Share

Violet dan Jeffry [2]

Jeffry tak bicara lagi. Namun hal itu sudah cukup membuat perasaan Violet kian tak nyaman. Dia tahu, Jeffry adalah pria yang menawan secara fisik. Dengan tubuh yang tinggi dan berat proporsional, pria itu sangat pantas digolongkan sebagai lelaki gagah. Wajahnya menjadi penambah nilai plus yang sempurna.

Bermata agak sipit karena ada sedikit darah Jepang yang mengalir di darahnya, hidung Jeffry lurus dan langsing. Alisnya rapi meski setahu Violet tak pernah dirawat secara khusus, sementara bibir lelaki itu penuh. Belum lagi kulitnya yang putih. Jeffry adalah penambat pandang yang enak untuk dilihat.

Jeffry adalah pria dan kekasih yang baik dan bisa disebut pengertian, selalu bersikap lembut. Satu-satunya hal yang mengganggu Violet adalah kebiasaan Jeffry yang tanpa ragu memandangi perempuan menarik di sekitarnya. Terang-terangan. Meskipun dia sedang menggandeng Violet dengan mesra.

Awalnya, Violet tidak memperhatikan hal itu. Namun tatkala frekuensinya terus meningkat dalam banyak kesempatan, mau tak mau gadis itu pun mulai merasa terganggu. Entah sudah berapa kali Violet mengingatkan Jeffry bahwa dia tidak suka dengan ulah kekasihnya. Jeffry biasanya berjanji akan mengubah kebiasaannya. Namun belum terlihat hasil yang memuaskan bagi Violet.

“Tuh, benar. Aku baru sadar kalau kita sudah ketinggalan. Jam tayang selanjutnya harus menunggu dua jam lagi.” Jeffry menunjuk ke arah alojinya. Mereka berhenti di dekat pintu masuk yang dipenuhi orang. “Kita sudah telat sepuluh menit,” imbuh Jeffry.

Violet ikut-ikutan mengecek jam tangannya. Jeffry benar, mereka sudah tertinggal sepuluh menit. “Ketimbang harus menunggu dua jam lagi, mending nggak usah nonton.”

 “Atau, kamu mau menonton film lain?” Jeffry menawarkan alternatif. Tadinya mereka ingin menonton film laga yang dibintangi oleh Tom Cruise.

“Film apa yang bagus? Ada yang lain?” Violet memanjangkan leher sembari berjinjit. Sayang, antrean di depan membuatnya tidak leluasa melihat. Namun Jeffry kemudian membacakan tiga judul film lain yang sedang diputar pada saat bersamaan. Dua di antaranya film horor esek-esek khas sineas Indonesia. Sementara satunya lagi film komedi Hollywood.

“Bagaimana?” ulang Jeffry. “Mau nonton?”

Violet berpikir sejenak sebelum akhirnya menggelengkan kepala dengan gerakan mantap. “Nggak ada film yang menarik.” Lalu pandangannya beralih ke wajah Jeffry. “Kamu nggak masalah kalau kita batal menonton, kan?” tanyanya sembari menatap sang pacar.

Jeffry menggeleng. “Kenapa harus jadi masalah? Lain kali saja.” Lelaki itu menarik tangan kekasihnya dengan gerakan lembut, mereka pun berbalik meninggalkan area ruang tunggu bioskop. “Sekarang, mau kemana lagi? Atau kamu mau makan sesuatu?”

Saat ditawari untuk makan, mendadak Violet merasakan perutnya berbunyi. “Boleh. Aku mau makan. Mendadak lapar,” aku Violet. Dengan tangan kirinya yang bebas, gadis itu mengelus perutnya sekilas.

Jeffry mengangguk setuju. Tangannya tak melepaskan jemari Violet. Mereka keluar dari ruang tunggu bioskop, kembali ke dalam keramaian mal. Violet melihat beberapa gadis muda memperhatikan mereka. Tepatnya, memperhatikan Jeffry. Kadang, hal itu menghangatkan hati Violet juga. Mengingatkan dirinya bahwa kekasihnya selalu menarik perhatian kaum hawa. Namun hal itu tak mengesankan lagi karena “kegenitan” Jeffry.

“Mau makan apa, Vi? Ada yang kamu pengin?” Jeffry bersuara.

“Nggak ada,” balas Violet. “Kali ini, kamu yang pilih mau makan di mana. Aku nggak akan mengajukan protes,” selorohnya.

Jeffry mengajak Violet ke sebuah restoran yang masih satu lantai dengan bioskop. Restoran itu tidak memilik antrean pembeli seperti beberapa yang lain. Artinya, ada meja kosong untuk pasangan itu meski mungkin harus menunggu lebih lama karena kondisi restoran yang nyaris penuh.

Malam itu, Violet memilih stik ayam dan kentang goreng, sementara Jeffry lebih suka memesan menu bakmi goreng sapi. Ini bukan kali pertama keduanya menyantap makanan di restoran itu.

“Jeff, aku kok tiba-tiba merindukan Mama,” desah Violet sambil bertopang dagu. Mereka duduk berhadapan di sebuah meja bundar dengan bangku dari kayu. Tadi, hanya ada dua meja yang tersisa. Jeffry dan Violet sepakat memilih meja ini.

“Apa kamu mau pulang ke Medan?” Jeffry balik bertanya.

Violet menggeleng tegas. Sejak kuliah dia sudah meninggalkan kampung halamannya dan pindah ke Bogor. Saat kuliah, keluarga menitipkan Violet pada adik sang ibu. Violet tidak diizinkan untuk indekos meski dia berkuliah di Jakarta. Baru setelah dia lulus dan bekerja, izin untuk tinggal sendiri pun keluar. Terlanjur betah dengan suasana kota Bogor yang dianggapnya lebih nyaman dibanding Jakarta, Violet lebih fokus mencari pekerjaan di Kota Hujan itu. Tuhan Yang Maha Baik memberinya pekerjaan tak lama setelah diwisuda. Sejak itu pula Violet indekos dan tinggal di tempatnya sekarang.

“Lho, katanya rindu sama Mama,” Jeffry tak mengerti. “Obatnya ya cuma satu, bertemu. Entah kamu yang pulang atau Mama diminta datang ke sini.”

“Pekerjaanku lagi padat. Tidak bisa ditinggal sama sekali. Aku baru bisa pulang sekitar dua bulanan lagi. Itu pun paling cepat,” aku Violet.

“Harusnya, kamu bisa menyempatkan pulang sebentar kalau memang rindu. Mumpung ada waktu. Berangkat hari Jumat, kembali ke sini Minggu malam. Kalau memang mau, aku bisa mengantarmu,” Jeffry menawarkan bantuan.

Violet tiba-tiba merasa tercekat. Pulang bersama Jeffry? Mama dan papanya bisa mendadak terserang stroke jika dia nekat membawa pulang sang kekasih. Okelah, mungkin tak separah itu karena dia sudah dewasa dan keluarganya tahu tentang pacar Violet. Namun membayangkan pulang ke Medan dan menggandeng Jeffry? Entahlah, Violet merasa kalau itu merupakan gagasan yang sangat janggal. Terkecuali jika dia dan Jeffry sudah berniat menikah.

Akan tetapi, membangun keluarga masih jauh dari bayangan Violet. Usianya sudah lebih dari cukup untuk menikah. Namun dia sama sekali belum tertarik untuk melangkah ke arah sana. Membayangkan Jeffry kelak menjadi suaminya pun belum pernah terjadi. Entah kenapa.

“Terlalu melelahkan kalau aku memaksa pulang di akhir pekan,” Violet beralasan. Mendadak ada selarik rasa bersalah yang membungkus dadanya. Karena dia tak sepenuhnya jujur. Bibir Violet terbuka, hendak mengucapkan sesuatu saat matanya menangkap pemandangan yang selalu membuatnya merasa tak nyaman.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status