Share

Chapter 5

Author: Sean Abraham
last update Last Updated: 2023-11-27 11:42:51

“Bagaimana? Kapan kau akan memberikan uang untuk membayar hutang? Atau kau menerima tawaran menikah dengan Pak Adrian?” Mariam menghadang Mecca yang hendak masuk ke dalam rumah. Tentu saja si kembar bisa mendengar dengan jelas pertanyaan sang ibu kepada kakaknya karena pintu rumah masih terbuka lebar.

Mecca memundurkan langkahnya dan berusaha mengumpulkan ketenangan untuk melawan ibunya. “Secepatnya, pasti Mecca akan berikan uangnya, Bu,” jawabnya dengan lembut. 

“Kapan? Kau bekerja di ruangan ber AC, mengendarai mobil yang nyaman bahkan makan makanan enak setiap hari. Tapi, kenapa kau selalu menunda memberikan uang itu padaku, hah?” Mariam berkacak pinggang seraya menatap tajam ke arah putri sulungnya.

Mecca memutar bola matanya, malas jika ibunya membahas tentang semua fasilitas yang ia miliki. “Apa semua yang aku punya pemberian dari Ibu? Bukan! Semua yang aku punya murni kerja kerasku sendiri sampai aku bisa membiayai kuliah adikku,” jawab Mecca dengan sedikit penekanan, membuat Mariam semakin tak terima.

“Ibu tidak usah khawatir, Ibu pasti akan berhasil membayar hutang tepat waktu tanpa harus menjadikan aku sebagai tumbal,” ujarnya dengan nada angkuh. Lalu, ia berlalu pergi dari rumah yang tak pernah memberikan kenyamanan untuknya.

Dengan menahan air mata, Mecca kembali mengemudikan mobilnya memecah keheningan malam. Hanya apartemen Hilya, satu-satunya tempat yang menjadi tujuan akhir Mecca. Disanalah Mecca bisa menenangkan diri dan bisa sedikit bersantai. Andai ia tak memikirkan hutang, mungkin ia akan membeli apartemennya sendiri.

Hilya mengerutkan keningnya melihat Mecca pulang dengan wajahnya yang tak karuan, seperti ada kemarahan sekaligus kesedihan tergurat disana. Tapi, Hilya tak akan bertanya sebelum Mecca siap untuk bercerita. “Istirahatlah, Mecca. Kau pasti lelah,” titah Hilya.

Dengan langkah gontai, Mecca mendekat dan duduk di tepi ranjang. Air mata yang ia tahan beberapa waktu lalu pun lolos. Ia tak pernah bisa menyembunyikan kesedihan dari Hilya. “Kenapa semua ini harus terjadi padaku, Kenapa?” ujar Mecca dengan sesenggukan. Ia menunduk, kedua tangannya menutupi wajah dengan siku yang bertumpu pada lututnya. 

Mecca menceritakan semua hal yang terjadi padanya dalam sekejap. Hidupnya seolah hancur karena membiarkan si kembar bekerja paruh waktu untuk membantunya, begitupun sang ibu yang tak pernah menghargainya. Ditambah lagi, memiliki kekasih berwajah palsu seperti Bastian.

“Aku sudah menduga Bastian pasti memiliki niat terselubung.” Hilya merangkul pundak Mecca, berusaha memberikan kenyamanan dan ketenangan.

Mecca mengusap sisa-sia air mata di pipi dengan kedua tangannya. “Kenapa kau tidak bilang padaku?” tanyanya. Hilya menghela nafas, mendengar pertanyaan Mecca. “Orang yang sedang jatuh cinta itu buta dan tuli. Mereka tidak akan percaya sebelum mengalaminya sendiri,” sarkasnya.

Meskipun tak menanggapi, tapi Mecca membenarkan ucapan Hilya. Andai Hilya mengatakan keburukab Bastian di awal, tentu Mecca tak akan percyaa karena belum ada bukti yang kuat. Sekarang, apa yang ia alami sudah menjadi bukti otentik dan membuatnya tersadar.

Akhir pekan digunakan Mecca untuk mengembalikan moodnya yang memburuk. Ia bersama Hilya pergi ke sebuah pusat perbelajaan. Tak ada yang ingin ia beli, ia hanya ingin bersenang-senang. Lalu, ia memutuskan untuk menonton bioskop setelah melihat bahwa film yang ia tunggu-tunggu telah tayang. “Sebentar saja, Hilya, ayolah,” bujuk Mecca dengan memasang tampang puppy eyes.

“Kau tahu aku tidak berani menonton film horor, Mecca,” tolak Hilya. Namun, bukan Mecca namanya jika tak berhasil memaksa Hilya untuk mengikuti kemauannya. Mereka berdua pun masuk dan duduk di bangku keempat dari depan, cukup dekat hingga Hilya gemetaran.

Matahari sudah tidak menampakkan sinarnya lagi. Akan tetapi, Mecca dan Hilya belum ada niat untuk pulang. Mereka masih bersenang-senang dengan membeli beberapa makanan di food court yang berjajar rapi. Kegiatan mereka terhenti ketika ponsel Mecca mendapat notifikasi beruntun. “Si kembar ada di bawah,” ujarnya. Mecca dan Hilya pun menunggu si kembar di dekat eskalator supaya mudah menemukan mereka.

Kini, mereka berempat kembali ke food court. Mecca begitu memanjakan si kembar dan berusaha menuruti apapun yang mereka mau. Namun, si kembar bukan lagi anak kecil. Mereka tahu situasi dan kondisi sehingga hanya meminta secukupnya kepada Mecca.

“Besok kalian ada kelas pagi, kan? Lebih baik kita pulang sekarang,” ajak Mecca dan langsung disetujui oleh si kembar. Ketika Mecca hendak mengantarnya pulang, si kembar menolak dan lebih memilih meminta uang untuk naik taksi. Mereka tak mau melihat kakakny kembalu berdebat dengan sang ibu.

Mereka berpisah di halaman parkir. Mecca dan Hilya menuju mobil sementara si kembar mencari taksi yang akan mengantarnya pulang. Sebagai kakak yang baik, Mecca memastikan bahwa si kembar benar-benar masuk ke dalam taksi sebelum akhirnya ia pulang ke apartemen Hilya.

Akhir pekan berakhir. Kini, sudah saatnya bagi para karyawan untuk kembali bergulat dengan deadline pekerjaan masing-masing. Baru saja Mecca duduk di tempatnya, ia sudah dipanggil untuk menghadap Ivan, sang atasan.

Tanpa ada rasa curiga sedikitpun, Mecca masuk ke ruangan Ivan. Disana, Ivan sudah menunggunya dengan raut wajah yang tak bisa diartikan. “Mecca, kamu tahu bahwa NR corp. adalah karyawan penting, kan?” tanyanya saat Mecca baru saja duduk di hadapannya. Mecca pun menganggukkan kepala, mengiyakan.

Ivan memberikan sebuah ipad kepada Mecca. Dan tanpa menunggu lama, Mecca menerima ipad tersebut dan melihat apa yang berusaha Ivan tunjukkan. Ia terkejut melihat editing design dan juga iklan yang sangat tidak sesuai dengan kemauan klien. “Maaf, Tuan. Ini sepenuhnya kesalahan saya. Saya akan memperbaikinya segera,” ujarnya dengan penuh rasa bersalah.

Ivan mengambil kembali ipad miliknya dari tangan Mecca. “Selesaikan hari ini juga atau tinggalkan posisimu!”

Gawat. Nasibnya sekarang tengah berada di ujung tanduk. Ia harus memperbaiki semua kesalahannya sebelum ia jatuh ke dasar jurang. Mecca kembali ke mejanya dan segera mencari salinan file iklan milik NR corp. Gyan yang melihat kegusaran Mecca pun berniat membantu, tapi diurungkan karena ia memiliki tugas dadakan dari Ivan.

Ponsel Mecca berdering, ia terpaksa menghentikan pekerjaannya untuk menjawab telepon dari sang ibu. “Ada apa, Bu? Mecca sedang bekerja sekarang,” Mecca mematung mendengar sang ibu kembali membahas soal hutang dan ancaman pernikahan. 

Pekerjaan Mecca selesai begitu larut, tapi tidak apa-apa karena ia berhasil memperbaiki kesalahannya tepat waktu. Ia meregangkan tubuhnya yang kaku karena seharian duduk. Lalu, Mecca pulang setelah menyerahkan pekerjaannnya kepada Ivan melalui surel.

Mecca kembali terbayang-bayang tentang hutang yang ibunya katakan. Kebetulan, Mecca melewati sebuah club malam yang sarat akan prostitusi. Nekat, Mecca masuk ke dalam club tersebut dengan pakaian formal dan wajah yang linglung.

“Anak manis, kau butuh bantuan?” Seorang pria matang merangkul pundak Mecca dan memperlihatkan segepok uang kertas di saku jasnya. Mecca pun mengangguk cepat dan menurut saja ketika pria tersebut menuntunnya ke sebuah private room. Namun, belum sempat Mecca masuk, tangannya di tarik oleh seseorang dan masuk ke sebuah private room yang lain.

“Aku akan menggantikan pria itu,”

“Gyan?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Friend With Benefit   Chapter 10

    "Mecca!" pekik Gyan. Melihat temannya tergeletak di lantai ia tak tinggal diam. Dengan sigap ia menggendongnya menuju ruang kesehatan yang letaknya satu lantai diatas ruangan kerja mereka. "Bertahan, ya. Aku tahu kamu kuat," ujar Gyan saat berada di dalam lift. Setibanya di ruang kesehatan, Gyan tak bisa menutupi kepanikannya saat dua orang tenaga medis memeriksa kondisi Mecca. Dalam hati, ia ingin sekali mengambil alih semua rasa sakit yang ada pada temannya itu. Ia tak rela wanita dengan semangat yang tinggi itu tiba-tiba menjadi lemah. Setelah memastikan keadaan Mecca, salah satu tenaga medis memberitahu kepada Gyan bahwa tak terjadi sesuatu yang serius pada teman wanitanya. "Hanya perlu memperhatikan pola makan, pola tidur dan jangan terlalu stres." ujarnya pada Gyan. Gyan duduk di bangku kecil yang ada di samping ranjang sembari menatap lekat ke arah wanita cantik yang masih belum membuka matanya itu. Ingin sekali ia mengusap kepala atau bahkan menggenggam tanganny

  • Friend With Benefit   Chapter 9

    “Sayang, aku sudah lama menunggu. Ayo, cepat pulang,” suara berat itu berhasil membuat Bastian melepaskan tangan Mecca dari genggamannya. Mantan kekasih Mecca itu pun mendekati pria dengan setelan formal lengkap itu. “Sayang? Kau bayar berapa wanita jal*ang itu, bisa-bisanya dia takluk padamu?” Tak mendapat jawaban, justru bogeman mentah yang ia dapatkan hingga cairan kental berwarna merah keluar dari hidungnya. “Berani kau, ya?” Bastian melangkah mendekat, tapi dihadang oleh sang mantan. “Silahkan hina aku semaumu, aku tidak akan peduli. Tapi, jangan sampai tangan kotormu itu menyentuh Gyan!” bentaknya.Bastian tersenyum smirk, ia sadar bahwa ia tak akan menang jika adu fisik dengan Gyan dalam posisi mabuk. Pria itu pun memilih untuk menyerah dan pergi meninggalkan mantan bersama kekasih barunya. Mecca mengajak Gyan untuk kembali ke mobil. Lalu, ia sibuk memeriksa tangan dari temannya itu, memastikan apakah ada yang luka atau tidak. Beruntung kejadian tadi tidak menarik perhatian b

  • Friend With Benefit   Chapter 8

    “Semudah itu kamu dapat penggantiku?” Suara tersebut berhasil membuat Mecca menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan tersenyum smirk melihat sang mantan kekasih bersandar di sebuah pilar dengan tangan bersedekap. “Untuk apa kau kemari?” tanya Mecca yang menyimpan sedikit ketakutan. Ia takut jika Bastian melakukan hal nekat.Bastian tertawa melihat kecemasan di wajah Mecca. Ia berjalan mendekat dan meraih tangan lembut Mecca. Namun, gadis itu berhasil melepaskannya. “Aku bisa membantumu membayar hutang, asalkan….”“Tidak! Apapun yang terjadi aku tidak akan menerima bantuan darimu!” sanggah Mecca sebelum Bastian menyelesaikan kalimatnya. Mulut manis Bastian terus saja mengoceh, mengutarakan tawaran menarik agar Mecca mau kembali ke dalam pelukannya. Akan tetapi, Mecca bukanlah gadis bodoh yang bisa dengan mudah terjerumus dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya.Mecca tak menanggapi dan masuk ke apartemen. Beruntung, untuk masuk ke area apartemen tersebut harus menggunakan kartu ak

  • Friend With Benefit   Chapter 7

    “Bayar sekarang juga, atau….”“Atau apa? Katakan berapa hutangnya biar aku yang bayar.” Seorang pria dengan kacamata hitam muncul entah darimana. Bukannya senang, si kembar justru melempar tatapan sinis ke arah pria itu.“Bayar sekarang 150 juta.” Salah satu pria gagah itu menengadahkan tangannya. Si kembar sontak maju dan menyingkirkan sang ibu. Mereka tak mau orang lain ikut campur dalam masalah keluarganya. “Beri waktu kami satu minggu. Kami akan bayar hutang itu sendiri, tanpa bantuan siapapun,” ujar Matteo dengan sedikit penekanan pada kalimat terakhirnya.“Bastian, aku mohon padamu tinggalkan keluarga kami,” ujar Matthew dengan lembut. Namun, pria itu hanya tersenyum smirk sambil melepas kacamata hitamnya.Mariam bingung, ia tak bisa menentukan pilihan antara harus menuruti si kembar atau menerima bantuan dari Bastian. Jika ia menolak bantuan dari Bastian, akankah Mecca mampu memberikan uang kepadanya tepat waktu?“Saya mohon beri waktu satu minggu lagi. Saya janji akan membayar

  • Friend With Benefit   Chapter 6

    “Aku akan memberikan apa yang kau mau jika kau patuh padaku.” Pria hidung belang tersebut menggiring Mecca menuju sebuah private room yang disediakan di bar tersebut. Namun, saat berada di ambang pintu, Mecca menghentikan langkahnya seraya memejamkan mata, apakah keputusannya sudah tepat?Sejenak mematung, Mecca memantapkan hatinya untuk masuk demi mendapatkan uang. Namun, pintu tersebut tiba-tiba tertutup dan tangan Mecca ditarik oleh seseorang dan beralih masuk ke private room lainnya.“Aku akan menggantikan pria itu,”“Gyan?” Mecca mengerutkan keningnya melihat rekan kerjanya yang sudah berdiri di hadapannya tersebut. “Apa yang kamu lakukan disini?” sambungnya.Mecca menghela nafas, lalu duduk di sofa sambil menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. Apa mungkin ia akan melayani temannya sendiri, alih-alih client yang tak dikenal. Bingung sekaligus malu membuat Mecca tak bisa berkata-kata.Gyan yang duduk disamping Mecca pun menarik tangan Mecca. Kedua pasang netra coklat itu p

  • Friend With Benefit   Chapter 5

    “Bagaimana? Kapan kau akan memberikan uang untuk membayar hutang? Atau kau menerima tawaran menikah dengan Pak Adrian?” Mariam menghadang Mecca yang hendak masuk ke dalam rumah. Tentu saja si kembar bisa mendengar dengan jelas pertanyaan sang ibu kepada kakaknya karena pintu rumah masih terbuka lebar.Mecca memundurkan langkahnya dan berusaha mengumpulkan ketenangan untuk melawan ibunya. “Secepatnya, pasti Mecca akan berikan uangnya, Bu,” jawabnya dengan lembut. “Kapan? Kau bekerja di ruangan ber AC, mengendarai mobil yang nyaman bahkan makan makanan enak setiap hari. Tapi, kenapa kau selalu menunda memberikan uang itu padaku, hah?” Mariam berkacak pinggang seraya menatap tajam ke arah putri sulungnya.Mecca memutar bola matanya, malas jika ibunya membahas tentang semua fasilitas yang ia miliki. “Apa semua yang aku punya pemberian dari Ibu? Bukan! Semua yang aku punya murni kerja kerasku sendiri sampai aku bisa membiayai kuliah adikku,” jawab Mecca dengan sedikit penekanan, membuat M

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status