LOGIN
"Aku berpetualang mencari sosok yang pernah membuatku begitu tenggelam dan bergetar dalam sebuah telaga hasrat yang panas. Siapa sangka, dia kini berdiri di hadapanku. Namun, dinding kaca diantara kami begitu tebal dan tinggi. Mampukah aku meraihnya?"
Meghan Crafson Polandia, 2021 * Gemericik hujan masih mengguyur kota New York sejak sore tadi. Hawa dingin menyelimuti kota yang tak pernah tidur itu. Sebuah jam besar berdiri pada sudut ruangan dengan cat dinding bernuansa air laut Karibia. Jarumnya menunjuk tepat pada anggka dua. Benar, sudah pagi. Namun aktivitas panas masih berlangsung di dalam kamar VVIP dimana jam besar itu bertengger. Ia terpaksa harus menyaksikan pergumulan liar sepasang manusia di tengah ranjang. California Hotel, bangunan itu memiliki 100 lantai dan termasuk hotel bintang lima yang paling populer di kalangan kaum Jetset di Amerika. Hotel itu dulunya milik seorang pengusaha asal Jepang bernama Hisaki Shimada. Namun setelah usahanya bangrut, pria itu melelang aset mewahnya kepada seorang pengusaha terkaya nomer dua di Eropa yaitu Edward Willbowrn. Edward mendapatkan hotel itu dengan harga yang lumayan tinggi. Bahkan ia memberikan tawaran terakhir yang membuat para pembeli di pelelangan itu tercengang dibuatnya. 500 juta dolar, harga yang Edward sanggupi mengalahkan semua tawaran pembeli di pelalangan siang itu. Akhirnya hotel 100 lantai itu pun jatuh ke tangannya. California Hotel sendiri Edward beli untuk hadiah anniversary pernikahannya dengan Meghan Crafson, wanita 30 tahun asal Polandia yang baru saja ia nikahi satu tahun yang lalu. Menikahi wanita yang seumuran dengan putranya itu membuat Edward sangat bahagia. Dia selalu berusaha untuk selalu membuat mantan model majalah dewasa itu selalu bahagia. Bahkan CEO utama perusahaan teknologi terbesar di Amerika itu rela menghabiskan banyak uangnya demi kebahagiaan Meghan. Ini semua ia lakukan karena rasa cintanya yang teramat besar pada mantan model itu. Namun bagaimana dengan Meghan? Apakah wanita berkulit putih itu juga sangat mencintainya? Jawabannya tidak. Meghan merupakan wanita matrealistis yang hidupnya tak mau ambil pusing. Baginya uang adalah segalanya. Persetan dengan apa pun yang penting saldo rekeningnya selalu penuh terisi. Seperti saat ini, Meghan malah sibuk bergumul dengan pria bayaran bernama Louis. Dan ini bukan kali pertama dirinya tidur dengan pria lain setelah terikat pernikahan dengan Edward Willbowrn. Wanita itu kerap menghabiskan malam dengan siapa saja yang bisa memuaskan hasratnya. Meski tak mau dibilang seorang hiper, tapi itulah kenyataannya. Meghan tak pernah benar-benar puas hanya dengan satu pria saja. "Louis, ayo lakukan lagi! Kamu sangat payah! Shit!" Suara cetar itu berasal dari bibir merah basah yang terus meracau di bawah kendali seorang pria berambut kecokelatan. Meghan tak henti berdesah dan meracau di sela percintaan yang sedang dirinya lalui. Sudah hampir empat jam mereka bermain. Namun, Meghan masih belum merasa puas. "Nyonya ..." Kali ini si pria yang berdesah dengan napas beratnya yang terdengar memburu. Peluh bercucuran dari ribuan pori-pori kulitnya. Louis sudah kewalahan mengikuti kemauan Meghan. Sialnya wanita itu tak juga mau berhenti. Dia mulai kesal. "Louis! Ah, sial!" Persetan dengan Meghan yang tampak sangat kecewa karena dia sudah selesai. Pria itu bahkan segera bergulir darinya. Meghan memalingkan wajahnya kesal bukan main. Ternyata bermain dengan cowok bayaran pun tak mampu membuatnya merasakan sensasi yang sedang ia cari-cari. Sia-sia saja dirinya sudah membayar mahal untuk pria 25 tahun itu. Ternyata Louis sangat payah! "Nyonya, saya tak bisa bermain lagi," ucap Louis seraya menoleh pada wanita di sampingnya. Keduanya masih dalam keadaan polos dan berada dalam satu selimut yang sama. Penyesalan tampak jelas di mata pria muda berparas tampan itu. Baru kali ini ia mendapatkan klien seperti Meghan. Wanita 30 tahun yang sangat cantik tapi memiliki nafsu layaknya kuda betina. "Tak usah banyak bicara, kamu memang payah!" Setelah menoleh tegas pada pria muda di sampingnya, Meghan segera beringsut dari ranjang. Dia lantas berjalan menuju kamar mandi dengan wajah kecewa. "Oh, shit!" Louis berdesis seraya mengusap rambutnya ke belakang. Kemudian dipandangi tubuh polos Meghan yang semakin menjauh darinya. Tubuhnya memang indah. Namun, dia sangat gila! Louis bergidig kemudian. Jangan sampai dia bertemu dengan klien seperti itu lagi! Langkah sepasang tungkai jenjang itu berhenti di samping sebuah bathtub berukuran cukup besar. Meghan menggelengkan kepalanya. Dia masih tampak kecewa. Wanita itu lantas memasuki wadah air di hadapannya. Dia membenamkan tubuhnya di sana. Benar-benar sial! Dimana ia bisa mendapatkan sensasi yang seperti itu? Sepasang matanya terpejam perlahan dengan kepalanya yang bersandar pada tepi bathtub. Sekilas ingatannya melayang pada kejadian sepuluh tahun yang lalu di Polandia. Saat itu dirinya menghadiri sebuah pesta temannya yang bernama Laura. Laura dan beberapa temannya mengadakan sebuah permainan dimana akhirnya Meghan kalah dan ditantang bercinta dengan seorang pria asing. Saat itu dirinya diikat di tengah ranjang dengan kain hitam yang menutupi sepasang matanya. Sampai seorang pria pun datang dan menikmati setiap inci tubuh Meghan. Meski itu sangat konyol, namun Meghan merasakan sensasi yang sangat luar biasa saat pria itu membantainya di atas ranjang. Untuk pertama kalinya bagi Megan. Dan pria itu membuatnya serasa melayang-layang dengan berjuta sensasi yang diberikannya. Dia menginginkan pria itu lagi, juga sensasi itu lagi. Namun, siapa pria itu dan dimana dia sekarang? Sayangnya Meghan tak tahu hal itu. Dia pernah beberapa kali menanyakan pria itu pada Laura. Namun, temannya itu tak mau memberitahunya, karena itu melanggar peraturan dari permainan mereka. Dia tak boleh mengatakan pada Meghan (korban) siapa pun pria itu (pelaku). Dan semenjak itu Meghan terus berpetualang untuk mencari sensasi yang pernah dirinya rasakan malam itu. Satu hal yang dia sadari, dia mengidap penyakit langka dan hanya pria itu sebagai obatnya. Namun dari sekian pria yang dikencaninya, tak ada satu pun dari mereka yang bisa membuatnya menemukan sensasi yang seperti itu lagi. Penawar sakitnya. Apalagi semenjak dirinya menikahi Edward. Dunia percintaannya sangat buruk. Boro-boro merasa puas di atas ranjang, si tua bangka itu bahkan jarang sekali menyentuhnya. Memang, ada beberapa malam dimana ia bercinta dengan Edward. Namun hasilnya sangat buruk! Baru saja satu jam mereka bergumul, pebisnis itu sudah menyerah. Benar-benar menyebalkan! Meghan memukul air hangat di hadapannya. Hatinya tak bisa tenang jika hasratnya belum terpuaskan. Apakah dia harus menyewa dua orang cowok bayaran sekaligus? Tidak! Itu terdengar sangat berlebihan. Sepertinya memang hanya pria itu yang bisa membuatnya puas. Dia orangnya yang bisa mengobati penyakitnya. Namun dimana dia? Ugh! Meghan mengerang kesal dengan sesekali melepaskan tinjunya ke air. Kemudian ia menyentuh sesuatu di bawah sana. Dibelainya dengan lembut bagia itu. Oh, nikmatnya ... Ia teringat sensasi itu. Shit! Dia sangat menginginkannya lagi. "Pergilah," ucap Meghan seraya menyodorkan selembar cek pada pria berkemeja hitam lengan panjang di hadapannya. Bibirnya tersenyum remeh menatap Louis. Pria ini masih muda, tampan dan bertubuh kekar. Tapi kenapa dia sangat payah di atas ranjang, pikirnya kesal. "Terima kasih, Nyonya." Dengan wajah merah menahan malu, Louis segera meraih haknya dari wanita dengan dress selutut warna hitam di hadapannya. Sial! Meghan sudah membuatnya seperti tisue bekas yang tak berguna. Bahkan wanita itu mencibirnya juga. Sebagai seorang cowok bayaran, dia tak punya harga diri. Namun itu bukan salahnya. Bukan! Baiknya wanita itu bermain dengan seekor kuda saja, pikir Louis yang juga tak kalah kesal. "Aku harap Madame Barbara tak lagi mempekerjakan pria payah sepertimu!" Louis menghentikan langkahnya sejenak di hadapan pintu. Ucapan menohok dari bibir seksi Meghan membuatnya merasa sangat terhina. Namun apa daya? Dia hanya seorang pekerja malam. Pasti Madame Barbara akan memecatnya setelah ini. Benar-benar sial! Tangan kanan Louis mencengkeram pegangan kopernya dengan penuh emosi. Ekor matanya melirik meski tak bisa menggapai ekspresi Meghan. Wanita itu benar-benar menyebalkan! Ia lantas kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan kamar hotel nomer 1334 dimana Meghan masih berdiri memandangi kepergiannya. Wanita itu melipat kedua tangannya di depan dada dengan bibirnya yang bergetar-getar mengutuk pria yang sudah tiga hari bersamanya itu. Dasar cowok payah! Tak lama dari itu, ponsel pintar yang tergeletak pada meja nakas pun berdering. Ah, siapa yang menelepon? Masih dengan mood-nya yang buruk, Meghan segera meraih benda pipih itu. Sial! Untuk apa si tua bangka meneleponku? Wajahnya semakin dipenuhi aura kesal setelah melihat ID si pemanggil yang tampak pada layar ponselnya. Dia tak lain, Edward Willbowrn. "Halo, Honey! Apa? kamu akan pulang? Baiklah, aku akan menyiapkan sebuah pesta kecil-kecilan untukmu!" Omong kosong! Wanita itu selalu berkata manis pada Edward. Padahal hatinya selalu menyumpai pria 50 tahun itu agar segera tewas. Menurutnya itu lebih baik daripada harus mengurusi suami yang tak berguna itu. Sialnya dia masih membutuhkan Edward juga, kan? Lebih tepatnya, Meghan masih membutuhkan uang Edward. Jika Edward tewas, lantas bagaimana ia melangsungkan hidupnya? Terlebih sampai sekarang dirinya belum memiliki seorang anak dari konglomerat kaya raya itu. Apa? Memiliki anak? Dari Edward? Cih! Meghan tak pernah berpikir sampai sejauh itu. Membayangkannya saja ia ogah. Mana mungkin dirinya bisa memiliki seorang anak, membuatnya 'puas' saja Edward tak becus! Dasar tua bangka! Meghan menggelengkan kepalanya sembari tersenyum sinis. Kedua tangannya segera melipat ponselnya. *** Sore itu langit tampak mendung. Tesla keluaran terbaru edisi terbatas musim ini terlihat menepi di sebuah pelataran mansion mewah. Mansion tiga lantai itu berdiri mencolok di antara rumah-rumah besar di sekitarnya. Bangunan megah dengan cat putih itu berdiri pada dataran yang lebih tinggi dari beberapa bangunan serupa di sekitar. Bahkan mansion itu tampak lebih besar dari yang lainnya. Sepasang tungkai panjang dibalut celana kain licin warna hitam keluar satu per satu dari pintu mobil itu. Seorang pria muda, tampan. Wajahnya blasteran Jerman-Rusia dengan postur tubuhnya yang tinggi dan sixpack. Tubuh idaman para wanita itu dibalut stelan jas hitam dari brand ternama, Mars Anthony. Terlihat sangat menawan dengan senyum tipis menghiasi wajahnya. "Ayo Hardin, Daddy ingin memperkenalkan seseorang padamu," ucap pria paruh baya yang juga keluar dari mobil yang sama. Edward Willbowrn, dia baru kembali dari Jerman setelah menghadiri acara wisuda putranya yang bernama Hardin Leonard Willbowrn. Sudah hampir lima tahun putranya itu menempuh pendidikan pada universitas ternama di Jerman. Hardin akhirnya lulus dengan nilai tinggi. Kini pria itu kembali untuk membantu sang ayah mengurus bisnisnya. Bibir kemerahan itu hanya mengulas senyum saat Edward merangkul bahunya. Hardin memang tipikal pria yang tak banyak bicara. Edward mengatakan puteranya itu mewarisi sipat ibunya yang pendiam. Padahal itu bohong belaka. Sebenarnya Hardin bukanlah putera kandungnya. Edward tak henti tertawa senang seraya menggiring Hardin memasuki mansion. Di ruang tamu sudah tampak seorang wanita dengan long dress warna merah hati yang sedang berdiri menyambutnya. Sementara beberapa pelayan wanita berseragam juga tampak berdiri di belakang, turut menyambut kedatangan mereka. Sepasang manik kebiruan Hardin membulat penuh melihat wanita itu. Astaga! Kenapa wanita itu berada di sini? Pikirnya seraya memalingkan wajah ke lain arah. Raut wajahnya tampak tidak nyaman lagi setelah melihat Meghan yang sedang memasang senyum manis untuknya. "Honey, ini Hardin puteraku. Dan Hardin, ini Meghan, Mommy barumu." Hardin sangat tersentak mendengar ucapan sang ayah. Apa? Mommy baru? Jadi, wanita itu adalah istri baru ayahnya? No! Ini tidak mungkin. Hardin menelan ludah kasar saat Meghan tersenyum binal seraya menyodorkan tangan kanan untuk berjabat tangan dengannya. Tubuh Hardin gemetaran tiba-tiba dengan jantung yang hampir meledak. Apakah Meghan tidak mengenalinya? Ya, sepertinya wanita itu tidak mengenalinya, pikir Hardin seraya menerima uluran tangan wanita cantik di hadapannya itu. Sepasang mata Meghan terangkat ke wajah Hardin. Keduanya saling berpandangan barang sejenak. Crazy! Ternyata putera Edward ini sangatlah tampan dan memiliki aura yang amat langka. Meghan menelan saliva melihat bibir seksi Hardin yang tampak selalu lembab. Sepertinya sangat nikmat jika dilumat, pikirnya mulai melantur. Kemudian pandangan binalnya turun pada bagian depan celana kain hitam yang dikenakan oleh Hardin. Bagian depan celana yang kelihatan sesak, Meghan menggigit bibirnya gemas. Otaknya langsung kacau. Entah seberapa besar ukuran Anaconda di dalam sana. Sementara Edward hanya tersenyum senang melihatnya. Dia sangat lega jika Meghan bersedia menerima Hardin sebagai puteranya. Dan itu juga yang ia harapkan dari Hardin, dia berharap puteranya itu bisa menerima Meghan sebagai ibu sambungnya. Dengan begitu kini keluarganya kembali lengkap. Sungguh indah sekali harapan Edward. Namun, sangat berbeda dengan apa yang sedang Meghan harapkan dan Hardin pikirkan saat ini. Juga yang sedang kalian pikirkan. Penasaran? Bagaimana jika kita lanjutkan saja kisahnya?Matahari sudah hampir terbenam saat mobil yang dikemudikan oleh Hardin menepi di pelataran sebuah villa. Hardin tersenyum pada Meghan setelah membantu wanita itu membuka seat belt yang melingkar di tubuhnya. Kemudian ia segera keluar dari mobil, lalu membukakan pintu mobilnya untuk Meghan.Tungkai jenjang itu hampir tak kelihatan saat keluar dari pintu mobil karena gaun pengantin yang besar. Meghan mengangkat tepi gaun itu saat melangkah. Jemarinya menyambut tangan Hardin yang terulur padanya. Bibirnya mengulas senyum sipu.Matanya memindai tempat di mana dirinya saat ini. Sebuah villa mewah dengan cat dinding warna putih berdiri di atas puncak tebing. Untuk menuju ke sana mereka harus menaiki anak tangga yang banyak. Meghan menghela napas lalu menoleh pada pria dengan tuxedo hitam di sampingnya.Astaga, yang benar saja. Bagaimana ia bisa menaiki anak tangga sebanyak itu dengan gaun pengantin yang besar dan berat ini?Kepalanya menggeleng pusing. Tak adakah tempat yang lebih romant
Hardin langsung menelepon orang-orang nya untuk segera datang. Emily hanya berdiri sambil memperhatikan pria tinggi yang sedang berbicara lewat sambungan ponselnya. Bibirnya mengulas senyum. Apakah benar pria tampan itu adalah Daddy Hardin, ayahnya?"Ya, cepat datang! Siapkan kamar pasien VVIP di rumah sakit paling besar di kota New York! Jemput Nyonya Meghan sekarang juga! Kami tunggu!" Hardin mengakhiri panggilan. Dibenahi ponsel pintar miliknya ke saku jas. Tubuhnya memutar. Ia sedikit terkejut melihat sosok gadis kecil yang sedang berdiri di hadapannya kini.Hardin tersenyum gemas. Ia segera berjongkok di hadapan Emily. "Hei, Nona Muda. Apa yang sedang kamu pandangi? Apakah Daddy-mu yang tampan ini?" tanyanya.Emily tersenyum puas mendengarnya. "Daddy!" Tangan mungil itu segera melingkar ke tengkuk leher Hardin. Beberapa kecupan mendarat di pipinya yang bulat. Tubuhnya diangkat oleh kedua tangan kekar sang ayah. Hardin menggendongnya."Daddy, aku juga mau digendong!""Aku jug
Charlie dan Charles saling pandang bingung mendengar pertanyaan pria dewasa di dalam mobil mewah itu. Kemudian Charlie memberanikan diri untuk menjawabnya, "Tuan, berikan saja uangnya. Untuk apa menanyakan ibu kami? Bahkan ibu kami tidak boleh tahu jika kami sedang mengemis," ucapnya.Hardin mengernyitkan dahi mendengarnya. "Ibu kalian tidak tahu kalian mengemis?"Charlie tampak mulai bosan meladeni pria berjas hitam di dalam mobil itu. Alih-alih memberi mereka uang, pria itu malah menanyakan banyak hal. Sepertinya mereka harus mencari mobil lain. Matanya menoleh pada lampu merah. Sial! Sebentar lagi mungkin lampu hijau akan menyala, tapi mereka belum mendapatkan uang sepeser pun."Ayo Charles, kita ke sana saja!" Tangannya segera menyeret lengan adiknya dan menjauhi mobil Hardin. Charles hanya menurut saat sang kakak menyeretnya pergi."Hei, tunggu!" Hardin menghardik. Kepalanya dikeluarkan sambil berteriak pada dua bocah laki-laki yang baru saja meninggalkan mobilnya. Sial!
Mata Meghan terasa berat untuk terbuka. Darah segar mengalir dari hidung dan sudut bibirnya. Pukulan pria itu benar-benar sekuat tenaga, seperti pukulan seorang pegulat sabuk emas. Meghan merasakan leher dan hidungnya patah.Sayup-sayup terdengar olehnya tangisan Emily. Jari-jemarinya bergerak pelan. Ia ingin segera bangkit dan menolong putrinya dari para penculik itu.Matanya terbuka. Langit hitam malam yang pertama dilihatnya. Perlahan ia menoleh ke arah sumber suara Emily. Terlihat olehnya si bungsu sedang merengek dalam cengkeraman seorang pria berjaket hitam di dalam mini bus."Emily," lirihnya sambil berusaha bangkit. Tangannya berusaha menggapai pintu mobil di sampingnya.Namun, satu tendangan kuat melepaskan genggaman yang hampir sampai itu. Meghan mengeram kesakitan. Tangannya ditendang teramat kuat oleh pria yang tadi mengantam wajahnya dengan pukulan keras.Bibir pria itu menyeringai saat ia mengangkat sepasang matanya. Tangannya yang beradarah berusaha menopang tubuhnya un
Malam semakin larut saat langkah Meghan tiba di tepi jalan di depan restoran di mana ia bekerja. Jalan masih tampak ramai meski sudah malam. Lalu lalang kendaraan masih meramaikan kota. Wajahnya menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia akan segera menyebrang bersama beberapa orang.Dari seberang jalan Meghan melihat Charlie dan Charles yang sedang melambaikan tangan padanya.Bibirnya mengulas senyum. Astaga, mereka datang menjemputnya? Bahkan membawa si mungil Emily juga? Dasar anak-anak!Pasti mereka sudah tak sabaran menunggunya pulang, sampai-sampai menyusulnya. Meghan melambaikan tangannnya pada anak-anak menggemaskan di seberang sana. Ia memberi isyarat pada mereka agar tetap diam di tempat. Sangat berbahaya jika sampai mereka menyebrang, bukan? Sepertinya anak-anak itu mengerti. Mereka memang sangat cerdas. Meghan tersenyum bangga melihatnya.Lampu untuk menyebrang belum juga menyala, Meghan mulai tampak gelisah. Anak-anak sudah menunggu, ia sangat mencemaskan mereka. Wanita itu me
Malam itu Meghan sedang berdiri di depan wastafel. Ia sedang berada di dapur luas sebuah restoran. Tangannya bergerak aktif mencuci piring-piring kotor yang menumpuk di hadapannya. Bahkan, ada banyak piring kotor yang juga tersusun di sampingnya.Setelah dua hari ke sana ke mari mencari pekerjaan, akhirnya ia diterima bekerja di sebuah restoran mewah. Namun, bukan menjadi pelayan, melainkan tukang cuci piring, pekerjaan yang paling rendah dengan upah yang amat kecil. Namun, sangat melelahkan."Astaga, dari tadi kamu belum selesai juga? Benar-benar lamban! Sementara di luar sana masih banyak piring yang harus kamu cuci! Ck!" Seorang wanita berdecak jengah sambil menaruh tumpukkan piring kotor di samping Meghan. Kepalanya menggeleng, sementara matanya memperhatikan wanita muda berseragam pelayan di hadapannya itu. Bibirnya tersenyum sinis lalu melenggang pergi.Meghan hanya terdiam. Wanita berseragam pelayan yang tadi bicara ketus padanya bukanlah pemilik restoran ini. Namun, entah







