Tirta Prasetya Sera masih tampak terpukul sejak pulang dari pemakaman tadi. Aku bersyukur Giska terlihat lebih kuat dan tabah. "Sera ..., istirahatlah. Ingat kandunganmu. Jangan terus dipikrkan. Arief sudah tenang sekarang. Dia sudah tidak merasakan sakit lagi." Wajah wanitaku itu tampak sembab dan pucat. Matanya sayu. Kesedihan teramat dalam tersirat dari sorot matanya. Dia hanya mengangguk. Tatapannya kosong. Betapa hancur perasaanku melihatnya begini. Begitu besarkah cintanya pada Arief? Sera tertidur di sofa panjang ruang keluarga lantai dua ini. Aku terus menemaninya dan enggan untuk pergi. Sepertinya aku pun sempat terpejam tadi, demi mengurangi rasa letih yang mulai mendera. Namun aku tetap harus kuat. Aku harus bisa menjadi sandaran bagi Sera dan Giska saat ini.Wajah putihnya yang begitu cantik berkali-kali kupandangi. Wajah yang selalu kurindukan setiap malam. Saat ini aku bisa memandangmu sepuasnya Sera. Tapi hatiku begitu perih melihat wajah teduh itu menyimpan kese
Tirta Prasetya "Apaa? Melahirkan? Baik saya akan segera ke sana." Sebuah panggilan masuk dari salah satu security di rumah Sera mengabarkan bahwa wanita itu sudah dibawa ke rumah sakit dan akan melahirkan. Aku segera meminta sekretarisku untuk menutup rapat kali ini. Kemudian dengan setengah berlari menuju mobil yang sudah disiapkan oleh para pengawalku. "Hallo, Pak Yono. Segera jemput Giska ke sekolah dan langsung ke rumah sakit!" "Baik, Tuan!" sahut Pak Yono di seberang sana. Aku segera menutup ponselku. Rasanya ingin terbang saja agar segera tiba menemui bidadariku yang sedang berjuang melahirkan anak keduanya. Tirta prasetya, laki-laki yang belum pernah menikah, namun cinta mati pada janda beranak dua. Aku tersenyum sendiri. Cinta memang unik. Aku akan berjanji dalam hati. Akan membuat Sera dan anak-anaknya bahagia bersamaku. Aku berjalan dengan langkah cepat dari lobby menuju kamar bersalin. Mungkin orang-orang di sekitar melihatku aneh. Rasanya begitu jauh hingga sam
"Om bule, mana adek bayi Aku?" Giska merengek kembali tak sabar ingin melihat adiknya. Wajahnya cemberut namun tampak sangat menggemaskan. Ia semakin mengerucutkan mulutnya melihat aku terkekeh. "Suster, apa bayinya bisa dibawa ke sini?"Aku meminta pada perawat saat kami baru saja tiba di ruang VVIP ini. Sera hanya tersenyum menggelengkan kepalanya melihat Giska yang tak sabaran. "Ya, Pak. Sebentar lagi bayi Bu Serani akan kami antar ke sini agar segera diberi Asi." "A-apa? A-asi? Oh iy-iyaa suster,"jawabku gugup. Astaga kenapa pikiranku jadi kemana-mana mendengar ucapan suster ini? Tak berselang lama, seorang suster masuk dengan membawa box dorong bayi. Giska melompat kegirangan dan langsung menghampiri adiknya. Wajahnya nampak sangat bahagia. Mata bulat itu langsung berbinar. "Adik aku tampan. Mirip Papa Arief, Bundaaa ..." pekik Giska tertahan karena gemas. Perawat itu meraih bayi lucu itu dan memberikannya padaku. "Ini bayinya tolong segera disusui istrinya ya, Pak!" Aku
Tirta Prasetya "Siang ini Bu Serani sudah bisa pulang. Silakan diurus administrasinya ke bagian kasir, Pak!" "Baik. Terimakasih, Dokter!" sahutku mengangguk. Setelahnya Aku meminta sekretarisku untuk mengurus semuanya. Elara, sekretaris baruku itu juga sudah mempersiapkan semua perlengkapan bayi di rumah Serani. Kemarin, Aku dan Giska tanpa sepengetahuan Sera mendesain sebuah kamar di rumah itu sebagai kamar Bayi. Kamar itu tepat berada di sebelah kamar Giska yang menembus dengan kamar utama. "Semua sudah beres, Pak Tirta." Elara melaporkan dengan mengiirm pesan lewat ponsel. Aku membantu Sera berkemas. "Prass, maaf, ya! Aku sudah sangat merepotkan Kamu. Pastinya Kamu sampai meninggalkan rapat-rapat penting di kantor." Sera sudah berganti pakaian khusus pasien rumah sakit dengan pakaiannya sendiri. "Repot apa? Aku melakukannya dengan senang hati, Sera." Koper kecil milik Sera sudah aku tutup dan kunci. Sera tersenyum. Aku membantu wanita itu turun dari ranjang dan duduk di Sofa
Serani "Selamat siang, Bu. Ini ada titipan parcel dari Pak Tirta." Seorang wanita cantik memperkenalkan diri sebagai sektetaris Prass, pagi-pagi sudah datang membawa sekeranjang parcel buah. "Terimakasih Elara. Kenapa tidak supir saja yang mengantar. Tentunya kamu sampai meninggalkan pekerjaanmu di kantor." "Tidak apa-apa, Bu. Ini sesuai perintah Pak Tirta!"sahutnya tersenyum seraya meletakkan keranjang parcel itu di atas meja ruang tamu. "Kalau begitu Saya permisi kembali ke kantor." Elara pamit dengan mengangguk sopan padaku. Kemudian wanita dengan tubuh tinggi semampai itu memutar tubuhnya dan melangkah menuju halaman. "Terimakasih Elara!" Aku mengantar sekretaris Pras itu hingga ke teras. Mobil dan supir kantor telah menunggunya di halaman. Namun tiba-tiba mataku tertuju pada seorang pria dengan wajah sedikit menyeramkan ingin masuk ke dalam. Namun dua security yang menjaga gerbang menahannya. Salah satu Security akhirnya menghampiriku. "Bu, pria itu mau ketemu ibu. Namany
"Praass ...!" Sontak Aku berdiri. Aku merasa lega melihat Pras tiba-tiba sudah muncul di dekat gerbang dan melangkah menghampiriku. Eh Tapi, dia bilang apa tadi? Calon istri? "Kamu nggak apa-apa, Sayang?" Prass tiba-tiba sudah ada di depanku. Kedua tangannya membingkai wajahku. Sungguh aku terkejut dan tidak siap dengan sikapnya ini. Ah, Mungkin saja Prass hanya pura-pura di depan Agung. Agar mantan suamiku itu mengira aku dan Prass ada hubungan spesial. Ah, Pras ada-ada aja. Namun sikapnya ini sukses membuatku berdebar-debar. "Ya, Prass. Aku nggak apa-apa." Agung memang tampak tak suka. Pria itu membuang muka dengan wajah kesal. "Sera, mana Giska? Dia anakku, Aku berhak bertemu dengannya," ketusnya tanpa menoleh padaku. "Kamu mau apa sama Giska? Mau culik dia lagi?" Pras berkacak pinggang berdiri tak jauh dari Agung. Tubuh Pras yang menjulang tinggi dengan postur tegap dan kekar, membuat Agung tampak lebih kecil dan pendek.. "Kamu nggak usah fitnah dan jangan ikut campur! !
"Selamat datang kembali Bu Serani!" "Selamat pagi Bu Serani!" Aku mengangguk seraya tersenyum. Hampir seluruh karyawan menyapaku. Mulai hari ini aku terjun kembali ke perusahaanku PT.Gunawan corp. Sementara bisnis dan perusahaan Arief Aku percayakan pada Prasetya. Usia Pangeran sudah masuk dua bulan. Stok Asi sudah aku siapkan di lemari pendingin untuk persiapan selama aku tidak di rumah. Seperti pesan Pras, jagoannya jangan sampai kekurangan Asi. Pria itu rutin mengunjungi kami. Dalam seminggu, Pras bisa sampai tiga kali datang. Apalgi hari sabtu dan minggu, pria itu bisa betah seharian bermain dengan Giska dan Pangeran. "Pagi Bu Sera. Mari Saya antar ke ruangan Ibu yang baru!" Keanu menghampiriku saat aku baru tiba di lantai dasar kantor.Aku mengangguk. Lalu berjalan bersisian dengan Keanu. Pria muda dengan tubuh tinggi di atas rata-rata itu telah mendampingi Arief selama bertahun-tahun. Asisten pribadi Arief itu sangat bisa diandalkan. Sejak Arief sakit dan Aku hamil hingga ha
"Ke mall? Tumben kamu ke sini, Prass?" Mobil Pras berhenti di depan sebuah mall yang tak jauh dari kantorku. Prass yang wajahnya tak asing bagi publik, jarang sekalli mendatangi keramaian seperti ini. "Aku ingin membeli sesuatu. Nanti kamu tolong bantu pilihkan!" sahutnya setelah membukakan pintu mobil untukku. Kami masuk ke dalam Mall yang cukup ramai dengan pengunjung. Mungkin karena waktunya berbarengan dengan jam makan siang. Sepanjang kami berjalan, Prass menjadi pusat perhatian para wanita di sekitar kami. Ya, siapa yang tidak kenal dengan pria tampan yang sedang jalan bersamaku ini. Pras yang dulu aktif di dunia selebritiis, tentu wajahnya tidak asing bagi para wanita di mall ini. Aku pun dulu sangat mengidolakan seorang Tirta Prasetya. Kakiku terus mengayun mengikuti langkah kaki pria tampan yang tingginya di atas rata-rata ini. Hingga kami pun berhenti di depan sebuah toko perhiasan yang cukup ternama. "Kamu mau beli perhiasan, Prass?"Pria tampan iltu mengangguk tan