Ethan mengempaskan tubuh ke atas kasur, hari itu dia benar-benar merasakan lelah yang teramat sangat, tapi ada rasa senang di hatinya.
“Gadis itu sedikit aneh, serampangan, tapi unik. Karen tak seperti dia yang selalu menuruti segala kemauanku, tak pernah membantah, tapi gadis itu selalu membantahku, dia memiliki karakter sendiri yang bisa membuat siapa pun tertarik padanya, hmmm ...,” ujar Ethan berbicara sendiri seraya menatap langit-langit kamar.
Ethan melirilk jam yang berada di telepon genggam, dilihatnya sudah hampir pukul setengah tujuh malam, dia sudah berjanji akan menemani Grace pergi ke pesta perayaan hari jadi Keluarga Steward, dia tak ingin membuat wanita tua itu menjadi kecewa jika dia tak datang atau sampai terlambat.
Ethan membuka koper, dan memilih beberapa pakaian formal, entahlah ... dia sendiri tak paham kenapa dia menuruti wanita tua itu, padahal dia bukan siapa-siapa Grace dan baru saja saling mengenal dalam waktu beberapa jam, tetapi wa
Valerie memesan sebotol champagne, dia memerhatikan Kevin sejak tadi, sepertinya Kevin tak bergairah sama sekali meski saat ini sedang berhadapan dengannya. Kevin lebih banyak diam, tak mengatakan sesuatu apa pun, dan membuat canggung keadaan. “Kev,” panggil Valerie pelan. “Ya?” jawab Kevin. “Apa kau merindukanku?” “Tentu saja,” jawab Kevin dengan nada datar, dia terlihat sangat dingin di hadapan Valerie saat itu. “Ehmmm, aku menginginkannya,” ujar Valerie tersipu. “Menginginkan cumbuanku?” “Ya, apalagi?” Kevin mendekati Valerie di sofa dan duduk di samping Valerie, “Katakan kau mencintaiku, Valerie,” pinta Kevin dengan nada memelas. “Aku menyukaimu, Kevin,” kata Valerie sembari menarik kerah baju Kevin untuk mendekat, lebih dekat ke arahnya. “Bukan, bukan rasa suka, aku ingin kau bisa mencintaiku,” balas Kevin. Valerie menarik kepala Kevin, Kevin memejamkan kedua matanya, bisa dirasakannya bibir
Valerie menyambar sebuah handuk di atas kursi, membalut tubuhnya, kemudian mengejar sosok Kevin yang sudah berjalan menuju pintu. Valerie menahan tubuh Kevin dengan mendekapnya dari arah belakang, membuat langkah Kevin terhenti. “Kau tidak seperti Kevin yang kukenal, “ ujar Valerie dengan lirih. Kevin menundukkan kepalanya, tak tahu apa yang ingin dikatakan, “Aku tak memiliki alasan tepat untuk kujelaskan, Val.” “Apa karena gadis itu?” tanya Valerie. Pertanyaan Valerie membuat Kevin terpaku diam, tak mampu menggerakkan kedua kakinya untuk melangkah lebih jauh, bagaimana Valerie bisa tahu mengenai Grace? Siapa yang sudah mengatakannya kepada Valerie? “Darimana kau bisa mengatakannya?” “Aku sudah tahu semuanya, Kevin, meski kau tak mengatakan apa pun.” “Katakan padaku, siapa yang memberitahumu?” “Edward,” jawab Valerie singkat. Kevin melepas kedua tangan Valerie yang melingkar di pinggangnya, ada amarah yang kini
Kedua lelaki yang tersisa dan masih sadarkan diri, bergerak mundur, tak ingin mengalami nasib yang sama dengan satu kawannya yang kini terkapar tak berdaya di lantai dengan wajah yang berdarah. “Kau gila?!” seru lelaki bertubuh kurus yang menghampiri Grace sebelumnya. “Iya, aku memang gila. Kau ... tak akan kubiarkan menyentuhnya sedikit pun, atau aku tak segan membunuh kalian semua,” jawab Ethan menahan sakit. Kursi jati yang menghantam tubuh bagian belakangnya benar-benar menyisakan rasa sakit yang teramat sangat, bagaimana tidak sakit, jika kursi itu sampai patah dan hancur tanpa bentuk karena menghantam tubuh Ethan. Akhirnya kedua lelaki itu berlari ke arah luar sambil mengumpat dengan kata-kata kasar, meningalkan salah satu temannya, Ethan, dan Grace di dalam ruangan. Ethan merasa sakit di punggungnya semakin menjadi, setengah merayap di lantai, dia berusaha mendekat ke arah sofa di mana Grace masih terbaring belum sadarkan diri. Setelahnya dia berhasil
Tubuh Grace terasa berat, membuat Ethan sedikit kelelahan, jarak antara rumah Keluarga Steward dan Mrs. James memang tak terlalu jauh, jadi dia memutuskan membopong tubuh Grace tanpa harus memanggil taksi, meski menahan rasa sakit di punggungnya, Ethan tetap bertahan, sekuat tenaga yang tersisa, dia berjalan dengan tertatih, berharap dapat segera sampai. Wajah Ethan dipenuhi keringat, tubuhnya sudah terlalu lelah, hampir tak ada lagi tenaga yang tersisa pada dirinya, tak lama kemudian, keduanya sampai di rumah Mrs. James. Ethan mengetuk pintu, dan Mrs. James membukakannya, raut wajahnya terlihat panik melihat keadaan Grace yang berantakan berada di dalam dekapan Ethan. Terburu-buru Mrs. James memersilakan Ethan masuk, dan memintanya meletakkan tubuh Grace di atas sofa. “Ethan, jelaskan padaku, apa yang terjadi pada kalian berdua, apa kalian berdua dirampok orang di tengah jalan atau—“ “Mrs. James ... kumoho ... jangan bertanya lebih banyak, setidaknya Grace—“
“Aku mengerti, sekarang bangunlah, aku akan membuatkan secangkir susu hangat dan pancake untukmu, bagaimana?” “Tak usah, kau temani aku saja, kita makan di luar pagi ini.” Ethan berusaha mengubah posisinya di sofa, sembari menahan nyeri di bagian punggung, dia akhirnya berhasil duduk tanpa menyandarkan bagian tubuhnya yang terkena hantaman sebuah kursi tadi malam. Ethan melepas kemeja hitam yang dikenakannya, tubuh itu terlihat sempurna bahkan mampu menggoda perempuan mana pun yang melihatnya, lengan berotot dan kekar, perut rata kotak-kotak, membuat Ethan terlihat seksi, bahkan Grace menatap tubuh itu tanpa berkedip. Ketika Ethan berbalik, Grace baru menyadari ada beberapa luka memar menghiasi punggung Ethan saat itu. “Punggungmu,” tunjuk Grace ke arah punggung Ethan, dan Ethan tak menjawab apa-apa, dia hanya tersenyum membuat Grace menjadi serba salah. “Kau punya obat gosok?” tanya Ethan sesekali meringis. “Ah, sebentar, aku tanya ne
Grace tertawa dan menepuk wajah Ethan dengan gemas, lalu melepas tangan Ethan dan berlari, “Saat ini aku menginginkan hati yang lain, mungkin jika hati yang lain itu berpaling dariku, aku akan berusaha mengejar milikmu!” teriak Grace dari kejauhan, kemudian Ethan mengejarnya. Grace dan Ethan tak sadar sepasang mata sedang melihat keduanya, seakan ingin menerkam dan memakan mereka, dan melumatnya sampai tak bersisa. Edward berjalan dengan perasaan geram, mendekati keduanya, hatinya benar-benar dibuat sakit dengan kelakuan Ethan dan Grace, ya, apakah tak bisa membiarkan dirinya bahagia meski hanya sesaat? Ethan dan Grace saling tarik menarik, kemudian menggelitiki satu sama lain, lalu tertawa, adegan yang sebenarnya diharapkan Edward, itu adalah dia dan Grace bukan laki-laki lain, belum lagi laki-laki itu adalah kakaknya sendiri. Edward berkacak pinggang, berusaha menahan emosi yang meledak-ledak di dalam dadanya. “Ehem!” Grace dan Ethan
“Ed,” panggil Grace. “He-em,” jawab Edward. “Ada yang ingin kutanyakan,” ujar Grace. “Tanyakan saja.” “Kau dan Ethan, sepertinya sudah saling mengenal. Aku sebetulnya heran, kenapa kau dan Ethan memiliki paras yang hampir mirip, sebenarnya siapa Ethan?” “Dia ... kakak kandungku,” jawab Edward. Okay, semuanya menjadi jelas dan terjawab. Pantas saja Grace merasa kedua pemuda ini sangat mirip, dan semuanya menjadi jelas dengan jawaban dari mulut Edward. “Tapi ... kenapa sekarang dia ada di Amerika?” “Dia dan tunangannya membatalkan pernikahan, Karen kekasihnya, meninggalkannya. Kau tahu ... Grace, Ethan meninggalkan segalanya demi perempuan itu, bahkan dia berani membangkang dan melawan kedua orangtuaku demi perempuan itu. Tetapi perempuan itu mencampakkan Ethan begitu saja,” jelas Edward panjang lebar. “Ah. Kalau kau di posisi Ethan, apa kau akan melakukan hal yang sama?” tanya Grace dengan sebuah pertanyaan yang
Edward terdiam, setiap dia ingin menyatakan perasaannya, selalu saja yang dikatakan adalah yang sebaliknya. “Kau itu—“ “Ayo sebutkan,” tantang Grace sambil menaikkan satu alisnya dan berkacak pinggang. Grace sebenarnya tak tahan ingin menertawakan sikap Edward yang terlihat seperti anak kecil di depannya. “A-aku, kau itu ... milikku!” “Milikmu, kau kan tak menyukaiku, mana bisa menjadi milikmu!” “Bisa saja, kenapa harus menyukaimu baru bisa menjadi milikku?” “Kalau begitu, aku bukan milikmu,” ledek Grace lalu berbalik dan berjalan hendak meninggalkan Edward. Edward sadar, Grace memancingnya untuk mengatakan perasaannya, tapi setiap ingin mengatakannya, mulutnya seperti terkunci. “Grace!” panggil Edward. “Apalagi?” “Kalau kau masih dekat dengan laki-laki lain, aku akan mematahkan tangan mereka semua, kau paham!” “No, aku masih bebas. Jadi aku masih bisa memilih dengan siapa aku akan dekat-dekat, lagipula kau tak