Meski baru kenal, Ibu benar soal satu hal.
Bahwa aku berbagi kebahagiaan lewat masakan. Itu salah satu filosofi memasak yang kupelajari di kampus, yang membuatku memiliki motivasi dan memasak dengan bahagia untuk Saverio.Melalui filosofi, kita memang jadi lebih memaknai sesuatu yang ada di hadapan dibanding tidak mengetahui maknanya sama sekali.Sekarang, aku bahkan berbagi kebahagiaan yang lebih luas dengan anak-anak panti.Dan melihat mereka makan dengan lahap, sembari tertawa bahagia melihat potongan buah yang dibalut cokelat, aku juga bahagia.Dan Saverio benar.Berbagi seperti ini, membuatku merasa lebih baik."Vivi, udangnya tambah lagi ya," ujarku pada seorang anak perempuan pemalu yang duduk di sebelah kananku di kursi makan.Vivi mengangguk malu-malu.Aku mengambilkan sepotong besar udang goreng rambutan untuk menemani nasinya yang belum habis. "Sama supnya juga ya."Lagi-lagi ViWarning! Cerita mengandung explicit content! -- Aku Lyra. Dan malam ini adalah malam pernikahannya. -- Aku tiba 5 menit lalu bersama orang tuaku, mereka sudah menghambur menyalami pengantin bahagia itu. Sementara aku, memutuskan sedikit berdusta dengan mengatakan bahwa aku ingin ke toilet. Nyatanya, sekarang aku berdiri disini, di sudut ruangan yang tidak terlalu remang di dekat gantungan coat, posisinya jelas tidak terlihat dari arah panggung pelaminan yang terlihat seperti pernikahan kerajaan. Dengan hiasan lampu gantung kristal yang berkilauan. Mewah dan elegan. Dan aku melihat mereka dengan jelas dari sini, berusaha menahan air mataku untuk tidak keluar. Sial sekali kalau aku malah menangis di hari bahagia mereka. Itu akan sangat memalukan dan menimbulkan pertanyaan. Di depan sana, mereka tersenyum bahagia saat melihat orang tuaku menyalami keduanya. Si mempelai lelaki sedikit kebingungan, tatapannya mencari ke sekitar namun Mama mengataka
Ini seperti buah simalakama. Maju kena, mundur kena. Kalau aku kembali ke aula, aku akan mendapati pengantin bahagia itu di depan sana. Kalau aku ke taman, lelaki aneh itu mungkin masih disana. Paling tidak berpapasan dengannya. Aku saja menghindari menghirup udara yang sama dengannya. Bisa-bisa aku keracunan. Jadi langkahku berhenti di lobi utama yang lengang, duduk di salah satu sofa tunggalnya yang nyaman dan empuk, lantas pura-pura sibuk membaca majalah. Itu majalah fashion terbaru, lumayan juga isinya, tidak buruk. Bisa menjadi inspirasiku besok kalau sedang keluar dengan teman. Baru-baru ini aku menyukai gaya ala gadis Korea yang lucu dan imut-imut, padahal sebelumnya aku menyukai gaya yang riasannya agak berat karena gandrung sekali dengan Tasya Farasya. Entahlah, seleraku berubah-ubah begitu. Sekian lama memandangi majalah itu, akhirnya aku merasa bosan. Aku ben
Aku sampai rumah ketika malam sudah larut. Kami berenam sedang puas-puasnya menghabiskan waktu bersama karena Vernon dan Eric akan lanjut kuliah di Singapura. Sementara Viona di Jepang karena orang tuanya yang Kedubes bekerja disana. Zana akan ke Bandung. Lalu di Jakarta, tinggal aku dan Maxi.Yeah, kami lagi-kami lagi. Aku dan Maxi memang duo yang tidak terpisahkan.Buktinya meski kami sering baku hantam, Maxi selalu rela mengantar-jemputku."Besok tidak usah menjemput. Aku mau tidur sampai siang," kataku seraya melepas helmet dan menyerahkannya pada Maxi.Cowok itu mendengus. "Siapa juga yang mau menjemput."Aku berusaha tabah karena hari ini Maxi bersedia menjadi supirku seharian. "Ya sudah sana pulang," usirku sehalus mungkin yang membuatnya mengetuk kepalaku kesal. Sekejap kemudian, motor matic putihnya sudah melesat pergi.Aku be
"Dramanya sad ending ya?" Aku mengerjap ke arah Maxi. Tangan kiriku menopang dagu dan tangan kanan mengaduk milkshake. Akhirnya aku mengangguki Maxi dengan wajah drama ala bucin oppa. "Sedih sekali, ya ampun." Mungkin ia mengingat kalau tadi pagi aku menonton drama. Kisahnya tidak sesedih itu, tapi aku tidak seharusnya menampakkan kegalauanku gara-gara percakapan di teras tadi. "Kita tidak selesai, tidak akan pernah." Tanganku digenggam hangat olehnya saat hendak berlalu, membuat langkahku tertunda. Ia menyelusupkan jari telunjuknya ke jemariku yang mengepal lemah. Tangannya hangat dan nyaman, selalu seperti itu. "Kakak ingin kamu menunggu." Apa? Apa yang harus kutunggu?! "Makanan saja bisa kadaluwarsa, apalagi perasaanku." Untuk sesaat aku merasa lebay, tapi aku tidak tau harus berkata apa. Situasi ini terlalu sulit kalau harus kuhadapi sekarang. Aku hanya,
"Keluar terus," sindir Mama saat aku turun dari tangga dengan pakaian rapi.Aku berdecak, maklum saja, pengangguran banyak acara memang begini. Baik ada kegiatan formal atau tidak, pokoknya jalan terus. Lagipula, aku ini seperti remaja pada umumnya, yang rapi jali kalau mau keluar, tapi kalau di rumah hanya mengenakan celana dan kaus belel yang nyaman."Ada sesuatu yang mau kulakukan," ujarku dengan tangan terkepal dan terangkat layaknya orator dalam demonstrasi mahasiswa. Toh aku juga calon mahasiswa. "Demi masa depan yang lebih baik!"Ayah yang baru muncul untuk sarapan menatapku dengan kening berkerut, namun tak ambil pusing. Katanya, tingkah absurdku menurun dari Ayah dan Mama sekaligus, jadi absurdnya double-double. "Mau kemana?""Mau jalan, dengan Maxi." Aku meneguk susu UHT favoritku dan melahap sarapan dengan tenang. Untuk saat ini, orang tuaku tidak perlu tau rencanaku yang akan
Kakak masih mencintai kamu. Kata-kata itu berdengung bak nyamuk berisik di telingaku, sudah dihalau, tapi tidak juga hilang suaranya, bahkan meski sudah satu jam berlalu. Rasanya gamang ketika netra cokelat muda Saverio menatapku dengan sungguh-sungguh, binarnya sendu sekali. Dia selayaknya anak kecil yang penuh luka. Kalau bukan karena aku mendorong Saverio agar menjauh dan meninggalkannya disana, aku pasti sudah menangis di hadapan Saverio. Tega sekali dia mengkhianati istrinya seperti itu. Dan aku, aku juga akan merasa jahat sekali kalau terus disini, di rumah ini, memberi Saverio kesempatan untuk terus bertemu yang tidak seharusnya dia terima. Jelas, aku harus pergi. Lebih cepat lebih baik. Benar, aku tidak bisa terus disini. Setidaknya, salah satu dari kami harus pergi. Aku mengusap mataku yang rupanya sudah berlinang air mata dan menatap kalender
"Terima kasih sudah mengijinkan kami bergabung di meja." Zana berucap sopan selagi Abang warung mengantar minuman kami.Angela tertawa kecil. "It's okay, Sweetheart. Jadi kalian sedang berlibur di Bandung?""Bukan." Maxi yang menjawab. "Zana berencana kuliah di Bandung, lalu si tukang makan di sebelahku ini memohon-mohon agar bisa ikut ke Bandung juga dengan dalih membantu beres-beres. Kak Saverio, Lyra tidak mungkin sebaik itu kan?" tanya Maxi pada laki-laki yang sudah mengenalku sejak kecil itu.Tapi Maxi tidak bertanya. Dia hanya sedang bergurau sembari meledekku.Dan lagi-lagi, membuat Saverio menatapku.Aku menunduk, pura-pura sibuk melipat tisu.Lalu dengan senang hati, Angela melanjutkan, "Kami ke Bandung untuk berlibur, sekaligus untuk bulan madu yang tertunda. Lagipula, Saverio terlalu sibuk kerja sampai tidak mau
Yang kami lakukan di dalam studio itu salah.Memori baru yang dibuat demi mengenang memori lama itu adalah salah.Ketika film selesai, aku merasa sangat jahat. Melihat Maxi yang keluar studio sambil merenggangkan punggung tanpa menyadari apa yg terjadi di bangku belakang, aku menunduk menatap cincin yang Saverio pasangkan di jari manisku dan melepasnya diam-diam.Lebih baik menyimpannya dan tidak seorang pun tau tentang cincin itu.Ketika aku melihat wajah istrinya, aku merasa sangat berdosa. Yang kulakukan dengan Saverio tadi tidak seharusnya terjadi. Harusnya tadi aku mendorongnya menjauh. Harusnya tadi aku tidak membiarkan dia menggenggam tanganku.Harusnya... kami tidak duduk bersebelahan.Dan ketika aku menatap Saverio, dia akan membalas tatapanku dengan intens. Seolah ada rona baru di wajahnya yang membuat laki-laki itu ter