Dengan kesadaran yang rasanya mengapung, Violet menarik mangkuk milik Quinn. Tanpa diminta, Quinn mengambil irisan tomat. Sementara Violet mencari irisan-irisan kol. Mereka sibuk saling memindahkan bahan makanan yang tidak disukai ke mangkuk yang lain.
“Hei, kamu makan sendirian? Aku juga kelaparan.” Jeffry ternyata menyusul ke dapur. Ada Eirene di belakangnya. Jeffry dan Eirene kemudian menarik kursi dan duduk di depan Violet serta Quinn.
“Aku menemaninya makan,” kata Quinn tenang. Semangkuk soto lagi tersaji. Jeffry menawari Eirene, tapi perempuan itu menjawab bahwa dia sudah makan bersama yang lain.
“Kalian sedang apa?” tanya Eirene heran tatkala melihat kekasihnya dan Violet bertukar mangkuk.
Quinn yang menjawab. “Aku tidak suka kol, Violet memindahkan semua kol ke mangkuknya. Sementara Violet tidak suka tomat, jadi ada tambahan irisan tomat untukku.”
Eirene dan Jeffry tak berusaha men
Saat itu Violet melihat Eirene duduk menempel di samping Quinn. Kepalanya diletakkan di bahu pria itu dengan santai. Ada yang tercubit di dada Violet. Pada detik itu juga dia baru merasakan jika sejak tadi tangan Jeffry menggenggam jemarinya.“Kalian belum menikah saja sudah berisik seperti ini. Ayolah Ezra, apa kamu yakin mau memancing? Aku tidak suka,” sergah Jo di saat keadaan kian memanas. Jeffry pun mendukungnya.Belakangan Violet merasa bahwa teman-temannya sangat menyayangi Sheila. Mereka membela gadis itu meski Ezra juga bagian dari lingkaran pertemanan. Tahu bahwa dirinya takkan menang, Ezra akhirnya menyerah.Alhasil, sejak pukul sembilan pagi mereka berjalan kaki ke lapangan voli mini yang letaknya tidak jauh dari vila. Berdekatan dengan lapangan tenis dan kolam renang indoor. Matahari Puncak yang diselimuti awan membuat suasana lebih nyaman. Tidak panas. Violet dan Rifka memilih untuk duduk di pinggir lapangan saja.
Udara makin dingin, tapi Violet merasakan hatinya menghangat. Tanpa sadar, dia melihat ke arah lapangan voli dan mendapati wajah menawan Quinn yang berkeringat dan memerah. Lelaki itu ternyata cukup ahli bermain voli.“Kenapa kamu tidak percaya?”Rifka menyergah dengan suara rendah. “Dari bahasa tubuh, Nona! Aku melihat sendiri bagaimana dia mengajakmu makan malam sementara Jeffry malah asyik mengobrol dengan Eirene. Dia juga yang menyalakan perapian karena khawatir kamu kedinginan.”Violet tak bisa menyangkal kalau wajahnya kembali memanas. “Bukankah semua orang memang kedinginan?” dia balik bertanya.Rifka menggeleng. “Tapi dia memperhatikanmu! Dia memintamu mendekat ke perapian, kan? Makanya aku mengira kalau kalian teman lama. Setidaknya....” Rifka berdeham.“Apa?” Violet penasaran. Rifka menggelengkan kepalanya. “Katakan saja apa yang sudah di ujung lidahmu itu, Rif! Ada a
“Kamu nggak mau ke dokter saja, Sheil?” tanya Winston. “Takutnya....”“Nggak usah,” potong Sheila. “Ini memang cuma terkilir, kok! Tapi memang sakitnya lumayan parah.”Eireen angkat bicara, “Memangnya, ada terkilir yang tidak sakit? Tetap saja nyerinya setengah mati.”“Dan Sheila bolak-balik mengaduh untuk menyiksa Ezra,” ucap Jo sambil tertawa. Sheila tak membantah sama sekali. Artinya lagi, gadis itu membenarkan dugaan Jo.Violet tidak tahu apakah semua orang memiliki kecenderungan seperti Sheila? Menggunakan cinta untuk “memberi pelajaran” pada kekasihnya? Mungkinkah selama ini Ezra menunjukkan cinta yang sangat besar pada kekasihnya dan justru membuat Sheila besar kepala? Ataukah Violet saja yang terlalu jauh mengambil kesimpulan?Yang Violet tahu, dia tidak seperti itu. Ataukah belum? Mungkinkah jika menemukan seseorang yang dia yakini tak akan meninggalkannya
Dari tempatnya berdiri, Violet bisa melihat kota Cipanas di kejauhan dengan latar belakang perbukitan. Jalan yang dipenuhi kendaraan tampak berkelok-kelok indah di bawah sana. Jika malam tiba, pasti pemandangannya akan lebih bagus lagi.“Vi,” seseorang memanggil. Violet berbalik dan melihat Rifka tersenyum dan melambai. Gadis itu memberi isyarat ke arah kursi panjang dari rotan yang sudah ditambahi bantalan busa supaya nyaman untuk diduduki.“Kenapa kamu malah ke sini?” tegur Violet.“Aku akan menemanimu sampai kamu tidak sendirian,” gumam Rifka. Violet tersenyum kecil.“Terima kasih, Rif. Tapi, aku tidak apa-apa, kok!. Aku ke sini karena ingin melihat pemandangan di luar sana. Tidak kusangka, ternyata bagus sekali,” puji Violet.Hujan kembali turun. Angin dingin menerpa, tapi Violet tak takut akan menggigil. Dia sudah melapisi kausnya dengan sweater tebal dan celana panjang yang hangat. Perl
Acara di Puncak itu sama sekali tak menarik bagi Violet. Untungnya ada Quinn yang membuat gadis itu terhindar dari perasaan bosan. Dia memiliki teman dan tak sampai merasa tersisih. Jika tidak, mungkin Violet akan memilih pulang ke tempat indekosnya di hari kedua. Omong kosong dengan segala “supaya lebih akrab karena sudah lama tidak bertemu” atau “reuni tak resmi” yang didengungkan Jeffry dan teman-temannya. Nyatanya, masing-masing orang sibuk dengan kegiatan dan dirinya sendiri-sendiri.Violet merasakan ikatan yang tak terucapkan bersama Quinn. Satu-satunya yang melihat itu adalah Rifka. Dan tanpa ragu perempuan itu membisikkan beberapa kalimat menjelang perpisahan mereka.“Kurasa, kamu harus jujur pada diri sendiri, Vi. Coba tanya hatimu, telaah semua perasaanmu lagi baik-baik. Karena menurutku, kamu tidak membutuhkan Jeffry. Kamu membutuhkan orang lain,” cetus Rifka suatu kali. Gadis itu bicara pada Violet saat mereka hanya
Quinn membelikan popcorn manis yang rasanya –mendadak- luar biasa nikmat. Tadinya pria itu ingin membelikan hamburger yg outlet-nya bersebelahan dengan popcorn. Namun Violet menolak mentah-mentah.“Rasanya tidak enak dan harganya mahal,” tolak gadis itu. “Cuma buang-buang uang.”“Uangku masih cukup, Vi,” Quinn mengedipkan mata dengan gaya santai. Karena hal sederhana itu, Violet tiba-tiba saja sampai lupa cara bernapas karenanya.“Kita ke sini mau nonton, bukan piknik. Jadi, makannya nanti saja. Aku tidak kelaparan, kok!” kata Violet setelah terdiam beberapa saat.“Oke. Kalau begitu, kamu tidak boleh menolak popcorn, ya?” putus Quinn. Sebelum Violet merespons, lelaki itu sudah beranjak meninggalkannya. Tujuannya jelas, membeli popcorn. Violet hanya memandangi punggung Quinn sembari mengulum senyum.Saat di bioskop Violet bertanya-tanya, ba
“Apa kamu sekarang sudah berubah jadi pengangguran, Quinn? Kok bisa bolak-balik muncul di kantorku?” tanya Violet, bercanda. “Padahal ini hari Jumat. Kamu pasti sibuk sekali karena menjelang akhir pekan. Memangnya tamu The Suite tidak perlu diurus? Atau, kamu sudah bosan menjadi residence manager? Kalau iya, aku bersedia menggantikanmu, lho!”Quinn tertawa kecil. Entah mengapa, Violet menilai lelaki itu lebih menawan jika sedang tersenyum atau tertawa. “The Suite akan baik-baik saja, kok! Kemarin aku sudah bekerja keras, pulang ke mes setelah lewat tengah malam. Karena ada pekerjaan yang harus dituntaskan. Hari ini, Kakek memberi sedikit dispensasi. Sebenarnya aku malah diminta untuk libur hari ini. Tapi kutolak. Aku tetap datang ke hotel walau sudah diusir sejak tengah hari. Akhirnya, aku pulang. Hal pertama yang kuingat adalah kamu. Makanya, ketimbang cuma bengong di mes, aku memilih datang ke sini.”Uraian panjang lelaki
Mereka menghabiskan waktu di toko buku selama lebih dari tiga jam. Terlalu lama berdiri dan berjalan mondar-mandir, membawa konsekuensi sendiri bagi Violet. Betis gadis itu terasa pegal dan kakinya lecet. Ini adalah rekor terlamanya berada di toko buku saat ditemani oleh seorang pria. Dengan Jeffry, satu jam pun belum pernah terlampaui. Kekasih Violet itu tidak betah dan berkali-kali melihat arloji. Tingkahnya itu sangat mengganggu Violet sehingga dia lebih suka pergi sendiri.Keluar dari toko buku, tangan Quinn dipenuhi beberapa kantong plastik. Violet tidak diizinkan membawa kantong miliknya sendiri. Tak hanya itu, Quinn juga tak membiarkannya membayar buku yang dipilihnya. Mereka bahkan nyaris bertengkar di depan kasir!“Quinn, orang bisa mengira kamu itu pelayanku. Membawakan buku-buku yang banyak itu, sementara bukumu sendiri tidak sedikit,” protes Violet seraya berjalan pelan. Dia manahan nyeri karena lecet di kaki.Quinn menjawab dengan