POV Indra Laksmana."Apa-apaan? Kamu yang apa-apaan? Memangnya kamu itu siapa disini? Tuan putri? Harusnya kamu itu sadar diri, kamu itu disini menumpang. Bantuin ibu, kek, ini malah enak-enakan rebahan, main hape, tertawa cekikikan."Segala kekesalan ku luapkan semuanya pada Mona. Dia hanya menunduk dan mulai mengeluarkan jurus air matanya. "Maafin, Mona… tadi Mona kelelahan, jadi rebahan sebentar.""Lelah ngapain, Kamu? Lelah mainan hape?" Ku lontarkan sindiran tajam. Menurut pengakuan ibu, Mona tidak pernah menyentuh pekerjaan rumah sama sekali. Jadi lelah apanya? Mona sedikit gelagapan. Ia langsung menyembunyikan hp nya ke bawah bantal dan mulai mengalihkan perhatianku."Hm, Mas Indra jangan marah-marah lagi, ya! Ngomong-ngomong tumben Mas Indra masuk ke kamar Mona, apa Mas Indra sudah gak marah dan menginginkan Mona?" rayu Mona.Kalau dipikir-pikir, iya juga sih… semenjak kita menikah, kita langsung pisah kamar karena aku merasa jijik dengan Mona yang hanya memanfaatkanku saja.
"May… kenapa sarapannya cuma ada nasi, kecap manis, kerupuk, sama sambel terasi? Mana yang lainnya?!" Cicit Mas Indra saat membuka tudung saji yang ada di meja makan. Raut mukanya tampak bingung celingukan mencari menu makanan yang dulu biasanya tersaji lengkap dan memenuhi standar empat sehat lima sempurna. Bodo amat! Aku pura-pura tak mendengar keluhannya dan malah asik melanjutkan aktivitas mencuci piring bekas sarapan anak-anak tadi. Kesal karena ku abaikan, nada suara Mas Indra mulai meninggi, "Maya Rosita! Ditanya suami kok malah diam!!" tegurnya dengan suara nyalang. Hello, Pak Suami… apa dia lupa kalau sudah tiga bulan ini uang belanja bulananku sudah dia pangkas habis-habisan? Dari yang tadinya enam juta sebulan menjadi dua setengah juta sebulan. Lebih dari separuhnya malah, dan itu terasa banget buatku yang hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Apa dia tidak tahu kalau harga sembako dan kebutuhan pokok lainnya melonjak tajam seperti grafik pertumbuhan populasi dun
"Tunggu dulu!!" Aku tiba-tiba teringat dengan sesuatu dan segera beranjak menuju lemari rak piring.Aku berjongkok untuk mengambil dua wadah bekal makan yang kusimpan rapi di bagian paling bawah lemari rak piring.Kenapa aku harus menyembunyikan bekal kedua anakku? Karena aku sengaja menyembunyikan lauk ayam goreng yang ku masak pagi ini agar Mas Indra tidak ikut menyentuhnya.Suamiku itu sudah dewasa dan bisa mencari nafkah sendiri dan aku yakin tabungannya sekarang sudah menggembung. Jadi tak apalah kalau aku membuat dia mengeluarkan sedikit uangnya untuk biaya makannya sendiri.Sedangkan anak-anakku, mereka masih kecil-kecil, baru kelas 1 SD. Mereka masih membutuhkan banyak asupan gizi dan protein untuk tumbuh besar. Tak mungkin aku memberi mereka makan hanya nasi, kecap, dan kerupuk, atau ikan asin setiap hari.Tak masalah jika ukuran potongan ayamnya kecil-kecil, yang penting mereka mendapatkan asupan gizi yang cukup dan memadai. Itupun aku mengalah tak ikut mengambil lauk ayam a
"May…" Desaknya lagi sambil meremas jemariku yang masih bertaut dengan jemarinya. Aku dibuatnya gelagapan setelah kesadaranku kembali.Ia tak memberikan aku waktu untuk berpikir dengan jernih."Gimana? Hhmm? Kita coba ya?!" Mas Indra memiringkan wajahnya dan menatap lekat manik mataku untuk meminta persetujuan. Genggaman tangannya semakin mengakar di telapak tanganku.Dipenuhi oleh kabut hawa n4fsu ingin merasakan hidup kaya dan mapan, tanpa sadar aku menganggukan kepala secara samar dan menyetujui ide Mas Indra untuk menerapkan tren hidup ala frugal living yang sedang marak terjadi di ibu kota besar."Nah gitu dong." ucap Mas Indra sambil mengelus lembut pucuk kepalaku. Ia lalu mengeluarkan amplop coklat dari balik saku bajunya dan mulai menghitung dua puluh lima lembar uang pecahan seratus ribuan dan menyerahkannya padaku.Mataku mendelik tak percaya saat melihat ia menyimpan kembali sisa uang ke dalam kantong bajunya setelah memberikan jatah bulanan padaku."Yang bener saja, Mas?!
Hari Minggu telah tiba.Seperti yang Mas Indra beritahukan sebelumnya, Irfan, adik kesayangannya itu benar-benar datang ke rumah. Tanpa salam tanpa mengetuk pintu ia main menyerobot masuk ke dalam rumah."Pinjam duit seratus ribu dong!!" Ucapan Irfan sukses membuatku terkejut sampai-sampai aku menjatuhkan wajan penggorengan bekas aku menumis capcay tadi.Klonthang!"Astaghfirullah!! Ngangetin aja sih! Orang itu kalau masuk rumah pakai permisi kek, salam kek, ini main selonongan aja!!" Aku menegur manusia yang entah berasal dari planet mana ia dilahirkan, sopan santunnya sangat minim sekali."Sini!! Ada gak uangnya?" Sepertinya teguranku tak digubrisnya sama sekali. Ia malah menengadahkan tangannya untuk meminta uang dariku. Udah macam preman pasar lagi memalak tukang sayur yang mangkal di lapak umum tanpa persetujuannya.Hei manusia planet, enak kali hidupmu itu tinggal main tadah duit orang saja. Lagipula kamu itu sedang bicara sama kakak iparmu, bukan kepada temanmu. Pakailah itu se
"Astaghfirullah, Irfan!! Kenapa kamu makan duluan?! Kamu kan bisa nungguin Mas Indra sama si kembar, kita bisa makan sama-sama!" Aku menegurnya saat melihat sayur dan lauk pauk yang ada di meja makan sudah hampir tandas setengah piring. Irfan sudah memporak-porandakan isi piring saji hingga terlihat seperti makanan sisa di piring bekas di orang hajatan.Berkali-kali aku menelan ludah kecewa. Ia bahkan tak peduli apakah yang lain sudah makan atau belum, masih cukup atau tidak. Yang ia pedulikan hanyalah perutnya sendiri. Benar-benar egois!!Untung aku sudah menyisihkan sedikit dari beberapa menu yang ku masak tadi dan menyembunyikannya di lemari rak piring tempat persembunyianku. Aku memang sudah mengantisipasi akan hal ini dari awal. Dan dugaanku kejadian bener kan? Kalau saja aku belum sempat menyisihkannya, sudah pasti aku akan mengamuk dan memaki-makinya. Apa dia tidak tahu aku capek sekali membuat berbagai menu makanan dari subuh hingga siang. Seenaknya saja dia habiskan sendiria
Pov IrfanKesel deh... minggu besok, bapak dan ibu ada acara keluarga besar di luar kota. Kata mereka aku gak boleh ikut, takut mereka malu kalau banyak yang tanya pekerjaanku sekarang apa."Kamu gak usah ikut! Jagain rumah aja." Saran Bapak saat mereka sedang membahas rencana pernikahan si Salsa, saudara sepupuku yang tinggal di luar kota. Ibu yang sedang mengemas pakaian dan memasukkannya ke dalam koper langsung mengiyakan saran bapak. "Iya, kamu di rumah saja gak usah ikut!"Aku pun sedih mendengarnya. "Nanti siapa yang mengurusi Irfan kalau bapak sama ibu pergi?" protes ku karena tak diperbolehkan ikut. Lagian kenapa harus merasa malu sama anaknya sendiri? Namanya juga aku belum ketemu pekerjaan yang cocok, jadi wajarlah jika masih menganggur.Bapak mencebik kesal. "Heh, kamu itu udah besar, bukan anak TK atau anak SD lagi. Masak iya mau ngetek melulu sama orang tua. Belajarlah mandiri di rumah sendiri! Sukur-sukur mau pergi cari kerja." Ujar Bapak sedikit sewot. Mungkin dia sudah
Pov Irfan "Mmm... naik taksi online ajalah." Gumamku dalam hati saat melihat teriknya cuaca pagi ini. Masih juga pagi tapi matahari sudah bersinar begitu terang seperti di siang hari. Aku langsung mengurungkan niatku untuk naik angkutan umum dan mengutak-atik gawai guna memesan moda transportasi roda empat dari aplikasi yang didominasi oleh warna biru. Buat apa panas-panasan dan berdesak-desakan di angkutan umum kalau bisa duduk santai ditemani semilir angin dari AC mobil taksi online. Masalah ongkos itu gampang, tinggal minta sama Bang Indra atau istrinya, beres!! "Bang, tunggu sebentar ya! Saya gak bawa ongkos." pamit ku pada sang sopir saat mobil sudah sampai di rumah Bang Indra. Entah kenapa rumah abangku terasa sepi, biasanya dua keponakan kembarku bermain di halaman rumah dengan sangat berisik. Aku langsung masuk saja ke dalam rumah untuk meminta ongkos pada abangku. Tapi si4l, yang kutemui malah si Maya, istrinya Bang Indra yang cerewet dan sok ngatur. Kakak iparku itu be