Kuejakan sebaris asa dalam lantunan doa
Dari relung jiwa menggambarkan keinginanMencairkan napas yang tertahan di bening hatiMenepiskan kegamangan dalam perjalanan fanakuSekian waktu kumengembara dalam alam-Mu
Meniti langkah mencari kisah indah yang hakikiMenanti tanpa letih sebentuk karunia-MuYang akan membawaku pada kesempurnaan diriBerderet kisah indah yang telah kutemui
Berjuta kata bermakna puitis telah kusimakPenggalan bait-bait merujuk dan merayukuLelah dan jemu atas pengagungan sebuah lahiriahBila kelak datang sebentuk cinta atas karunia-Mu
Jauhkanlah dari cinta yang mengagumi lahiriah semataTetapkanlah sebentuk cinta pada jalan rida IlahiYang terbungkus rapi dalam balutan fitrah IlahiMerenyuhkan hati pada sebening asa yang tersirat
Merengkuh memeluk sebentuk berkah dari kisah indahMendampingiku dalam menyempurnakan akhlakBerjamaah mendekatkan diri pada rengku"Yumna?" Panggilan ibu diiringi ketukan di pintu membuatku terperanjat. Mungkin beliau ingin memanggil makan lagi karena memang seharian belum mengisi perut seperti yang dikatakan Amel tadi. "Iya, Bu, ada apa?" sahutku tanpa membuka pintu kamar. "Buka pintunya, ibu mau masuk!" Dengan langkah gontai aku terpaksa membuka pintu kamar. Ibu sudah berdiri dengan membawa makanan. Aku sama sekali tidak berselera sekalipun cacing sudah meronta sejak siang tadi. Perempuan tua yang teramat penyayang itu masuk kamarku dan meletakkan makanan di nakas. Aku hanya bisa menghela napas panjang karena jika sudah begini, beliau pasti marah kalau makanan itu tidak habis. "Makanannya jangan ada yang disisain, oke?" "Iya, Bu. Aku usahain." Aku menjawab malas. Tepatnya karena keadaan lemah gemetaran. Setelah mendengar itu, ibu melangkah ke luar. Mau tidak mau aku meraih piring itu dan menghabiskan isinya dengan lahap. Ketika sedang meneguk air,
"Nurul?" sapaku. Perempuan anggun yang memakai jilbab baby pink itu menoleh lantas tersenyum. "Maaf, kalian siapa, ya?" "Bukan siapa-siapa. Lagian kita salah orang, kirain Nurul Madinah tadi makanya nyapa." Amel yang menjawab dengan nada tidak suka. Aku jadi merasa tidak enak. "Tidak usah pura-pura." Mas Ilham tiba-tiba mengagetkan kami. Dia berdiri di sisi Nurul dengan gagahnya. "Kalian ngapain ke sini? Ngikutin kami?" "Maaf, ya. Kita ke sini itu gak ada niat ngikutin kalian. Emang kalian siapa, artis juga buka apalagi ulama." Amel menjawab ketus, kemudian memutar bola mata malas. Aku yang tidak ingin memperkeruh keadaan—karena tahu wataknya—langsung meninggalkan mereka berdua. Ternyata sefrekuensi, pantas saja Allah jodohkan. Aku menarik senyum sinis sekalipun hati tetap terbakar api cemburu. Amel terus mengomel dengan suara pelan takut pemilik toko mengusir kami. Dengan kejadian mengesalkan ini, aku jadi berpikir dua kalo untuk memberi mereka kado, mungkin diuangkan lebih baik
Waktu bergulir begitu cepat seakan ada yang meminta agar pernikahannya segera dilangsungkan. Sekarang hari sabtu dan besok Mas Ilham yang pernah melamarku akan mengucapkan ijab qabul menyebut nama Nurul Hafizah. Masya Allah, beruntungnya perempuan itu hendak menjadi istri Mas Ilham. Aku sampai iri dan terus bertanya-tanya kenapa bukan diri ini yang ditakdirkan bersanding dengannya? Notifikasi W******p mengusik sejak tadi, aku pun meraih ponsel yang sedang di-charger. Amel : Aku sudah menemukan kado yang pas untuk mereka. Insya Allah, memilihnya bukan karena benci atau dendam. Aku : Alhamdulillah, terimakasih, Sahabatku. Besok jangan lupa dibawa, ya sekalian aku pinjam jilbab abu silvermu. Amel : Boleh. Sama-sama. "Yumna, ke sini sebentar!" titah Mas Dika yang berdirindi beranda pintu. Aku pun beranjak dan menghampirinya. "Ada apa, Mas?" Mas Dika tersenyum dan menyeretku keluar kamar katanya minta ditemani makan di luar.
Pelaminan yang sangat megah berdiri di halaman rumah Mas Ilham. Aku baru tahu kalau ternyata di sinilah tepatnya tempat aku akan menjadi menantu dulu. Dekorasi warna merah muda berpadu silver glamour pasti sesuai pilihan Nurul. Aku begitu takjub. Banyak tamu undangan yang hadir. Sayang sekali kami melewatkan acara inti karena Amel harus mengantar tantenya tadi. Mas Dika? Tentu saja dia ikut dan kini berdiri di sampingku dengan jas ala-ala Korea yang warnanya senada dengan pakaianku. Aku jadi penasaran kapan jas itu dibelinya. Tampan. "Masuk, yuk!" ajak Amel membuyarkan lamunanku. "Malu, kalian aja, deh. Aku nunggu di sini," responku kaku yang langsung ditarik Mas Dika. Dia bahkan menggenggam tanganku hingga masuk pelaminan. Aku sampai lupa menjelaskan kalau Amel juga membawa adiknya yang hampir setinggi Mas Dika karena tidak ingin terlihat seperti obat nyamuk. Beberapa pasang mata memandang ke arah kami. Mas Dika yang usil malah memaksaku melingkarkan tangan di lengannya. Memalukan
"Mau ke mana?" tanya Mas Dika ketika aku berjalan buru-buru sambil memasang peniti di jilbab rabbani hitam."Mau ke warung Mpok Asih, Mas. Disuruh ibu beli telur.""O," jawabnya sangat singkat. Aku sampai memanyunkan bibir.Cuaca sedikit mendung walau tetap saja merasa panas. Aku melangkah dengan jurus kaki seribu dan hanya beberapa menit sudah sampai. Parahnya komplotan ibu-ibu ada di sana padahal siang gini harusnya mereka tidur di rumah atau mengajari anak PR lah.Terutama perempuan yang memakai daster mustard itu. Namanya Bu Wenda, ibu-ibu yang menfitnahku hamil bahkan tidak segan menguping pembicaraan. Dia memang seperti itu, suka menyebar berita bohong. Semoga saja anaknya tidak mendapat balasan setimpal."Eh, ada Yumna. Mau beli apa, nih?" sapa Mpok Asih begitu melihatku."Telur 20 ribu, Mpok." Aku tersenyum."Pasti senyumnya palsu," sindir Bu Hany."Iyalah, orang tadi Ilham sudah menikah. Belum jadi istri saja sudah did
"Bu Wenda?""Tapi, jangan kamu kira aku bicara tanpa bukti. Beberapa kali aku memergokimu berduaan dengan seorang lelaki bahkan kadang empat orang di rumah kosong dekat sekolah."Bagai disambar petir, kalimat tuduhan Bu Wenda begitu menyayat hati."Kasihan sekali ibumu, Yum. Dia mengira kamu salihah karena selalu ke rumah Ustaz Hasan, padahal sepulang dari sana malah berzina!" Suara Bu Wenda begitu lantang."Mana buktinya?!" Ibu yang sejak tadi diam sudah kembali bersuara, tetapi kali ini matanya menatap tajam. Aku yakin beliau pasti tidak percaya.Bu Wenda terlihat mengotak-atik ponselnya, lalu menunjukkan foto seorang perempuan membelakang dengan empat lelaki hidung belang di hadapannya. Tentu saja itu bukan aku dan tidak ada bukti jelas. Mereka mungkin ingin menjebak, tetapi untuk apa?Aku merasa tidak punya saingan bahkan jika anak Bu Wenda ingin menikah dengan konglomerat pun terserah atau orang dari kerajaan juga boleh."Itu buk
"Jelaskan foto itu sekarang!" titah Mas Dika dengan suara tinggi.Aku gemetaran. Benar, masku telah termakan omongan Bu Wenda. Perempuan tua yang pandai bersilat lidah. Seandainya dia tahu bahwa dosa fitnah itu lebih besar daripada pembunuhan, mungkin dia tidak akan melakukan. Aku penasaran apa motif sebenarnya dari tindakan Bu Wenda."Yumna!" bentak Mas Dika membuatku kaget dan mengelus dada."Dik, jangan kasar sama adik kamu. Itu semua fitnah!" Beruntung ibu tiba-tiba hadir. Namun, nahasnya ayah juga berdiri di ambang pintu. Aku menelan saliva tidak tahu harus menjelaskan bagaimana lagi."Bu, aku cuma tidak mau Yumna melakukan kesalahan, tetapi tidak mengakui atau dia benar, tetapi hanya diam dan ketakutan seperti itu," jelas Mas Dika mengacak rambutnya dan berlalu pergi. Aku menangis di tempat tidur, sementara ayah dan ibu menghampiri.Keluarga kami semakin kacau balau. Apakah pantas aku menyalahkan Mas Ilham? Gara-hara dia yang datang melamar,
Aku tidak bisa tidur malam ini gara-gara kepikiran tentang fitnah itu. Omongan manusia jika sudah dari mulut ke mulut itu semakin bertambah. Aku khawatir dan yang mengira aku ini sudah lebih dari sekadar murah*n. Telepon berdering dan tertera nama Amel di sana. Aku gegas mengangkat karena penasaran padahal sudah pukul sebelas malam. "Assalamu'alaikum, Amel. Ada apa malam-malam telepon? Biasanya abis ziyadah atau muraja'ah kamu langsung tidur." "Waalaikumussalam, Yum!" Suara Amel nampak memburu, dia terdengar mengambil napas berulang kali, kemudian melanjutkan, "Viral, Yum!" "Apa yang viral?" Aku ikut panik. "Buka Faceb*ok, klik link yang aku kirim di inbox!" Aku gegas mematikan sambungan telepon, mengaktifkan data seluler dengan tangan gemetar. Setelah berhasil membaca pesan dari aku Amel aku langsung mengklik link yang di-share-nya. Jaringan yang 4G tidak perlu membuatku menunggu lama. Namun, sayang sekali karena mata harus me