Setelah kepergian Rey, Bianca segera masuk. Matanya terbelalak saat melihat interior kamar itu. Sebuah kamar yang begitu girly. Bianca seperti ada di sebuah kamar dalam drama korea yang sering ditontonnya. Semua perabotan terbuat dati kayu yang dicat putih. Ranjang berukuran sedang dengan sprei dan bed cover berwarna pink lembut. Kasurnya tampak begitu empuk.
Sebuah pintu lagi ada dipojok. Saat Bianca membukanya, tampak kamar mandi dengan bathtub putih terdapat di sana.
Bianca memang sudah merasa tidak nyaman, karena belum mandi lagi sejak datang tadi pagi. Dia segera membuka pakaiannya dan berendam dalam air hangat.
Lima belas menit berlalu, Bianca bangkit dan meraih handuk yang sudah tersedia di sana. Dia keluar dari kamar mandi tepat saat pintu kamarnya pun terbuka. Dua pasang mata itu bertemu.
"Aaaaww!" Bianca refleks menjerit saat sadar siapa yang masuk. Dia ceroboh dengan tidak mengunci pintu kamar itu.
"Pergi kau! Dasar mesum!" teriak Bianca.
Danish tersenyum sinis. Sebuah paper bag dalam tentengan tangan kirinya dia lempar ke atas kasur.
"Ini baju buat kamu. Apakah kau akan pakai baju yang tadi seharian?"
Danish mendekat pada gadis itu. Bianca terlihat gugup dan memegangi ujung handuknya.
"Kau mau apa?" tanya Bianca gelagapan. Matanya melotot saat tangan besar dan berotot itu menjulur ke wajahnya.
Pergi atau kutendang lagi, kau!"
Teriakan Bianca terhenti seketika, saat jari besar itu mengelus ujung matanya.
"Kau mandi atau apa? Kotoran mata sebesar ini tak kau bersihkan," ucap Danish lalu mengelapkan tangannya pada handuk yang dipakai Bianca.
Gadis itu tampak gugup karena malu. Danish membalikan tubuhnya dan berlalu.
"Cepat pakai baju! Aku tunggu kamu di ruang makan!" titahnya lalu menutup pintu. Bianca menarik napas lega.
Dia membuka paper bag yang tergeletak di atas kasur.
Beberapa dress selutut dengan model sederhana tapi manis ada di sana. Sebuah dress warna biru langit menarik perhatiannya. Modelnya begitu cantik. Bianca mencobanya sambil menatap diri di cermin. Cantik. Baju itu begitu pas melekat di tubuhnya.
Sejenak Bianca berpikir, bagaimana seorang lelaki bisa memilih baju yang begitu pas untuk seorang wanita. 'Ah, bodo amat,' pikirnya lagi.
.
"Kak Danish," panggil Rey pada kakaknya yang duduk sambil menonton pertunjukan balap mobil di TV. Danish menoleh sekilas.
"Hmm," jawabnya. Rey mengempaskan tubuhnya di sofa tepat di samping sang kakak.
"Apa yang akan kau lakukan pada gadis itu selanjutnya? Usahamu sepertinya akan sulit. Dia bukan perempuan yang mudah kau taklukkan." Rey menatap pada kakaknya yang masih fokus menonton balapan.
"Jangan panggil aku Danish, jika tidak bisa menaklukan perempuan," jawabnya datar. Rey tertawa kecil.
"Sepertinya kau harus menikahinya dulu sebelum mengajaknya ke tempat tidur." Rey kembali melirik ke arah kakaknya. Danish tersenyum kecut.
"Tidak ada dalam kamusku untuk menikah muda. Aku masih bisa bersenang-senang dengan banyak wanita. Aku tidak mau terikat hanya pada satu wanita. Heh, membosankan!" umpatnya lirih.
"Wow ... wow ... kakakku memang tidak pernah berubah. Bagimana kalau dia untukku saja?" bisik Rey.
Suasana mendadak serius. Danish menekan tombol mute pada remote di genggamannya.
"Apa kau bilang?" Matanya menyipit. Tatapannya terlihat nyalang.
"Oww ... oww ... aku hanya bercanda, Kak." Rey terkekeh.
"Eheemm!" Sebuah dehaman membuyarkan kekakuan di antara kakak beradik itu. Mereka kompak menoleh ke sumber suara.
"Tuan Danish, bolehkah aku berbicara." Bianca berdiri dengan kikuk. Dua pasang mata menatapnya dengan kagum.
"Hei, Bianca. Kamu cantik sekali!" seru Rey. Danish meliriknya dengan tatapan tidak suka.
"Bicaralah dari sana. Aku tidak mau terkena tendanganmu lagi," ujar lelaki berusia tiga puluh itu. Bianca memutar bola matanya, jengah.
"Aku mengajukan diri untuk jadi pembantu saja di rumah ini. Tak peduli jika aku harus kerja seumur hidupku. Asalkan kau tidak memintaku yang tidak-tidak," ujar Bianca gugup. Danish menatapnya sinis.
"Terserah kau. Lakukan saja yang kamu mau!" jawabnya lalu bangkit menuju ruang makan. Bianca mengekorinya dari belakang.
"Kalau begitu, apakah saya harus pakai seragam seperti mbak-mbak yang membersihkan rumah ini?" tanya Bianca.
"Terserah!"
"Lalu pekerjaanku apa, nanti?"
"Terserah!"
"Lho, kok terserah, sih? Setidaknya kau sebutkan sebuah tugas untukku," rengek Bianca.
Tubuh Bianca menubruk Danish yang berhenti tiba-tiba. Lelaki bertinggi 185 senti itu menoleh ke belakang.
"Oke, mulai besok kau layani aku di tempat tidur!"
Mata Bianca melotot mendengar ucapan Danish.
Danish duduk termenung di pinggir ranjang. Tatapannya kosong. Bian mengelus punggungnya perlahan.Lelaki itu perlahan menoleh. “Apa kamu memang merencanakan ini semua sebelum berangkat ke sini?” tanya Danish. Bian mengangguk.“Jadi kamu sudah tahu kebobrokan mereka?”Bian kembali mengangguk.Danish memejamkan matanya dan melengos.“Dia lelaki yang paling aku benci. Tidak pernah berubah walaupun sudah tua. Dia tidak pernah puas dengan satu wanita,” ucapnya menyesalkan.“Apakah itu yang menjadi alasanmu berganti-ganti wanita?” tanya Bian polos.Danish menoleh dan menatap wanitanya lekat. “Aku jadikan itu sebagai pelampiasan. Selain ibuku, aku menganggap semua wanita adalah sama. Makhluk murah dan menjijikan. Mereka hanya bisa menjadi pemuas nafsu sesaat. Sebelum akhirnya aku bertemu kamu dan menyadari semuanya. Kau berbeda, Bian,” ungkap Danish.“Setiap wanita yang kutemui, mereka dengan mudah menyerahkan kehormatannya demi sejumlah uang. Ada juga yang tergila-gila padaku dan mau melaya
“Apa-apaan ini?” Irene berusaha mempertahankan selimut yang menutupi tubuh polosnya. Namun, Monic pun tak mau kalah. Dia menarik tangan Irene yang tengah duduk dan menyilangkan tangan di dadanya.Monic tahu, semua itu demi menutupi tubuhnya yang tak memakai apapun.“Berengsek, ya, kalian! Nggak punya otak! Nggak punya hati!” teriak Monic.“Kau perempuan ular, Irene! Kau tega menikamku dari belakang. Akan aku bongkar semua kebobrokanmu sekarang juga.” Monic berteriak dengan napas yang naik turun. Matanya merah menahan sedih dan amarah.“Perlu kau tau, Danish. Kalau sebetulnya sekarang ini dia tidak hamil. Dia berpura-pura hamil supaya bisa menjebakmu dan memperoleh semua kekayaanmu.” Monic terengah.Danish terperangah. Namun, tidak dengan Bian. Dia sudah bisa menduganya.“Diam kau sialan!” Irene kini yang bangkit walaupun dengan gerakan tak bebas karena berusaha menutupi tubuhnya yang polos.“Aku tidak akan tinggal diam, Irene! Kau tega menggoda Demian di belakangku!” balas Monic.Bian
Bian masih menyembunyikan masalah itu dari Danish. Dia tidak ingin menambah beban suaminya yang tengah sibuk dengan pekerjaan dan bisnisnya. Bian berencana akan menangkap basah keduanya dengan disaksikan oleh Danish juga Monic.Dia yakin jika tak lama lagi Irene akan meminta izin pada Danish untuk pergi ke luar kota, entah dengan memberikan alasan apa.Benar saja, hanya berselang beberapa hari, Irene meminta izin pada Dnish jika dia akan ada acara reuni dengan teman-temannya di Bali. Tepat seperti yang pernah Bian dengar saat di kafe jika kedua pasangan selingkuh itu akan pergi ke Bali.“Boleh, kan, Danish?” pinta Irene dengan rengekan manjanya. Danish tak menanggapi. Dia malah asik melanjutkan makan malamnya.“Tuan, Mbak Irene lagi bertanya.” Bian berbisik. Namun, Danish tak menggubrisnya.“Aku nggak peduli. Mau dia pergi ke neraka sekalipun, aku nggak peduli,” jawab Danish. Bian tersenyum malas. Sedangkan Irene tampak biasa saja dengan sikap Danish yang tak peduli.“Jadi kamu kasih
“Hei, Bian.” Sebuah suara menyapa Bian yang sedang memilih pakaian di sebuah pusat perbelanjaan. Sekarang dia sudah berani ke mana-mana sendiri tanpa diantar oleh Danish yang super sibuk.“Hei, Lena!” Bian ikut terperangah saat melihat siapa yang menyapanya. Seorang teman lama semasa SMA.“Kamu keren, ya, sekarang. Makin cantik dan modis aja,” ujarnya sambil menilik Bian dari atas sampai bawah.Bian tertawa kecil.“Kamu lagi beli baju?” tanyanya dan Bian mengangguk.“Katanya, sekarang kamu punya suami yang kaya raya, ya? keren, deh, Bian.”Karena merasa tak enak diperhatikan oleh orang-orang, Bian mengajak Lena untuk mengobrol di kafe.“Kamu yang traktir, ya?” goda Lena mengedipkan mata. Bian tersenyum sambil mengacungkan jempolnya.Mereka kembali mengobrol setelah memesan makanan dan minuman. Lena menanyakan kehidupan Bian yang konon bersuamikan seorang bule kaya. Bian hanya tertawa tanpa banyak mengungkapkan bagaimana Danish sebenarnya.“Sama ajalah sama yang lain. Bedanya suamiku e
Mata biru itu membelalak saat melihat siapa yang sedang duduk di ruang TV. Dengan santainya Rey memindahkan saluran sambil bersilang kaki.“Berani juga kau ke sini,” sindir Danish yang baru turun dari kamarnya. Rey tersenyum malas.“Aku ingin tahu keadaan Bian,” jawab Rey dengan entengnya.Danish terbahak.“Apa kau terlalu santai hingga mengurusi istri orang, hah? Dia itu tanggungjawabku, kau tidak perlu repot-repot memikirkannya. Hidupnya sudah sempurna dengan berada di sisiku.”Rey bangkit dan tersenyum kecut. “Oh, ya? Bagaimana dengan ini?” ucapnya menunjukan surat panggilan dari Pengadilan Agama.Danish membelalak. Dia tak menyangka jika Bian benar-benar mengajukan gugatan cerai.Dengan penuh amarah Danish menyambar surat itu dan menyobeknya hingga berkeping-keping.“Ini hanya lelucon. Bian akan segera mencabutnya,” ucap Danish jumawa.“Oh ya? Apa kau sudah yakin?” tanya Rey mengejek.Danish kembali terbahak. Dia kemudian meneriakan nama sang istri dengan lantang. Memangginya agar
Danish menatap secarik kertas berwarna hitam putih dengan gambar siluet bayi tak begitu jelas. Dahinya mengernyit. Dia tidak meyakini kebenaran tentang gambar hasil USG itu.Tanpa mengatakan apapun, Danish pergi dan melempar begitu saja hasil USG itu ke atas meja.“Gambar seperti ini bisa punya siapa saja. Aku tidak akan percaya sampai lihat hasil tes DNA,” ujarnya santai.Irene terlihat kesal dan meremas kertas hitam putih itu hingga tak berbentuk.“Dasar laki-laki nggak bertanggungjawab!” teriak Irene geram.Danish yang hampir menginjakan kakinya di undakan tangga terhenti seketika dan perlahan berbalik. Tersungging senyum sinis di wajahnya.“Kau bilang aku tidak bertanggungjawab?” Danish tersenyum kecut. “Lalu bagaimana kau bisa tinggal di sini dengan uang yang aku berikan padamu setiap kau minta?”Irene melengos.“Kau tidak pernah memperlakukan aku seperti kau perlakukan Bian. Kau tidak adil!” Irene kemudian berani berteriak.Danish melangkahkan kakinya mendekati wanita itu.“Apa