Julian tetap bertahan di meja makan ketika Ana berdiri dan mengatakan dia sudah selesai dengan mangkuk yang berisi bubur di hadapannya. Ana naik ke lantai tiga.
"Makanlah!" kata Julian hanya pada Isabel yang duduk di sampingnya. Julian menjejalkan bubur tanpa rasa ke dalam mulutnya. Julian tidak ingin mengatakan bahwa ia sedang menyiksa dirinya sendiri sekarang. Hanya saja, matanya memerah sejak sendokan pertama, dan orang itu mulai tersiksa karena harus menahan diri lebih jauh lagi.
Isabel tersnyum getir. Banyak hal yang ia tidak mengerti soal kata-kata Ana, dan sikap Julian saat ini. "Apa salahku?" tanyanya.
Dentingan keras terdengar. Julian ternyata tidak melemparkan sendoknya ke dalam mangkuk, sendok dari tangannya jatuh ke sisi mangkuk dan akhirnya mengenai gelas kaca. "Tidak ada
"Bagaimana Ana?" tanya Isabel. Julian menoleh ke Isabel yang duduk di sampingnya sementara ia menyetir. Mereka pergi ke bandara dan akan terbang ke Milan. Tidak ada yang bisa ia katakan tentang perempuan itu. Julian bahkan tidak mengatakan apa-apa soal kepergiannya kali ini. "Kukira kau akan memilih membatalkan ini." "Hanya satu malam, 'kan? Besok siang kita sudah di sini lagi! Lagi pula, dia akan senang jika aku pergi! Dia nggak perlu dengerin aku yang cerewet nyuruh dia makan, terus minum obat. Kalau aku di posisi dia, aku juga males disuruh-suruh kayak gitu," jelas Julian setengah tertawa. "Kamu sedang menghindar, ya?" tanggap Isabel. "Hah?"
"Kau baik-baik saja?" Isabel menarik kursi di samping Julian. "Apa aku terlihat tidak baik?" "Ya!" tegas Isabel. Setidaknya sudah satu jam mereka berada di museum Louvre, Julian hanya bersandar di salah satu sudut ruangan dan memandang kosong ke satu arah. Isabel tak yakin kalau Julian sadar dengan apa yang ia lihat sekarang. Ini tidak seperti Julian biasanya, ia tak akan diam saja untuk gaun-gaun yang baru saja keluar dari koper dan mengabaikan para model begitu saja. Tentu saja model-model itu akan senang jika sang desainer sendiri yang memakaikan gaun-gaun itu pada mereka. Sentuhan berbeda yang membuat para model pasrah terhadap aturan yang dibuat Julian. "Ayolah Julian! Mereka menunggumu!" Isabel memaksa. Julian tak berpikir b
Julian naik ke lantai tiga, tempat di mana ia pikir bisa menemukan Ana. Julian disambut cahaya remang-remang di pukul sebelas malam itu dan ia menemukan seorang perempuan yang berada dalam balutan kain putih bersimpuh di atas sajadah. Kadang-kadang Julian memang melihat Ana dalam ritual itu, namun belakangan ini semakin sering ia melihat Ana meletakkan keningnya di atas lantai. Julian ingat masa-masa tinggal di panti asuhan, ia diasuh oleh para biarawati, tapi para biarawati itu tak pernah memaksanya untuk datang ke gereja. Dan di sekolah, saat teman-teman sekelasnya belajar tentang agama mayoritas, tak ada yang memintanya keluar dari kelas. Pelan-pelan ia mulai penasaran tentang keyakinan apa yang dipunyai Ana, tentang sesuatu yang ia sebut Tuhan. "Kakak sudah pulang?" tanya Ana segera setelah ia mengusap wajahnya dengan telapak tangannya.
..."Kukatakan aku akan menikah denganmu. Maka itu berarti aku ingin menikah. Bukan karena perjanjian bisnis, bukan karena rasa kasihan, bukan juga karena kau yang meminta. Jadi, bersikaplah sewajarnya orang menikah, bisik Julian. Julian mendekap Ana dari belakang. Ia melingkarkan tangan kirinya di pinggang Ana, sementara tangan kanannya melingkar di bahu perempuan yang telah mengenakan gaun pengantin. "Mintalah padaku, aku akan berusaha memenuhinya. Tapi, jangan pernah meminta perpisahan dariku," Julian kemudian menenggelamkan wajahnya di leher Ana. ...Terlalu banyak kejutan ketika Ana terbangun di pagi itu. Ia tertegun setiap kali Julian menunjukkan betapa besar cintanya. Julian meletakkan kotak besar di atas tempat tidur, di samping Ana.
Tepat satu hari setelah Julian dan Ana kembali menginjakkan kaki di Indonesia, sekarang mereka berada di rumah sakit. Dokter Ruin menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, sementara tangannya terlipat di depan dada. Ia memandangi Julian dan Ana yang duduk di hadapannya secara bergantian. Sudah hampir sepuluh menit sejak mereka berdua datang, tapi belum ada kata-kata yang keluar dari ketiganya. Julian, dia duduk dengan menyilangkan kakinya, ia memalingkan wajahnya ketika Dokter Ruin memandang padanya. Seolah-olah Julian telah melakukan kesalahan yang besar, orang itu terlihat semakin gelisah ketika Dokter Ruin memandanginya lebih lama. Sementara Ana, perempuan ini nyengar-nyengir tidak jelas dari tadi. Sesekali dia melihat Julian yang duduk di sampingnya, dan segera matanya berbinar terang. Dokter Ruin benar-benar takut melihat Ana y
"Apa kau tahu apa warna surga itu?" Julian pernah mendengar seseorang menanyakan itu padanya ketika di Paris. Seorang keturunan Arab yang tinggal di sana."Putih," jawaban Julian tentang sebuah kesucian."Bukan.""Jadi, apa?""Hijau," jawabnya. "Dan percaya tidak kalau kami menyebut negaramu adalah surga?"Julian tidak menanggapi saat itu. Ia kira apa pun yang diungkapkan orang tentang negaranya, selama itu hal yang baik, semuanya sah-sah saja. Dan sekarang Julian teringat tentang hal itu lagi. Tentang negeri yang hijau dan mataharinya yang bersinar sepanjang tahun. Tidak ada yang benar-benar kedinginan di akhir tahun atau merasa terbakar di pertengahan tahun.
"Bagaimana kalau sekarang kita main, gunting, batu, kertas, yang menang bebas menunjuk salah satu dari yang kalah buat ngelakuin apa yang dia mau," Ana bersemangat. Julian tak punya bayangan permainan seperti apa itu, tapi agaknya tak terlalu sulit. Lebih berat untuk bersabar karena usulan melakukan permainan didasari Jecklin yang belum juga dijemput. Julian sudah mengajak Ana pergi berkali-kali, tapi perempuan itu berkeras menunggu sampai yang menjemput Jecklin datang. Julian sudah menjelaskan pada Ana bahwa anak itu bisa saja membawa pengaruh buruk pada Vanessa, tapi Ana justru bertanya, "Kakak kenapa sich?" Julian sadar itu aneh, seorang pria dewasa tiga puluhan tahun terganggu dengan anak kecil berusia tujuh tahun. "Aku hanya mengkhawatirkan Vanessa!" katanya membuat Ana tersenyum.
[...Dan jika itu hanya sebuah mimpi, jangan biarkan aku terbangun. Aku senang berada dekat dengannya. Dan jika itu kenyataan, meski umurku yang jadi taruhannya, aku tetap merasa senang. Kukira Tuhan begitu baik padaku. Ia mendengar setiap doa-doaku. Dan seseorang yang selalu menjadi bagian dari doaku, kuharap dia baik-baik saja. Tidak merasakan sakit seperti yang kurasakan sekarang. Aku juga berharap Tuhan mengangkat rasa sedih berlebihan dari hatinya jika suatu hari nanti aku meninggalkannya. Aku sungguh tak berdaya, dan tidak ada yang bisa kulakukan lagi selain berdoa. Julian berdiri di sudut ruangan. Bayangan wajah sendunya terekam di kaca bening yang menampilkan pemandangan kota di malam hari. Entah sejak kapan ia masuk ke ruang perawatanku, kusadari keberadaannya sesaat mengucap salam dan kuusap wajahku den