Share

PERLAKUAN ARDI YANG MENYAKITKAN

  1. PERLAKUAN ARDI YANG MENYAKITKAN

“Cepat rapikan pakaian kekasihmu dan pergilah dari sini!” lelaki biadab itu dengan santai mengenakan kembali pakaiannnya dan menyeringai kepada Ardi. Dia sama sekali tak menatapku. Yang dia inginkan adalah melihat kesedihan di mata Ardi bukan di mataku. Padahal di sini aku lah yang menjadi korbannya. Korban kebiadaban lelaki dengan alasan membalas dendam. Tak berpikirkah sedikitpun tentang aku yang akan menanggung penderitaan seumur hidupku. Trauma mungkin akan membayangi sepanjang usia.

“Lepaskan aku!  Aku bunuh kau!” teriak Ardi dengan tubuh tersungkur di lantai. Tubuhnya bergetar hebat akibat menahan amarah dalam dada.

“Oke. Lakukan kalau kau berani!”

Pria itu melepas ikatan pada tubuh Ardi. Tanpa ampun, Ardi segera menghajar sang penoda hingga babak belur. Tak ada perlawanan dari pria yang sudah mengotori tubuhku. Kini pria itu tak terlihat segarang tadi. Pasti karena keingininan terbesarnya sudah terlampiaskan. Bahkan dia membiarkan tubuhnya menjadi sasaran empuk Ardi.

Pria itu terkapar. Bibirnya mengeluarkan darah.  Entah apa yang ada dalam pikirannya saat membiarkan dirinya babak belur tanpa perlawanan. Menyesalkah. Rasanya tak mungkin pria jahanam seperti dia menyesali perbuatan bejatnya. Dia sama saja dengan lelaki kaya yang buas dan haus akan nafsu setan diluaran sana. Setelah puas mereguk manisnya madu, sang perawan tak berarti lagi..

Ardi menatap kearahku, lalu memalingkan wajah. Dia seperti tak tega melihat keadaanku. Pria mana yang tega melihat keadaan kekasihnya yang mengalami kejadian sepertiku. Aku tahu Ardi sangat mencintaiku. Goresan yang tertoreh dalam hatinya, pasti sama denganku. Luka yang kurasakan tak jauh beda,

Dengan langkah terseok Ardi berjalan kearahku. Matanya terpejam dan menangkup wajah dengan kedua tangan. Aku bahkan tak mengerti apa yang ada pada pikirannya.  Kasihan ataukah jijik melihat tubuhku yang terkapar dan telah terjamah oleh pria lain. Sungguh menyakitkan. Seandainya Ardi akan jijik kepadaku dan meninggalkanku setelah ini.Mengingat semuanya makin membuatku terisak. Memegangi dada yang tiba-tiba terasa sesak. Sungguh terasa amat sakit. Ya Tuhan, lebih baik kau ambil saja nyawaku. Aku takkan sanggup untuk menjalani hari-hariku selanjutnya.

POV ARDI

Aku menjatuhkan diri di lantai saat tiba di depan ranjang. Airmata masih mengiringi penyesalanku. Masih tak bisa mengerti dengan apa yang terjadi. Kenapa Aira harus menerima hal seburuk ini.

Bingung dan tak mengerti apa yang harus kulakukan. Menatap kekasihku saja tak tega dan membuat hati lara. Aira menangis tiada henti. Tubuhnya masih bergelung dalam selimut. Tangisan lara masih kudengar dari isaknya. Hatiku ikut teriris menyaksikannya.

Terlintas lagi ingatan saat pria tadi menodai Aira. Lelaki macam apa aku yang tak bisa menjaga sang pujaan hati. Aku bahkan tak mampu berbuat apapun saat tangan kotor itu menyentuh kekasihku. Ingin rasanya membunuh pria itu sekarang juga.

Kini apa yang harus kulakukan. Bagaimana cara untuk membantunya memakai busana. Seumur aku berpacaran dengannya, tak pernah sedikitpun melihat auratnya. Aira wanita yang sangat menjaga harga diri dan martabatnya sebagai seorang wanita. Kini, apa yang menjadi kebanggannya, sudah lenyap dengan terpaksa. Sakit sekali hati ini melihat Aira hancur.

“Aira. Maafkan aku. Kau harus menderita gara-gara aku. Aku memang lelaki bodoh. Tak bisa menjaga dirimu.” Ucapku dengan suara bergetar. Isak tangis masih tersisa dalam hela nafasku.

Aku tak mengerti harus melakukan apa. Bahkan untuk menyentuhnya aku tak berani. Tubuh itu sudah terjamah oleh pria selain diriku. Malam pengantin yang kuidamkan pasti akan terasa hambar karena Aira tak suci lagi.

“Ardi ....” suara Aira membuyarkan lamunan. Dia mengulurkan tangan meminta bantuanku.

“Aira. Apa yang harus kulakukan?” tanyaku padanya. Jujur aku sangat bingung. Selama menjalin hubungan dengannya, aku tak pernah berani menyentuhnya lebih jauh. Kami hanya sekedar bergandengan tangan tak pernah lebih. Aira adalah wanita yang sangat bisa menjaga diri. Dengan berbekal iman dari didikan keluarganya yang agamis, dia selalu memperlihatkan sikap yang lebih baik dibanding teman-temannya.

“Tolong, ambilkan pakaianku.”

“Baiklah.” Aku memunguti pakaian yang berserakan di lantai. Dengan tangan gemetar aku berusaha mengambilnya satu persatu termasuk juga pakaian dalam. Bisakah kalian rasakan bagaimana perasaanku saat memungut pakaian dalamnya. Geram, marah sedih bercampur menjadi satu. Dengan mata kepalaku sendiri aku melihat kekasihku di jamah oleh seorang pria. Benar-benar membuat emosiku memuncak.

“Acrrgh ....” aku berteriak sembari memukul lantai keramik. Akibat pukulan yang cukup keras, darah mengalir dari sela-sela jemariku. Walau sakit aku seperti tak merasakannya. Karena hatiku lebih sakit.

“Ardi. Tanganmu berdarah. Kau ....”

“Kau pakai saja ini. Cepat kita pergi tempat yang seperti  neraka ini!” aku melempar pakaian kepada Aira tanpa menatap ke arahnya. Entah kenapa api amarah masih meletup dalam dada. Mendengar suara Aira membuatku kalap. Aku tahu dia memang tidak bersalah. Namun batin dan otakku tak bisa di ajak kerjasama. Satu sisi aku kasihan melihatnya. Satu sisi yang lain, membencinya karena sudah terjamah pria lain.

“Ardi, kau ....”

“Cepat kenakan pakaianmu! Apa kau tak mengerti juga?!” perintahku padanya tanpa menoleh sedikitpun kearahnya. Lalu melangkah menjauh darinya.

Jangan salahkan aku kalau melakukan ini padamu Aira. Sebagai seorang lelaki, melihatmu kembali mengingatkan akan kejadian menjijikkan tadi. Aku seperti lelaki idiot yang dipaksa menonton video asusila dengan pemeran utama adalah kekasihku sendiri. Miris dan sangat menjijikkan.   Ah, aku bisa gila gara-gara kejadian ini.

“Aw. Ardi tolong aku. Tubuhku terasa sakit sekali.”

“Apa kau sudah mengenakan kembali pakaianmu?” tanyaku padanya tanpa menoleh sedikitpun.

“Sudah.”

Membalikkan badan. Menatapnya sejenak. Kembali amarah terasa meletup dalam dada. Mencoba menarik nafas panjang untuk melonggarkan sesaknya dada. Lalu mendekat dan mengulurkan tangan. Kulihat Aira meringis kesakitan sembari memegangi area kewanitaannya. Hal itu membuatku muak. Kembali peristiwa tadi melintas di kepalaku. Aku memukul kepala berkali-kali untuk menghilangkan memory kejadian mengerikan tadi.

“Aira! Kenapa kau memegangi area kewanitaanmu? Apa kau sengaja untuk mengingatkanku akan kejadiantadi?!” hardikku kepadanya.

“Ardi, kenapa kau berkata seperti itu? Tega sekali kamu. Aku memang benar-benar merasakan sakit di daerah itu. Bukankah kamu sendiri tahu kalau ....”

“Aah sudahlah.”

Aku pergi meninggalkannya. Rasanya cinta yang telah bersemi tiga tahun kini bak di telan bumi. Beterbangan seperti debu yang tertiup angin. Sekali lagi jangan pernah menyalahkanku. Yang kurasakan adalah kekecewaan yang sangat mendalam.

Aku mendengar suara Aira yang terus memanggil namaku. Dia pasti masih mengikuti langkahku yang sedang menuruni anak tangga. Rumah ini terlalu besar hingga menuju pintu utama saja harus berjalan cukup lama..

Beberapa pria berjaket hitam seperti berjaga-jaga. Mungkin mereka akan menahan kami. Aku takkan tinggal diam. Sampai matipun akan kulawan para penjaga itu.

Kuamati satu persatu. Wajah para penjaga menundukkan kepala. Tak ada satupun yang melihat kearahku ataupun hendak menyerang. Rata-rata mereka hanya berdiri dengan kepala tertunduk. Bodo amat. Aku tak peduli dengan apa yang akan mereka lakukan.

Saat aku berhasil keluar dari rumah neraka, Aira menghadang jalanku. Malas rasanya untuk melihat tubuhnya yang sudah ternoda.

“Ardi. Kenapa kamu berubah? Apa tak ada sedikit rasa simpatimu kepadaku? Aku seperti ini juga karena ulahmu.” Ucapan Aira membuat darahku naik.

“Kau menyalahkanku?! Aku tidak melakukan apapun! Dan satu hal yang harus kamu tahu. Aku tidak pernah menodai wanita manapun! Sumpah demi Tuhan. Kau puas?!”

‘Tapi setidaknya kau peduli denganku, bukan malah marah-marah seperti ini. Tolong, mengerti diriku.”

“Ah diam kamu! Taxi!” aku menghentikan kendaraan roda empat berwarna biru. Perlahan, mobil berhenti tepat di hadapan kami. Segera membuka pintu mobil dan berbicara kepada sopir.

“Pak. Tolong antar ke jalan mawar ya.” Pintaku sambil mengambil uang yang ada di dompet dan memberikan satu lembar berwarna merah.

“Cepat naiklah!” perintahku kepada Aira sembari menarik lengannya perlahan.

“Aku tidak mau!” Aira mengibaskan lengannya.

“Jangan menyulitkanku. Cepat pulanglah sendiri! Toh hari belum beranjak malam. Takkan ada yang memp****samu lagi!” suaraku kian meninggi. Aira benar-benar membuatku kesal.

Plaak. Satu tamparan keras mendarat di pipiku dan membuatku makin kalap. Aira membuatku makin kesal. Beraninya dia menamparku. Awas akan kubalas perbuatannya.

“Aira! Kau ....”

“Diam kamu!” Aira tiba-tiba menunjukku. Matanya melotot dan menatap tajam ke arahku. Aku tak pernah melihat dia semarah ini. Dia yang menamparku, malah dia sendiri yang marah.

“Cukup Ardi! Kau sama saja seperti pria itu! Aku seperti ini juga gara-gara kamu! kau yang menyebabkan pria itu menodaiku. Namun apa yang kau lakukan padaku lebih menjijikkan dari pria itu. Setelah aku tak suci lagi, kau mencampakkanku begitu saja. Kau laki-laki biadab. Kau yang salah, tapi aku yang harus menanggungnya. Ini tidak adil untukku. Lalu untuk apa aku hidup kalau harus menanggung beban ini sendirian. Aku takkan sanggup. Lebih baik aku mati saja!”

Aira mendorong tubuhku. Dengan gerakan yang begitu cepat, dia berlari menuju badan jalan. Tak menghiraukan kendaraan yang lalu lalang. Bahkan kini dia berdiri di depan sebuah truk besar yang akan melintas. Itu artinya dia berniat untuk mengakhiri hidupnya. Tidak, aku tak boleh membiarkan ini terjadi. Aira tak boleh mati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status