LOGINMatahari sudah hampir terbenam saat mobil yang dikemudikan oleh Hardin menepi di pelataran sebuah villa. Hardin tersenyum pada Meghan setelah membantu wanita itu membuka seat belt yang melingkar di tubuhnya. Kemudian ia segera keluar dari mobil, lalu membukakan pintu mobilnya untuk Meghan.Tungkai jenjang itu hampir tak kelihatan saat keluar dari pintu mobil karena gaun pengantin yang besar. Meghan mengangkat tepi gaun itu saat melangkah. Jemarinya menyambut tangan Hardin yang terulur padanya. Bibirnya mengulas senyum sipu.Matanya memindai tempat di mana dirinya saat ini. Sebuah villa mewah dengan cat dinding warna putih berdiri di atas puncak tebing. Untuk menuju ke sana mereka harus menaiki anak tangga yang banyak. Meghan menghela napas lalu menoleh pada pria dengan tuxedo hitam di sampingnya.Astaga, yang benar saja. Bagaimana ia bisa menaiki anak tangga sebanyak itu dengan gaun pengantin yang besar dan berat ini?Kepalanya menggeleng pusing. Tak adakah tempat yang lebih romant
Hardin langsung menelepon orang-orang nya untuk segera datang. Emily hanya berdiri sambil memperhatikan pria tinggi yang sedang berbicara lewat sambungan ponselnya. Bibirnya mengulas senyum. Apakah benar pria tampan itu adalah Daddy Hardin, ayahnya?"Ya, cepat datang! Siapkan kamar pasien VVIP di rumah sakit paling besar di kota New York! Jemput Nyonya Meghan sekarang juga! Kami tunggu!" Hardin mengakhiri panggilan. Dibenahi ponsel pintar miliknya ke saku jas. Tubuhnya memutar. Ia sedikit terkejut melihat sosok gadis kecil yang sedang berdiri di hadapannya kini.Hardin tersenyum gemas. Ia segera berjongkok di hadapan Emily. "Hei, Nona Muda. Apa yang sedang kamu pandangi? Apakah Daddy-mu yang tampan ini?" tanyanya.Emily tersenyum puas mendengarnya. "Daddy!" Tangan mungil itu segera melingkar ke tengkuk leher Hardin. Beberapa kecupan mendarat di pipinya yang bulat. Tubuhnya diangkat oleh kedua tangan kekar sang ayah. Hardin menggendongnya."Daddy, aku juga mau digendong!""Aku jug
Charlie dan Charles saling pandang bingung mendengar pertanyaan pria dewasa di dalam mobil mewah itu. Kemudian Charlie memberanikan diri untuk menjawabnya, "Tuan, berikan saja uangnya. Untuk apa menanyakan ibu kami? Bahkan ibu kami tidak boleh tahu jika kami sedang mengemis," ucapnya.Hardin mengernyitkan dahi mendengarnya. "Ibu kalian tidak tahu kalian mengemis?"Charlie tampak mulai bosan meladeni pria berjas hitam di dalam mobil itu. Alih-alih memberi mereka uang, pria itu malah menanyakan banyak hal. Sepertinya mereka harus mencari mobil lain. Matanya menoleh pada lampu merah. Sial! Sebentar lagi mungkin lampu hijau akan menyala, tapi mereka belum mendapatkan uang sepeser pun."Ayo Charles, kita ke sana saja!" Tangannya segera menyeret lengan adiknya dan menjauhi mobil Hardin. Charles hanya menurut saat sang kakak menyeretnya pergi."Hei, tunggu!" Hardin menghardik. Kepalanya dikeluarkan sambil berteriak pada dua bocah laki-laki yang baru saja meninggalkan mobilnya. Sial!
Mata Meghan terasa berat untuk terbuka. Darah segar mengalir dari hidung dan sudut bibirnya. Pukulan pria itu benar-benar sekuat tenaga, seperti pukulan seorang pegulat sabuk emas. Meghan merasakan leher dan hidungnya patah.Sayup-sayup terdengar olehnya tangisan Emily. Jari-jemarinya bergerak pelan. Ia ingin segera bangkit dan menolong putrinya dari para penculik itu.Matanya terbuka. Langit hitam malam yang pertama dilihatnya. Perlahan ia menoleh ke arah sumber suara Emily. Terlihat olehnya si bungsu sedang merengek dalam cengkeraman seorang pria berjaket hitam di dalam mini bus."Emily," lirihnya sambil berusaha bangkit. Tangannya berusaha menggapai pintu mobil di sampingnya.Namun, satu tendangan kuat melepaskan genggaman yang hampir sampai itu. Meghan mengeram kesakitan. Tangannya ditendang teramat kuat oleh pria yang tadi mengantam wajahnya dengan pukulan keras.Bibir pria itu menyeringai saat ia mengangkat sepasang matanya. Tangannya yang beradarah berusaha menopang tubuhnya un
Malam semakin larut saat langkah Meghan tiba di tepi jalan di depan restoran di mana ia bekerja. Jalan masih tampak ramai meski sudah malam. Lalu lalang kendaraan masih meramaikan kota. Wajahnya menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia akan segera menyebrang bersama beberapa orang.Dari seberang jalan Meghan melihat Charlie dan Charles yang sedang melambaikan tangan padanya.Bibirnya mengulas senyum. Astaga, mereka datang menjemputnya? Bahkan membawa si mungil Emily juga? Dasar anak-anak!Pasti mereka sudah tak sabaran menunggunya pulang, sampai-sampai menyusulnya. Meghan melambaikan tangannnya pada anak-anak menggemaskan di seberang sana. Ia memberi isyarat pada mereka agar tetap diam di tempat. Sangat berbahaya jika sampai mereka menyebrang, bukan? Sepertinya anak-anak itu mengerti. Mereka memang sangat cerdas. Meghan tersenyum bangga melihatnya.Lampu untuk menyebrang belum juga menyala, Meghan mulai tampak gelisah. Anak-anak sudah menunggu, ia sangat mencemaskan mereka. Wanita itu me
Malam itu Meghan sedang berdiri di depan wastafel. Ia sedang berada di dapur luas sebuah restoran. Tangannya bergerak aktif mencuci piring-piring kotor yang menumpuk di hadapannya. Bahkan, ada banyak piring kotor yang juga tersusun di sampingnya.Setelah dua hari ke sana ke mari mencari pekerjaan, akhirnya ia diterima bekerja di sebuah restoran mewah. Namun, bukan menjadi pelayan, melainkan tukang cuci piring, pekerjaan yang paling rendah dengan upah yang amat kecil. Namun, sangat melelahkan."Astaga, dari tadi kamu belum selesai juga? Benar-benar lamban! Sementara di luar sana masih banyak piring yang harus kamu cuci! Ck!" Seorang wanita berdecak jengah sambil menaruh tumpukkan piring kotor di samping Meghan. Kepalanya menggeleng, sementara matanya memperhatikan wanita muda berseragam pelayan di hadapannya itu. Bibirnya tersenyum sinis lalu melenggang pergi.Meghan hanya terdiam. Wanita berseragam pelayan yang tadi bicara ketus padanya bukanlah pemilik restoran ini. Namun, entah







