Share

7 - Laki-laki Yang Kehilangan

"Terima kasih sudah mengijinkan kami bergabung di meja." Zana berucap sopan selagi Abang warung mengantar minuman kami. 

Angela tertawa kecil. "It's okay, Sweetheart. Jadi kalian sedang berlibur di Bandung?" 

"Bukan." Maxi yang menjawab. "Zana berencana kuliah di Bandung, lalu si tukang makan di sebelahku ini memohon-mohon agar bisa ikut ke Bandung juga dengan dalih membantu beres-beres. Kak Saverio, Lyra tidak mungkin sebaik itu kan?" tanya Maxi pada laki-laki yang sudah mengenalku sejak kecil itu. 

Tapi Maxi tidak bertanya. Dia hanya sedang bergurau sembari meledekku. 

Dan lagi-lagi, membuat Saverio menatapku. 

Aku menunduk, pura-pura sibuk melipat tisu. 

Lalu dengan senang hati, Angela melanjutkan, "Kami ke Bandung untuk berlibur, sekaligus untuk bulan madu yang tertunda. Lagipula, Saverio terlalu sibuk kerja sampai tidak mau kuajak pergi jauh." 

Satu-satunya wanita dewasa disana menjelaskan dengan wajah berbinar, melirik Saverio yang sedang makan kerupuk dalam diam. Meski nampak tak mendengarkan, istrinya masih tetap tersenyum dan kembali menatap kami dengan ceria. 

"Tapi tiba-tiba saja Saverio mengajakku ke Bandung." Angela melanjutkan. "Amat sangat tiba-tiba, membuatku berpikir itu seperti kejutan." 

Maxi bersiul. "Sepertinya memang kejutan." 

Zana mengangguk setuju, langka sekali melihat dua sahabatku itu sependapat. "Mungkin sebagai ganti bulan madu yang tertunda." 

Aku tersenyum sekenanya, sempat berpikir bahwa Zana dan Maxi sok tau sekali. Tapi kemudian kusadari bahwa Saverio sempat melirik dua sahabatku itu dengan tidak suka. 

Uh-oh. Sepertinya memang benar kalau mereka berdua sok tau. 

Lalu apa yang membuat Saverio tiba-tiba mengajak Angela ke Bandung--

Uh-oh. Sial. Tidak mungkin Saverio betulan mencari tau pada orang tuaku kan? 

"Senang sekali bertemu kalian disini." Hanya itu yang kemudian dilanjutkan Angela karena makanan kami mulai berdatangan. 

"Kami juga," sahut Zana. "Terutama di bagian bangku ini."

Angela tertawa, Maxi menggelengkan kepala, dan aku tersenyum simpul sambil melipat-lipat tisu tanpa minat.

Saverio menyodorkan plastik kerupuk yang sedang ditekuninya padaku, namun aku menggeleng. 

Makanan kami akhirnya datang semua, dan tidak ada lagi yang berbicara. Tanpa kata, Saverio menahan tanganku yang hendak menuang sendok ketiga sambal, dan aku menurut, lebih karena aku ingin meminimalisir interaksi di antara kami.

"Ayah mertuaku sering bercerita soal kamu, Lyra." Angela lantas menatapku sesudah menelan suapan pertamanya. 

Tangannya terulur menuang beberapa sendok sambal yang cukup banyak, namun seperti tidak ada yang menyadarinya. Saverio bahkan terlihat tidak peduli sama sekali. 

"Kamu sudah seperti adiknya. Kata Ayah, Saverio yang dulu mengajarimu naik sepeda waktu kecil." 

Aku mengangguk menanggapi. "Kak Saverio juga yang mengajariku berenang."

Saverio sontak tersenyum lembut ke arahku, membuatku mengutuk lisanku yang sudah asal menyahut. 

Tanpa kuduga, Saverio yang sejak tadi diam kini melanjutkan, "Dulu Lyra rewel sekali kalau harus berenang, dia paling tidak suka air. Kalau airnya sedang dingin, Lyra akan pura-pura kram dan pelajaran berenang terpaksa ditunda." 

"Oh. Makanya malas mandi," celetuk Maxi yang langsung mendapat remahan kerupuk dariku.

Zana dan Angela tertawa, aku merengut. 

"Berenang di rumah Saverio?" tanya Angela tertarik. 

Aku mengiyakan. "Di rumahku tidak ada kolam renang." 

"Ah, pantas saja ada banyak fotomu di rumah Saverio," gumam Angela. 

"Kalau sudah begitu, Lyra akan bergegas ke dapur dan melahap makanan apapun yang disodorkan Mama," tambah Saverio, seolah lupa bahwa tadi dia sibuk dengan pikirannya sendiri. 

"Tukang makan sejati." Maxi berceletuk lagi, padahal aku tidak separah itu kok.

"Tapi kamu tetap langsing," puji wanita itu, membuatku tetsenyum.

"Karena sebenarnya Lyra cacingan." Maxi betulan minta kuhajar rupanya. Kalau bukan karena Zana duduk di tengah kami, aku pasti sudah mencubitnya sampai puas. 

Entah kenapa malam itu aku jadi satu-satunya korban ejekan disana. Sementara mereka semua tertawa, Saverio hanya tersenyum. Dan lagi-lagi, dia kembali memandangiku tanpa kata. 

Sejak menikah, Saverio jadi pendiam, tidak banyak bicara, lebih memilih tersenyum untuk menanggapi situasi seolah dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Mungkin itu sebabnya Ayahku mengatakan Saverio jadi semakin dewasa setelah menikah. 

Tapi alih-alih dewasa, menurutku perubahan itu membuatnya tampak jauh, membuatnya terlihat menyimpan semua pikiran sendiri. 

Kasarnya, perubahan itu membuat Saverio terlihat tertekan. Itu hanya pendapatku, tapi aku melihat itu dengan jelas di netra cokelat mudanya yang sendu setiap aku mendapati laki-laki itu menatapku di tengah suasana yang bising. 

Ketika kami semua selesai makan, yang bertugas membayar tentu saja Saverio dan dengan baik hati malah mentraktir kami semua. Usai membayar, kami beriringan keluar dari warung yang kecil itu, sementara Saverio ada di belakangku, meraih tanganku sampai aku berbalik. 

"Jadi ini alasan kamu pergi? Untuk menghindar dari Kakak dan malah pergi dengan Maxi?" Tanya Saverio dengan wajah menuntut.

Aku mengangguk, berusaha tidak terpengaruh tatapannya yang masih menguarkan sikap posesif yang sama. Aku tidak pernah mengerti kenapa dari dulu Saverio selalu merasa cemburu kalau aku akrab dengan laki-laki lain yang merupakan temanku. "Kan sudah jelas. Lagipula, perasaan Kakak salah."

Rahang Saverio mengatup rapat. "Apanya yang salah?!" 

Aku menelan ludah, situasi benar-benar tidak kondusif kalau harus membicarakan hal semacam itu sekarang. Warung ini sedang ramai-ramainya, dan yang lain sedang menunggu di luar.

Aku mendongak saat tangan Saverio justru sedang menyelipkan helai rambutku ke belakang telinga, mendapati tatapan itu tampak... terluka. 

"Tidak ada yang salah dalam mencintai seseorang, Lyra. Dari dulu, perasaan Kakak ke kamu begini adanya. Tidak ada yang berubah," bisiknya lirih. 

Aku menunduk. 

Lalu kenapa Kakak mengingkari janji Kakak sendiri?

***

Gara-gara Saverio ada di Bandung juga, bahkan gilanya, mereka menginap di hotel yang sama denganku, aku jadi malas mau kemana-mana. 

Tapi Maxi dan Zana bahagia sekali kalau kita semua jalan bersama, sebab Saverio begitu loyal membayar semua belanjaan kami saking banyaknya uang yang ia punya dan tidak tau harus bagaimana menghabiskannya. 

Di mall, saat Angela dan Zana memutuskan pergi ke salon untuk melakukan perawatan rambut, aku dan Maxi memutuskan untuk ke CGV sembari menunggu.

Bisa dipastikan, Saverio memutuskan ikut denganku dan membelikan tiket untuk kami bertiga. 

Dari tiga tiket yang ada, dua di antaranya terpisah. Dan Maxi dengan senang hati menjadikanku tumbal untuk duduk dengan Saverio. 

Sial! 

"Aku tidak masalah sendiri, biar Lyra dengan Kak Saverio. Karena kalau duduk denganku, aku bakalan digebuknya setiap ada setan muncul." Maxi berkilah dengan wajah tengil mengesalkan, sembari menjulurkan lidah karena ia tidak terancam kena gebuk.

Aku hendak meraih tiket Maxi, tapi cowok tengil itu sudah berlalu dan membiarkanku berdiri kikuk di samping Saverio. 

Lelaki tinggi yang untuk sesaat menatapku lembut. 

"Ayo." Saverio hendak meraih tanganku, namun aku mundur. 

"Aku mau ke toilet." Aku hendak meraih tiketku, tapi Saverio memundurkan tangannya yang memegang tiket itu.

"Kakak tunggu di depan toilet, siapa tau kamu kabur," balasnya. 

Aku terdiam, dikiranya aku tahanan. Tapi memang aku sempat berpikir begitu, untuk kabur dan menyusul dua cewek lainnya ke salon saja. Tapi nasibku di Bandung ini sial sekali. 

Takdir seperti mempermainkanku, sebab beberapa saat kemudian, aku duduk bersebelahan dengan Saverio di deret bangku belakang. Sisi kananku dan sisi kirinya masih kosong, sehingga tempat ini seperti milik kami berdua. Mengurung kami dalam gelap. 

Aku menoleh ke kiri, mendapati Saverio menatap lurus ke depan dengan pandangan hampa. 

Dan pikiranku mengembara ke masa yang telah lalu. 

Saat aku dan Saverio masih baik-baik saja. Saat aku berpikir bahwa kami akan selalu ada untuk satu sama lain sampai kapanpun. Saat banyak hal masih terasa begitu menyenangkan. 

Masa-masa itu...

***

"Mam, aku pergi dulu!"

"Main terus!"

"Biar." Aku terkekeh, berlari keluar untuk menghampiri Saverio yang sedang memanaskan mesin mobilnya. 

Sore itu, kami berencana menonton bersama di salah satu mall. Saverio mengenakan celana jeans dan kaus hitam polos, lengkap dengan sepatu kets dan topi. Dengan kostum seperti itu, ia terlihat seperti sebaya denganku dibanding orang yang usianya 12 tahun di atasku.

Melihatku datang, Saverio tersenyum cerah, terutama karena celana jeans dan kaus hitam juga yang membuat kami terlihat kompak padahal tidak janjian, lantas membukakan pintu untukku. 

"Aku cantik tidak?" tanyaku usil. 

Saverio menoleh lagi, menatapku dari atas ke bawah dengan tangan di dagu seolah sedang berpikir keras. Kemudian menjawab, "You are more than beautiful, kakak bahkan tidak yakin bisa bosan hanya dengan melihat kamu," sahutnya serius. 

"Sekalipun aku punya jerawat besar di hidung?" 

Tanpa ragu, dia mengangguk. "Sekalipun kamu punya jerawat besar di hidung." 

Aku langsung tersenyum lebar, dengan gemas memainkan tangan kirinya yang bebas di atas persneling mobil. 

Sampai dia menangkap tangan kananku kemudian menggenggamnya hangat. 

Hangat sekali sampai aku berpikir bahwa dia-lah tempat amanku. Tidak masalah kalau aku tidak terlalu dekat dengan orang tuaku. Yang penting aku punya Saverio. 

Di sepanjang jalan menuju mall, tangan kami saling menggenggam, hangat dan tanpa kata. Rasanya seperti aku bisa mempercayakan banyak hal dalam hidupku untuk bersamanya. Salah satunya, tentang masa depan yang ingin aku habiskan bersama. 

Melihatnya menua dengan rambut beruban dan wajah berkeriput pasti lucu kan? 

Saverio lantas mengecup punggung tanganku sekali lagi dan berkata, "Terima kasih sudah menerima Kakak."

Aku mengangguk, menatapnya yang tengah menyetir dengan satu tangan. 

Saverio tampan sekali, orang paling tampan yang pernah kulihat. Mata kecilnya terlihat tajam dan fokus. Hidungnya mancung tegas dan alisnya lurus. Bibirnya kecil dan bersih, menandakan bahwa dia tidak mengonsumsi zat nikotin. Rahangnya kokoh dan mengecil di bagian dagu. 

Itu hari jadi kami yang baru seminggu, aku sudah menyesuaikan diri dengan status baru kami, meski masih backstreet. 

Rasanya nyaman sekali ketika ia menggenggam tanganku, lembut namun erat, seolah tak pernah melepasnya. Waktu itu, aku hanya berpikir bahwa permintaan terima kasihnya terlalu awal bagi hubungan kami. Masih ada jalan panjang yang harus kami lalui, namun rupanya masa itu tak pernah tercapai.

Tidak pula berlaku ketika waktu itu Saverio menatapku lurus dan tampak sungguh-sungguh saat berkata, "Kita akan membangun masa depan bersama, kamu dan kakak." 

Sebab sekarang, ia meninggalkanku di tikungan jalan, sendirian.

Sedang aku lupa jalan kembali.

***

Di studio sinema yang gelap, kesadaran juga kembali saat tanganku digenggam dengan lembut. 

Saverio mengusap punggung tanganku dengan ibu jarinya. 

"Kakak merindukan ini," bisiknya lirih. "Kakak merindukan kamu." 

Dan aku... benci ini. 

Ketika Saverio meraih tanganku untuk mengecupnya, seharusnya aku melepaskan tanganku. Tapi pikiranku terpecah pada masa lalu dan masa kini. Pada deru napas Saverio yang terasa hangat di punggung tanganku, pada helai rambutnya yang tampak halus dan lebat. 

Dan ketika aku sadar, sebuah cincin telah melingkar di jari manisku. Cincin putih berhiaskan batu permata kecil kesukaanku, cincin yang aku tidak tau apa artinya.

Karena... buat apa lagi? 

Semua ini terlalu cepat untukku. Aku tidak siap dengan situasi ini. Tidak dengan perasaanku yang kacau balau. Tidak dengan aku yang masih belum bisa menerima semuanya. Tidak dengan aku yang masih bersusah payah menyembuhkan lukaku sendiri, tanpa seorang pun yang tau. 

Bahkan ketika film tengah berlangsung di depan sana, aku tidak sepenuhnya menyadari bahwa kami berpagutan lembut. 

Tangan Saverio menangkup sisi wajahku dengan lembut dan hati-hati, seperti takut aku akan pecah kalau ia menangkup lebih. 

Seperti tahun lalu, ciuman pertama kami di bioskop. Ah itu... kenangan yang indah. 

Bedanya dengan tahun ini, kami menangis dalam diam. 

Aku merindukan banyak hal, sangat. 

Dan ketika pagutan kami terlepas, dengan tangannya yang masih menangkup wajahku dengan hati-hati, menyisakan kening kami yang bersentuhan lembut, Saverio berbisik, "Jangan menangis, Scahtz." 

Awalnya aku yakin aku tidak menangis, aku baik-baik saja, tegar-tegar saja. Tapi saat Saverio menggesekkan hidung kami dengan lembut, air mataku berderai seketika. 

***

[]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status