ke Jakarta. Aku tidak sabar untuk berjumpa dengan anak-anak. Aku lihat jam dipergelangan tangan. Mungkin mereka masih disekolah saat ini. Hem, aku ingin memasakkan mereka makanan kesukaannya. Aku lihat Mas Rengga yang tidur di kursi depan. Dengan Arga yang juga lelap bersandar di dadanya. Dia seperti kurang tidur semalam. Karena dia berada diruang kerja, setelah selesai makan malam. Hem biar saja, aku memang sengaja mendiamkannya. Tidak aku hiraukan perkataan maafnya. Kali ini, aku tidak akan semudah itu memaafkannya. Dia harus diberi pelajaran. Supaya bisa mengendalikan keganasan burung besarnya itu. Seenaknya saja memperlakukanku. Dikira aku hamil besar seperti ini, karena perbuatan siapa. Aku akan membuatnya tersiksa lebih dala

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status