Jeffry tak bicara lagi. Namun hal itu sudah cukup membuat perasaan Violet kian tak nyaman. Dia tahu, Jeffry adalah pria yang menawan secara fisik. Dengan tubuh yang tinggi dan berat proporsional, pria itu sangat pantas digolongkan sebagai lelaki gagah. Wajahnya menjadi penambah nilai plus yang sempurna.
Bermata agak sipit karena ada sedikit darah Jepang yang mengalir di darahnya, hidung Jeffry lurus dan langsing. Alisnya rapi meski setahu Violet tak pernah dirawat secara khusus, sementara bibir lelaki itu penuh. Belum lagi kulitnya yang putih. Jeffry adalah penambat pandang yang enak untuk dilihat.
Jeffry adalah pria dan kekasih yang baik dan bisa disebut pengertian, selalu bersikap lembut. Satu-satunya hal yang mengganggu Violet adalah kebiasaan Jeffry yang tanpa ragu memandangi perempuan menarik di sekitarnya. Terang-terangan. Meskipun dia sedang menggandeng Violet dengan mesra.
Awalnya, Violet tidak memperhatikan hal itu. Namun tatkala frekuensinya terus meningkat dalam banyak kesempatan, mau tak mau gadis itu pun mulai merasa terganggu. Entah sudah berapa kali Violet mengingatkan Jeffry bahwa dia tidak suka dengan ulah kekasihnya. Jeffry biasanya berjanji akan mengubah kebiasaannya. Namun belum terlihat hasil yang memuaskan bagi Violet.
“Tuh, benar. Aku baru sadar kalau kita sudah ketinggalan. Jam tayang selanjutnya harus menunggu dua jam lagi.” Jeffry menunjuk ke arah alojinya. Mereka berhenti di dekat pintu masuk yang dipenuhi orang. “Kita sudah telat sepuluh menit,” imbuh Jeffry.
Violet ikut-ikutan mengecek jam tangannya. Jeffry benar, mereka sudah tertinggal sepuluh menit. “Ketimbang harus menunggu dua jam lagi, mending nggak usah nonton.”
“Atau, kamu mau menonton film lain?” Jeffry menawarkan alternatif. Tadinya mereka ingin menonton film laga yang dibintangi oleh Tom Cruise.
“Film apa yang bagus? Ada yang lain?” Violet memanjangkan leher sembari berjinjit. Sayang, antrean di depan membuatnya tidak leluasa melihat. Namun Jeffry kemudian membacakan tiga judul film lain yang sedang diputar pada saat bersamaan. Dua di antaranya film horor esek-esek khas sineas Indonesia. Sementara satunya lagi film komedi Hollywood.
“Bagaimana?” ulang Jeffry. “Mau nonton?”
Violet berpikir sejenak sebelum akhirnya menggelengkan kepala dengan gerakan mantap. “Nggak ada film yang menarik.” Lalu pandangannya beralih ke wajah Jeffry. “Kamu nggak masalah kalau kita batal menonton, kan?” tanyanya sembari menatap sang pacar.
Jeffry menggeleng. “Kenapa harus jadi masalah? Lain kali saja.” Lelaki itu menarik tangan kekasihnya dengan gerakan lembut, mereka pun berbalik meninggalkan area ruang tunggu bioskop. “Sekarang, mau kemana lagi? Atau kamu mau makan sesuatu?”
Saat ditawari untuk makan, mendadak Violet merasakan perutnya berbunyi. “Boleh. Aku mau makan. Mendadak lapar,” aku Violet. Dengan tangan kirinya yang bebas, gadis itu mengelus perutnya sekilas.
Jeffry mengangguk setuju. Tangannya tak melepaskan jemari Violet. Mereka keluar dari ruang tunggu bioskop, kembali ke dalam keramaian mal. Violet melihat beberapa gadis muda memperhatikan mereka. Tepatnya, memperhatikan Jeffry. Kadang, hal itu menghangatkan hati Violet juga. Mengingatkan dirinya bahwa kekasihnya selalu menarik perhatian kaum hawa. Namun hal itu tak mengesankan lagi karena “kegenitan” Jeffry.
“Mau makan apa, Vi? Ada yang kamu pengin?” Jeffry bersuara.
“Nggak ada,” balas Violet. “Kali ini, kamu yang pilih mau makan di mana. Aku nggak akan mengajukan protes,” selorohnya.
Jeffry mengajak Violet ke sebuah restoran yang masih satu lantai dengan bioskop. Restoran itu tidak memilik antrean pembeli seperti beberapa yang lain. Artinya, ada meja kosong untuk pasangan itu meski mungkin harus menunggu lebih lama karena kondisi restoran yang nyaris penuh.
Malam itu, Violet memilih stik ayam dan kentang goreng, sementara Jeffry lebih suka memesan menu bakmi goreng sapi. Ini bukan kali pertama keduanya menyantap makanan di restoran itu.
“Jeff, aku kok tiba-tiba merindukan Mama,” desah Violet sambil bertopang dagu. Mereka duduk berhadapan di sebuah meja bundar dengan bangku dari kayu. Tadi, hanya ada dua meja yang tersisa. Jeffry dan Violet sepakat memilih meja ini.
“Apa kamu mau pulang ke Medan?” Jeffry balik bertanya.
Violet menggeleng tegas. Sejak kuliah dia sudah meninggalkan kampung halamannya dan pindah ke Bogor. Saat kuliah, keluarga menitipkan Violet pada adik sang ibu. Violet tidak diizinkan untuk indekos meski dia berkuliah di Jakarta. Baru setelah dia lulus dan bekerja, izin untuk tinggal sendiri pun keluar. Terlanjur betah dengan suasana kota Bogor yang dianggapnya lebih nyaman dibanding Jakarta, Violet lebih fokus mencari pekerjaan di Kota Hujan itu. Tuhan Yang Maha Baik memberinya pekerjaan tak lama setelah diwisuda. Sejak itu pula Violet indekos dan tinggal di tempatnya sekarang.
“Lho, katanya rindu sama Mama,” Jeffry tak mengerti. “Obatnya ya cuma satu, bertemu. Entah kamu yang pulang atau Mama diminta datang ke sini.”
“Pekerjaanku lagi padat. Tidak bisa ditinggal sama sekali. Aku baru bisa pulang sekitar dua bulanan lagi. Itu pun paling cepat,” aku Violet.
“Harusnya, kamu bisa menyempatkan pulang sebentar kalau memang rindu. Mumpung ada waktu. Berangkat hari Jumat, kembali ke sini Minggu malam. Kalau memang mau, aku bisa mengantarmu,” Jeffry menawarkan bantuan.
Violet tiba-tiba merasa tercekat. Pulang bersama Jeffry? Mama dan papanya bisa mendadak terserang stroke jika dia nekat membawa pulang sang kekasih. Okelah, mungkin tak separah itu karena dia sudah dewasa dan keluarganya tahu tentang pacar Violet. Namun membayangkan pulang ke Medan dan menggandeng Jeffry? Entahlah, Violet merasa kalau itu merupakan gagasan yang sangat janggal. Terkecuali jika dia dan Jeffry sudah berniat menikah.
Akan tetapi, membangun keluarga masih jauh dari bayangan Violet. Usianya sudah lebih dari cukup untuk menikah. Namun dia sama sekali belum tertarik untuk melangkah ke arah sana. Membayangkan Jeffry kelak menjadi suaminya pun belum pernah terjadi. Entah kenapa.
“Terlalu melelahkan kalau aku memaksa pulang di akhir pekan,” Violet beralasan. Mendadak ada selarik rasa bersalah yang membungkus dadanya. Karena dia tak sepenuhnya jujur. Bibir Violet terbuka, hendak mengucapkan sesuatu saat matanya menangkap pemandangan yang selalu membuatnya merasa tak nyaman.
Jeffry, yang sedang duduk tepat di depannya, menatap pramusaji yang sedang mengantar pesanan mereka dengan berani. Memang, semua pramusaji perempuan di restoran itu memakai blus pas badan dengan beberapa kancing atas dibiarkan terbuka. Cukup mengekspos area dada yang umumnya berbalut kulit terang. Lalu, masih dipadu dengan rok mini berwarna hitam yang panjangnya berada di atas lutut. Pakaian yang cukup provokatif.Violet sendiri tidak melihat apa hubungan antara laris-tidaknya suatu restoran dengan pakaian pramusajinya. Dia tak pernah bisa berhenti mengerti hal-hal seperti itu. Bagi Violet, itu hanyalah salah satu cara untuk mengeksploitasi perempuan. Anehnya, yang dieksploitir sendiri tidak merasa keberatan.“Selamat menikmati,” pungkas si pramusaji dengan senyum indah yang merekah.“Terima kasih, Mbak,” Jeffry yang menjawab dengan antusias. Violet memperhatikan dengan bibir terkatup.“Jeff,”panggilnya dengan suara ren
Jeffry tak bisa menyembunyikan kekagetannya saat menoleh ke arah sang pacar. Namun lelaki itu segera menguasai diri dengan “Kamu sudah selesai?” tanyanya tenang, seakan tidak terjadi apa-apa barusan. Senyum tipisnya bahkan mengembang. Violet tidak yakin apakah Jeffry menyadari bahwa yang dilakukannya tadi sudah membuat kekasihnya kesal.“Sudah!” cetus Violet dengan wajah merengut. Tanpa bicara, gadis itu melangkah menuju kasir dan harus antre di sana. Dia sempat melirik Jeffry yang berdiri menunggu di dekat pintu keluar. Kali ini, lelaki itu menunduk karena sibuk memainkan gawainya.Violet berkali-kali menghela napas untuk menenangkan diri sekaligus meredakan kemarahannya. Di tak mau mempermalukan diri sendiri. Meski begitu, dadanya masih naik turun karena emosi yang bergelombang di dalam sana. Seakan siap merubuhkan dinding-dinding ketenangan yang dimiliki Violet.Nyaris sepuluh menit gadis itu harus mengantre. Sebenarnya, ketidaksabaran
Quinn Zaugustus mendengarkan sang kekasih yang sedang bicara dengan penuh semangat. Eireen, nama gadis yang berhasil menaklukkan hati Quinn itu. Keduanya menjadi pasangan sejak enam minggu silam. Mereka sedang berada di restoran yang menyajikan steak, makanan favorit Eireen. Quinn tak terlalu menikmati menu western, tapi dia ingin menyenangkan sang pacar.Eireen adalah gadis supel yang begitu menawan. Bukan hanya secara fisik, melainkan juga karena kepercayaan dirinya yang kuat. Eireen merupakan sosok yang langsung menarik perhatian kaum adam. Itu juga yang terjadi pada Quinn. Dia baru berkenalan dengan Eireen tujuh bulan silam. Kala itu, Eireen menjadi salah satu pagar ayu di sebuah resepsi yang digelar di hotel tempat Quinn bekerja, The Suite.Sejak itu, Quinn tak melepaskan kesempatan untuk mendekati gadis itu. Apalagi setelah Eireen memastikan bahwa dia tidak memiliki kekasih. Quinn pun cukup intensif berkomunikasi dengan gadis itu hingga akhirnya
Setelah tiba di halaman parkir ke The Suite, Quinn menyempatkan diri menelepon Eireen, mencari tahu apakah gadis itu sudah tiba di rumahnya atau belum. Eireen malah mengaku dia sedang mampir ke sebuah coffee shop untuk bertemu seorang teman.Satu setengah tahun terakhir, Quinn menduduki posisi bergengsi sebagai residence manager. Jabatan itu membuatnya mengepalai delapan manajer lini pertama. Jadi, tanggung jawab Quinn memang cukup berat karena harus mengawasi dan bertanggung jawab atas kinerja semua departemen di bawahnya.Sudah bergabung di The Suite sejak berusia 24 tahun, hanya berjarak sebulan sejak meraih gelar sarjana, Quinn mengawali kariernya sebagai petugas housekeeping. Setelah itu, secara berkala Quinn berpindah bagian. Mulai dari bagian akunting, food and beverage, front office, engineering, hingga marketing.“Kamu harus paham tiap bagian di hotel ini. Bahkan, kalau bisa, nggak sekadar paham. T
Quinn bertemu dengan Eireen sekitar dua puluh menit kemudian. Sepanjang perjalanan, dia menyetir dengan jantung dag dig dug tak keruan. Quinn tidak tahu pasti apa yang terjadi selain bahwa Eireen terlibat kecelakaan. Karena tadi dia buru-buru memutuskan perbincangan mereka. Bodohnya Quinn, dia bahkan tidak bertanya apakah Eireen terluka atau tidak.“Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Quinn setelah bertemu pacarnya. Dia menatap Eireen dari ujung rambut sampai ujung kaki dan menarik napas lega karena tidak menemukan tanda-tanda bahwa gadis itu terluka. Mobil Eireen diparkir di halaman sebuah restoran cepat saji yang jam operasionalnya sudah berakhir.“Aku baik-baik saja,” balas Eireen. Perempuan itu berderap ke arah Quinn sebelum memeluk sang kekasih. “Tadi, aku betul-betul takut, Quinn,” bisiknya.Lelaki itu mendekap kekasihnya. Tangan kanannya mengusap punggung Eireen dengan gerakan lembut. Dari tempatnya berdiri, Quinn bisa mel
Hari Jumat selalu menjadi hari yang ditunggu oleh para karyawan, bukan? Karena dua hari ke depan ada libur yang bisa dimanfaatkan untuk melepaskan diri dari rutinitas. Dan melakukan hal-hal yang menggembirakan hati tanpa harus memikirkan pekerjaan. Bersantai.Violet melirik sekilas jam dinding. Sudah hampir pukul lima. Itu artinya, dia akan segera meninggalkan kantor tak lama lagi. Lebih bergegas lagi, perempuan itu membereskan mejanya seraya meneliti lagi hasil pekerjaannya. Violet tersenyum manis, kombinasi antara perasaan lega dan senang.Menjadi sarjana sastra Inggris, Violet diterima bekerja sebagai staf HRD di sebuah perusahaan manufaktur yang memproduksi produk perawatan wajah khusus untuk kaum hawa. Sepanjang pengalamannya setahun terakhir ini, pendidikannya nyaris tidak berkorelasi dengan pekerjaan yang dilakukannya. Kecuali kemampuannya bercas cis cus dalam bahasa negeri Pangeran William itu saja. Itu pun tidak banyak dibutuhkan dalam menuntaskan pekerjaannya
Violet pulang dengan kepala yang terasa berat. Dia masih bisa membayangkan detail garis wajah Nindy saat mendengar kata-katanya. Temannya itu seperti habis disambar petir. Bahkan mungkin lebih parah. Tak hanya hangus, Nindy berubah seperti debu.“Apa? Dari mana kamu tahu ... eh ... mengambil kesimpulan seperti itu?” Nindy langsung panik. Kepucatan di wajahnya kembali lagi.Violet tersenyum tipis. Namun dia yakin jika senyum yang terukir di bibirnya menyerupai lekukan patah yang menyedihkan. Hati Violet ikut nyeri melihat eskpresi temannya. Mengapa Nindy bertahan dengan pria kasar seperti Randy? Apakah tampang dan latar belakang keluarga memang segalanya?“Aku pernah beberapa kali melihat memar-memar di pipi atau lenganmu. Meski kamu berusaha menutupinya dengan make up atau beralasan macam-macam, aku tahu kalau bukan itu yang terjadi,” gumam Violet hati-hati. Di depan gadis itu, bibir Nindy terbuka.Violet memang tidak berd
“Teman sekantormu, ya? Apa dia tak ingin putus dari kekasih yang seperti itu? Sepupuku juga ada yang mengalami hal semacam itu. Bedanya, yang memukuli adalah suaminya sendiri. Sepupuku itu sempat kabur bertahun-tahun sebelum pulang ke Indonesia.” Kelly ikut emosional. “Kalau aku, tak akan pernah kubiarkan ada orang yang mengaku mencintaiku tapi melakukan hal-hal itu padaku. Aku anti kekerasan, fisik ataupun verbal.”Violet mengangkat bahu. Dia benar-benar merasa lelah. “Yang kudengar, mereka akan segera bertunangan.”Mata Kelly membesar. “Apa?”“Iya, sudah beberapa minggu ini temanku bercerita tentang rencana pertunangannya.”“Dan kayaknya dia tetap akan melanjutkan rencana itu? Walau pacarnya begitu berengsek?” desak Kelly dengan nada tak percaya.“Sepertinya begitu. Tadi, kubilang kalau aku tahu dia sering dipukuli. Tapi katanya itu semua karena kesalahannya. Dia tak in