Sudah klik “BERLANGGANAN?”
Aku melangkah mundur alon-alon agar tak menimbulkan suara. Pesanan yang tadi sudah kupegang kuletakkan lagi dalam lemari kaca. Suara Lita masih terdengar, berbicara pada Azmi. Ah, buaya darat ternyata. Selama ini aku menikah dengan buaya darat. Untung saja sejak awal aku tak pernah disentuhnya. Napasku tiba-tiba berat. Lebih baik Lita tak tahu kalau aku sudah tahu main serongnya bersama Azmi. Untunglah tadi aku datang tanpa bilang padanya, sehingga aku bisa mengetahui semuanya lebih awal sebelum terlambat. “Di kamar 243, ya, Mas Azmi?” Suara Lita masih tertangkap di pendengaranku. Akan kuingat nomor hotel itu. Lihatlah apa yang aku lakukan padamu, Azmi. Tak cukup selama ini aku jadi bulan-bulanan di rumahnya. Beberapa bulan ini aku harus menahan tatapan mata sinis keluarganya. Pun juga kelakuan rewel ibunya. Dan kini ia bermain api cinta dengan dua wanita sekaligus. Apa namanya kalau bukan kucing belang. Sudah pantas kalau aku akan membuatnya kapok dan taubat. Aku harus membuat dua wanita selingkuhan Azmi bertarung macam ayam sabung atau kambing berebut betina. Lihat saja. “Mas, kamu jangan cerai dulu sama Bilqis. Jangan buru-buru, deh. Kamu harus kuasai dulu aset warisan papanya. Ingat, Mas. Ini rahasia dan jangan sampai keluargamu tahu, satu orang pun.” Santai Lita mengucap hal seperti itu. Lita, temanku sendiri. Menusuk dari belakang saat kulindungi. Pernah Lita merengek dan mengemis padaku saat bisnis kosmetiknya bangkrut. Berkeluh-kesah ia macam bayi kehilangan induk. Ia puji aku setinggi-tingginya, ia rendahkan dirinya serendah-rendahnya. Ia bawakan aku bubur kesukaanku saat aku sakit. Ia beri aku hadiah saat berulang tahun. Namun, kali ini aku mendapatinya sebagai wanita bermuka dua. Topeng. Selama ini ia hanya memakai topeng. Jadi ia ingin Azmi tak menceraikanku dulu. Baiklah, aku ikuti kemauannya, tetapi dia yang masuk dalam perangkapku, dan ketika ia masuk permainanku, sampai kiamat pun ia takkan bisa keluar. Seperti ikan yang terjerat dalam sebuah tembikar. Aku kembali ke depan rumah. Kuketuk pintu selayaknya aku baru datang. “Lita! Kamu di dalam gak?” “Iyaaa. Tunggu, ya. Masuk aja duduk dulu di sofa.” Aku duduk di sofa berwarna krem itu. Netraku menatap pada sebuah foto di dinding. Baru aku sadar bahwa selama ini memang tak pernah ada foto ayahnya Lita. Sejak kecil ia ditinggalkan oleh ayahnya itu dan menjadi yatim. Namun, ia tak pernah bilang kalau ayahnya meninggal atau pergi ke mana. “Mau jemput pesanan skincare sama lipstick ya, Bil?” Lita keluar dengan gaya sensual. Rambutnya dikuncir rapi. “Ini,” ujarnya sambil menyerahkan sebuah goodybag yang berisi pesananku. Aku terpaksa menyunggingkan senyum palsu. “Mau ke mana kamu, Lit?” “Ada janji sama teman. Bisnis.” “Ooh.” Padahal ia mau bertemu dengan Azmi mantan suamiku yang baru menceraikanku sejam lalu. “Ya udah aku pulang. Entah kenapa perasaanku gak enak. Malam ini Azmi pasti pulang mala. Aduh, suamiku itu memang suka keluyuran malam-malam akhir-akhir ini. Aku takut, deh, dia malah ngamar sama pelakor. Diih, kalau bener, habis tu pelakor aku buat malu.” Sengaja kusinggung soal Azmi agar Lita tersindir. Wanita sebayaku itu hanya diam. Kedipan matanya mendadak bergerak cepat tanda hatinya memang sedang merasakan sindiran halus. Namun, aku yakin ia belum tahu kalau aku tahu perselingkuhannya dengan Azmi. Jadi aku nikmati saja menusuk hati Lita dan tetap pura-pura polos. “Eh, maaf, Lit. Aku jadi curhat. Kamu tahu, kan, aku belum pernah disentuh Azmi. Itu membuatku berpikir mungkin aja di luar sana ia sibuk menyentuh wanita lain. Haha. Tapi Azmi setia, kok. Kalau gak, azabku sangat perih, Lit.” “Eh, iya. Kamu curhat aja gak apa-apa.” Sebulir keringat terlihat di kening Lita. Ah, Lita, baru saja aku sindir dengan pernyatan polos ia sudah berkeringat. Kalau begitu, baliho harus ditambah dan lebih istimewa lagi untuk Lita karena ia adalah teman baikku. Aku berjalan seperti orang linglung menuju rumah. Namun, seketika bayangan Jei si tampan tiba-tiba merasuki otakku seenaknya. “Aku, Jei.” Kembali momen ketika ia mengulurkan tangan itu teringat. Hatiku berbunga-bunga. Mendadak rumput-rumput di sekitarku seperti berubah jadi taman nan indah. Sampai lamunanku terbuyar ketika ponselku berdering karena Berno memanggil. “Apa lagi sih Bilqis, lu banyak banget mau buat malu orang sih, Cin.” “Berno, lu gak akan percaya dengan apa yang barusan gue dengar. Tapi gue lagi males cerita, lu ikutin aja mau gue. Pesan lagi baliho dengan gambar Azmi sama Lita, tulisannya: Seekor Suami Terjual Seharga Kacang Rebus. Ia tertangkap basah di pelukan wanita paling murahan sedunia. Catat itu, No.” “Lu mau ngerjain Lita atau apa ini?” “Lita khianatin gue, No. Nanti gue ceritain, sekarang gue lagi gak mood. Maaf, ya, No.” “Udahlah kalo gitu lu tenangin diri dulu. Eh, ya, masalah baliho, lu gak bisa cepat pasang. Semua baliho lagi disewa full. Jadi kita harus nunggu seminggu paling cepat.” “Seminggu? Keburu gue udah resmi pisah rumah sama Azmi, No. Gue gue kan mau liat ekspresi wajahnya kayak kepiting rebus. Apalagi wajah Ibu, pasti terkejut banget. Jelas kolesterol, darah tinggi, asam urat sama vertigonya bakal kumat bersamaan. Hahaha.” “Barbar lu!” “Hahaha.” Telepon ditutup. Sesampainya di rumah aku disambut oleh Mita di ruang tamu. Kalau ia sudah menyambut, pasti ada maunya. Pasti sebentar lagi ia akan memasang wajahnya yang lain dan berpura-pura baik di depanku serta minta dibelikan sesuatu. “Kak Bilqis capek, ya, aku pijitin, ya.” Jurus maut Mita sudah dimulai. Aku menyeringai. Aku manfaatkan saja tenaganya untuk meregangkan otot-ototoku. “Eh, boleh. Baik banget sih kamu, Mit.” “Iya, dong. Untuk kakak ipar. Kan, aku sayang banget sama Kak Bilqis.” Benar-benar ular berkepala dua. Satu kepala di depan menyanjungku, satu kepala lain di belakang siap mematuk. Aku menghempaskan tubuh ke sofa. “Ya udah, pijitin bagian sini.” Aku menepuk bahuku. Mita lekas memijit-mijit bahuku dengan dua tangan membuatku nyaman dan lega. “Kak,” ujar pemudi berambut panjang itu, “aku minta uang, dong, untuk bayar praktikum kampus. Hanya dua juta, kok.” Nah, akhirnya keluar juga kalau ia memang ada udang di balik bakwan. “Untuk apa tadi?” “Praktikum di kampus.” “Bukannya uang praktikum kamu sekaligus SPP, ya?” “Eh, anu, jurusanku beda, Kak.” “Kamu salah orang, Mita. Kakak ‘kan hanya wanita panggilan yang harganya sama dengan kacang rebus. Jadi mana punya uang.” “Ma-maksud Kakak?” Harusnya Mita tahu bahwa kalimatku adalah kalimatnya sendiri di grup whastapp keluargra. Suara gadis itu bergetar karena gerogi dan seperti ada rasa takut. “Ah, lupakan, itu hanya bercandaan dengan temen, kok. Ya dah, Kakak mau mandi dulu. Eh, ya, semoga laris, ya. Yakin sebentar lagi kamu akan kebanjiran pelanggan.” “Pelanggan?” bibir Mita bergetar. Tentu saja maksudku adalah pelanggan setianya sebagai ayam kampus. Nah, sekarang cemas, kan? Panik, kan? Baru sadar, kan, kalau aku tahu rahasia kamu, Mita. Bersiaplah, nanti ia akan kubuat terkenal dan kebanjiran order. Haha! Sementara itu aku memeriksa sadapan w******p dan melihat chat di grup keluarga. [Gagal beli HP baru nih,] tulis Mita barusan dan diikuti emoticon menangis di grup WA keluarga itu. Aku terpingkal-pingkal. Baiklah, coba sesekali aku membuat mereka spot jantung. Dengan sadapan di WA Azmi, aku bebas meng-copy link invite WA grup itu dan menempelkannya di ponselku sendiri. Ketika aku menklik link itu otomatis nomor ponselku bisa masuk ke dalam grup. Aku penasaran apa jadinya kalau aku masuk grup secara tiba-tiba. Klik! Nomorku masuk ke WA grup itu. [Anda telah bergabung dengan grup Keluarga Cemara Masa Depan] begitu tulisan awal di grup itu. [Hahahaha. Udahlah, jangan repot, buang saja tuh wanita ke Batangari,] pesan dari Romi suami Ayu tiba-tiba masuk ke grup, tak menyadari kalau nomorku barusan masuk. Lalu semua diam. Padahal aku tahu mereka sangat sibuk tadi ketika nomorku belum masuk. Pasti mereka sedang kirim pesan pribadi saling bertanya mengapa aku bisa masuk ke grup W******p kelurga itu. Pasti mereka kebingungan dan kacau sekali. [Siapa yang dibuang, Mas Romi?] Satu kalimat saja, tetapi berhasil membuat grup senyap bak kuburan di tengah malam. Tiada yang menjawab hingga malam hari. Pagi harinya semua sudah left. *** Bersambung …. Nah kaan pada kena mentaal semuaa tuh. Belum apa-apa padahal … NEXT …Mobil merah yang kami naiki sampai dengan elegan di sebuah café mewah di kota kami. De’Leon, begitu tulisan di depan café itu, dengan tampilan minimalis ala eropa dan gambar menu-menu Perancis di sebagian dinding.Harusnya ini adalah momen paling menyenangkan bagiku: menaiki mobil sport keren dengan orang tampan sejagad raya. Namun, hatiku tak begitu menyenangkan, menerka-nerka siapa gerangan orang yang akan kami temui.“Jei, siapa yang akan kita temui, ibu kamu?” Aku mencoba menghibur diriku sendiri. Ayo, Jei, jawab saja kalau itu ibumu. Jangan jawab hal yang kutakutkan.Jei membukakan pintu mobil.“Nanti kamu akan tahu sendiri, sebentar lagi. Aku mohon, Bil, tolong jelaskan sedetailnya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Aku gak mau dia salah paham. Kamu ngerti ‘kan maksudku, Bil?”Aku mengangguk. Jei kemudian mengajakku masuk ke café itu disambut oleh pelayan rapi. Aroma khas memanjakan hidung. Sedap sekali. Di meja nomor 27 itu kami duduk dan tiada sesiapa pun. Orang yang dimaksu
TANGAN Mita gemetar higga tampak kertas fotokopi itu bergetar pula. Matanya sibuk menggerayai permukaan kertas. Bu Saniah heran dan mengkerut keningnya. Suasana mendadak tegang dan sunyi, sayang tiada bunyi jangkrik yang berkerik-kerik.“Ini-ini ….” Mita berujar tapi tak kuat, tersekat.“Ada apa, Mit?” Bu Saniah bergabung dan ikut melihat fotokopi sertifikat itu.“Ini palsu, ‘kan? Ini buat-buatan kamu aja ‘kan Kak Bilqis? Segitunya kamu mau menghancurkan keluargaku, ini pasti palsu. Kak Azmi, katakan ini palsu, Kak. Katakan.” Mita beralih pada Azmi yang masih bersungut.Azmi tak menjawab. Bergeming.“Atau perlu kutunjukkan yang asli?” ancamku pelan saja. “Maksudmu apa, Kak?” Mita memelototkan mata.“Aku bisa buktikan dengan pengacara, saksi bahkan di bawah payung hukum yang sah. Pokoknya, Aku mau kalian pergi dari sini, itu aja. Aku udah gak mau lihat wajah kalian lagi. Dari pada aku selalu emosi dan terus buat dosa, mendingan kalian kuusir. Maaf, jangan tersinggung.” Aku mengangkat
Semua orang diam kecuali suara musik yang menggema kencang. Tegang.“Namanya … Lita.” Azmi menjawab pertanyaan Berno soal siapa wanita simpanannya itu. Seketika hadirin bersorak, riuh, bersiul-siul lalu reda kembali.Sementara Lita sudah salah tingkah. Tatapan kami bertemu dan ia langsung menundukkan kepala, sedikit merasa bersalah, tetapi lebih banyak rasa malunya. Aku mengangkat ujung bibir dan tetap menatapnya tajam. Ini saatnya semua terbongkar, Lita. Takkan ada yang tertutupi lagi.“Fitnah!” Lita berdiri. Kembali suara sorakan di sekeliling menggema. “Ini pasti settingan. Ini hanya dalam rangka hiburan, ‘kan? Jangan percaya ini semua hadirin.”Tak satu pun yang menghiraukan Lita.“Krik krik!” Seseorang menirukan suara jangkrik. Lelucon kalau ada orang berkata, tetapi tiada yang menghiraukan sama-sekali. Beberapa orang terkekeh.“Kayak ada yang ngomong, tapi siapa, ya?” sindir Berno sambil pura-pura celingukan dari tas panggung. Lita tampak semakin kesal dan menghentakkan kakin
Semua orang diam kecuali suara musik yang menggema kencang. Tegang.“Namanya … Lita.” Azmi menjawab pertanyaan Berno soal siapa wanita simpanannya itu. Seketika hadirin bersorak, riuh, bersiul-siul lalu reda kembali.Sementara Lita sudah salah tingkah. Tatapan kami bertemu dan ia langsung menundukkan kepala, sedikit merasa bersalah, tetapi lebih banyak rasa malunya. Aku mengangkat ujung bibir dan tetap menatapnya tajam. Ini saatnya semua terbongkar, Lita. Takkan ada yang tertutupi lagi.“Fitnah!” Lita berdiri. Kembali suara sorakan di sekeliling menggema. “Ini pasti settingan. Ini hanya dalam rangka hiburan, ‘kan? Jangan percaya ini semua hadirin.”Tak satu pun yang menghiraukan Lita.“Krik krik!” Seseorang menirukan suara jangkrik. Lelucon kalau ada orang berkata, tetapi tiada yang menghiraukan sama-sekali. Beberapa orang terkekeh.“Kayak ada yang ngomong, tapi siapa, ya?” sindir Berno sambil pura-pura celingukan dari tas panggung. Lita tampak semakin kesal dan menghentakkan kakin
PLAK!Sebuah tamparan mendarat di pipi Bu Saniah, keras sekali dan tak berbalas. Padahal tadinya Bu Saniah mantan mertuaku itu yang hampir menamparku. Namun, nyatanya tangan Lita yang menamparnya."Jangan sentuh sahabat saya, Bu." Lita menatap Bu Saniah dengan tajam, setajam silet, tetapi bukan acara gosip artis."Heh. Beraninya nampar saya kamu, ya!" ujar Bu Saniah memegangi pipinya. Puluhan pasang mata memperhatikan.Drama apa lagi?Sekonyong-konyong Bu Saniah melayangkan tangan ke pipi Lita. Lita mengelak dan hanya menyentuh dagunya. Beberapa lelaki bagian keamanan kemudian mendatangi mereka dan memisahkan. Bu Saniah diseret ke belakang."Mohon maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi." MC di panggung harus menenangkan kembali para undangan yang masih riuh."Lit, kamu kembali duduk aja. Aku gak apa-apa," pungkasku. Padahal dalam hatiku sedang bertanya-tanya."Oh, ya, dah, aku duduk lagi." Lita lalu kembali ke tempat duduk istimewanya. Sama seperti kursi para petinggi perusahaan. Tida
“Oom-oom.” Mita menyeret manajer keuangan perusahaanku, Samian Palupi. Lelaki yang diseret tampak risih dan tak senang. Sebentar-sebentar ia melepas tangan Mita yang memegangi lengannya.“Ada salah satu staf rendahan di perusahaan ini yang sering jahat sama aku, Oom,” adu Mita. Perempuan berambut lurus itu lantas menunjuk-nunjuk ke arahku.“Pecat aja dia, Oom!” Mita merengek macam anak kecil bibirnya mencebik sehingga kelihatan semakin ‘dower’.Aku menggelengkan kepala, tetapi bukan karena terbawa irama musik dari panggung, bukan! Pecat saja kalau berani. Malah sebaliknya, aku yang akan memberhentikan lelaki macam Samian dari perusahaanku.“Eeh, Mita, jangan pegang-pegang tangan Oom gini di tempat umum. Nanti kita ketahuan.” Lelaki bernama Samian itu berusaha melepas tangan Mita yang terus mengupil di hidungnya. Eh, maksudnya terus menarik lengannya.Sementara Mita terus berusaha menggandeng Samian dan menyeret ke arahku. Samian menolak, tentu saja karena tahu kalau wanita yang dimaks