"Kalian tidak perlu berbasa-basi. Aku tidak butuh perhatian dari kalian. Jika kalian akan berhenti menggangguku kalau aku menikah, baiklah. Secepatnya aku akan menikah," jawab Danish lugas.Mata Demian juga Monic membulat tak percaya. Anak lelaki yang mereka tahu senang berpetualang dari satu wanita ke wanita lainnya itu memutuskan menikah."Benarkah itu? Irene pasti bahagia mendengarnya. Kita bisa siapkan pertemuan keluarga ini dengan keluarga Samuel. Mama akan siapkan dengan sempurna," ujar Monic dengan wajah semringah."Siapa yang bilang padamu aku akan menikah dengan Irene?" tukas Danish sinis membuat mata Monic hampir keluar. Wajahnya terlihat marah."Secepatnya aku akan menikahi Bian. Biar kalian tidak perlu pura-pura khawatir lagi padaku," ujar lelaki itu.Wajah Demian menunjukkan senyum bahagia. Namun, tidak dengan Monic. Dia memandang tajam pada gadis di depannya. Sedang Bian sontak menoleh pada lelaki di sampingnya. Wajah lelaki itu tidak menunjukkan sedang bercanda sama sek
Bianca11"Bianca, ditunggu Tuan Danish di ruang kerjanya." Erna, salah satu pelayan di sana memberitahu Bianca yang tengah membereskan kamar tidurnya. Bianca melirik pada jam dinding yang tergantung. Pukul 06.10."Jam, segini? Beneran Kak Erna? Memangnya dia sudah bangun?" tanya Bianca menghentikan sejenak pekerjaannya."Iya, tadi aku habis beres-beres di perpustakaan, Tuan Danish lewat. Dia bilang suruh kamu menemuinya di ruang kerja," ucap Erna yakin."Ada apa lagi jam segini?" gumam Bianca pada dirinya sendiri."Ya sudah, Kak, nanti aku ke sana habis beresin kamar," lanjut Bianca.Penampilan gadis itu teramat sederhana. Namun, begitu cantik. Hanya sebuah dress coklat susu selutut dan rambut yang digerai begitu saja, tetapi tidak menyurutkan kecantikannya.Paras cantik yang diturunkan dari sang ayah yang berdarah Cina dan juga sang ibu yang berasal dari padang. Perpaduan yang membuatnya cantik yang unik.Tak ingin membuat sang tuan menunggu lama, Bianca segera beranjak dari kamarny
Bian 12Bian merapikan rambutnya sekali lagi. Entah perasaan apa yang tumbuh. Yang jelas saat ini hatinya berdebar kencang. Menatap bayangan diri di kaca. Walau tanpa make up wajahnya yang putih mulus dengan pipi kemerahan dan warna bibir merah muda, tetap saja menawan.Gadis itu mengembuskan napas panjang. Mengatur debaran di dada yang semakin tak keruan.
Malam itu saat Danish baru kembali dari kantor, Monic datang ke rumah itu.Bian terperanjat kaget saat mendapati wajah Monic di depan pintu."Selamat malam, Bian," sapanya ramah. Gadis itu terpaku tak percaya melihat sikap Monic. Namun, Bian akhirnya sedikit membungkukkan badannya dan tersenyum ke arah wanita yang akan menjadi ibu mertuanya itu."Selamat Malam, silakan masuk, Nyonya."Bian segera menyingkir dari pintu dan mempersilakan wanita paruh baya itu masuk.Monic kemudian duduk di sofa. Tak berselang lama Rey muncul dan menyambut kedatangan sang mama."Tumben Mama ke sini sendirian? Tidak takut dimakan sama Kak Danish?" tanya Rey sambil terkekeh. Monic mendelik kemudian tertawa."Jangan begitu, Rey. Dia itu kakakmu."Bian, tolong panggilkan dia ke sini, ya," ujarnya dengan senyum manis.Masih dengan rasa tak percaya, Bian mengangguk dan beranjak dari ruangan itu menuju kamar Danish.Bian mengetuk pintu jati itu beberapa kali. Hingga sebuah suara terdengar bersamaan dengan terbu
"Kau tau, Bian? Kini aku tau artinya cemburu. Sekarang aku berjanji akan setia padamu," desahnya semakin mengeratkan pelukannya."Benarkah?" tanya gadis itu. Danish menjawab dengan anggukan."Bagaimana jika kau melanggar janjimu?""Kau boleh meninggalkanku jika aku melakukannya," jawab Danish lalu mencium kening Bian sekali lagi."Tuan ....""Hmm?""Bolehkah aku mengundang ibuku ke acara kita nanti?" tanya Bian. Danish sontak mengendurkan pelukannya dan menatap dalam pada gadis itu."Tentu saja. Kau boleh mengundang seluruh keluargamu," jawab Danish. Tangannya terulur membetulkan rambut Bian yang sebagian menutupi wajahnya."Kau mau menelponnya atau datang ke rumahmu? Biar nanti asistenku menyiapkan juga pakaian untuk ibumu. Mereka hanya perlu menyiapkan diri. Nanti sopir akan menjemput mereka." Bian tersenyum dalam rengkuhan lelaki itu.***Hari yang dinanti pun tiba. Bian tampil cantik dalam balutan gaun putih d
Di salah satu sudut taman, Danish melihat gadis itu dengan tubuh yang bergetar. Sepertinya sedang menahan tangis. Rey terlihat menghampiri dan mengelus pelan pundak Bian."Kau kenapa menangis, Bian?" tanya Rey pelan. Gadis itu menggeleng. Rey memutar tubuh Bian agar menghadapnya. Terlihat wajah cantiknya penuh air mata. Rey mengusap perlahan dengan ibu jarinya."Katakan, siapa yang membuatmu mennagis?" selidik Rey. Bian kembali menggeleng."Singkirkan tanganmu dari dia, berengsek!" teriak Danish. Bian dan Rey menoleh pada sumber suara.Danish mendekat dan menatap penuh harap pada Bian. Gadis itu membuang muka."Bian, dengarkan aku!" pinta Danish memohon. Bian melengos. Danish menyentuh lengan gadis bergaun putih itu. Namun, Bian menepisnya kasar. Mata Danish terbelalak."Bian, ini salah paham. Aku tidak melakukan apa-apa," ujar Danish."Oh, jadi kau yang telah membuatnya menangis?" tuding Rey dengan tatapan nyalang. Danish tidak menggubris adiknya. Dia tetap kukuh memohon pada gadis y
Bian begitu telaten memperhatikan kebutuhan Danish selama di rumah sakit. Banyak perawat yang merasa iri juga kagum padanya. Mereka bisa melihat, seorang gadis sederhana begitu dicintai tuannya."Saatnya makan, Tuan. Setelah itu kau harus minum obat." Bian mengambil kursi dan duduk di sebelah tempat tidur yang sudah disetting seperti orang duduk tanpa mengganjalnya dengan bantal."Haa ... Tuan, kau harus banyak makan biar cepet pulang." Bian menyendok bubur dan menyodorkannya pada Danish. Lelaki itu dengan semangat melahapnya.Danish menatap kagum pada gadis di hadapan. Tanpa terucap dia begitu memujanya."Kenapa kau melihatku seperti itu?" Bian tampak kikuk. Danish mengulurkan tangannya membelai pipi sang gadis."Saat koma, aku selalu memimpikanmu, Bian. Aku rindu melihat wajahmu. Aku pikir tidak akan melihatmu lagi. Aku bersyukur dengan kecelakaan ini."Bian mendongak dan menatap kesal pada Danish."Kau itu aneh sekali, Tuan. Aku berhari-hari menangis melihatmu tak sadarkan diri, ta
"Ayo ikut aku, Kak Danish kecelakaan." Rey menarik tangan Bian. Gadis itu terbelalak kaget."Kecelakaan? Di mana dia sekarang?" tanya Bian."Di rumah sakit. Ayo kita ke sana sekarang," ajak Rey. Tanpa menghiraukan penampilannya Bian mengangguk cepat dan menurut saat Rey menarik tangannya.***Bian menatap sayu ke dalam ruangan ICU lewat jendela kaca. Lelaki yang baru saja singgah di hatinya kini terbaring lemah.Cinta yang baru saja hadir harus hancur hanya karena sebuah nafsu.'Kenapa kau tidak bisa berubah, Tuan?' Bian menjerit dalam hati.'Kenapa nafsu selalu membutakan matamu? Kenapa cinta yang tulus kau balas pengkhianatan?'Air matanya luruh. Kedua tangannya menyentuh kaca jendela. Pandangannya tak pernah lepas dari sang tuan."Bian, ayo kita ke kantin. Kamu belum makan dari tadi 'kan. Menangis juga butuh energi," bujuk Rey. Bian menoleh."Aku takut terjadi sesuatu pada Tuan Danish. Aku takut dia ...."