Sudah follow i* ara_hakim22?
“Ka-kamu?” Aku kembali terpaku macam batu saat melihat Syah Rukh Khan yang semalam kutemui. Ia tersenyum pula. Meleleh rasanya air liurku, eh, hatiku maksudnya. “Bil, Bilqis!” Berno lelaki bertulang lunak itu mengganggu saja. Apa ia tak tahu kalau aku sedang menikmati keajaiban dunia ke delapan. “Udahlah, Bro. Ini hanya lecet sedikit, ntar kalau udah ke Jakarta lagi kita bisa perbaiki.” Lelaki itu berusaha membelaku dan Berno. Amboi! Dia membelaku. Aduh, sempurna sekali hidupku kalau memiliki dia sebagai suami. Bukan Azmi yang macam kucing loreng. “Mas, kamu harus ganti, ya!” ancam lelaki satunya sambil menunjuk Berno. Berno langsung mengangkat tangan sambil menggeleng ketakutan. “Gue hanya supir, tuh dia yang punya mobil.” Moncong mulut Berno diarahkan kepadaku. Dasar Berno! “Nah, kamu yang merusak mobilku. Ganti!” lanjutnya. Aku tak peduli padanya. Yang kutatap hanya lelaki itu sambil tak terasa menggigit jari kelingkingku sendiri. “Mbak?” Lelaki yang kutatap itu menepis angin lagi di depan wajahku. Aku pun terkesiap. “Eh, ada apa ini?” Aku seperti baru sadar. Lelaki di sebelahnya malah menepuk jidat karena kesal padaku. Ia genggam dan angkat kepalan tangannya, geram. “Aku, Jei.” Wajah Syah Rukh Khan suara Chris Hemsworth itu mengulurkan tangannya. Bunga di hatiku yang baru saja layu karena dicerai oleh Azmi kini tiba-tiba bermekaran. Kumbang-kumbang berdatangan meraih madunya. Amboi! “Jei?” gumamku masih menggigit bibir. Nama yang keren sekali. “Aku, Bilqis. Bilqis Elfath.” “Senang bertemu denganmu, Bil.” “Apa-apaan, sih!” Lelaki yang tak terlalu tampan di sebelah Jei menggerutu. “Ini Malfin, dia emang sedikit sensitif dan kurang sosial. Maafkan,” lanjut Jei dengan suara beratnya sambil menepuk bahu Malfin. “Duuh duuuh, ini, kok, malah kenalan di sini. Makan-makan di café kek terus bayarin gue.” Berno malah bercerocos. “Terus yah apa gitu ngopi, terus apalah gitu.” “Berno! Lu itu ya, aaah. Buat masalah aja lu.” “Sudah, Bilqis. Gak apa-apa, ini mobilnya biar aku yang urus. Udah, kamu pulang aja. Atau aku antar?” Deg! Apa? Aku tak salah dengar, ‘kan? Kutepuk pipiku dua kali. Rasanya aku tak sedang bermimpi. Dia mau mengantarku? Senang sekali aku kalau memang iya. Ada listrik yang terus menyetrum perasaanku. Aku tak dapat bergerak karena lututku lemas. “Ah, gak usah. Bilqis biar pulang sama gue, kok. Jadi Babang Tamvan berdua gak usah repot, ya, cuy. Oke?” seloroh Berno. Bernooo! Mengapa pula ia mengucap kalimat itu. Dasaaar! Berno awas kau nanti akan kuhajar habis-habisan karena telah menghilangkan peluang emasku. Sasaran empuk tinggal gigit terasa mubazir dan sia-sia gara-gara penolakan Berno. Ingin rasanya kuinjak-injak mulut embernya itu. “Ya ‘kan, Bil?” Berno tersenyum sambil sedikit berkedip. Pakai tanya padaku segala lagi. “I-iya, aku pulang bareng Berno.” Suaraku terbata-bata. Ingin rasanya mengamuk saat itu juga, tetapi sabar Bilqis, nanti kamu akan balas kelakuan Berno dengan hal yang lebih menjengkelkan baginya. “Oh, kalau begitu, sekali lagi maafkan Malfin. Kami permisi dulu.” Jei meraih remot mobil di tangan Malfin. Lelaki yang memasang wajah kesal itu menarik tangannya, tak mau kunci mobilnya diambil. Mereka kemudian menaiki Ferrari merah itu. Jei sedikit melambai. Aduhai, meletus Gunung Krakatau di hatiku. Berlompatan lahar Mahameru di dadaku. Berno terus mengoceh entah apa dan tak kupedulikan. “No, pegangin gue.” Aku limbung, tak dapat menahan perasaan yang meleleh. “Lihat satu cowok ganteng aja amsyong lu, Bil. Lah gue tiap malam lihat opa-opa ganteng. Biasa aja.” “Ah, lu lihatnya di ponsel. Lah gue langsung ketemu, No. Lagian lu kenapa bilang gue pulang sama lu. Siapa tahu tadi gue diantar pake Ferrari. Bakalan kejang-kejang Azmi, mertua dan ipar gue. Kan, bagus banget sebagai salam perpisahan.” Aku menginjak kaki Berno kuat-kuat. “Dasar asisten gak guna, lu!” “Auuu.” Berno menjerit sambil memegang kakinya yang kesakitan. Aku tersenyum penuh kemenangan sambil menyilangkan tangan di dada, menunggu sampai ia berhenti berceloteh. “Baliho sama brosur lu aja udah buat mereka kejang.” Berno masuk ke mobil. Kami pulang. *** Di perjalanan pulang, seperti ada lampu menyala di kepalaku. Menjelang sidang perceraianku selesai, aku ingin membuat semua keluarga Azmi kejang-kejang. Nah, apa lagi kalau aku bisa pulang diantar dengan Ferrari oleh lelaki super ganteng itu. Seperti apa wajah Ibu, Azmi dan Mita, ya? Pasti mereka bakal merengut selama tujuh hari tujuh malam dan menyesal sampai alam kubur. Banyak sekali yang harus kulakukan pada mereka. Mungkin pertama aku harus membongkar apa yang mereka lakukan di grup w******p. Itu saja dulu sebagai pembukaan. Lalu baliho itu akan dipasang segera di tiap sudut kota. Brosur ayam kampus seharga kacang rebus untuk Mita, dan terakhir baru pertunjukan Ferrari. Aih, menyenangkan. “Napa senyum-senyum sendiri lu?” tanya Berno yang sedang menyetir sambil memperhatikanku. “Gue lagi ngebayangin ekspresi wajah keluarga Azmi kalau gue turun dari Ferrari di depan rumah. Gue harus lakuin itu. Nah, gue akan deketin tuh cowok. Gue gebet, deh. Demi pertunjukan gue.” “Jadi lu deketin dia hanya mau balas dendam aja?” Aku terdiam. Sebenarnya perkataan Berno sedikit mengusik hati terdalamku, hingga seperti ada bisikan bahwa itu bukanlah hal yang bijak. Namun, logikaku cepat melawan dan bertekad untuk tetap melakukannya. “Gue gak peduli, deh.” “Sejak kapan temen gue jadi orang gak berperasaan gini. Gue kaya gak liat Bilqis yang dulu. Di Jakarta lu gak pernah gini, Bil. Sejak pindah ke Jambi dan papa lu meninggal ….” “Jangan ungkit soal Papa, No. Gue mohon.” Aku memotong. Berno cepat menutup rapat mulutnya. Suasana canggung. Beberapa menit kemudian. “Gue mau ambil skincare sama lipstick di rumah Lita dulu. Kita ke sana dulu. Terus lu pulang aja gue jalan kaki ke rumah. Ntar ketahuan sama Azmi atau keluarganya gue naik mobil kan gak enak. Mereka tahunya lu bos gue. Padahal lu jongos gue.” “Dih, enak aja lu bilang gue jongos. Iya, gue anterin sampe rumah Lita.” Mobil kami membelah keramaian kota Jambi sore itu. Pukul 16.00 WIB dan orang-orang pulang kerja, serta anak sekolah pulang dari belajar. Macet dan padat merayap. “Eh, lu mau pulang ke rumah itu padahal tadi dicerai Azmi gitu.” “Itu rumah gue. Mereka yang harus keluar kalau ga suka. Tapi gue bakal kasih waktu paling lama seminggu buat mereka angkat kaki. Gini-gini gue juga kasihan kalau mereka keluar tanpa nyiapin tempat tinggal, No.” “Gue seneng masih ada sisi baik dalam diri monster macam lu, Bil.” Kucubit bahu Berno kuat-kuat. “Auuu. Sakit, Bil.” Aku tahu. Itulah tandanya Berno benar-benar menganggap aku sahabatnya. Hanya sahabat sejati yang paham kalau aku takkan pernah benar-benar marah padanya. Seperti apa pun ia mengataiku. Mobil sampai di depan rumah Lita, temanku lainnya. Aku turun dan masuk begitu saja karena pintu setengah terbuka. Lita tinggal dengan ibunya. Namun, sore-sore ibunya selalu pergi berkumpul bersama teman-temannya. Lita yang berbis mencoba kosmetik secara daring lebih sering menghabiskan waktu di depan laptopnya. Aku masuk. Kudapati di dalam lemari pesananku sudah disiapkan. Lita tak kunjung muncul batang hidungnya. Aku penasaran berjalan ke kamarnya, dan ternyata pintu kamarnya terbuka sedikit. Lita sedang menelepon di dalam. Tak berniat menguping aku beranjak saja ke sofa di ruang tamu. Namun, langkah kakiku terhenti ketika mendengar suara Lita menyebut nama seseorang. “Mas Azmi,” ucapnya seperti merengek, “ayo ketemuan di hotel, Mas. Aku udah gak sabar mau itu.” Lita diam sebentar membiarkan orang di ujung telepon bercakap. “Iiih, Mas ah, mau pisang yang empuk, ya, beli pisang ambon, Mas. Ya udah, Mas Azmi, nanti malam di hotel Flamingo, ya. Oh ya, kamu udah dapatin asset-asetnya Bilqis ‘kan sebelum cerai dia. Iya dong, Mas. Masak tujuan kita selama ini kamu lupa.” Deg! Lita menyebut nama Azmi dan namaku. Jelas, aku mendengarnya dengan telingaku sendiri. Apa yang terjadi sebenarnya? Apa selama ini Azmi tahu kalau aku bukan orang biasa dan ia malah memiliki rencana untuk mengambil alih hartaku? Lalu Lita, dia yang jadi musuh dalam selimut selama ini dan membantu Azmi. Lalu Nera itu, siapa dia. Apakah aku yang tertipu? *** Bersambung ... Wah, Bilqis ternyata dikhianati temannya sendiri. Apakah Bilqis cuman diam saja? Jangan lupa klik "BERLANGGANAN" Follow juga i* ara_hakim22Mobil merah yang kami naiki sampai dengan elegan di sebuah café mewah di kota kami. De’Leon, begitu tulisan di depan café itu, dengan tampilan minimalis ala eropa dan gambar menu-menu Perancis di sebagian dinding.Harusnya ini adalah momen paling menyenangkan bagiku: menaiki mobil sport keren dengan orang tampan sejagad raya. Namun, hatiku tak begitu menyenangkan, menerka-nerka siapa gerangan orang yang akan kami temui.“Jei, siapa yang akan kita temui, ibu kamu?” Aku mencoba menghibur diriku sendiri. Ayo, Jei, jawab saja kalau itu ibumu. Jangan jawab hal yang kutakutkan.Jei membukakan pintu mobil.“Nanti kamu akan tahu sendiri, sebentar lagi. Aku mohon, Bil, tolong jelaskan sedetailnya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Aku gak mau dia salah paham. Kamu ngerti ‘kan maksudku, Bil?”Aku mengangguk. Jei kemudian mengajakku masuk ke café itu disambut oleh pelayan rapi. Aroma khas memanjakan hidung. Sedap sekali. Di meja nomor 27 itu kami duduk dan tiada sesiapa pun. Orang yang dimaksu
TANGAN Mita gemetar higga tampak kertas fotokopi itu bergetar pula. Matanya sibuk menggerayai permukaan kertas. Bu Saniah heran dan mengkerut keningnya. Suasana mendadak tegang dan sunyi, sayang tiada bunyi jangkrik yang berkerik-kerik.“Ini-ini ….” Mita berujar tapi tak kuat, tersekat.“Ada apa, Mit?” Bu Saniah bergabung dan ikut melihat fotokopi sertifikat itu.“Ini palsu, ‘kan? Ini buat-buatan kamu aja ‘kan Kak Bilqis? Segitunya kamu mau menghancurkan keluargaku, ini pasti palsu. Kak Azmi, katakan ini palsu, Kak. Katakan.” Mita beralih pada Azmi yang masih bersungut.Azmi tak menjawab. Bergeming.“Atau perlu kutunjukkan yang asli?” ancamku pelan saja. “Maksudmu apa, Kak?” Mita memelototkan mata.“Aku bisa buktikan dengan pengacara, saksi bahkan di bawah payung hukum yang sah. Pokoknya, Aku mau kalian pergi dari sini, itu aja. Aku udah gak mau lihat wajah kalian lagi. Dari pada aku selalu emosi dan terus buat dosa, mendingan kalian kuusir. Maaf, jangan tersinggung.” Aku mengangkat
Semua orang diam kecuali suara musik yang menggema kencang. Tegang.“Namanya … Lita.” Azmi menjawab pertanyaan Berno soal siapa wanita simpanannya itu. Seketika hadirin bersorak, riuh, bersiul-siul lalu reda kembali.Sementara Lita sudah salah tingkah. Tatapan kami bertemu dan ia langsung menundukkan kepala, sedikit merasa bersalah, tetapi lebih banyak rasa malunya. Aku mengangkat ujung bibir dan tetap menatapnya tajam. Ini saatnya semua terbongkar, Lita. Takkan ada yang tertutupi lagi.“Fitnah!” Lita berdiri. Kembali suara sorakan di sekeliling menggema. “Ini pasti settingan. Ini hanya dalam rangka hiburan, ‘kan? Jangan percaya ini semua hadirin.”Tak satu pun yang menghiraukan Lita.“Krik krik!” Seseorang menirukan suara jangkrik. Lelucon kalau ada orang berkata, tetapi tiada yang menghiraukan sama-sekali. Beberapa orang terkekeh.“Kayak ada yang ngomong, tapi siapa, ya?” sindir Berno sambil pura-pura celingukan dari tas panggung. Lita tampak semakin kesal dan menghentakkan kakin
Semua orang diam kecuali suara musik yang menggema kencang. Tegang.“Namanya … Lita.” Azmi menjawab pertanyaan Berno soal siapa wanita simpanannya itu. Seketika hadirin bersorak, riuh, bersiul-siul lalu reda kembali.Sementara Lita sudah salah tingkah. Tatapan kami bertemu dan ia langsung menundukkan kepala, sedikit merasa bersalah, tetapi lebih banyak rasa malunya. Aku mengangkat ujung bibir dan tetap menatapnya tajam. Ini saatnya semua terbongkar, Lita. Takkan ada yang tertutupi lagi.“Fitnah!” Lita berdiri. Kembali suara sorakan di sekeliling menggema. “Ini pasti settingan. Ini hanya dalam rangka hiburan, ‘kan? Jangan percaya ini semua hadirin.”Tak satu pun yang menghiraukan Lita.“Krik krik!” Seseorang menirukan suara jangkrik. Lelucon kalau ada orang berkata, tetapi tiada yang menghiraukan sama-sekali. Beberapa orang terkekeh.“Kayak ada yang ngomong, tapi siapa, ya?” sindir Berno sambil pura-pura celingukan dari tas panggung. Lita tampak semakin kesal dan menghentakkan kakin
PLAK!Sebuah tamparan mendarat di pipi Bu Saniah, keras sekali dan tak berbalas. Padahal tadinya Bu Saniah mantan mertuaku itu yang hampir menamparku. Namun, nyatanya tangan Lita yang menamparnya."Jangan sentuh sahabat saya, Bu." Lita menatap Bu Saniah dengan tajam, setajam silet, tetapi bukan acara gosip artis."Heh. Beraninya nampar saya kamu, ya!" ujar Bu Saniah memegangi pipinya. Puluhan pasang mata memperhatikan.Drama apa lagi?Sekonyong-konyong Bu Saniah melayangkan tangan ke pipi Lita. Lita mengelak dan hanya menyentuh dagunya. Beberapa lelaki bagian keamanan kemudian mendatangi mereka dan memisahkan. Bu Saniah diseret ke belakang."Mohon maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi." MC di panggung harus menenangkan kembali para undangan yang masih riuh."Lit, kamu kembali duduk aja. Aku gak apa-apa," pungkasku. Padahal dalam hatiku sedang bertanya-tanya."Oh, ya, dah, aku duduk lagi." Lita lalu kembali ke tempat duduk istimewanya. Sama seperti kursi para petinggi perusahaan. Tida
“Oom-oom.” Mita menyeret manajer keuangan perusahaanku, Samian Palupi. Lelaki yang diseret tampak risih dan tak senang. Sebentar-sebentar ia melepas tangan Mita yang memegangi lengannya.“Ada salah satu staf rendahan di perusahaan ini yang sering jahat sama aku, Oom,” adu Mita. Perempuan berambut lurus itu lantas menunjuk-nunjuk ke arahku.“Pecat aja dia, Oom!” Mita merengek macam anak kecil bibirnya mencebik sehingga kelihatan semakin ‘dower’.Aku menggelengkan kepala, tetapi bukan karena terbawa irama musik dari panggung, bukan! Pecat saja kalau berani. Malah sebaliknya, aku yang akan memberhentikan lelaki macam Samian dari perusahaanku.“Eeh, Mita, jangan pegang-pegang tangan Oom gini di tempat umum. Nanti kita ketahuan.” Lelaki bernama Samian itu berusaha melepas tangan Mita yang terus mengupil di hidungnya. Eh, maksudnya terus menarik lengannya.Sementara Mita terus berusaha menggandeng Samian dan menyeret ke arahku. Samian menolak, tentu saja karena tahu kalau wanita yang dimaks