"Apa, sih, Mas?!" tanyaku tak sabar.
"Tumben foto kamu cantik banget di sini," jawab Mas Dika tanpa rasa bersalah. Dia menunjukkan fotoku waktu di majelis bersama Amel.
"Kirain apa. Jangan-jangan berdebar karena Amel," sindirku.
"Guyonan kamu gak lucu. Makan sana!"
Mas Dika kembali mengotak-atik ponselku. Entahlah, yang penting saat ini aku bisa makan sampai kenyang. Pikiran tiba-tiba terusik oleh sesuatu. Ya, perkara tadi sore itu. Memangnya Gus Qabil mau ke mana sampai bisa lewat di depan rumah?
Hati selalu resah kala mengingatnya padahal selama ini sudah perlahan melupakan, takdir malah kembali mempertemukan kami walau sekejab. Namun, sekejab itulah yang menjadikan rindu semakin meronta ingin diberikan penawarnya.
"Parah-parah!" seru Mas Dika lagi. Namun, aku tidak peduli melainkan langsung mengangkat piring dan mencucinya sekalian.
"Sini hpku, Mas. Kamu juga cuma buka galeri kayak gak niat bantu."
"Siapa ini, Yum?" Mas Dika
Amel benar-benar tega memutuskan persahabatan yang sudah terjalin lama. Suka-duka telah kita lalui bersama. Sayang seribu kali sayang karena ingatan Amel mungkin sudah dihapuskan semua tentang masa lalu.Aku duduk termangu di ruang tamu sambil mengenang masa-masa indah kami. Sejak sekolah di MTs hingga sekarang kita selalu bersama. Ah, semua hancur sejak kehadiran Nurul yang diawali lamaran palsu Mas Ilham.Dua manusia yang tega menusuk belati dalam hatiku. Memang fitnah bukan berasal dari Mas Ilham, tetapi Bu Wenda bersikap demikian karena sikap tak beretikanya. Aku sampai malu sekeluarga dan menjadi buah bibir hingga kini."Siapa yang datang, Yum?""Ibu. Itu tadi Amel datang cuma sebentar, disuruh masuk gak mau karena ada Nurul yang menunggu. Sekarang benar-benar sudah hancur, Bu seolah jatuh ke jurang, muka hancur eh ketiban batu lagi." Aku memaksa senyum."Tidak apa-apa, Yum. Kalau memang Allah sudah membukakan hati mereka semua, pasti Amel aka
Amel : Kita ketemu di depan masjid Al-Hamid. Ada hal yang harus kamu tahu, ini penting! Pesan Amel membuatku terkejut, kemarin diblokir dan cuek bebek sekarang minta ketemuan. Jarak memang tidak jauh, tetapi dalam rangka apa? Aku masih tidak mengerti dengan sahabatku ini. Apakah dia berpihak padaku atau pada Nurul? Semua berubah seperti sudah diprovokasi oleh Marry. Tentu ini membuat kepalaku jadi pusing, belum lagi soal Mas Dika. Aku : Baiklah. Kapan? Amel : Sekarang. Aku sudah ada di sini, menunggumu. Cepatlah! Tanpa membalas lagi, aku gegas menyambar jilbab dan berlari kecil ke luar. Motor Mas Dika masih terparkir di depan rumah. Sejak kejadian tiga hari lalu, dia tidak pernah ke percetakan. Lima menit aku mengendarai motor, kini tiba di semuah masjid besar bernuansa hijau muda, menyejukkan mata siapa saja yang memandangnya. Di depan pintu berdiri seorang perempuan yang selama ini selalu berhasil menenangkan hati. Kini tidak, karena aku tidak tahu apa tujuannya ke sini. Bisa
POV AUTHORAmel menambah kecepatan motor karena seseorang yang akan ditemuinya hendak ke Makassar. Dia tidak habis pikir kalau sesuatu ini menjadi tidak jelas dan terus menimbulkan banyak prasangka. Takdir baik berpihak karena kendaraan tidak terlalu banyak jadi mudah menyalip.Di depan rumah Ustaz Hasan dia berdiri. Fortuner hitam sudah terparkir di halaman depan. Tanpa menunggu waktu lagi, Amel langsung turun dari motor dan mengetuk pintu rumah yang setengah terbuka. "Assalamualaikum!""Waalaikumussalam!" jawab Ustaz Hasan, lalu meminta Amel masuk. Istrinya juga ikut duduk bersama mereka."Ustaz sudah mau berangkat? Mohon waktunya sebentar, Ustaz.""Ke Makassar? Iya, insya Allah berangkat satu jam lagi ke bandara. Ada apa?"Amel tidak ingin basa-basi dan membuang kesempatan. Dia pun mulai menceritakan semua kejadian awal dan meyakinkan gurunya bahwa semua yang dialami Yumna itu berat. Dia difitnah oleh seseorang yang masih Amel rahasiakan
"Mas Dika mau ke mana?" tanya Yumna begitu melihat Dika menyambar kunci motor padahal tadi pagi dia mengaku sakit perut."Bukan urusan anak kecil!" ketus Dika, kemudian melangkah pergi.Yumna merasa sedih, semua orang kini telah menjauhinya. Namun, dia selalu berusaha yakin bahwa setiap mereka akan terbuka hatinya.Sementara Dika, dia melajukan motornya langsung ke rumah Amel. Waktu tidak boleh terbuang sia-sia dengan hanya rebahan di rumah, lagi pula sekarang adalah masa terakhir cuti dari tempat kerja.Dalam perjalanan dia menyesal juga karena sudah ketus pada adik kandung sendiri, tetapi semua sudah terlanjur dan jika kembali akan memakan waktu lama karena harus membujuk dulu. Untung kalau langsung dimaklum, bagaimana jika minta traktir?"Mel," sapa Dika ketika melihat perempuan itu berdiri di depan rumah."Mas Dika." Amel tersenyum. "Silakan duduk, Mas!"Mereka berdua duduk di depan rumah. Dika langsung menanyakan bagaimana Amel b
POV YUMNA."Ada urusan apa, Mas Ilham?""Mana Dika?!""Bisa pelanin suara gak? Aku gak mau ya orang-orang pada salah paham lagi gara-gara kamu datang marah gak jelas gitu!""Dika mana aku tanya!"Aku membuang napas kasar, kemudian melangkah masuk rumah tanpa mengindahkan pertanyaan Mas Ilham. Siapa juga yang mau berurusan sama orang kasar seperti dia. Seenak jidat berbicara padahal aku bukan istri yang bisa dibentak sesuka hati.Istri saja harus dimuliakan selagi masih menurut kepada suami dan tidak melakukan maksiat. Aku malah semakin bersyukur kemarin tidak jadi menikah dengan Mas Ilham. Namun, hmmm ... hati dan pikiran masih berantakan.Di rumah tidak ada ibu karena beliau menyusul ayah yang sedang bekerja. Saat ini benar-benar kesepian apalagi tidak bisa berinteraksi dengan al-qur'an. Oh Tuhan.Pintu rumah terketuk. Aku melangkah malas ke depan dan membuka pintu. "Ada apa sih ganggu orang ter ... maafkan
Aku membuka mata ketika seseorang menyentuh pundak ini. Pandangan yang masih samar membuatku tidak bisa menebak siapa seseorang yang tengah tersenyum itu. Barulah pada detik ke lima dia bersuara."Mas Dika?" Dengan cepat aku bangun ketika melihat hari sudah gelap. Jendela kamar bahkan tidak tertutup. Ketika mata melirik ke arah jam dinding, rupanya sudah menunjuk pukul delapan malam."Makan! Sejak tadi ibu sama ayah bangunin kamu malah gak bisa. Giliran mas langsung aja bangun. Ada apa?"Aku tidak mengindahkan kalimat Mas Dika barusan. Ingatanku mencoba mengingat sesuatu. Tadi rasanya bertemu Mas Ilham, telepon ustazah dan mama Amel yang ikut menghujatku karena fitnah bahkan ada Gus Qabil. Namun, menyadari aku yang tidur lama jadi berpikir mungkin semua ini hanya mimpi.Sungguh, ini membingungkan. Aku geleng-geleng kepala karena tidak tahu harus merasa lega atau entahlah."Yumna?" Mas Dika menggerakkan tangannya di depan wajahku."Tadi Mas D
"Ini tidak seperti yang kamu pikirkan.""Mas tahu apa yang aku pikirkan?" Aku mendekat selangkah. "Sudahlah, Mas lebih baik jujur saja kalau sering ketemu dan teleponan sama Amel. Ya, perasaan suka itu wajar tandanya normal cuman gak usah malu karena hubungan kami lagi renggang.""Iya, Yum." Mas Dika terlihat masih menyembunyikan sesuatu."Tapi aku kepo deh sama obrolan kalian. Rencana busuk apa sih yang kalian lakukan tanpa bisa kuketahui?"Mas Dika tidak menjawab, dia langsung masuk ke dalam rumah. Baiklah jika seperti itu, aku akan menyelidiki kasus ini sendirian. Pada akhirnya kita akan tahu siapa yang benar-benar peduli. Itulah yang paling dinanti.***Hujan mengguyur bumi begitu tiba-tiba padahal aku sedang di jalan. Suka atau tidak tetap saja harus berteduh. Angin berembus menusuk kulit yang terbungkus gamis dan jilbab. Aku memeluk diri yang semakin menggigil.Kalau saja bukan karena ibu yang minta dibelikan sandal, aku tidak a
Aku menggaruk dahi sekilas. "Itu tidak disengaja, Mas. Aku juga bingung kenapa tiba-tiba ada Mas Ilham di sana tanpa kendaraan. Kami tidak macam-macam, kok.""Memang mas menuduhmu macam-macam dengan Ilham?"Benar juga, sih. Tanpa menjawab, aku langsung menuju kamar siap-siap mandi. Sekitar 30 menit, aku sudah siap. Sambil mengeringkan rambut dengan handuk, aku menyeduh teh di depan televisi ditemani Mas Dika.Tiba-tiba teringat payung Mas Ilham yang dipinjaminya. Hujan yang sudah reda membuatku hendak beranjak, tetapi Mas Dika menahan. Dia bertanya, "kamu mau ke mana?""Ngembaliin payung Mas Ilham, Mas. Takutnya malah disangka nyuri sama Nurul kalau gak segera dikembalikan."Sayang sekali, rasa kantuk tiba-tiba menyelimuti jiwa ketika aku berdiri dalam kamar. Tanpa aba-aba, kaki melangkah dan langsung merebahkan diri di tempat tidur.Sore hari, aku sudah berdiri di depan rumah Mas Ilham. Sebenarnya Mas Dika memaksa besok saja, tetapi aku nek