"Bianca, tolong pilah setiap sayuran yang baru saja kau beli. Cuci lalu kau masukan ke wadah-wadah seperti biasanya. Jangan lupa langsung masukan ke kulkas," pinta sang juru masak saat melihat kedatangan Bianca dari pasar moderen. Gadis itu tersenyum dan mengangguk.
Bianca segera duduk dan menaruh aneka sayuran itu di meja. Tangannya begitu cekatan memilah. Tak perlu waktu lama semuanya sudah selesai dipilah dan dicuci.
"Bianca, bisa minta tolong?" panggil Yuni. Bianca yang baru menutup kulkas langsung menoleh.
"Ya, Mbak?"
"Tolong masukan baju-baju Tuan Rey juga Tuan Danish ke lemari mereka. Baju-bajunya ada di ruang laundry. Tolong, ya, aku ada perlu dulu," jelas Yuni.
"Siap, Mbak!" jawab Bianca.
Yuni melenggang, meninggalkan Bianca yang tampak malas harus memasuki kamar sang tuan walaupun mereka belum kembali dari kantor.
Bianca mengambil setumpuk kaos dalam, celana dalam juga baju-baju yang biasa dipakai di rumah. Gadis itu menaruh ke dalam box agar lebih mudah membawanya.
"Ini sepertinya punya Rey, karena ukuran bajunya lebih kecil. Dan yang itu sepertinya punya si Tuan Mesum karena badannya jauh lebih besar," gumam Bianca berbicara pada diri sendiri.
Sejenak Bianca teringat akan ibunya. Dia yakin, jika sang ayah mengatakan suatu alasan agar sang ibu tidak khawatir. Mungkin mengatakan jika Bianca bekerja ke luar kota atau mungkin alasan lainnya. Gadis itu menghela napas dalam dan mengembuskannya perlahan.
Dia tidak menyangka jika Tyo akan bertindak keterlaluan dengan menjualnya pada Danish. Namun, setidaknya sekarang dia merasa jauh lebih aman karena tidak harus bertemu dengan orang yang selalu memerasnya itu. Akan tetapi, kerinduannya pada sang ibu begitu menyiksa.
"Tunggu Bianca, ya, Bu. Bianca akan segera menjemput Ibu dari sana," gumamnya lirih. Setitik air jatuh dari sudut matanya tepat mengenai lengannya yang berkulit putih. Bianca tersadar dan segera bangkit meraih dua buah boks berukuran sedang, menumpuknya dan dibawa dalam dekapannya.
Sebelum memasuki kamar Rey, tak lupa dia mengetuk dulu. Tak ada jawaban.
"Aku seperti orang bodoh, mengetuk pintu kamar yang tak berpenghuni. Mana ada jawaban," gumamnya lagi.
Dengan sikutnya, Bianca menekan gagang pintu agar terbuka.
Kriet!
Sepi. Tak ada siapa pun di sana. Bianca segera menaruh boks itu di meja. Mengambil tumpukannya dan segera menaruhnya ke dalam lemari.
"Beres! Tinggal punya si Tuan Mesum," ujar Bianca sambil menepuk-nepuk kedua tangannya seolah baju-baju itu berdebu.
Bianca meraih boks itu ke dalam dekapannya. Dia keluar dari kamar itu dan segera menuju kamar Danish. Dari jarak beberapa langkah terlihat jika pintu itu terbuka sedikit. Sepertinya Danish tidak menutup rapat saat berangkat tadi, pikir Bianca. Dia segera meluncur tanpa pikir panjang.
Kriet!
Blam!
Pintu terbuka menunjukkan pemandangan yang membuat Bianca terpaku. Boks dalam genggamannya terjatuh ke lantai, mengeluarkan bunyi bedebum. Membuat dua insan yang sedang bergumul di atas ranjang terperanjat kaget.
"Bianca?"
Danish tampak kaget dan meraih selimut untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Bianca membuang muka dan segera meninggalkan ruangan itu, juga pakaian yang berserakan di lantai.
Danish segera meraih baju dan memakainya. Dia berniat mengejar gadis yang tanpa sengaja melihat pergumulannya di tempat tidur.
"Danish, kau mau ke mana? Kita bahkan belum selesai!" ujar wanita cantik di atas ranjang. Danish menolehnya sekilas.
"Kita sudah memilih tempat yang salah, Barbara. Sudah kubilang, sebaiknya di hotel saja!" umpat Danis lalu beranjak pergi. Wanita yang dipanggil Barbara itu mendengkus karena kesal ditinggalkan di separuh perjalanan.
.
Bianca berdiri menghadap kolam ikan koi sambil mengatur napasnya yang tersengal. Debaran di dadanya berdetak kencang. Beberapa kali dia memejamkan mata dan mengembuskan napas untuk menghilangkan kekalutan pikirannya.
Sebuah pemandangan menjijikan yang tak sengaja dilihatnya. Dia menggeleng cepat. Berharap bayangan itu segera hilang dari kepalanya. Namun, bayangan kedua orang yang saling mencumbu dengan panas itu sepertinya enggan pergi dari otaknya. Malah makin tergambar jelas saat sang wanita menggelinjang bagai cacing kepanasan dengan desahan yang membuat Bianca makin jijik. Sentuhan, gigitan dan gerakan erotis yang ditunjukkan Danish, entah mengapa membuatnya sakit.
"Hei, kau di sini rupanya." Sebuah suara menyadarkan Bianca dari asyiknya melamun. Gadis itu tersentak kaget. Dia tidak menyangka sama sekali jika lelaki itu akan menyusulnya ke sana.
"Kenapa ke sini? Pergi sana! Bukannya kau sedang menikmati cumbuan pacarmu?" sindir Bianca. Lelaki itu tersenyum hambar. Dia semakin mendekati gadis bertubuh mungil itu.
"Hei, aku bisa mendengar nada cemburu dari kalimatmu!" ujar Danish. Bianca melengos.
"Hei, aku bisa mendengar nada cemburu dari kalimatmu!" ujar Danish. Bianca melengos."Cemburu apanya? Aku justru merasa jijik!" sergah Bianca.Danish meraih bahu gadis itu dan memutar agar menghadapnya."Hei, kau menangis?" tanyanya lirih. Jempol kanannya mengusap air yang tanpa sadar berjatuhan di sudut mata Bianca. Gadis berseragam pelayan itu menunduk dalam, merasa malu. Seperti seorang maling yang kepergok sekuriti.Danish mengangkat dagu gadis itu dengan ujung jarinya."Lihat aku!" pintanya. Perlahan dua pasang mata itu bertemu. Danish seolah ingin menyelam ke dalam palung hati gadis di depannya, melalui sorot mata itu.Tangan Danish meraih tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. Dia hirup puncak kepala Bianca dalam-dalam."Maaf, jika aku membuatmu terluka," bisik Danish lirih.Entah mengapa, dekapan itu begitu menenangkan hati Bianca.Beberapa saat Bianca mulai bisa menguasai diri. Dia dorong tubuh jangkung lelaki yang mendekapnya."Hei, kau jangan coba-coba mengambil kesempatan d
Danish menghampiri Bianca yang sedang asyik membersihkan kaca jendela kamarnya. Seragam putih dengan aksen renda di ujungnya begitu pas menempel di tubuh mungil gadis itu. Danish menutup pintu yang tadinya terbuka. Suaranya membuat Bianca kaget dan menoleh. Gadis berkuncir kuda itu kembali menghadap jendela dan menghela napas panjang, menyadari masalah apa yang akan segera dihadapinya. "Bianca." Terdengar suara berat agak serak dari lelaki yang selalu saja menghantuinya. Gadis itu bergeming. Dia menatap ke luar. Langkah kaki terdengar mendekatinya. Jantung gadis itu berdebar tak karuan. 'Ya Tuhan, tolong kuatkan imanku menghadapi mahlukmu yang satu ini,' batin Bianca. Sebuah sentuhan terasa di pundaknya. Bianca memejamkan matanya hingga kelopaknya tampak mengerut. Tangan itu berusaha memutar tubuhnya. Tak bisa menolak, Bianca hanya bisa menunduk untuk menghindari tatapan lelaki itu. "Kau marah?" tanyanya yang membuat gadis itu mengernyit bingung. Wajahnya perlahan terangkat. Ma
Bianca berusaha mencari tahu. Namun, Danish hanya menggeleng."Tidak apa-apa, aku hanya terluka sedikit," ucap Danish datar. "Coba aku lihat, Tuan." Bianca menarik paksa lengan Danish. Namun, yang dipaksa enggan memberikan tangannya. Danish mundur untuk menghindari Bianca. Akan tetapi gadis itu tetap memaksa ingin melihat luka tuannya. Karena gerakan mereka yang saling menarik, tanpa sengaja handuk yang dipakai Danish terlepas. Bianca yang sedang berusaha menarik tangan Danish, refleks menjerit dan menutup matanya saat melihat sesuatu yang tabu. "Sudah kubilang aku tidak apa-apa. Kenapa kau malah memaksa." Danish menggerutu sambil meraih handuknya dan memakainya kembali. Sepintas Bianca bisa melihat luka di jari tangan Danish yang masih mengeluarkan darah. "Tanganmu berdarah, Tuan. Tunggu sebentar akan aku ambilkan plester dan obat merah," ujar Bianca. Dia berlari ke ruang tengah di mana terdapat peralatan P3K. Setelah didapat, dia segera kembali ke kamar Danish. Di sana Danish
"Memangnya siapa yang rambutnya acak-acakan?" tanya Danish dingin. Bianca terlihat salah tingkah. "Eh, itu ... ish aku lagi ngomongin Lee Min Ho. Dia kan penampilannya memang rapi," jawab Bianca kikuk. Danish menyunggingkan seulas senyum sinis kemudian berlalu ke kamarnya. "Rey, kakakmu seperti tersinggung," ujar Bianca dengan wajah menyesal. Rey hanya tertawa kecil. "Kak Danish emang selalu serius. Gak usah diambil pusing. Aku mandi dulu ya." Rey bangkit dan berlalu ke kamarnya. Bianca mengangguk sembari tersenyum. ****** Keesokan harinya, saat sore menjelang Bianca mengganti sprei di tiap kamar. Sengaja dilakukan sore, agar saat pemilik kamar tiba sprei-nya terlihat masih bersih. Lagu Pretty Boy dari M2M mengalun merdu dari ponsel gadis itu. I lie awake at night See things in black and white I've only got you inside my mind You know you have made me blind I lie awake and pray That you will look my way I have all this longing in my heart I knew it right from the start
"Astaga! Tuan, Anda baik-baik saja?" tanya Bianca makin mendekat. Dia sentuhkan punggung tangannya ke kening Danish."Panas sekali, Tuan," ujar Bianca seraya menarik tangannya, "Anda sakit. Tunggu sebentar saya ambilkan kompresan." Bianca segera berlari ke arah dapur dan mengambil air es. Kemudian, sebuah handuk kecil dia ambil dari ruang laundry. Tak lama, gadis itu kembali ke kamar Danish. Dia bahkan tidak menghiraukan pertanyaan dari Rey yang heran melihat Bianca bolak-balik.Bianca mengambil sebuah kursi dan menempatkannya tepat di samping tempat tidur. Dia segera memeras handuk dalam wadah air es dan menempelkannya di kening Danish. Lelaki itu tampak mengernyitkan dahinya. Sepertinya dia tidak nyaman dengan rasa dingin yang tiba-tiba terasa. Tubuhnya menggeliat. "Dingiin," rintihnya pelan. "Tapi Anda panas sekali, Tuan." Bianca menempelkan kembali handuk yang sempat terjatuh. "Minum obat dulu ya? Atau saya panggilkan dokter?" Danish menggeleng. "Aku hanya pusing setelah mem
"Makanya harus nurut kalau mau diurusin!" ujar Bianca ketus. Danish mengangguk pelan. "Iya, Tuan Putri," jawab Danish lirih. Wajahnya yang pucat tampak memelas. Bianca kembali ke tempat duduknya."Haa ...!"Bianca menyodorkan sesendok bubur yang mulai dingin. Walau rasa mual terasa menyiksa, lelaki bermata elang itu berusaha membuka mulutnya. Sesuap bubur berhasil dia telan dengan kekuatan super."Kamu sakit karena telat makan. Makanya jangan susah makan, Tuan. Apa susahnya, sih? Orang lain pada susah mau makan. Ini tinggal buka mulut, tapi susahnya minta ampun," cerocos Bianca tanpa jeda. Danish memperhatikan gadis itu sambil mengunyah bubur yang terasa pahit di lidah."Kamu cantik kalau lagi cerewet sepert itu," ucap Danish yang berhasil membuat wajah Bianca merah seketika. Gadis itu terlihat salah tingkah."Kalau kamu mau aku gak telat makan, mulai sekarang kamu harus suapin aku tiap hari," lanjut Danish."Kenapa kamu manja sekali, Tuan? Dan kenapa tidak kau nikahi saja salah satu
Gadis bertubuh mungil itu memindai seisi lemari pendingin yang ukurannya lebih besar dari lemari di kamarnya. Ada chesse cake juga brownies aneka rasa. Setelah mengambil beberapa potong dan menaruhnya di piring kecil, Bianca segera menyiapkan teh chrysant. Secepat kilat dia menaruh di meja di mana Rey sudah ada di sana."Silakan. Aku ke kamar dulu ya." Bianca menyunggingkan seulas senyum sebelum pergi. Baru satu langkah, terdengar lelaki itu memanggil namanya, "Bianca."Gadis itu menoleh."Iya?""Temani aku sebentar. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan sama kamu."Gadis itu urung melanjutkan langkahnya. Dia kembali ke meja dan menarik sebuah kursi di depan Rey.Lelaki itu bangkit. Bianca menatapnya penuh tanya."Tunggu! Sekarang giliranku membuatkan teh untuk kamu. Diam di situ!" pinta lelaki berkaos putih itu. Kening Bianca mengerut.Tak perlu waktu lama, secangkir teh chrysant telah tersaji di depan Bianca. Wanginya menguar seantero ruangan."Kamu belum pernah mencobanya, 'kan? Ban
Sore itu Bian dengan telaten menyeka tubuh Danish menggunakan waslap, lalu menggantikan bajunya dengan yang baru."Tolong ambilkan juga pakaian dalamku, Bian. Aku sudah tidak nyaman."Mendengar itu mata Bian membulat sempurna."Siapa yang mau pakaikan, Tuan. Memangnya kau bisa memakainya sendiri?" Bian berkacak pinggang dengan wajah memberengut."Tentu saja kau yang pasangkan. Aku mana bisa. Kau lihat sendiri, 'kan, tanganku susah bergerak karena selang infus ini.""Anda jangan ngelantur, Tuan. Sementara kau pakai saja celana dalam itu sampai sembuh.""Biiiaaan, kau bisa membuka dan memakaikannya tanpa melihat. Kau bisa tutupi tubuhku dengan selimut. Ayo, tolonglah. Aku sudah tidak nyaman." Wajah Danish terlihat memelas. Bian menarik napas panjang."Ok, tapi kau tidak boleh berbuat mesum, ya. Kalau tidak, aku potong pakai pisau buah ini!" ancam Bian. Melihat itu, Danish meringis ngeri."Jahat banget kamu, Bian.""Bilang jahat, tapi maunya aku yang urusin. Kau itu aneh sekali, Tuan. Pa