“Cepat rapikan pakaian kekasihmu dan pergilah dari sini!” lelaki biadab itu dengan santai mengenakan kembali pakaiannnya dan menyeringai kepada Ardi. Dia sama sekali tak menatapku. Yang dia inginkan adalah melihat kesedihan di mata Ardi bukan di mataku. Padahal di sini aku lah yang menjadi korbannya. Korban kebiadaban lelaki dengan alasan membalas dendam. Tak berpikirkah sedikitpun tentang aku yang akan menanggung penderitaan seumur hidupku. Trauma mungkin akan membayangi sepanjang usia.
“Lepaskan aku! Aku bunuh kau!” teriak Ardi dengan tubuh tersungkur di lantai. Tubuhnya bergetar hebat akibat menahan amarah dalam dada.
“Oke. Lakukan kalau kau berani!”
Pria itu melepas ikatan pada tubuh Ardi. Tanpa ampun, Ardi segera menghajar sang penoda hingga babak belur. Tak ada perlawanan dari pria yang sudah mengotori tubuhku. Kini pria itu tak terlihat segarang tadi. Pasti karena keingininan terbesarnya sudah terlampiaskan. Bahkan dia membiarkan tubuhnya menjadi sasaran empuk Ardi.
Pria itu terkapar. Bibirnya mengeluarkan darah. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat membiarkan dirinya babak belur tanpa perlawanan. Menyesalkah. Rasanya tak mungkin pria jahanam seperti dia menyesali perbuatan bejatnya. Dia sama saja dengan lelaki kaya yang buas dan haus akan nafsu setan diluaran sana. Setelah puas mereguk manisnya madu, sang perawan tak berarti lagi..
Ardi menatap kearahku, lalu memalingkan wajah. Dia seperti tak tega melihat keadaanku. Pria mana yang tega melihat keadaan kekasihnya yang mengalami kejadian sepertiku. Aku tahu Ardi sangat mencintaiku. Goresan yang tertoreh dalam hatinya, pasti sama denganku. Luka yang kurasakan tak jauh beda,
Dengan langkah terseok Ardi berjalan kearahku. Matanya terpejam dan menangkup wajah dengan kedua tangan. Aku bahkan tak mengerti apa yang ada pada pikirannya. Kasihan ataukah jijik melihat tubuhku yang terkapar dan telah terjamah oleh pria lain. Sungguh menyakitkan. Seandainya Ardi akan jijik kepadaku dan meninggalkanku setelah ini.Mengingat semuanya makin membuatku terisak. Memegangi dada yang tiba-tiba terasa sesak. Sungguh terasa amat sakit. Ya Tuhan, lebih baik kau ambil saja nyawaku. Aku takkan sanggup untuk menjalani hari-hariku selanjutnya.
POV ARDI
Aku menjatuhkan diri di lantai saat tiba di depan ranjang. Airmata masih mengiringi penyesalanku. Masih tak bisa mengerti dengan apa yang terjadi. Kenapa Aira harus menerima hal seburuk ini.
Bingung dan tak mengerti apa yang harus kulakukan. Menatap kekasihku saja tak tega dan membuat hati lara. Aira menangis tiada henti. Tubuhnya masih bergelung dalam selimut. Tangisan lara masih kudengar dari isaknya. Hatiku ikut teriris menyaksikannya.
Terlintas lagi ingatan saat pria tadi menodai Aira. Lelaki macam apa aku yang tak bisa menjaga sang pujaan hati. Aku bahkan tak mampu berbuat apapun saat tangan kotor itu menyentuh kekasihku. Ingin rasanya membunuh pria itu sekarang juga.
Kini apa yang harus kulakukan. Bagaimana cara untuk membantunya memakai busana. Seumur aku berpacaran dengannya, tak pernah sedikitpun melihat auratnya. Aira wanita yang sangat menjaga harga diri dan martabatnya sebagai seorang wanita. Kini, apa yang menjadi kebanggannya, sudah lenyap dengan terpaksa. Sakit sekali hati ini melihat Aira hancur.
“Aira. Maafkan aku. Kau harus menderita gara-gara aku. Aku memang lelaki bodoh. Tak bisa menjaga dirimu.” Ucapku dengan suara bergetar. Isak tangis masih tersisa dalam hela nafasku.
Aku tak mengerti harus melakukan apa. Bahkan untuk menyentuhnya aku tak berani. Tubuh itu sudah terjamah oleh pria selain diriku. Malam pengantin yang kuidamkan pasti akan terasa hambar karena Aira tak suci lagi.
“Ardi ....” suara Aira membuyarkan lamunan. Dia mengulurkan tangan meminta bantuanku.
“Aira. Apa yang harus kulakukan?” tanyaku padanya. Jujur aku sangat bingung. Selama menjalin hubungan dengannya, aku tak pernah berani menyentuhnya lebih jauh. Kami hanya sekedar bergandengan tangan tak pernah lebih. Aira adalah wanita yang sangat bisa menjaga diri. Dengan berbekal iman dari didikan keluarganya yang agamis, dia selalu memperlihatkan sikap yang lebih baik dibanding teman-temannya.
“Tolong, ambilkan pakaianku.”
“Baiklah.” Aku memunguti pakaian yang berserakan di lantai. Dengan tangan gemetar aku berusaha mengambilnya satu persatu termasuk juga pakaian dalam. Bisakah kalian rasakan bagaimana perasaanku saat memungut pakaian dalamnya. Geram, marah sedih bercampur menjadi satu. Dengan mata kepalaku sendiri aku melihat kekasihku di jamah oleh seorang pria. Benar-benar membuat emosiku memuncak.
“Acrrgh ....” aku berteriak sembari memukul lantai keramik. Akibat pukulan yang cukup keras, darah mengalir dari sela-sela jemariku. Walau sakit aku seperti tak merasakannya. Karena hatiku lebih sakit.
“Ardi. Tanganmu berdarah. Kau ....”
“Kau pakai saja ini. Cepat kita pergi tempat yang seperti neraka ini!” aku melempar pakaian kepada Aira tanpa menatap ke arahnya. Entah kenapa api amarah masih meletup dalam dada. Mendengar suara Aira membuatku kalap. Aku tahu dia memang tidak bersalah. Namun batin dan otakku tak bisa di ajak kerjasama. Satu sisi aku kasihan melihatnya. Satu sisi yang lain, membencinya karena sudah terjamah pria lain.
“Ardi, kau ....”
“Cepat kenakan pakaianmu! Apa kau tak mengerti juga?!” perintahku padanya tanpa menoleh sedikitpun kearahnya. Lalu melangkah menjauh darinya.
Jangan salahkan aku kalau melakukan ini padamu Aira. Sebagai seorang lelaki, melihatmu kembali mengingatkan akan kejadian menjijikkan tadi. Aku seperti lelaki idiot yang dipaksa menonton video asusila dengan pemeran utama adalah kekasihku sendiri. Miris dan sangat menjijikkan. Ah, aku bisa gila gara-gara kejadian ini.
“Aw. Ardi tolong aku. Tubuhku terasa sakit sekali.”
“Apa kau sudah mengenakan kembali pakaianmu?” tanyaku padanya tanpa menoleh sedikitpun.
“Sudah.”
Membalikkan badan. Menatapnya sejenak. Kembali amarah terasa meletup dalam dada. Mencoba menarik nafas panjang untuk melonggarkan sesaknya dada. Lalu mendekat dan mengulurkan tangan. Kulihat Aira meringis kesakitan sembari memegangi area kewanitaannya. Hal itu membuatku muak. Kembali peristiwa tadi melintas di kepalaku. Aku memukul kepala berkali-kali untuk menghilangkan memory kejadian mengerikan tadi.
“Aira! Kenapa kau memegangi area kewanitaanmu? Apa kau sengaja untuk mengingatkanku akan kejadiantadi?!” hardikku kepadanya.
“Ardi, kenapa kau berkata seperti itu? Tega sekali kamu. Aku memang benar-benar merasakan sakit di daerah itu. Bukankah kamu sendiri tahu kalau ....”
“Aah sudahlah.”
Aku pergi meninggalkannya. Rasanya cinta yang telah bersemi tiga tahun kini bak di telan bumi. Beterbangan seperti debu yang tertiup angin. Sekali lagi jangan pernah menyalahkanku. Yang kurasakan adalah kekecewaan yang sangat mendalam.
Aku mendengar suara Aira yang terus memanggil namaku. Dia pasti masih mengikuti langkahku yang sedang menuruni anak tangga. Rumah ini terlalu besar hingga menuju pintu utama saja harus berjalan cukup lama..
Beberapa pria berjaket hitam seperti berjaga-jaga. Mungkin mereka akan menahan kami. Aku takkan tinggal diam. Sampai matipun akan kulawan para penjaga itu.
Kuamati satu persatu. Wajah para penjaga menundukkan kepala. Tak ada satupun yang melihat kearahku ataupun hendak menyerang. Rata-rata mereka hanya berdiri dengan kepala tertunduk. Bodo amat. Aku tak peduli dengan apa yang akan mereka lakukan.
Saat aku berhasil keluar dari rumah neraka, Aira menghadang jalanku. Malas rasanya untuk melihat tubuhnya yang sudah ternoda.
“Ardi. Kenapa kamu berubah? Apa tak ada sedikit rasa simpatimu kepadaku? Aku seperti ini juga karena ulahmu.” Ucapan Aira membuat darahku naik.
“Kau menyalahkanku?! Aku tidak melakukan apapun! Dan satu hal yang harus kamu tahu. Aku tidak pernah menodai wanita manapun! Sumpah demi Tuhan. Kau puas?!”
‘Tapi setidaknya kau peduli denganku, bukan malah marah-marah seperti ini. Tolong, mengerti diriku.”
“Ah diam kamu! Taxi!” aku menghentikan kendaraan roda empat berwarna biru. Perlahan, mobil berhenti tepat di hadapan kami. Segera membuka pintu mobil dan berbicara kepada sopir.
“Pak. Tolong antar ke jalan mawar ya.” Pintaku sambil mengambil uang yang ada di dompet dan memberikan satu lembar berwarna merah.
“Cepat naiklah!” perintahku kepada Aira sembari menarik lengannya perlahan.
“Aku tidak mau!” Aira mengibaskan lengannya.
“Jangan menyulitkanku. Cepat pulanglah sendiri! Toh hari belum beranjak malam. Takkan ada yang memp****samu lagi!” suaraku kian meninggi. Aira benar-benar membuatku kesal.
Plaak. Satu tamparan keras mendarat di pipiku dan membuatku makin kalap. Aira membuatku makin kesal. Beraninya dia menamparku. Awas akan kubalas perbuatannya.
“Aira! Kau ....”
“Diam kamu!” Aira tiba-tiba menunjukku. Matanya melotot dan menatap tajam ke arahku. Aku tak pernah melihat dia semarah ini. Dia yang menamparku, malah dia sendiri yang marah.
“Cukup Ardi! Kau sama saja seperti pria itu! Aku seperti ini juga gara-gara kamu! kau yang menyebabkan pria itu menodaiku. Namun apa yang kau lakukan padaku lebih menjijikkan dari pria itu. Setelah aku tak suci lagi, kau mencampakkanku begitu saja. Kau laki-laki biadab. Kau yang salah, tapi aku yang harus menanggungnya. Ini tidak adil untukku. Lalu untuk apa aku hidup kalau harus menanggung beban ini sendirian. Aku takkan sanggup. Lebih baik aku mati saja!”
Aira mendorong tubuhku. Dengan gerakan yang begitu cepat, dia berlari menuju badan jalan. Tak menghiraukan kendaraan yang lalu lalang. Bahkan kini dia berdiri di depan sebuah truk besar yang akan melintas. Itu artinya dia berniat untuk mengakhiri hidupnya. Tidak, aku tak boleh membiarkan ini terjadi. Aira tak boleh mati.
“Bu, pria ini adalah ....”‘Rani! Apa saja pekerjaanmu di dalam! Kau tidak tahu apa yang dilakukan wanita ini? dia sudah berani menamparku karena tak sengaja menyentuh dadanya. Aku sudah minta maaf, tapi gadis itu terus memakiku!” aku sedikit berbohong untuk melindungi reputasiku.“Enak saja kau bicara! Kau itu ....”“Rani! Aku tunggu di ruanganku sekarang juga!” mencoba terus memutus pembicaraan Aira supaya dia tak kelepasan bicara.“Baik, pak!”‘Bu, kenapa ibu hormat kepada pria bejat itu?!”“Yang sopan kalau berbicara padanya Aira! Kalau kau tak bisa menjaga lisanmu, kau akan kupecat sebelum Pak Sultan yang memecatku! Kau mengerti?!”Aku mencoba mengamati riak gelombang pada wajah Aira. Wajahnya memucat. Sepertinya dia sangat terkejut dengan apa yang baru saja di dengarnya. Kepalanya menggeleng cepat.‘Tidak! tidak m
TERNYATA AIRA SALAH SATU KARYAWANKUSULTANYa. Wanita itu adalah gadis yang membuatku tak nyenyak tidur karena terus memikirkannya. Dan dia kini berada di hadapanku. Apa yang harus kulakukan. Bahkan Aira terlihat sangat ketakutan. Dia menoleh ke arah kanan dan kiri mencoba mencari pertolongan. Apa dia pikir aku akan menyakitinya lagi. Dia salah sangka, aku harus menghilangkan rasa ketakutannya.“Tenang, Aira! Saya tak akan menyakitimu.”“Pergi kamu! kenapa sih kau selalu saja mengganguku?”“Saya tidak mengganggumu, saya hanya ....”“Aku berjanji tak akan menuntutmu! Tapi aku mohon, berjanjilah untuk tidak menemuiku lagi. Aku mohon, pergilah dari kehidupanku selamanya! Biarkan aku dan keluargaku hidup tenang! Aku mohon!” Gadis itu terus memohon. Bahkan dia beringsut ketakutan saat aku sedikit demi sedikit terus mendekatinya. Mungkin rasa trauma itu masih membekas da
SUMPAH AIRASULTAN“Marina! Kenpa kau mendorongku?!” tanyaku sambil berusaha kembali menyerangnya lagi. Namun Marina malah menendangku dengan kuat hingga aku terjungkal. Rasa kesal kembali membuatku naik darah.“Marina! Apa-apa an kamu!” hardikku kepadanya.“Mulai sekarang, jangan pernah menyentuhhku!”“Apa maksudmu?”“Aku jijik dengan milikmu yang sudah pernah di pakai untuk wanita lain! Cuih! Menjijikkan!” Marina bergidik jijik melihatku.‘Tapi kau tadi juga menikmatinya! Jangan munafik!”“Iya. Tapi begitu mengingat hal itu, membuatku jijik dan mual!”“Tolonglah, aku sudah tidak bisa menahannya. Untuk kali ini saja,” pintaku kepadanya. Sebagai lelaki sangat tersiksa dengan keadaan seperti ini.“Aku bilang tidak, ya tidak! jangan memaksaku! mengingat saat kau menggerayangi tubuh wanita itu
GAIRAH YANG TERTUNDA SULTAN “Sultan! Lepaskan tanganku!” seru istriku sambil berusaha melepaskan tangannya dariku. Aku tak peduli dan terus menarik lengannya dengan kesal. Sesampainya di kamar, aku mendorong istriku hingga terjatuh di atas ranjang. “Beraninya kau melakukan ini padaku, Sultan!” “Kau yang beraninya melakukan tindakan tanpa persetujuanku! Apa kau tak punya perasaan iba sedikit saja kepada mereka. Bagiamana perasaan Aira!” “kenapa kau menyalahkanku?! Apa yang kulakukan salah? Aku hanya ingin membelamu! Kau tahu’kan perbuatan yang kau lakukan itu bisa membuat harga dirimu hancur! Bukan hanya penjara, tapi karier dan nama baikmu juga hancur! Tak berpikirkah kau sejauh itu! Aku melakukannya karena ingin menyelamatkanmu dari kehancuran! Itu karena aku sangat mencintaimu!” “Aku tahu itu dan juga konsekuensinya! Tapi tidak dengan membuat keluarga aira menderita! Kasihan mereka! Kita bisa bicara
13. BANTUAN SULTAN“Berhati-hatilah. Orang seperti mereka bisa melakukan segalanya. Yang benar bisa menjadi salah. Begitu pula sebaliknya.” Nasihat bu amir kepadaku. Beliau mulai menjalankan kendaraannya.“Lalu apa yang harus saya lakukan, bu?” tanyaku kepada bu amir.“Yang terpenting kita buat laporan dulu tentang kejadian keji yang kau alami. Gunakan hal ini untuk menekan mereka. Jangan mau kalah. Walau mereka mengandalkan harta yang mereka miliki, tetap saja tidak ada orang yang kebal hukum. Minimal orang tersebut akan memikirkan reputasinya. Sedikit saja kasus ini diketahui publik, bisa hancur karirnya.”Aku menghela nafas panjang lalu menghembuskan perlahan. Apa yang aku alami benar-benar membuat kepala hampir pecah. Di satu sisi aku tak ingin terjadi apa-apa dengan adikku.Yang dikatakan bu Amir itu benar. Posisiku bisa saja terjepit. Mereka bisa memutarbalikkan fakta. Tapi jika hukum sudah berbicara, tidak
12. PENANGKAPAN RYAN“Ada apa ini pak?” tanya ibu ketika membuka pintu dan melihat beberapa orang berseragam warna coklat berdiri di depan pintu. Satu mobil polisi juga terparkir tak jauh dari rumah.Aku yang penasaran juga ikut menemui para petugas.Entah apalagi yang akan menimpa keluargaku. Kami masih dalam suasana duka. Entah siapa yang tidak suka dan pasti memberikan laporan yang tidak sesuai.“Benar ini rumah saudara Ryan Effendi?” tanya salah satu petugas kepolisian.“Benar. Saya ibunya. Ada apa ya pak. Apa anak saya bersalah?” tanya ibu dengan gemetar. Aku mengusap kedua bahunya untuk menenangkannya.“Kami akan membawa anak ibu untuk dimintai keterangan. Ada laporan tentang penganiayaan kepada bapak Sultan bima syailendra. Dugaan sementara dilakukan oleh putra anda.”“Ini salah paham, Pak. Adik saya memang bersalah telah memukulnya. Tapi semua dilakukan karena memang