Mobil merah yang kami naiki sampai dengan elegan di sebuah café mewah di kota kami. De’Leon, begitu tulisan di depan café itu, dengan tampilan minimalis ala eropa dan gambar menu-menu Perancis di sebagian dinding.Harusnya ini adalah momen paling menyenangkan bagiku: menaiki mobil sport keren dengan orang tampan sejagad raya. Namun, hatiku tak begitu menyenangkan, menerka-nerka siapa gerangan orang yang akan kami temui.“Jei, siapa yang akan kita temui, ibu kamu?” Aku mencoba menghibur diriku sendiri. Ayo, Jei, jawab saja kalau itu ibumu. Jangan jawab hal yang kutakutkan.Jei membukakan pintu mobil.“Nanti kamu akan tahu sendiri, sebentar lagi. Aku mohon, Bil, tolong jelaskan sedetailnya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Aku gak mau dia salah paham. Kamu ngerti ‘kan maksudku, Bil?”Aku mengangguk. Jei kemudian mengajakku masuk ke café itu disambut oleh pelayan rapi. Aroma khas memanjakan hidung. Sedap sekali. Di meja nomor 27 itu kami duduk dan tiada sesiapa pun. Orang yang dimaksu
TANGAN Mita gemetar higga tampak kertas fotokopi itu bergetar pula. Matanya sibuk menggerayai permukaan kertas. Bu Saniah heran dan mengkerut keningnya. Suasana mendadak tegang dan sunyi, sayang tiada bunyi jangkrik yang berkerik-kerik.“Ini-ini ….” Mita berujar tapi tak kuat, tersekat.“Ada apa, Mit?” Bu Saniah bergabung dan ikut melihat fotokopi sertifikat itu.“Ini palsu, ‘kan? Ini buat-buatan kamu aja ‘kan Kak Bilqis? Segitunya kamu mau menghancurkan keluargaku, ini pasti palsu. Kak Azmi, katakan ini palsu, Kak. Katakan.” Mita beralih pada Azmi yang masih bersungut.Azmi tak menjawab. Bergeming.“Atau perlu kutunjukkan yang asli?” ancamku pelan saja. “Maksudmu apa, Kak?” Mita memelototkan mata.“Aku bisa buktikan dengan pengacara, saksi bahkan di bawah payung hukum yang sah. Pokoknya, Aku mau kalian pergi dari sini, itu aja. Aku udah gak mau lihat wajah kalian lagi. Dari pada aku selalu emosi dan terus buat dosa, mendingan kalian kuusir. Maaf, jangan tersinggung.” Aku mengangkat
Semua orang diam kecuali suara musik yang menggema kencang. Tegang.“Namanya … Lita.” Azmi menjawab pertanyaan Berno soal siapa wanita simpanannya itu. Seketika hadirin bersorak, riuh, bersiul-siul lalu reda kembali.Sementara Lita sudah salah tingkah. Tatapan kami bertemu dan ia langsung menundukkan kepala, sedikit merasa bersalah, tetapi lebih banyak rasa malunya. Aku mengangkat ujung bibir dan tetap menatapnya tajam. Ini saatnya semua terbongkar, Lita. Takkan ada yang tertutupi lagi.“Fitnah!” Lita berdiri. Kembali suara sorakan di sekeliling menggema. “Ini pasti settingan. Ini hanya dalam rangka hiburan, ‘kan? Jangan percaya ini semua hadirin.”Tak satu pun yang menghiraukan Lita.“Krik krik!” Seseorang menirukan suara jangkrik. Lelucon kalau ada orang berkata, tetapi tiada yang menghiraukan sama-sekali. Beberapa orang terkekeh.“Kayak ada yang ngomong, tapi siapa, ya?” sindir Berno sambil pura-pura celingukan dari tas panggung. Lita tampak semakin kesal dan menghentakkan kakin
Semua orang diam kecuali suara musik yang menggema kencang. Tegang.“Namanya … Lita.” Azmi menjawab pertanyaan Berno soal siapa wanita simpanannya itu. Seketika hadirin bersorak, riuh, bersiul-siul lalu reda kembali.Sementara Lita sudah salah tingkah. Tatapan kami bertemu dan ia langsung menundukkan kepala, sedikit merasa bersalah, tetapi lebih banyak rasa malunya. Aku mengangkat ujung bibir dan tetap menatapnya tajam. Ini saatnya semua terbongkar, Lita. Takkan ada yang tertutupi lagi.“Fitnah!” Lita berdiri. Kembali suara sorakan di sekeliling menggema. “Ini pasti settingan. Ini hanya dalam rangka hiburan, ‘kan? Jangan percaya ini semua hadirin.”Tak satu pun yang menghiraukan Lita.“Krik krik!” Seseorang menirukan suara jangkrik. Lelucon kalau ada orang berkata, tetapi tiada yang menghiraukan sama-sekali. Beberapa orang terkekeh.“Kayak ada yang ngomong, tapi siapa, ya?” sindir Berno sambil pura-pura celingukan dari tas panggung. Lita tampak semakin kesal dan menghentakkan kakin
PLAK!Sebuah tamparan mendarat di pipi Bu Saniah, keras sekali dan tak berbalas. Padahal tadinya Bu Saniah mantan mertuaku itu yang hampir menamparku. Namun, nyatanya tangan Lita yang menamparnya."Jangan sentuh sahabat saya, Bu." Lita menatap Bu Saniah dengan tajam, setajam silet, tetapi bukan acara gosip artis."Heh. Beraninya nampar saya kamu, ya!" ujar Bu Saniah memegangi pipinya. Puluhan pasang mata memperhatikan.Drama apa lagi?Sekonyong-konyong Bu Saniah melayangkan tangan ke pipi Lita. Lita mengelak dan hanya menyentuh dagunya. Beberapa lelaki bagian keamanan kemudian mendatangi mereka dan memisahkan. Bu Saniah diseret ke belakang."Mohon maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi." MC di panggung harus menenangkan kembali para undangan yang masih riuh."Lit, kamu kembali duduk aja. Aku gak apa-apa," pungkasku. Padahal dalam hatiku sedang bertanya-tanya."Oh, ya, dah, aku duduk lagi." Lita lalu kembali ke tempat duduk istimewanya. Sama seperti kursi para petinggi perusahaan. Tida
“Oom-oom.” Mita menyeret manajer keuangan perusahaanku, Samian Palupi. Lelaki yang diseret tampak risih dan tak senang. Sebentar-sebentar ia melepas tangan Mita yang memegangi lengannya.“Ada salah satu staf rendahan di perusahaan ini yang sering jahat sama aku, Oom,” adu Mita. Perempuan berambut lurus itu lantas menunjuk-nunjuk ke arahku.“Pecat aja dia, Oom!” Mita merengek macam anak kecil bibirnya mencebik sehingga kelihatan semakin ‘dower’.Aku menggelengkan kepala, tetapi bukan karena terbawa irama musik dari panggung, bukan! Pecat saja kalau berani. Malah sebaliknya, aku yang akan memberhentikan lelaki macam Samian dari perusahaanku.“Eeh, Mita, jangan pegang-pegang tangan Oom gini di tempat umum. Nanti kita ketahuan.” Lelaki bernama Samian itu berusaha melepas tangan Mita yang terus mengupil di hidungnya. Eh, maksudnya terus menarik lengannya.Sementara Mita terus berusaha menggandeng Samian dan menyeret ke arahku. Samian menolak, tentu saja karena tahu kalau wanita yang dimaks