Bianca berinisiatif untuk ikut membersihkan rumah. Sebuah vacum cleaner dia tenteng dan mulai menyedot debu di setiap inci ruangan itu. Walaupun pelayan yang lain memakai seragam sedangkan dia hanya memakai terusan selutut, tapi tidak menyurutkan semangatnya.
"Peduli amat yang punya rumah ini otaknya keruh kaya air comberan, aku tetap harus berpikiran waras," gumam Bianca sambil membungkuk dan terus menggerakkan alat penyedot itu ke sana sini.
Duk!
Ujung penyedot itu bertabrakan dengan ujung sepatu canvas putih. Bianca sontak menghentikan gerakannya, lalu tubuhnya dia tegakkan sempurna. Pandangannya mendarat pada senyuman manis yang tersungging di bibir Rey.
"Hai, rajin amat. Udah dikasih tugas tambahan sama Kak Danish?" celotehnya dengan wajah manis. Bahu Bianca mengendur.
"Aku kira si Tuan Mesum," ujar Bianca. Mendengar itu Rey tertawa renyah.
"Apa? Siapa Tuan Mesum? Kamu, lagi. Apa yang kamu tertawakan?!"
Sebuah pukulan pelan mendarat di kepala belakang Rey. Melihat siapa yang datang, Bianca memutar bola mata.
"Panjang umurnya, ni, orang," umpat Bianca lirih.
"Hei, kau masih berani mengumpat di depanku?"
Danish berdiri dengan pongah. Bianca tersenyum malas. Walaupun ingin Bianca akui jika lelaki itu terlihat sangat tampan dengan stelan blazer abu tua dan rambutnya diikat dengan rapi.
'Ya Tuhan, kenapa mahluk mesum ini begitu ganteng?' batinnya.
"Maaf, Tuan, saya hanya bercanda. Silakan lewat, saya mau meneruskan membersihkan rumah ini, agar orang-orang di sini berpikiran bersih," pamit Bianca berjalan mundur sambil menarik alat penyedot debu.
"Hei, Bianca, tunggu sebentar!" panggil Rey. Bianca yang sudah hampir masuk ke ruang sebelah menghentikan langkahnya. Matanya menatap penuh tanya pada lelaki berkaos putih ditutupi blazer hitam itu.
"Hei, kau mau apa sama dia?" teriak Danish dengan kening berkerut. Rey hanya menjawab dengan lambaian tangan. Danish tampak berdecak sebal.
"Bianca, kamu mau jadi staff di kantorku? Dengan gaji yang kuberikan kau bisa melunasi hutang pada kakakku," ujar Rey. Mata Bianca terlihat berbinar bahagia.
"Benarkah? Ta-tapi ... aku hanya lulusan SMA. Pekerjaan apa yang bisa aku handle nantinya?" jawab Bianca ragu.
"Hei, rupanya kau sudah selangkah lebih maju, Rey! Tapi sorry, Bianca itu milikku. Jadi, kau harus mendapatkan izin dulu sebelum mempekerjakan dia. Dan sayangnya aku tidak mengizinkan itu!" ucap Danish sambil melangkah maju mendekati Bianca.
"Dan kau ... giatlah bekerja, karena kau harus membayar hutang itu lengkap dengan bunga yang bertambah setiap harinya," ucap Danish sambil menepuk pundak Bianca. Mendengar itu, mata Bianca langsung melotot.
"Dasar lintah darat mesum tak berperikemanusiaan!" umpat Bianca lirih tapi sukses membuat Rey tertawa terpingkal. Sementara Danish tersenyum sinis dan berlalu ke garasi.
"Kau gadis pemberani, Bianca. Hanya kau yang berani menyebut kakakku seperti itu." Rey mendekat ke arah gadis berkuncir kuda itu.
"Tenang, aku akan mencari cara agar Kak Danish mengizinkanmu bekerja padaku." Rey tersenyum manis kemudian berlalu.
"Emh ... Rey!" panggil Bianca. Lelaki itu membalikkan badannya. Alisnya bertaut.
"Ya?"
"Apa kau tidak bisa meminjamkan aku uang sebanyak hutangku pada kakakmu?" tanya Bianca memelas. Rey tersenyum menggoda.
"Bisa saja, sih. Tapi ada syaratnya." Rey mengedipkan mata.
"Apa syaratnya?" Bianca tampak penasaran. Dia berharap lelaki di hadapannya ini bisa mengeluarkannya dari masalah pelik. Rey semakin mendekat.
"Asal kau mau menjadi milikku," bisik Rey di samping telinga Bianca. Gadis itu melotot dan mengangkat gagang penyedot debu itu tinggi-tinggi hingga sejajar dengan kepala Rey.
"Dasar! Kakak dan adik sama saja mesumnya. Sini aku bersihkan kotoran yang menempel di otakmu!" teriak Bianca. Rey terkikik dan berlari menuju garasi.
Sepeninggal dua lelaki itu Bianca kembali melanjutkan pekerjaannya. Dia terlihat memaju mundurkan gagang penyedot debu itu sambil menggerutu kesal karena kelakuan kakak beradik itu. Semakin lama gerutuan itu menghilang, berganti nyayian indah dari bibir mungilnya.
Beres satu ruangan, Bianca hendak berpindah pada sebuah ruangan. Namun, seorang lelaki tua yang tampak duduk dengan tenang sambil menatap ke luar jendela menarik perhatiannya. Bianca mendekat dan menyapanya.
"Maaf, Tuan, saya mau membersihkan ruangan ini. Tapi ... jika saya mengganggu, saya bisa melakukannya lain kali," ucap Bianca seraya berbalik.
"Hei, tunggu. Kemarilah!" panggilnya seraya melambaikan tangan. Bianca kembali membalikkan badannya lalu membungkuk memberi hormat pada lelaki itu.
"Sini! Duduk di sini denganku," ucapnya sambil menepuk sebuah sofa kecil di sampingnya. Bianca mengangguk kemudian duduk di samping lelaki itu.
"Kamu pelayan di sini?" tanyanya dan menatap Bianca lekat. Gadis itu mengangguk.
Bianca menatap lelaki di sampingnya yang kembali menatap ke luar sambil menghela napas perlahan.
"Kamu ada di sini setiap hari 'kan? Apakah kamu bisa melihat anak-anakku bahagia?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya.
"Jadi, anda adalah ayahnya Tuan Danish dan Rey?" Bianca balik bertanya. Lelaki itu tersenyum lalu mengangguk pelan.
"Mungkin karena dosa-dosa yang telah aku perbuat hingga mereka makin menjauh dariku. Bahkan mereka tidak mau melihatku saat aku sakit." Bianca merasa serba salah untu menanggapinya. Mereka baru bertemu tapi lelaki itu dengan enteng mencurahkan keluh kesahnya.
"Ma-maaf Tuan. Mungkin Anda bisa mengatakannya pada mereka. Sepertinya Anda begitu merindukan kehadiran putra Anda. Tunggulah sampai mereka kembali dari bekerja, lalu kalian bisa makan malam bersama." Bianca coba menghibur. Namun, lelaki jangkung itu menggeleng pelan.
"Mereka, terutama Danish tidak mengharapkan kehadiranku. Melihat kedatanganku saja mereka segera pergi," ucapnya lagi. Bianca bisa melihat kesedihan di wajah tua itu. Akan tetapi dia tidak mengetahui seluk-beluk permasalahan di antara ayah dan anak itu.
"Danish menjadi seperti itu ... dan Rey juga berubah," ujarnya lagi. Bianca kembali menatap lelaki di sampjngnya.
"Menjadi seperti itu, maksudnya?" Bianca dengan lancang bertanya. Sudah kepalang tanggung dia mengetahui tentang Danish juga Rey.
"Danish jadi suka main perempuan. Di usianya yang sekarang dia tidak mau menikah. Hanya berpindah dari satu perempuan ke perempuan lainnya. Sebagai orang beragama, aku takut dia terjerumus makin dalam." Lelaki itu menjeda dan membuang napas kasar.
Sebuah dering dari ponsel mengalihkan perhatian ĺelaki tua itu. Dia merogoh sakunya melihat layar ponsel itu sekilas lalu menempelkan di telinga kirinya.
"Ya? Ok, sebentar lagi aku ke situ."
Klik!
Lelaki itu mematikan ponselnya lalu bangkit.
"Terima kasih sudah mau mendengarkan aku. Aku menceritakan ini semua karena tadi saat ke sini, sekilas aku bisa melihat pandangan Danish padamu. Dia memperhatikanmu dari jauh. Aku pikir dia menyukaimu," ucapnya sambil mengelus puncak kepala Bianca. Mata gadis itu membulat tak percaya.
Beberapa langkah berjalan, lelaki itu membalikkan tubuhnya.
"Namaku Demian, sampai ketemu lain waktu," ucapnya . Seulas senyum tersungging di bibirnya. Bianca pun mengangguk hormat.
"Bianca, tolong pilah setiap sayuran yang baru saja kau beli. Cuci lalu kau masukan ke wadah-wadah seperti biasanya. Jangan lupa langsung masukan ke kulkas," pinta sang juru masak saat melihat kedatangan Bianca dari pasar moderen. Gadis itu tersenyum dan mengangguk.Bianca segera duduk dan menaruh aneka sayuran itu di meja. Tangannya begitu cekatan memilah. Tak perlu waktu lama semuanya sudah selesai dipilah dan dicuci."Bianca, bisa minta tolong?" panggil Yuni. Bianca yang baru menutup kulkas langsung menoleh."Ya, Mbak?""Tolong masukan baju-baju Tuan Rey juga Tuan Danish ke lemari mereka. Baju-bajunya ada di ruang laundry. Tolong, ya, aku ada perlu dulu," jelas Yuni."Siap, Mbak!" jawab Bianca.Yuni melenggang, meninggalkan Bianca yang tampak malas harus memasuki kamar sang tuan walaupun mereka belum kembali dari kantor.Bianca mengambil setumpuk kaos dalam, celana dalam juga baju-baju yang biasa dipakai di rumah. Gadis itu menaruh ke dalam box agar lebih mudah membawanya."Ini sep
"Hei, aku bisa mendengar nada cemburu dari kalimatmu!" ujar Danish. Bianca melengos."Cemburu apanya? Aku justru merasa jijik!" sergah Bianca.Danish meraih bahu gadis itu dan memutar agar menghadapnya."Hei, kau menangis?" tanyanya lirih. Jempol kanannya mengusap air yang tanpa sadar berjatuhan di sudut mata Bianca. Gadis berseragam pelayan itu menunduk dalam, merasa malu. Seperti seorang maling yang kepergok sekuriti.Danish mengangkat dagu gadis itu dengan ujung jarinya."Lihat aku!" pintanya. Perlahan dua pasang mata itu bertemu. Danish seolah ingin menyelam ke dalam palung hati gadis di depannya, melalui sorot mata itu.Tangan Danish meraih tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. Dia hirup puncak kepala Bianca dalam-dalam."Maaf, jika aku membuatmu terluka," bisik Danish lirih.Entah mengapa, dekapan itu begitu menenangkan hati Bianca.Beberapa saat Bianca mulai bisa menguasai diri. Dia dorong tubuh jangkung lelaki yang mendekapnya."Hei, kau jangan coba-coba mengambil kesempatan d
Danish menghampiri Bianca yang sedang asyik membersihkan kaca jendela kamarnya. Seragam putih dengan aksen renda di ujungnya begitu pas menempel di tubuh mungil gadis itu. Danish menutup pintu yang tadinya terbuka. Suaranya membuat Bianca kaget dan menoleh. Gadis berkuncir kuda itu kembali menghadap jendela dan menghela napas panjang, menyadari masalah apa yang akan segera dihadapinya. "Bianca." Terdengar suara berat agak serak dari lelaki yang selalu saja menghantuinya. Gadis itu bergeming. Dia menatap ke luar. Langkah kaki terdengar mendekatinya. Jantung gadis itu berdebar tak karuan. 'Ya Tuhan, tolong kuatkan imanku menghadapi mahlukmu yang satu ini,' batin Bianca. Sebuah sentuhan terasa di pundaknya. Bianca memejamkan matanya hingga kelopaknya tampak mengerut. Tangan itu berusaha memutar tubuhnya. Tak bisa menolak, Bianca hanya bisa menunduk untuk menghindari tatapan lelaki itu. "Kau marah?" tanyanya yang membuat gadis itu mengernyit bingung. Wajahnya perlahan terangkat. Ma
Bianca berusaha mencari tahu. Namun, Danish hanya menggeleng."Tidak apa-apa, aku hanya terluka sedikit," ucap Danish datar. "Coba aku lihat, Tuan." Bianca menarik paksa lengan Danish. Namun, yang dipaksa enggan memberikan tangannya. Danish mundur untuk menghindari Bianca. Akan tetapi gadis itu tetap memaksa ingin melihat luka tuannya. Karena gerakan mereka yang saling menarik, tanpa sengaja handuk yang dipakai Danish terlepas. Bianca yang sedang berusaha menarik tangan Danish, refleks menjerit dan menutup matanya saat melihat sesuatu yang tabu. "Sudah kubilang aku tidak apa-apa. Kenapa kau malah memaksa." Danish menggerutu sambil meraih handuknya dan memakainya kembali. Sepintas Bianca bisa melihat luka di jari tangan Danish yang masih mengeluarkan darah. "Tanganmu berdarah, Tuan. Tunggu sebentar akan aku ambilkan plester dan obat merah," ujar Bianca. Dia berlari ke ruang tengah di mana terdapat peralatan P3K. Setelah didapat, dia segera kembali ke kamar Danish. Di sana Danish
"Memangnya siapa yang rambutnya acak-acakan?" tanya Danish dingin. Bianca terlihat salah tingkah. "Eh, itu ... ish aku lagi ngomongin Lee Min Ho. Dia kan penampilannya memang rapi," jawab Bianca kikuk. Danish menyunggingkan seulas senyum sinis kemudian berlalu ke kamarnya. "Rey, kakakmu seperti tersinggung," ujar Bianca dengan wajah menyesal. Rey hanya tertawa kecil. "Kak Danish emang selalu serius. Gak usah diambil pusing. Aku mandi dulu ya." Rey bangkit dan berlalu ke kamarnya. Bianca mengangguk sembari tersenyum. ****** Keesokan harinya, saat sore menjelang Bianca mengganti sprei di tiap kamar. Sengaja dilakukan sore, agar saat pemilik kamar tiba sprei-nya terlihat masih bersih. Lagu Pretty Boy dari M2M mengalun merdu dari ponsel gadis itu. I lie awake at night See things in black and white I've only got you inside my mind You know you have made me blind I lie awake and pray That you will look my way I have all this longing in my heart I knew it right from the start
"Astaga! Tuan, Anda baik-baik saja?" tanya Bianca makin mendekat. Dia sentuhkan punggung tangannya ke kening Danish."Panas sekali, Tuan," ujar Bianca seraya menarik tangannya, "Anda sakit. Tunggu sebentar saya ambilkan kompresan." Bianca segera berlari ke arah dapur dan mengambil air es. Kemudian, sebuah handuk kecil dia ambil dari ruang laundry. Tak lama, gadis itu kembali ke kamar Danish. Dia bahkan tidak menghiraukan pertanyaan dari Rey yang heran melihat Bianca bolak-balik.Bianca mengambil sebuah kursi dan menempatkannya tepat di samping tempat tidur. Dia segera memeras handuk dalam wadah air es dan menempelkannya di kening Danish. Lelaki itu tampak mengernyitkan dahinya. Sepertinya dia tidak nyaman dengan rasa dingin yang tiba-tiba terasa. Tubuhnya menggeliat. "Dingiin," rintihnya pelan. "Tapi Anda panas sekali, Tuan." Bianca menempelkan kembali handuk yang sempat terjatuh. "Minum obat dulu ya? Atau saya panggilkan dokter?" Danish menggeleng. "Aku hanya pusing setelah mem
"Makanya harus nurut kalau mau diurusin!" ujar Bianca ketus. Danish mengangguk pelan. "Iya, Tuan Putri," jawab Danish lirih. Wajahnya yang pucat tampak memelas. Bianca kembali ke tempat duduknya."Haa ...!"Bianca menyodorkan sesendok bubur yang mulai dingin. Walau rasa mual terasa menyiksa, lelaki bermata elang itu berusaha membuka mulutnya. Sesuap bubur berhasil dia telan dengan kekuatan super."Kamu sakit karena telat makan. Makanya jangan susah makan, Tuan. Apa susahnya, sih? Orang lain pada susah mau makan. Ini tinggal buka mulut, tapi susahnya minta ampun," cerocos Bianca tanpa jeda. Danish memperhatikan gadis itu sambil mengunyah bubur yang terasa pahit di lidah."Kamu cantik kalau lagi cerewet sepert itu," ucap Danish yang berhasil membuat wajah Bianca merah seketika. Gadis itu terlihat salah tingkah."Kalau kamu mau aku gak telat makan, mulai sekarang kamu harus suapin aku tiap hari," lanjut Danish."Kenapa kamu manja sekali, Tuan? Dan kenapa tidak kau nikahi saja salah satu
Gadis bertubuh mungil itu memindai seisi lemari pendingin yang ukurannya lebih besar dari lemari di kamarnya. Ada chesse cake juga brownies aneka rasa. Setelah mengambil beberapa potong dan menaruhnya di piring kecil, Bianca segera menyiapkan teh chrysant. Secepat kilat dia menaruh di meja di mana Rey sudah ada di sana."Silakan. Aku ke kamar dulu ya." Bianca menyunggingkan seulas senyum sebelum pergi. Baru satu langkah, terdengar lelaki itu memanggil namanya, "Bianca."Gadis itu menoleh."Iya?""Temani aku sebentar. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan sama kamu."Gadis itu urung melanjutkan langkahnya. Dia kembali ke meja dan menarik sebuah kursi di depan Rey.Lelaki itu bangkit. Bianca menatapnya penuh tanya."Tunggu! Sekarang giliranku membuatkan teh untuk kamu. Diam di situ!" pinta lelaki berkaos putih itu. Kening Bianca mengerut.Tak perlu waktu lama, secangkir teh chrysant telah tersaji di depan Bianca. Wanginya menguar seantero ruangan."Kamu belum pernah mencobanya, 'kan? Ban