Share

Violet dan Jeffry [1]

Beberapa bulan sebelumnya….

Seperti biasa, mal selalu dipenuhi pengunjung saat malam Minggu. Seakan semua orang terbangun tiba-tiba dan memutuskan untuk melakukan hal yang sama, mendatangi mal terdekat. Violet Agatha mengeluh pelan, karena Jeffry kesulitan menemukan tempat parkir. Seharusnya, mereka memang tak mendatangi tempat ini.

“Sabar ya, Vi. Tempat parkirnya sudah penuh. Padahal ini belum jam tujuh,” gumam Jeffry sambil terus menyetir dengan hati-hati. “

Mobil yang dikendarai pria itu sudah memasuki basement Botani Square, merayap perlahan. Bahkan di area itu pun antrean mobil sudah cukup panjang. Violet menatap ke arah kanan dan kirinya dengan waspada, mencari-cari kemungkinan menemukan lahan parkir yang kosong dan terlewatkan mobil lain. Namun hasilnya nihil.

“Sepertinya kita harus memutar lagi,” putus Jeffry saat mereka tak jua menemukan apa yang dicari. Saat akhirnya keluar dari dalam mobil nyaris dua puluh menit kemudian, Violet benar-benar merasa lega.

“Jeff, lain kali kalau mau nonton, tidak perlu harus menunggu hari Sabtu. Mending hari biasa saja, supaya nggak sesusah ini mencari tempat parkir,” celoteh Violet. Gadis itu mencangklongkan tas di bahu kanannya.

Jeffry tersenyum tipis mendengar kata-kata sang pacar. Lelaki itu memastikan semua pintu mobilnya terkunci, sebelum menghampiri Violet. Tangannya meraih jemari kiri gadis itu dan menggenggamnya hangat. Mereka berjalan bersisian memasuki mal melalui pintu kaca besar dengan petugas keamanan yang bersiaga di depannya.

Jeffry dan Violet pernah berkuliah di universitas yang sama. Jeffry mengaku sudah jatuh hati pada perempuan sebayanya itu sejak masih duduk di semester dua. Namun Violet selalu mengacuhkannya. Entah kenapa. Violet selalu merasa ada yang kurang “klik” dengan mereka berdua.

“Maaf ya, Jeff. Aku merasa kita nggak akan menjadi pasangan yang cocok.” Itu penolakan Violet yang kedua, saat Jeffry mengaku cinta padanya.

“Kenapa nggak cocok?” desak Jeffry kala itu.

“Entahlah, aku nggak bisa menjelaskan,” aku Violet.

“Kamu sudah punya pacar atau suka sama seseorang ya, Vi?” tanyanya, ingin tahu.

Violet menggeleng. “Nggak. Alasannya bukan itu. Aku cuma merasa kita nggak akan cocok. Selain itu....” Gadis itu terdiam dan meragu selama beberapa detik. Namun, dia merasa tak ada gunanya menutup-nutupi apa yang sebenarnya, kan? Karena itu, meski tak nyaman, Violet membuat pengakuan dengan gamblang. “Aku nggak punya perasaan apa pun padamu, Jeff. Maaf,” ucapnya dengan nada sesal.

Jeffry tersenyum. “Nggak usah minta maaf, Vi. Perasaan itu nggak bisa dipaksa. Aku cuma berharap, kamu mau memberiku kesempatan. Karena aku yakin, pada akhirnya akan bisa membuatmu jatuh cinta.” Nada suara Jeffry terdengar dipenuhi optimisme.

Violet menekan rasa bersalah yang tiba-tiba mekar di dadanya. Perlahan, gadis itu menggeleng. “Aku nggak tertarik untuk menjalani hubungan coba-coba, Jeff. Sekali lagi, maaf, ya. Semoga kamu bisa paham.”

“Aku paham, kok! Nggak usah cemas,” sahut Jeffry sambil tertawa kecil. “Nggak masalah, Vi.”

Namun cerita berbeda terjadi setelah keduanya bertemu lagi, nyaris tiga tahun setelah menjadi sarjana. Entah karena ada jeda yang lumayan panjang atau memang Jeffry sudah berubah kian menawan, Violet akhirnya bertekuk lutut. Memberikan hatinya pada pria yang jelas-jelas sudah mendambakannya selama bertahun-tahun.

“Jeff, jangan terlalu cepat jalannya! Kakimu itu memang panjang. Tapi bagaimana dengan kakiku?” Violet membuat gerakan menghentak di tangannya yang digenggam Jeffry.

Pria itu menoleh ke arah kekasihnya dan tersenyum lebar. Wujud dari permintaan maaf. Langkah-langkah kaki Jeffry memang panjang. Hal itu sesuai dengan tingginya yang mencapai 176 sentimeter. Sementara tinggi Violet “hanya” 161 sentimeter. Selisih yang lumayan, kan?

Jeffry tergolong pria yang selalu memperhatikan penampilan. Atau sinonim dari perlente, necis. Tidak pernah sekalipun Violet melihat lelaki itu tampil seadanya atau acak-acakan. Berbanding terbalik dengan Violet yang sangat suka tampil santai. Perempuan muda itu tak pernah membebani diri dengan keharusan untuk tampil cantik dengan riasan wajah nan lengkap. Senjata andalannya cuma lipstik dan maskara. Violet tak terlalu memusingkan soal penampilan. Sepanjang tubuhnya bersih, wangi, dan merasa nyaman, tidak ada yang perlu dicemaskan. Violet adalah orang yang percaya diri.

“Aku cuma takut filmnya sudah dimulai, Vi. Tadi kita terlalu lama mencari tempat parkir,” ucap Jeffry sambil mengecek arlojinya. Mereka menaiki eskalator menuju lantai tiga.

“Iya, sih. Sepertinya memang sudah telat,” gumam Violet. Dia menggeser tubuhnya sehingga berdiri tepat di depan Jeffry, terpisah satu anak tangga. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mal memang tampak penuh oleh pengunjung.

Violet adalah seorang perempuan berusia 27 tahun. Banyak yang berpendapat bahwa  warna kulitnya menjadi kekuatan terbesar bagi pesona Violet. Sewarna karamel, kulitnya memang terkesan eksotis. Violet memiliki bibir mungil yang kontras dengan mata lebarnya. Wajahnya tirus dan dilengkapi dengan dagu yang lancip. Giginya rapi dan putih. Rambut Violet berwarna hitam, melewati bahu. Lurus. Ada poni yang menutupi keningnya.

Mata Violet yang ekspresif itu menjadi daya tarik tersendiri. Dan Jeffry terang-terangan memuji hal itu dalam banyak kesempatan. Jika itu terjadi, biasanya meninggalkan semburat merah di pipi sang dara. Meski sudah satu tahun bersama, kadang Violet masih belum terbiasa dengan pujian atau rayuan sang kekasih.

“Jeff, apa semua orang se-Kota Bogor memilih untuk nonton pada saat ini?” Violet heran. Dari kejauhan dia bisa melihat bagaimana area ruang tunggu bioskop dipenuhi orang.

“Sepertinya memang begitu,” balas Jeff sembari menatap seorang gadis muda yang datang dari arah berlawanan dengan mereka. Keduanya bertukar senyum.

Violet melihat adegan yang cuma berlangsung kurang dari tiga detik itu. Dengan perasaan kesal yang coba ditahan, dia berpura-pura buta. Namun situasinya berbeda saat kedua kalinya Jeffry melirik perempuan lain yang kembali berpapasan dengan mereka. Violet pun menyodok perut kekasihnya dengan siku. Menyebabkan Jeffry menoleh kaget seraya meringis.

“Kamu kenapa, Vi? Kok malah menyodok perutku, sih? Sakit, lho!”

Violet mendesah. “Jangan jelalatan! Ingat, kamu sedang jalan dengan aku,” ucapnya tegas. “Kalau kamu sedang jalan sendiri, aku nggak peduli.”

Jeff membantah. “Aku nggak jelalatan!”

Violet memperingatkan kekasihnya dengan tatapan tajam. “Aku melihat sendiri, Jeff!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status