Kakak masih mencintai kamu.
Kata-kata itu berdengung bak nyamuk berisik di telingaku, sudah dihalau, tapi tidak juga hilang suaranya, bahkan meski sudah satu jam berlalu.
Rasanya gamang ketika netra cokelat muda Saverio menatapku dengan sungguh-sungguh, binarnya sendu sekali. Dia selayaknya anak kecil yang penuh luka.
Kalau bukan karena aku mendorong Saverio agar menjauh dan meninggalkannya disana, aku pasti sudah menangis di hadapan Saverio. Tega sekali dia mengkhianati istrinya seperti itu.
Dan aku, aku juga akan merasa jahat sekali kalau terus disini, di rumah ini, memberi Saverio kesempatan untuk terus bertemu yang tidak seharusnya dia terima. Jelas, aku harus pergi. Lebih cepat lebih baik. Benar, aku tidak bisa terus disini. Setidaknya, salah satu dari kami harus pergi.
Aku mengusap mataku yang rupanya sudah berlinang air mata dan menatap kalender di meja. Aku masih punya satu setengah bulan disini sebelum pindah ke kost. Tapi satu setengah bulan pun rasanya lama sekali. Aku harus menghitung hari demi hari berlalu. dari empat puluh lima hari yang ada.
Kalau aku masih disini, akan ada berapa banyak hal yang bisa terjadi di sisa hari yang banyak itu?
Padahal saat ini, baru berapa hari sejak hari pernikahan Saverio dan Angela?
Tapi Saverio... dia masih menemuiku disini dan mengatakan bahwa dia masih memiliki cinta yang sama untukku.
Apa yang harus kulakukan?
Mendadak aku teringat Zana yang akan lanjut kuliah ke Bandung. Aku buru-buru mengiriminya pesan, menanyakan kapan ia berangkat kesana untuk berbenah. Dan katanya, seminggu lagi.
Bagus.
Aku mengetikkan pesan. 'Sudah berbenah?'
'Belum', balasnya.
'Wah, aku mau menginap di rumahmu, sekalian membantu berbenah'
'Tumben, sedang kerasukan apa sahabat setia Maxi yang mirip Tuan Puteri ini?'
Bukannya tersinggung, aku malah berdecak sambil menahan senyum. Terserah ia mau mengataiku bagaimana, yang penting aku punya rencana menghabiskan satu setengah bulan ini sampai kamar kostku siap dihuni setelah penghuni lamanya hengkang.
'Gabut', balasku lagi.
'Dasar pengangguran!'
'Menyebalkan. Pokoknya besok aku kesana dengan Maxi'
'Dasar kembar siam!'
Ya ya ya, teruslah mengataiku sampai puas, mumpung aku sedang berlapang hati. Dan cukuplah sampai disini. Aku sudah punya rencana untuk seminggu ke depan. Nanti kalau waktu seminggu itu sudah habis, aku akan berdalih ikut mengantar Zana ke Bandung sekalian. Kalau perlu, Maxi ikut. Cowok tengil itu benar-benar pelengkap hidupku, sebagai supir pribadi -ups. Masalahnya, hidupku betulan bisa hampa kalau tidak ada Maxi.
Lalu nanti kalau aku sudah di Bandung, aku akan melunjak dan menginap disana, sekalian jalan-jalan sampai puas sebelum memasuki masa kuliah.
Dan untuk setelahnya, akan kupikirkan nanti-nanti.
***
Seminggu berlalu, dan rencanaku terbukti ampuh. Saverio tidak memiliki akses untuk menemuiku, dan hanya mampu mengirim pesan yang tidak kubalas. Lagipula aku sedang sibuk menyiapkan perjalananku ke Bandung, tentunya Saverio tidak tau soal ini.
Di tengah kegiatanku yang sedang membereskan beberapa barang untuk selama di Bandung, ponselku bergetar.
Pesan dari Saverio.
'Kamu dimana?'
'Lyra, jawab Kakak.'
Masih pesan yang sama. Yang kemudian kuabaikan lagi sembari berpikir apakah aku perlu memblokir nomornya atau tidak.
Aku kembali lanjut berbenah, mempersiapkan hari-hari indah di Bandung nanti. Terakhir, aku memasukkan sun block ke ransel sembari menghampiri ruang keluarga.
Aku dan Maxi bahkan sudah diberi ijin oleh orang tua Zana untuk ikut ke Bandung, untungnya Maxi sudah dapat SIM A juga, jadi kami akan leluasa untuk bawa mobil sendiri.
Namun karena Baleno hitam Bunda Maxi sering dipakai untuk menghadiri acara sosialnya, jadi aku meminjam Civic hitam Ayah yang biasa dipakai Mama.
"Kalian sewa mobil disana kan bisa," heran Mama sembari menatapku tanpa ekspresi berarti waktu aku menyuarakan permohonanku barusan.
"Tidak mau," tolakku seketika. "Sudah bensin mahal, masa harus bayar sewa mobil segala?"
"Makanya tidak usah macam-macam. Memang mau apa kalian di Bandung? Naik taksi juga bisa," balas Mama yang jelas tidak rela Honda Civic itu kubawa.
Sejujurnya aku agak heran. Entah kenapa Mama kalau bicara padaku banyak juteknya dibanding manisnya.
Coba lihat Mamanya Saverio yang lembut itu. Ah iya, tidak seharusnya aku memikirkan Saverio di saat hendak bersenang-senang begini.
Aku lantas menatap Ayah dengan pandangan memohon. "Ya, Ayah?"
"Iya, tapi harus Maxi yang bawa mobil, tidak boleh yang lain."
"Tapi aku harus menjemput Maxi di rumahnya."
Ayah menghela napas. "Ya sudah, tapi hanya itu."
"Laksanakan, Kapten."
"Jaga baik-baik mobilnya." Selepas Mama pergi, aku nyengir, tidak sabar untuk keseruan perjalanan kami ke Bandung. Tas besarku sudah dimasukkan ke bagasi, setelah ini aku akan menjemput Maxi di blok belakang.
Perlahan aku mengemudikan mobil Ayah keluar halaman, memutar kemudi ke kiri menuju jalan utama, dan berpapasan dengan Range Rover merah Saverio.
Laki-laki itu menurunkan jendela mobilnya dan menatapku dengan penuh tanya.
"Lyra, mau kemana?" tanyanya yang kuabaikan dalam diam. "Bahaya mengemudi sendiri. Biar Kakak antar."
Namun aku masih mengabaikannya bahkan sebelum Saverio sempat turun dari mobilnya sendiri, terus mengemudi dengan hati-hati. Takut menyenggol tong sampah atau tepian jalan meski jalanan disini sebenarnya sudah cukup lebar.
Inilah kenapa aku selalu nebeng dengan Maxi. Aku payah sekali mengemudi, sedangkan Maxi memang jagonya. Jadi tidak heran ketika baru lulus SMA, cowok itu sudah memiliki SIM A dan C, katanya malah ingin mendapat SIM B sekalian biar bisa membawa bus piknik.
Aku curiga sahabat tengilku itu punya cita-cita terpendam jadi supir. Supir bermartabat, tentu saja, yang bawaannya Maserati atau Bugati. Kemudian dia sendiri mengenakan seragam supir orang kaya yang tidak kalah keren dibanding supir pesawat alias pilot.
Biar seperti supirnya James Bond, kalau memang ada.
Aku akhirnya keluar dari jalanan rumahku menuju blok rumah Maxi.
Dan itu dia cowok itu, sudah menunggu di teras rumahnya sembari memainkan ponsel di tangan kiri sementara tangan kanannya menyuap roti. Mulutnya membuka lebar, lahap memakan sarapannya bak vacuum cleaner.
Tin!
Maxi mengadahkan pandangan, kemudian meraih ranselnya untuk disanggah di pundah kiri.
"Bunda, kami berangkat!" serunya, berteriak pamit pada Bundanya begitu aku tiba, aku lantas pindah duduk di bangku penumpang sebelah kemudi, dan Maxi duduk di bangku kemudi setelah menaruh ranselnya di bagasi.
***
'Lyra, mau kemana?'
'Kenapa pergi dengan mobil? Biasanya naik motor?'
'Pergi dengan siapa?'
'Kenapa tidak membalas pesan Kakak?'
'Kenapa belum pulang?'
'Lyra? Schatz?'
Di sepanjang perjalanan menuju Bandung, Saverio mengirimiku banyak pesan.
Aku menunduk menatap semua pesan itu, yang hanya berkali-kali kubaca, namun berkali-kali pula kuabaikan. Tapi semakin kuabaikan, benakku semakin penuh oleh suara itu, menggema dalam bentuk suara lirih Saverio.
Aku benar-benar kelimpungan karena Saverio.
Dari yang terakhir terjadi saat Saverio mengatakan dia masih memiliki rasa cinta itu, aku merasa seperti selingkuhan. Ini gila, dan tidak benar. Mungkin aku memang harus memblokirnya, sebab tidak ada lagi urusan di antara kami. Ya, harusnya begitu.
Namun ketika jariku hanya perlu menekan tombol konfirmasi untuk melakukan pemblokiran, aku membatalkannya, dan mematikan ponsel dengan gusar.
Membayangkan wajahnya yang selalu menatapku dengan binar redup membuatku menghela napas. Tidak bisakah ada binar kehidupan di mata itu?
Aku tidak tau apa yang harus kulakukan.
"Lyra, kamu oke?" tanya Maxi, sejenak membuat perhatianku teralihkan.
"Sure."
Maxi melirikku yang kubalas dengan menjulurkan lidah. Cowok itu balas menjulurkan lidah dengan keki dan menarik hidungku.
"Maxi! Sakit!"
Ia terkekeh setelah tangannya kucubit dan melepasnya dari hidungku. "Sebentar lagi tiba di Bandung, jadi jangan seperti orang berduka."
Oh. Omongannya tepat sasaran.
Aku menatap keluar jendela, lalu ke mobil Zana yang ada di depan. Ada plang di atas jalan raya yang menandakan kami akan segera memasuki Bandung, dan Maxi benar. Yang ia tau, kami ke Bandung untuk bersenang-senang, jalan-jalan, dan pesta kuliner.
Maxi tidak tau menahu bahwa rencanaku ke Bandung adalah untuk menghindar dari Saverio.
Aku tidak pernah bercerita apapun pada Maxi kisahku tentangnya, tentang tetangga seberang rumah yang tadinya kukira adalah Kakakku, namun ternyata kami berbagi perasaan yang lebih kepada satu sama lain.
Perasaan yang tadinya sangat indah.
Mulanya aku merasa aneh ketika harus berpacaran dengan Saverio, usia kami terpaut jauh, sekitar 12 tahun, dan status kami yang bak 'keluarga' membuat kami merahasiakan hubungan itu.
Namun aku hanya butuh waktu seminggu untuk membiasakan diri dengan hubungan kami yang baru, dan tanpa sadar kami menjalaninya selama 2 tahun. Lama sekali untuk kategori backstreet. Kami menjalani banyak hal menyenangkan selama 2 tahun itu, memiliki banyak mimpi untuk dibangun bersama, sebelum secara tiba-tiba undangan itu datang.
Undangan pernikahan Saverio dengan wanita lain.
Dan karena hubungan itu benar-benar tertutup, maka tidak ada satupun yang bisa menghiburku. Jadi aku harus berjuang sendiri menutupi lukaku, serta mengumpulkan sendiri kepercayaanku yang hancur berkeping-keping.
Kami lantas tiba di Bandung, Maxi mengemudikan mobil ke hotel dekat kost Zana dan kami check in untuk 2 kamar. Kamarku dan Maxi sebelahan, dan aku langsung merebahkan diri di kasurku.
Hari hampir sore saat kami tiba, kami sengaja melewatkan makan siang agar bisa puas untuk makan malam di salah satu warung incaranku di Bandung.
Malamnya, mengenakan blouse putih dengan sulaman bunga, celana jins putih, kardigan tebal warna toska, rambut digerai dengan jepit manis di sisi kepala, dan sandal, aku menemui Maxi yang tengah melihat ikan-ikan hilir mudik di akuarium lobi hotel.
Ketika ia menoleh ke arahku, pandangannya menelusuriku dari atas ke bawah, bergantian, sampai aku jengah dan memutar mata malas. "Ada apa sih?"
"Lagakmu betulan ingin seperti teteh-teteh Bandung ya." Maxi mengerutkan hidung, lalu menjepit hidungku. "Awas saja mengomel kalau bajumu kena tumpahan saus! Pergi ke warung memakai pakaian serba putih. Biar apa sih?!"
Aku nyengir saja, mengikutinya melangkah menuju parkiran. Zana sudah selesai membereskan sebagian barang-barangnya di kost, sedangkan orang tuanya sudah kembali lagi ke Jakarta beberapa saat lalu.
Di dalam mobil, kami akhirnya bercerita banyak hal selagi menuju tempat makan. Zana berbagi mimpinya menjadi seorang desainer yang akan mendapat cowok keren, dan langsung disanggah Maxi.
"Mimpi boleh, tapi tolong sadar diri," kata cowok itu dengan sadis.
"Maxi!" Zana memukulnya dengan bantal mobil dari bangku belakang, membuat cowok itu hampir oleng memegang kemudi.
Dan giliranku yang memukulnya keras dengan bantal. "Hati-hati menyetirnya!"
"Iya, iya, ampun." Maxi mengaduh sebentar, lantas tertawa menyebalkan. Pantas tidak ada cewek yang betah berpacaran dengannya, mulutnya menyebalkan kronis.
Lalu aku dan Zana kembali bercerita, dan Maxi kembali bertingkah menyebalkan. "Aku kasihan pada Lyra, tidak laku-laku dari dulu."
Zana menjitak kepala Maxi. "Berarti dia masih suci."
Aku mencibir cowok itu, meski dalam hati tersenyum miris. Hal-hal seperti ini masih saja membuatku teringat dengan Saverio. Tidak laku apanya?
Aku menjalin hubungan diam-diam dengan Saverio. Dan bahkan dia masih mencintaiku di saat pernikahannya baru beberapa hari.
"Itu warungnya di depan!" Zana berseru menunjuk jalan, membuat Maxi segera pasang sein mobil ke kiri untuk berhenti.
Warung kaki lima itu sederhana, namun ramai. Beberapa orang harus berdiri untuk mendapatkan tempat. Tapi karena kami masih muda dan bugar, tak masalah kalau harus berdiri lama.
15 menit kemudian, ketika sudah selesai memesan, Maxi tampak melambaikan tangannya pada seseorang.
Aku mengikuti arah pandangnya karena hampir malu cowok itu bersikap sok akrab entah pada siapa. Namun aku merasa tubuhku membeku.
Maxi melambaikan tangan ke arah Saverio. Laki-laki itu duduk di sebelah istrinya yang sedang menceritakan sesuatu.
Namun sekali lagi, saat Angela berbicara, Saverio sama sekali tidak tampak menyimak, manik matanya justru hanya melihat ke arahku, menyelami pandanganku, sebelum ia mengulas senyum di wajah putih bak pualamnya.
Senyum yang lembut itu untukku.
Lalu sebelum yang lain mehyadari bahwa mataku hampir berkaca-kaca, Zana sudah menarik tanganku mengikuti Maxi, tepat ke arah Saverio.
"Rejeki anak baik, dapat kursi di tengah Bandung Lautan Api," gumam Zana, saking girangnya dapat bangku, ia jadi tidak nyambung.
Aku didudukkan Zana tepat di hadapan Saverio. Tatapan kami masih saling mengunci. Oh bukan, lebih tepatnya tatapan lelaki ini mengunciku, sampai aku merasakan lutut kami bersinggungan dari bawah meja.
Ya Tuhan, aku pergi ke Bandung untuk menghindar dari Saverio, tapi kenapa kami malah bertemu?!
***
[]
"Terima kasih sudah mengijinkan kami bergabung di meja." Zana berucap sopan selagi Abang warung mengantar minuman kami.Angela tertawa kecil. "It's okay, Sweetheart. Jadi kalian sedang berlibur di Bandung?""Bukan." Maxi yang menjawab. "Zana berencana kuliah di Bandung, lalu si tukang makan di sebelahku ini memohon-mohon agar bisa ikut ke Bandung juga dengan dalih membantu beres-beres. Kak Saverio, Lyra tidak mungkin sebaik itu kan?" tanya Maxi pada laki-laki yang sudah mengenalku sejak kecil itu.Tapi Maxi tidak bertanya. Dia hanya sedang bergurau sembari meledekku.Dan lagi-lagi, membuat Saverio menatapku.Aku menunduk, pura-pura sibuk melipat tisu.Lalu dengan senang hati, Angela melanjutkan, "Kami ke Bandung untuk berlibur, sekaligus untuk bulan madu yang tertunda. Lagipula, Saverio terlalu sibuk kerja sampai tidak mau
Yang kami lakukan di dalam studio itu salah.Memori baru yang dibuat demi mengenang memori lama itu adalah salah.Ketika film selesai, aku merasa sangat jahat. Melihat Maxi yang keluar studio sambil merenggangkan punggung tanpa menyadari apa yg terjadi di bangku belakang, aku menunduk menatap cincin yang Saverio pasangkan di jari manisku dan melepasnya diam-diam.Lebih baik menyimpannya dan tidak seorang pun tau tentang cincin itu.Ketika aku melihat wajah istrinya, aku merasa sangat berdosa. Yang kulakukan dengan Saverio tadi tidak seharusnya terjadi. Harusnya tadi aku mendorongnya menjauh. Harusnya tadi aku tidak membiarkan dia menggenggam tanganku.Harusnya... kami tidak duduk bersebelahan.Dan ketika aku menatap Saverio, dia akan membalas tatapanku dengan intens. Seolah ada rona baru di wajahnya yang membuat laki-laki itu ter
Sejak kapan aku menangis?Aku juga tidak tau. Aku menyusut air mataku dengan punggung tangan dan membalas tatapan Maxi. "Aku mimpi jadi Ratu, tapi tau-tau saja Rajanya pergi meninggalkanku," jelasku datar. "Bukankah mengenaskan?"Bukannya simpati, Maxi malah mendengus. Caraku bercerita memang agak tengil untuknya. Tapi aku hanya tidak ingin orang lain tau apa yang sedang kurasakan.Aku tidak mau orang lain tau aku sedih, apalagi sedihnya gara-gara Saverio.Aku lantas meraih bungkusan di tangan Maxi dan membukanya, seporsi nasi padang yang sambal hijaunya banyak!Senyumku langsung mengembang cerah.Maxi tau benar apa yang kubutuhkan. Perasaanku kacau balau sejak bangun tidur. Mimpi itu menamparku pada realita menyakitkan, bahwa kenyataannya, Saverio memang meninggalkanku saat aku menaruh kepercayaan dan rasa sayang yang begitu bes
Pada akhirnya Saverio menyerah. Baiklah, aku tidak apa. 'Seharusnya' aku tidak apa-apa. Aku 'hanya' ditinggalkan untuk kedua kalinya oleh orang yang sama. Seharusnya kejadian kedua ini menjadi sesuatu yang bagus dan membuatku merasa lebih baik. Toh aku sudah mengalaminya pada kali pertama dalam rentang waktu yang tidak jauh. Rasa sakit karena Saverio menyerah akan membuatku kebas. Iya, begitu. Pagi di pelabuhan itu terasa aneh sekali, seperti mimpi yang aku tidak tau tentang apa dalam episode hidupku, namun sangat menggangguku ketika aku sudah bangun. Sebuah mimpi yang sebenarnya bukan mimpi buruk, tapi amat membuat gusar. Sejak pagi itu, hari-hariku tidak pernah lagi diganggu oleh Saverio. Hari ketika aku akhirnya harus berangkat untuk menyongsong waktu menjad
"Markus oke, kan?"Aku melirik Maxi yang tengah mengemudikan mobil menuju kampus.Semalam usai pesta, kami tidak pulang bersama sebab Markus yang mengantarku pulang. Bukan sekedar itu. Sebelum naik mobil, Markus membukakan pintu mobil untukku dengan tangannya berada di atas kepalaku, jaga-jaga barangkali aku terbentur tepi mobil dan tidak akan menyakitkan karena ada Markus.Lelaki itu betulan memperlakukanku dengan baik, layaknya aku memang gadis bangsawan. Padahal kami baru kenal tidak lebih dari dua jam.Perlakuannya tidak seperti selayaknya dua orang yang baru berkenalan.Jadi aku menanggapi pertanyaan Maxi dengan anggukan ringan. "Oke sekali," jawabku jujur.Maxi terkekeh. "Baguslah, Markus memang lebih baik daripada kamu menemukan teman kencan yang tidak jelas asal usulnya," katanya sembari membelokkan kemudi memasuki
Terus terang, aku tidak tau apa yang harus kulakukan saat Saverio kembali datang padaku.Memelukku erat sebagaimana dulu aku memeluk erat janjinya. Sebagian dari diriku menjerit kasihan melihatnya tersiksa, merasa bahwa tidak seharusnya Saverio semenderita ini. Sebagian diriku itu menjerit ingin merengkuh Saverio. Namun sebagian diriku yang lain menjerit menolak kehadirannya. Tidak seharusnya kami bertemu lagi jika situasi masih sekacau ini. Karena aku yakin, kami masih tidak baik-baik saja. Jelas tidak ada yang baik-baik saja dengan pertemuan ini.Lagipula, aku berniat memiliki hubungan serius dengan Markus, kalau memang ada perkembangan. Yang jelas, aku tidak menutup diri dari perkembangan semacam itu. Namun ketika aku baru mulai dengan pikiran baru itu, Saverio kembali padaku.Dan aku merasakan pertahananku goyah, lagi dan lagi.Detik selanjutnya saat kami dikurung hening, aku tertawa sumbang. "Jangan bercanda," ujarku sarka
Hari itu, akhirnya aku memutuskan untuk tidak berangkat ke kampus. Aku bahkan tidak melakukan panggilan balasan pada Kina dan hanya kirim pesan bahwa aku sedang sakit, jadi tidak bisa kuliah. Padahal nyatanya, aku memiliki perlu lain. Dan keperluanku hari itu adalah, mengurus Saverio yang sedang demam namun tidak mau ke rumah sakit."Kakak hanya ingin disini", begitu katanya untuk yang kesekian kali setiap aku membujuknya untuk ke rumah sakit. "Tapi kalau demamnya sudah sampai tiga hari, Kakak harus ke rumah sakit untuk tes darah," kataku tegas. Saverio tidak menjawab, hanya berbalik memunggungiku seperti kucing merajuk, kemudian bergumam tidak jelas. Aku menghela napas menatap punggung lebarnya, tidak mengerti lagi kenapa dia harus datang kembali di saat sakit seperti ini. Karena sejujurnya, aku tidak pernah bisa melihat Saverio sakit. Kali itu, aku hanya bisa mengusap punggungnya yang sudah berbalut piyama yang k
Sudah tiga hari ini aku menemani Saverio di rumah sakit. Aku selalu kesini sepulang kuliah, selalu memastikan kondisinya berangsur membaik setelah insiden dimana dia tidak mau dirawat kalau aku tidak ada. Saverio memang manja merepotkan kalau sakit. Tapi pada satu titik, segala sikapnya itu membuatku merasa... berarti. Merasa dibutuhkan. Dan itu membuatku senang karena memang seharusnya seperti itulah dia padaku. Di antara kami ada hubungan saling ketergantungan seperti itu. Yeah, setidaknya itu dulu. Sekarang, entahlah. Aku bingung bagaimana menjabarkan perasaanku. Aku hanya... prihatin, mungkin. "Aku akan menelepon Bunda? Bunda pasti khawatir dan aku hanya akan memberi tau kalau Kakak sudah dirawat di rumah sakit," usulku, berbaik hati agar Saverio tidak perlu sendirian lagi kalau aku balik ke kehidupanku semula. Namun laki-laki itu hanya menghela napas keras. "Tidak usah," katanya pendek. "Tidak perlu menghubun