Kakak masih mencintai kamu.
Kata-kata itu berdengung bak nyamuk berisik di telingaku, sudah dihalau, tapi tidak juga hilang suaranya, bahkan meski sudah satu jam berlalu.
Rasanya gamang ketika netra cokelat muda Saverio menatapku dengan sungguh-sungguh, binarnya sendu sekali. Dia selayaknya anak kecil yang penuh luka.
Kalau bukan karena aku mendorong Saverio agar menjauh dan meninggalkannya disana, aku pasti sudah menangis di hadapan Saverio. Tega sekali dia mengkhianati istrinya seperti itu.
Dan aku, aku juga akan merasa jahat sekali kalau terus disini, di rumah ini, memberi Saverio kesempatan untuk terus bertemu yang tidak seharusnya dia terima. Jelas, aku harus pergi. Lebih cepat lebih baik. Benar, aku tidak bisa terus disini. Setidaknya, salah satu dari kami harus pergi.
Aku mengusap mataku yang rupanya sudah berlinang air mata dan menatap kalender di meja. Aku masih punya satu setengah bulan disini sebelum pindah ke kost. Tapi satu setengah bulan pun rasanya lama sekali. Aku harus menghitung hari demi hari berlalu. dari empat puluh lima hari yang ada.
Kalau aku masih disini, akan ada berapa banyak hal yang bisa terjadi di sisa hari yang banyak itu?
Padahal saat ini, baru berapa hari sejak hari pernikahan Saverio dan Angela?
Tapi Saverio... dia masih menemuiku disini dan mengatakan bahwa dia masih memiliki cinta yang sama untukku.
Apa yang harus kulakukan?
Mendadak aku teringat Zana yang akan lanjut kuliah ke Bandung. Aku buru-buru mengiriminya pesan, menanyakan kapan ia berangkat kesana untuk berbenah. Dan katanya, seminggu lagi.
Bagus.
Aku mengetikkan pesan. 'Sudah berbenah?'
'Belum', balasnya.
'Wah, aku mau menginap di rumahmu, sekalian membantu berbenah'
'Tumben, sedang kerasukan apa sahabat setia Maxi yang mirip Tuan Puteri ini?'
Bukannya tersinggung, aku malah berdecak sambil menahan senyum. Terserah ia mau mengataiku bagaimana, yang penting aku punya rencana menghabiskan satu setengah bulan ini sampai kamar kostku siap dihuni setelah penghuni lamanya hengkang.
'Gabut', balasku lagi.
'Dasar pengangguran!'
'Menyebalkan. Pokoknya besok aku kesana dengan Maxi'
'Dasar kembar siam!'
Ya ya ya, teruslah mengataiku sampai puas, mumpung aku sedang berlapang hati. Dan cukuplah sampai disini. Aku sudah punya rencana untuk seminggu ke depan. Nanti kalau waktu seminggu itu sudah habis, aku akan berdalih ikut mengantar Zana ke Bandung sekalian. Kalau perlu, Maxi ikut. Cowok tengil itu benar-benar pelengkap hidupku, sebagai supir pribadi -ups. Masalahnya, hidupku betulan bisa hampa kalau tidak ada Maxi.
Lalu nanti kalau aku sudah di Bandung, aku akan melunjak dan menginap disana, sekalian jalan-jalan sampai puas sebelum memasuki masa kuliah.
Dan untuk setelahnya, akan kupikirkan nanti-nanti.
***
Seminggu berlalu, dan rencanaku terbukti ampuh. Saverio tidak memiliki akses untuk menemuiku, dan hanya mampu mengirim pesan yang tidak kubalas. Lagipula aku sedang sibuk menyiapkan perjalananku ke Bandung, tentunya Saverio tidak tau soal ini.
Di tengah kegiatanku yang sedang membereskan beberapa barang untuk selama di Bandung, ponselku bergetar.
Pesan dari Saverio.
'Kamu dimana?'
'Lyra, jawab Kakak.'
Masih pesan yang sama. Yang kemudian kuabaikan lagi sembari berpikir apakah aku perlu memblokir nomornya atau tidak.
Aku kembali lanjut berbenah, mempersiapkan hari-hari indah di Bandung nanti. Terakhir, aku memasukkan sun block ke ransel sembari menghampiri ruang keluarga.
Aku dan Maxi bahkan sudah diberi ijin oleh orang tua Zana untuk ikut ke Bandung, untungnya Maxi sudah dapat SIM A juga, jadi kami akan leluasa untuk bawa mobil sendiri.
Namun karena Baleno hitam Bunda Maxi sering dipakai untuk menghadiri acara sosialnya, jadi aku meminjam Civic hitam Ayah yang biasa dipakai Mama.
"Kalian sewa mobil disana kan bisa," heran Mama sembari menatapku tanpa ekspresi berarti waktu aku menyuarakan permohonanku barusan.
"Tidak mau," tolakku seketika. "Sudah bensin mahal, masa harus bayar sewa mobil segala?"
"Makanya tidak usah macam-macam. Memang mau apa kalian di Bandung? Naik taksi juga bisa," balas Mama yang jelas tidak rela Honda Civic itu kubawa.
Sejujurnya aku agak heran. Entah kenapa Mama kalau bicara padaku banyak juteknya dibanding manisnya.
Coba lihat Mamanya Saverio yang lembut itu. Ah iya, tidak seharusnya aku memikirkan Saverio di saat hendak bersenang-senang begini.
Aku lantas menatap Ayah dengan pandangan memohon. "Ya, Ayah?"
"Iya, tapi harus Maxi yang bawa mobil, tidak boleh yang lain."
"Tapi aku harus menjemput Maxi di rumahnya."
Ayah menghela napas. "Ya sudah, tapi hanya itu."
"Laksanakan, Kapten."
"Jaga baik-baik mobilnya." Selepas Mama pergi, aku nyengir, tidak sabar untuk keseruan perjalanan kami ke Bandung. Tas besarku sudah dimasukkan ke bagasi, setelah ini aku akan menjemput Maxi di blok belakang.
Perlahan aku mengemudikan mobil Ayah keluar halaman, memutar kemudi ke kiri menuju jalan utama, dan berpapasan dengan Range Rover merah Saverio.
Laki-laki itu menurunkan jendela mobilnya dan menatapku dengan penuh tanya.
"Lyra, mau kemana?" tanyanya yang kuabaikan dalam diam. "Bahaya mengemudi sendiri. Biar Kakak antar."
Namun aku masih mengabaikannya bahkan sebelum Saverio sempat turun dari mobilnya sendiri, terus mengemudi dengan hati-hati. Takut menyenggol tong sampah atau tepian jalan meski jalanan disini sebenarnya sudah cukup lebar.
Inilah kenapa aku selalu nebeng dengan Maxi. Aku payah sekali mengemudi, sedangkan Maxi memang jagonya. Jadi tidak heran ketika baru lulus SMA, cowok itu sudah memiliki SIM A dan C, katanya malah ingin mendapat SIM B sekalian biar bisa membawa bus piknik.
Aku curiga sahabat tengilku itu punya cita-cita terpendam jadi supir. Supir bermartabat, tentu saja, yang bawaannya Maserati atau Bugati. Kemudian dia sendiri mengenakan seragam supir orang kaya yang tidak kalah keren dibanding supir pesawat alias pilot.
Biar seperti supirnya James Bond, kalau memang ada.
Aku akhirnya keluar dari jalanan rumahku menuju blok rumah Maxi.
Dan itu dia cowok itu, sudah menunggu di teras rumahnya sembari memainkan ponsel di tangan kiri sementara tangan kanannya menyuap roti. Mulutnya membuka lebar, lahap memakan sarapannya bak vacuum cleaner.
Tin!
Maxi mengadahkan pandangan, kemudian meraih ranselnya untuk disanggah di pundah kiri.
"Bunda, kami berangkat!" serunya, berteriak pamit pada Bundanya begitu aku tiba, aku lantas pindah duduk di bangku penumpang sebelah kemudi, dan Maxi duduk di bangku kemudi setelah menaruh ranselnya di bagasi.
***
'Lyra, mau kemana?'
'Kenapa pergi dengan mobil? Biasanya naik motor?'
'Pergi dengan siapa?'
'Kenapa tidak membalas pesan Kakak?'
'Kenapa belum pulang?'
'Lyra? Schatz?'
Di sepanjang perjalanan menuju Bandung, Saverio mengirimiku banyak pesan.
Aku menunduk menatap semua pesan itu, yang hanya berkali-kali kubaca, namun berkali-kali pula kuabaikan. Tapi semakin kuabaikan, benakku semakin penuh oleh suara itu, menggema dalam bentuk suara lirih Saverio.
Aku benar-benar kelimpungan karena Saverio.
Dari yang terakhir terjadi saat Saverio mengatakan dia masih memiliki rasa cinta itu, aku merasa seperti selingkuhan. Ini gila, dan tidak benar. Mungkin aku memang harus memblokirnya, sebab tidak ada lagi urusan di antara kami. Ya, harusnya begitu.
Namun ketika jariku hanya perlu menekan tombol konfirmasi untuk melakukan pemblokiran, aku membatalkannya, dan mematikan ponsel dengan gusar.
Membayangkan wajahnya yang selalu menatapku dengan binar redup membuatku menghela napas. Tidak bisakah ada binar kehidupan di mata itu?
Aku tidak tau apa yang harus kulakukan.
"Lyra, kamu oke?" tanya Maxi, sejenak membuat perhatianku teralihkan.
"Sure."
Maxi melirikku yang kubalas dengan menjulurkan lidah. Cowok itu balas menjulurkan lidah dengan keki dan menarik hidungku.
"Maxi! Sakit!"
Ia terkekeh setelah tangannya kucubit dan melepasnya dari hidungku. "Sebentar lagi tiba di Bandung, jadi jangan seperti orang berduka."
Oh. Omongannya tepat sasaran.
Aku menatap keluar jendela, lalu ke mobil Zana yang ada di depan. Ada plang di atas jalan raya yang menandakan kami akan segera memasuki Bandung, dan Maxi benar. Yang ia tau, kami ke Bandung untuk bersenang-senang, jalan-jalan, dan pesta kuliner.
Maxi tidak tau menahu bahwa rencanaku ke Bandung adalah untuk menghindar dari Saverio.
Aku tidak pernah bercerita apapun pada Maxi kisahku tentangnya, tentang tetangga seberang rumah yang tadinya kukira adalah Kakakku, namun ternyata kami berbagi perasaan yang lebih kepada satu sama lain.
Perasaan yang tadinya sangat indah.
Mulanya aku merasa aneh ketika harus berpacaran dengan Saverio, usia kami terpaut jauh, sekitar 12 tahun, dan status kami yang bak 'keluarga' membuat kami merahasiakan hubungan itu.
Namun aku hanya butuh waktu seminggu untuk membiasakan diri dengan hubungan kami yang baru, dan tanpa sadar kami menjalaninya selama 2 tahun. Lama sekali untuk kategori backstreet. Kami menjalani banyak hal menyenangkan selama 2 tahun itu, memiliki banyak mimpi untuk dibangun bersama, sebelum secara tiba-tiba undangan itu datang.
Undangan pernikahan Saverio dengan wanita lain.
Dan karena hubungan itu benar-benar tertutup, maka tidak ada satupun yang bisa menghiburku. Jadi aku harus berjuang sendiri menutupi lukaku, serta mengumpulkan sendiri kepercayaanku yang hancur berkeping-keping.
Kami lantas tiba di Bandung, Maxi mengemudikan mobil ke hotel dekat kost Zana dan kami check in untuk 2 kamar. Kamarku dan Maxi sebelahan, dan aku langsung merebahkan diri di kasurku.
Hari hampir sore saat kami tiba, kami sengaja melewatkan makan siang agar bisa puas untuk makan malam di salah satu warung incaranku di Bandung.
Malamnya, mengenakan blouse putih dengan sulaman bunga, celana jins putih, kardigan tebal warna toska, rambut digerai dengan jepit manis di sisi kepala, dan sandal, aku menemui Maxi yang tengah melihat ikan-ikan hilir mudik di akuarium lobi hotel.
Ketika ia menoleh ke arahku, pandangannya menelusuriku dari atas ke bawah, bergantian, sampai aku jengah dan memutar mata malas. "Ada apa sih?"
"Lagakmu betulan ingin seperti teteh-teteh Bandung ya." Maxi mengerutkan hidung, lalu menjepit hidungku. "Awas saja mengomel kalau bajumu kena tumpahan saus! Pergi ke warung memakai pakaian serba putih. Biar apa sih?!"
Aku nyengir saja, mengikutinya melangkah menuju parkiran. Zana sudah selesai membereskan sebagian barang-barangnya di kost, sedangkan orang tuanya sudah kembali lagi ke Jakarta beberapa saat lalu.
Di dalam mobil, kami akhirnya bercerita banyak hal selagi menuju tempat makan. Zana berbagi mimpinya menjadi seorang desainer yang akan mendapat cowok keren, dan langsung disanggah Maxi.
"Mimpi boleh, tapi tolong sadar diri," kata cowok itu dengan sadis.
"Maxi!" Zana memukulnya dengan bantal mobil dari bangku belakang, membuat cowok itu hampir oleng memegang kemudi.
Dan giliranku yang memukulnya keras dengan bantal. "Hati-hati menyetirnya!"
"Iya, iya, ampun." Maxi mengaduh sebentar, lantas tertawa menyebalkan. Pantas tidak ada cewek yang betah berpacaran dengannya, mulutnya menyebalkan kronis.
Lalu aku dan Zana kembali bercerita, dan Maxi kembali bertingkah menyebalkan. "Aku kasihan pada Lyra, tidak laku-laku dari dulu."
Zana menjitak kepala Maxi. "Berarti dia masih suci."
Aku mencibir cowok itu, meski dalam hati tersenyum miris. Hal-hal seperti ini masih saja membuatku teringat dengan Saverio. Tidak laku apanya?
Aku menjalin hubungan diam-diam dengan Saverio. Dan bahkan dia masih mencintaiku di saat pernikahannya baru beberapa hari.
"Itu warungnya di depan!" Zana berseru menunjuk jalan, membuat Maxi segera pasang sein mobil ke kiri untuk berhenti.
Warung kaki lima itu sederhana, namun ramai. Beberapa orang harus berdiri untuk mendapatkan tempat. Tapi karena kami masih muda dan bugar, tak masalah kalau harus berdiri lama.
15 menit kemudian, ketika sudah selesai memesan, Maxi tampak melambaikan tangannya pada seseorang.
Aku mengikuti arah pandangnya karena hampir malu cowok itu bersikap sok akrab entah pada siapa. Namun aku merasa tubuhku membeku.
Maxi melambaikan tangan ke arah Saverio. Laki-laki itu duduk di sebelah istrinya yang sedang menceritakan sesuatu.
Namun sekali lagi, saat Angela berbicara, Saverio sama sekali tidak tampak menyimak, manik matanya justru hanya melihat ke arahku, menyelami pandanganku, sebelum ia mengulas senyum di wajah putih bak pualamnya.
Senyum yang lembut itu untukku.
Lalu sebelum yang lain mehyadari bahwa mataku hampir berkaca-kaca, Zana sudah menarik tanganku mengikuti Maxi, tepat ke arah Saverio.
"Rejeki anak baik, dapat kursi di tengah Bandung Lautan Api," gumam Zana, saking girangnya dapat bangku, ia jadi tidak nyambung.
Aku didudukkan Zana tepat di hadapan Saverio. Tatapan kami masih saling mengunci. Oh bukan, lebih tepatnya tatapan lelaki ini mengunciku, sampai aku merasakan lutut kami bersinggungan dari bawah meja.
Ya Tuhan, aku pergi ke Bandung untuk menghindar dari Saverio, tapi kenapa kami malah bertemu?!
***
[]
Meski baru kenal, Ibu benar soal satu hal. Bahwa aku berbagi kebahagiaan lewat masakan. Itu salah satu filosofi memasak yang kupelajari di kampus, yang membuatku memiliki motivasi dan memasak dengan bahagia untuk Saverio. Melalui filosofi, kita memang jadi lebih memaknai sesuatu yang ada di hadapan dibanding tidak mengetahui maknanya sama sekali.Sekarang, aku bahkan berbagi kebahagiaan yang lebih luas dengan anak-anak panti.Dan melihat mereka makan dengan lahap, sembari tertawa bahagia melihat potongan buah yang dibalut cokelat, aku juga bahagia.Dan Saverio benar. Berbagi seperti ini, membuatku merasa lebih baik. "Vivi, udangnya tambah lagi ya," ujarku pada seorang anak perempuan pemalu yang duduk di sebelah kananku di kursi makan.Vivi mengangguk malu-malu. Aku mengambilkan sepotong besar udang goreng rambutan untuk menemani nasinya yang belum habis. "Sama supnya juga ya."Lagi-lagi Vi
Ketika semuanya selesai, aku membereskan dapur dan langsung mandi. Acara bersih-bersihnya saja sampai satu jam lebih, jadi aku tidak heran ketika aku dan Saverio sudah siap keluar ketika hari beranjak senja. Langit cakrawala di luar warnanya sudah seperti es krim favoritku, kuning ke oranye ke kemerahan.Terakhir, aku menyemprotkan parfum ke sekitar leher dan pergelangan tangan, bertepatan dengan Saverio yang juga baru selesai menerima telepon di balkon.Aku mengamati Saverio. Laki-laki itu juga sudah ganti pakaian yang lebih santai dengan celana bahan yang merupakan celana wajib dan kaos Polo warna hitam. Dan rambutnya rapi seperti biasa dengan potongan cepak.Aku sendiri hanya mengenakan celana jeans dan blouse warna merah muda, cukup rapi dan sopan untuk dipakai berkunjung ke panti asuhan.Aku membawa satu box berukuran sedang berisi gorengan yang tadi kumasak dan masih menguarkan aroma menggiurkan, sementara Saverio me
Secara singkat, apa yang terjadi semalam dimana Saverio bertelepon dengan orang yang pembicaraannya membuatku penasaran, segera saja aku melupakan hal itu keesokan paginya.Karena hal pertama yang menyapaku di pagi hari itu begitu membuka mata adalah, sesuatu yang agak berat melingkari pinggangku dan sesuatu yang hangat terasa menghangatkan punggungku.Aku berbalik, membuat Saverio yang tadinya tidur seraya memelukku dari belakang ikut membuka mata dengan berat. "Pagi, Lyra," sapanya dengan suara serak. Sesaat kemudian, matanya sudah terpejam lagi.Aku tersenyum kecil, membalas, "Pagi juga. Sejak kapan Kakak ada di kamarku?" Karena seingatku, sesudah kami minum semalam, aku dan Saverio berlalu ke kamar masing-masing.Karena masih mengantuk, aku langsung tidur lagi dan tidak menyadari apalagi yang terjadi setelah itu. Sekedar mimpi Saverio datang saja tidak.Saverio melenguh sebentar, menjawab dengan suara pelan yang lebih mirip igauan saat tidur, "Jam dua pagi
Usai makan malam, kami membereskan balkon bersama. Di tengah kegiatan itu, aku menyetel musik-musik indie yang rasanya nyaman sekali diputar di saat seperti ini. Malam santai, balkon di ketinggian gedung apartemen, vibes langit malam Jakarta, dan musik indie. Menyenangkan sekali menikmati semua perpaduan itu setelah hari yang melelahkan di kampus dan jalanan Jakarta yang banyak macetnya.Aku bergabung dengan Saverio untuk membereskan lilin lampu mungil dan menaruhnya di kardus yang dipegang laki-laki itu. Kemudian, bersama Saverio, kami mengangkut meja dan kursi kembali ke ruang makan. Hal yang tidak kusangka adalah, bahwa perabot itu cukup berat rupanya."Kakak, padahal aku sama sekali tidak masalah makan malam di dalam," kataku, kembali mengawali pembicaraan.Saverio masih menatapku, menunggu kalimatku selanjutnya yang bilang,"Kakak kan baru sembuh dari tipes. Mengangkut perabot begini sendirian bisa melelahka
"Bagaimana hari Kakak di kantor?" Aku bertanya di tengah kegiatan makan malam romantis dadakan di balkon ini."Oh--" Saverio menelan makanannya sejenak, kemudian menjawab, "Tidak terlalu baik. Tapi itu hanya masalah sehari-hari di kantor."Ah iya. Dulu Saverio kerap kali bercerita kalau di kantor sedang ada sedikit masalah yang kadang membuatnya terlambat datang atau bahkan terpaksa membatalkan janji nonton denganku.Ayah juga kadang cerita pada Mama beberapa masalah kecil yang dilaluinya di kantor, yang tidak sengaja kudengar tentu saja.Terkadang, Mama juga kerap kali kelepasan membahas kalau dia sedang ada masalah di tempat kerjanya saat memarahiku karena aku pulang terlalu malam bersama Maxi.Jadi aku selalu menganggapnya sebagai 'masalah sehari-hari' sebagaimana yang dibilang Saverio barusan. Toh aku juga punya masalah sehari-hari di sekolah atau di kampus. Dan tentu saja, masalahku biasanya masih sesuai kapasitas remaja perempuan di
Nanti malam tidak perlu memasak. Kita akan makan di luar. Kakak berhasil dapat tempat untuk kita.'Begitulah isi pesan teks Saverio saat sebelumnya aku bilang kalau aku perlu belanja untuk menyiapkan makan malam. Sejenak, aku mendiamkan pesan itu dan menatap piring batagorku. Rasanya ada yang mengganjal di hatiku mengenai isi pesan itu."Nanti malam bagaimana?" Kina bertanya tiba-tiba di antara keriuhan kantin fakultas yang agak ramai karena jam makan siang. Aku mengalihkan atensi dari sepiring batagor yang isinya tinggal separuh sekaligus memecah lamunanku tentang Saverio, dan juga mematikan ponselku, kemudian menatap Kina dengan kening berkerut. "Apanya yang nanti malam?" Kina berdecak, dia menyodorkan ponsel yang sedari tadi diperhatikannya. "Tentu saja nonton, apalagi? Yang kita bahas di kelas sejak tadi.""Aku tidak bisa," sahutku tanpa berpikir panjang, kemudian menyuap batagorku dengan cuek. Tentu saja, aku mau berpikir apal
Hari ini, sudah hampir sepuluh hari Saverio pemulihan di apartemen pasca rawat inap karena thypus dan tampaknya dia sudah mulai bosan setengah mati.Selama dua hari terakhir, Saverio hanya duduk di sofa dengan gurat bosan yang dia tunjukkan kalau ada aku, sembari fokus dengan layar iPad yang jadi teman setianya selama beberapa hari ini. Aku juga menyaksikan apa saja kegiatannya itu, yang tidak jauh-jauh dari laporan kantor dan kabar dari panti asuhan.Karena dia tidak punya kerjaan, Saverio seringkali menyibukkan dirinya untuk mengirim sesuatu ke panti selama setiap hari. Pagi hari dia mengirim susu, siang hari mengirim buah, dan sore hari mengirim puding.Tentu saja. Menghabiskan uang untuk anak panti yang jumlahnya bahkan tidak sampai sepuluh anak itu memang tidak berpengaruh sama sekali buat Saverio. Lalu karena fisik Saverio tampaknya sudah mulai prima lagi, maka aku juga sudah membolehkannya kembali ke kantor. Tentu
Mata kuliah Ilmu Gizi pagi ini selesai, kemudian berlanjut ke Dasar Boga sampai siang. Selama dua kelas itu aku berpisah dengan Kina karena dia mengambil mata kuliah yang berbeda. Namun tidak urung, Maxi mengirimiku pesan. 'Ayo makan siang di warung bebek bakar belakang kampus,' ketiknya. Aku menepi sebentar di tangga agar mahasiswa lain di belakangku bisa lewat, kemudian membalas, 'Lain kali saja, aku mau mengambil laptop untuk mengerjakan tugas' 'Kan bisa sambil makan siang,' balasnya. Aku buru-buru mengetik, 'Memangnya kamu bisa membiarkan mengerjakan tugas? Kamu kan selalu mengajakku nonton' 'Benar juga. *Lol* Ya sudah, kapan-kapan saja kalau begitu' 'Oke' Dan aku segera memesan ojek online untuk mengantarku ke kost yang banyak sekali mahasiswa keluar masuk dengan bebas. Mereka bahkan tidak akan peduli kalau aku tidak pulang ke tempat ini selama berhari-hari. Bahkan mungkin mereka tidak men
"Kamu pulang..." Saverio kembali bergumam lirih, seolah memastikan bahwa apa yang dikatakannya benar. Bahwa mau berapa kali pun dia mengatakan bahwa aku pulang, maka tidak ada yang membantahnya. Termasuk aku. Yang terisak keras di pelukannya. "Iya, aku pulang," sahutku tersedu. Saverio membawa langkah kami memasuki apartemennya dan menutup pintu di belakangku dengan mudah. Laki-laki itu lantas mengurai pelukan kami dan menatap wajahku lekat. Kedua tangan lebar dan hangat Saverio menangkup wajahku. Kedua ibu jarinya mengusap air mata yang masih bercucuran di pipiku. "Kamu disini," gumamnya. Matanya tampak berkaca-kaca. Tapi kemudian kusadari bahwa mataku-lah yang berkaca-kaca lagi. "Kamu tidak akan pergi lagi kan?" "Tidak." "Kamu tidak akan meninggalkan Kakak lagi kan?" Bertanya, seolah untuk memastikan bahwa kami bertemu bukanlah untuk berpisah lagi. Aku menggeleng, menangis lagi. "Aku mau disini... bers