Share

PART 4 : ORANG YANG PEDULI

Pintu lift terbuka, membuat Safira menatap sekitar sambil keluar, besar saja ini lantai paling atas, tingginya pandangan yang wanita itu lihat, membuat dia menutup mata sebentar agar tidak gemetaran.

Ia takut pada ketinggian, setelah merasa tenang, dia berjalan di lorong yang cukup panjang dan hanya ada satu pintu di sana.

Dengan hati-hati dia mengetuk pelan. “Permisi Tuan muda!”

“Siapa?” tanya seseorang dari dalam, membuat Safira merapihkan pakaiannya guna terlihat rapih.

“Ini saya Safira!”

“Masuk aja!”

Karena mendapatkan lampu hijau, Safira masuk kedalam ruangan milik Dexter, pertama kali masuk terlihat kaca besar dibelakang pria itu, yang menghadap langsung pada pemandangan kota seperti di luar, cat ruangan hanya di dasari putih, dengan garis coklat di bagian bawah.

Wanita berumur 24 tahun itu menaruh tas hitam milik Dexter di meja dengan hati-hati, karena isinya berat ia yakin ada barang elektronik di dalamnya. “Ini milik anda, Tuan muda!”

Dexter menatap Safira dengan heran. “Kenapa kamu memanggilku seperti itu?”

“Kata Bu Rima, harus manggil anda dengan sebutan tuan muda.”

“Jangan dengarkan dia! Jika bersamaku panggil saja senyamannya!” ujar Dexter yang mengambil tas itu dan membukanya.

“Kalau saya ingin memanggil masnya dengan sebutan sayang gimana?” tanya Safira yang membuat Dexter menatapnya cukup lama.

“Kalau mau, panggil saja seperti itu!” ujar Dexter yang setelahnya membuka laptop yang ia keluarkan dari tas hitam miliknya, tentu saja jawab yang sederhana itu membuat Safira terdiam sambil menggaruk kepalanya, dia tadinya ingin bercanda, namun pria di depannya ini tak asik sama sekali.

“Gak jadi ah mas, nanti pacar mas cemburu lagi, hahaha. Lagian saya cuma bercanda.”

“Aku juga sama,” balas Dexter dengan tatapan serius, membuat Safira akhirnya kembali menggaruk kepalanya tak gatal, pria ini benar-benar tidak cocok untuk diajak bercanda.

“Ya sudah mas, saya mau kerja dulu. Oh iya mas mau minum apa?”

“Berikan aku kopi pahit!”

“Pait?”

“Hhhmm! Tanpa gula sedikitpun!” balas Dexter yang sekarang sedang mengutak-atik laptopnya.

“Oke, saya paham mas, ada lagi?”

“Gak ada.”

Safira mengangguk patuh, namun saat ia hendak pergi, pikiran teringat ibunya yang tak pernah ia hubungi setelah datang ke mari, apalagi sekarang hpnya sudah hilang.

Dexter yang melihat keterdiaman wanita itu, membuat dia merasa heran. “Ada apa?”

Safira berbalik dengan tatapan berharap namun takut. “Mas, saya boleh pinjem hpnya gak? Hp saya gak ada karena kecopetan waktu itu, tapi saya perlu nelpon ibu saya takut dia khawatir.”

Tangan Dexter mengambil hp miliknya dan memberikan benda sejuta umat itu pada wanita di depannya, tentu saja membuat wajah Safira sumringah. “Makasih Mas Dexter.”

Dengan cepat dia menelpon nomer ibunya yang ia hafal, setelah menunggu beberapa saat akhirnya telepon itu tersambung. “Hallo Bu!”

“Safira! Safira ini kamu?” tanya wanita paruh baya itu, yang antusias, tentu saja mendengar itu Safira sedikit berkaca-kaca karena nasib tidak baik yang ia miliki.

“Iya bu, ini Fira!”

“Kamu kemana aja Fira, kok gak ada kabar dan ini nomer siapa?”

Safira menghapus air matanya yang hampir jatuh. “Safira ganti nomer Bu, nomer yang sebelumnya kena blokir gak tau kenapa.”

“Aduh kok bisa sih, tapi kamu baik-baik aja kan di sana, kerjaannya gimana?”

“Enak kok Bu, bosnya juga baik sama Safira.” Safira menoleh kearah Dexter tapi rupanya pria itu juga melihat kearahnya. “Nanti kalau Safira udah gajian, Safira kirim ya Bu!”

“Ih gak usah! Uang ibu masih ada, kamu kumpulin aja uang gaji kamu, buat beli apa yang kamu mau! Gak usah mikirin ibu Fira!”

Wanita itu mengangguk tersenyum sambil menjatuhkan air matanya, karena memikirkan ibunya yang sudah tua seorang diri membuat dia sedih. “Nanti kalau uang safira udah banyak, Safira pulang!”

“Iya, pesen ibu kamu jaga kesehatan! Makan yang bener dan jangan begadang! Kalau kamu gak nyaman di sana, pulang sekarang juga gak apa-apa!”

“Iya Bu, Safira tutup ya! Safira mau kerja dulu udah tunggu sama bos.”

“Oh iya, ya udah, Assalamualaikum!”

“Walaikumsalam!” Telepon itu mati, membuat Safira memberikan benda bagus itu pada pemiliknya. “Ini mas, makasih ya!”

Dexter memberikan beberapa lembar tisu pada Safira, yang bodohnya gadis itu kira untuk mengelap hp yang baru saja ia gunakan. Melihat itu semua Dexter segera mengambil hpnya dan memberikan satu kotak penuh tisu.

“Aku memberikanmu tisu untuk menghapus air matamu, kenapa kamu malah mengelap hpku?”

Safira menatap bingung. “Loh saya kira, buat ngelap hp mas.”

“Udah kamu keluar aja sana!”

“Terus tisunya?” tanya Safira sambil menodongkan tisu milik Dexter itu.

“Bawa aja! Saya jengkel Sama kamu.”

“Maaf ya mas, ya udah saya keluar!” Tak ada jawaban dari pria itu, membuat Safira merasa bersalah. Dia lupa kalau pria itu memang peduli padanya.

.

.

Jam menunjukan pukul 6 sore, matahari sudah sepenuhnya tenggelam waktu segini. Safira yang sedang membersihkan WC OB karena di suruh Bu Rima, menatap heran pada beberapa pegawai kebersihan yang sudah beres-beres seperti hendak pulang.

Karena ia baru, juga mendapat rumor tak enak karena kebersamaannya dengan Tuan muda, membuat dia sedikit dikucilkan. Namun karena penasaran dia segera mendekati mereka, yang tengah bercanda tawa satu sama lain.

“Mbak, sama masnya mau pada pulang?” tanya Safira, yang membuat tawa semua orang yang ada di sana, langsung terhenti.

“Iya, ini udah waktunya pulang,” balas salah satu dari mereka judes, sontak Safira hanya mengangguk paham. “Udah yuk pada pulang! Dan Lo ada hubungan apa sama Tuan muda Dexter?”

“Saya pembantunya, tapi dia juga nyuruh saya kerja di kantor buat bersih-bersih kayak kalian!”

“Oh jadi cuma pembantu yang suruh kerja dobel? Gue kira ada hubungan karena bareng pas berangkat, tapi aneh juga sih kalau emang iya ada hubungan, masa Tuan muda nyuruh ceweknya jadi OB hahaha.”

Safira hanya tersenyum mendengar hal itu, dia tak pernah mengambil Hati apa yang orang lain bicarakan tentang, toh selama itu kebenaran kenapa harus marah.

“Iya, mbak! Saya juga aneh kenapa kalian mikir gitu!”

Mereka yang tadinya tertawa kembali terdiam, karena ucapan Safira. “Gak usah sok asik deh Lo! Udah yuk cabut!”

Beberapa dari mereka pergi meninggalkan Safira, yang menunduk karena sedih tak di ajak berteman dengan orang-orang itu, tak lama seorang wanita menghampirinya.

“Jangan ambil hati! Mereka emang kayak gitu sama orang baru!” ucap wanita itu, yang membuat Safira menatapnya. “Beberapa dari mereka juga pernah digituin, tapi mereka gak sadar, sabar ya! Jangan lupa semangat!”

“Emang mbaknya orang lama ya?” tanya Safira yang tersenyum karena di sini masih memiliki orang Ramah.

“Nama gue Neneng! Kayak kita seumuran deh panggil nama gue aja! Oh iya Lo Safira kan?”

Wanita itu mengangguk antusias. “Iya mbak, eh maksudnya Neneng, nama Saya Safira.”

“Gue orang lama, sejak lulus SMA aja gue langsung kerja di sini, tapi sayangnya gue gak pernah naik pangkat, ya tapi gaji ada aja sih naiknya tiap tahun, tergantung keuntungan perusahaan juga sih, oh iya ngomong gue dari bandung! Lo dari daerah mana?”

“Saya tinggal di perkampungan Jawa tengah mbak, kalau saya bilang mbaknya mbaknya mungkin gak tau itu dimana!”

“Oh Jawa ya, ya udah salam kenal ya! Gue pulang dulu, jam segini emang waktunya pulang!”

“Ah iya neng! Salam kenal juga, makasih ya mau berteman sama saya!”

“Ah santai! Balik dulu ya!” Safira mengangguk senang, walau sebagian besar mereka tak mau berteman dengan tapi memiliki satu orang yang peduli lebih bahagia rasanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status