Share

BAB 6

Author: Ara Hakim
last update Last Updated: 2025-03-02 16:45:34

Mau dapat CUAN dari menulis?

“Hidup itu seperti roller coaster, Bilqis,” ujar Bude sambil menyeruput teh di depan teras rumahnya. “Kadang kamu di atas, tapi kadang kamu jatuh di bawah. Naik turun itu biasa. Mungkin sekarang Tuhan sedang beri kamu cobaan.”

“Iya, Bude.” Aku menyeka anak rambut di kening.

Dalam keadaan perasaan yang kacau aku biasa bercerita pada Bude. Sejak Mama meninggalkanku beberapa tahun lalu, adik mamaku itulah satu-satunya tempatku mencurahkan isi hati. Ah, nasib.

“Pernikahanmu dengan Azmi gak bahagia kayak ending film Korea atau suara hati suami di channel ikan terbang itu?” lanjut Bude menyebut tontonan favoritnya.

Aku menggeleng pelan sambil menggigit bibir. Sebenarnya aku butuh permen untuk di kunyah. Namun, hanya ada teh untuk dipandangi, eh, di seruput juga, deh.

Jangankan membayangkan kebahagiaan, Azmi menyentuhku saja tidak. Malam pertama ia mau tidur di kamar aku terjang hingga ia jatuh dan terguling di lantai. Kutimpuk pakai bantal seraya berkata, “Tidur di kamar lain aja sana. Kamu ngorok mirip sirene ambulan!”

“Eh, belum lagi tidur kok tahu aku ngorok?”

“Udah, males aku dengar radio rusak! Mending tidur sama Mbak Kunti yang kesepian sana.” Aku hanya beralasan.

Sejak saat itu dan setiap malam Azmi masuk ke kamar aku selalu menyuruhnya keluar. Ah, kalau ingat hal itu jadi ingin cepat taubat. Aku istri durjana. Mungkin karena itulah Azmi lama-lama ikut membenciku macam ibu dan kakak-adiknya.

Aku pun sudah tak sudi melihat wajahnya lagi sejak kemarin kudengar percakapan Lita. Bukan kehilangan Azmi yang menyakitkan, tetapi pengkhianatan seorang teman baik yang kupercayai. Rasanya makjleb saat orang yang dulu pas ia jatuh kutolong, kini pas mulai bangkit malah nusuk dari belakang, depan, atas, bawah, samping, segala arah pokoknya.

Bude menghela napas. “Minumlah. Sakit hatinya bisa diurus nanti, tapi tehnya gak bisa nunggu. Ntar kalau udah dingin gak enak lagi, kayak perasaanmu. Dingin.”

Aku pun menyeruput teh panas yang Bude suguhkan. Duh, langsung kutepuk bibir beberapa kali karna tehnya terlalu panas.

“Eh, eh, jangan sembarang seruput gitu. Minumnya sambil memejamkan mata dan bersyukur kepada Allah, atur napas pelan. Pikirkan hal indah yang kamu alami hari ini. Maka rasa teh itu pasti akan lebih nikmat, cobalah, Bilqis.”

“Iya, Bude.” Aku kembali menyeruput teh itu dengan cara yang disarankan Bude. Ternyata benar, rasanya semakin nikmat. Ada manis-manisnya gitu. Rasa lega yang mengalir memasuki dada.

“Kamu mikirin apa emang?”

“Mikirin Azmi malu sampe mukanya kayak kepiting rebus karena potonya sama Nera dan Lita nampang di baliho besar. Terus keluarganya pada ikut spot jantung. Mita megap-megap karena brosur ayam kampusnya kesebar.”

“Hahaha. Jangan berlebihan gitu, kasihan mereka.”

Aku ikut terkekeh.

“Bude bilang rencana Allah itu selalu indah, ‘kan?” lanjutku.

“Ya.”

“Tapi kenapa rencana Allah itu lama sekali bagian indahnya, Bude?”

Bude hanya tersenyum sambil meletakkan gelas teh yang tadi ia pegang ke atas meja.

“Kalau orang buat rencana yang besar dan mau hasilnya besar, pasti lama. Butuh persiapan yang matang. Mana boleh buru-buru. Nanti gak sempurna. Begitu juga Allah, Nak. Mungkin Dia sedang mempersiapkan rencana yang benar-benar besar untukmu, agar hasilnya sempurna.” Bude meraih kembali gelas di meja dan menghabiskan isinya.

“Tidur sana di kamar. Oh ya, mungkin juga kamu masih menyimpan dendam selama ini. Coba lupain. Semoga kamu segera tenang seperti rencana Allah.” Bude beranjak dari kursi rotan itu dan masuk rumah.

***

“Bilqis!” teriak Berno dari ujung telepon kala aku baru saja mengangkat belasan kali panggilannya.

“Maaf, No. gue tidur di rumah Bude. Habis subuh gue lelap lagi nih kayak kucing kekenyangan.”

“Lu lupa hari ini lu presentasi tender sama perusahan besar, Bil.”

Mataku membulat. Aku yang tadi terbaring menggeliat langsung sigap bangun sambil menoleh jam. Pukul 07.49WIB! Sekitar sepuluh menit lagi aku harus presentasi.

“Gue lupa, No. Namanya juga ketiduran gak direncanain.” Aku beranjak sambil menjepit ponsel di antara kepala dan bahu.

Kuraih sikat gigi dan pasta lalu dengan sigap menyikat. Kurapikan rambutku yang acak-acakan sambil bercermin. Parfum kusemprotkan ke tubuh dari kepala sampai kaki. Aku berganti pakaian rapi. Tambah warna merah di bibir sedikit. Catutan rias tipis di wajah. Lalu let’s go.

Cepat kukeluarkan motor di garasi Bude. Kupasang helm dan bersiap berangkat dengan gaya Valentino Rossi. Betapa kesalnya saat aku menyalakan motor itu tiada bereaksi. Ternyata kuncinya belum dicolokkan. Kurogoh kantung mencari si kunci, tiada ketemu. Ternyata si kunci tertinggal di kamar.

Berlari lagi aku ke kamar. Sempat menginjak ekor si Meong kucing Bude dan ia mengeram, aku minta maaf. Sempat pula mengobrak-abrik meja rias karena mencari kunci hingga alat hiasku terbuyar ke lantai. Biar saja. Ketika kembali keluar kamar kudapati Bude membawa sepiring pisang goreng dan segelah kopi.

“Ini loh, sarapan dulu biar kuat menghadapi kenyataan. Hidup gak seindah puisinya Kahlil Gibran,” ucap Bude seraya kaget melihat aku yang begitu kalut.

Kuraih satu pisang goreng dan langsung aku kembali melompat ke motor sambil mengunyah. Kucolokkan kunci, kustarter tak mau hidup juga.

“Aduh, kenapa ini?” gumamku cemas. “Buudee, kenapa motor Bude gak mau idup siih?” teriakku pada Bude yang sudah duduk di teras sambil menikmati pisang gorengnya, juga begitu menikmati penderitaanku.

“Entah, ya. Kaca spionnya kali, miring, coba lurusin.”

Aku menepuk jidat. “Ya gak ada hubungannya sama spion Bude.”

“Itu berarti kamu sering hidupin sen ke kanan beloknya ke kiri, Bilqis!” Bude tertawa makin kencang.

“Iiih, Bude. Aku harus cepet, nih.” Arlojiku sudah menunjukkan jam delapan.

“Mungkin bannya kempes.”

“Ya tetap gak ada hubungannya.”

Bude berjalan mendekatiku dan memeriksa sekeliling motornya. “Lha itu kaki standar-nya belum dinaikin.” Bude menoyor kepalaku yang sudah terpasang helm. Aku tertawa renyah sambil menepuk jidat lagi.

Oke, tancap gas gaya Rossi.

Semilir angin sejuk musim penghujan Kota Jambi memainkan rambutku. Dan apa yang dibilang Bude sambil tergelak memegang perut sebelum aku berangkat tadi akhirnya benar adanya. Saking gugupnya, aku hidupkan lampu sign ke kanan, tetapi sebelum belok kanan aku menepi ke kiri.

Sontak pengendara di belakangku membunyikan klaskon alamiah dari mulutnya, “Woi! Kalau belok kiri jangan kasih sen ke kanan!”

“Iya, Pak, maaf.”

Aku pun makin gugup. Di persimpangan selanjutnya kuhidupkan sen ke kiri tapi aku belok kanan. Kali ini suara klakson mobil yang memekak telinga. Sopir truk box itu ternyata tersenyum ramah saja saat melewatiku.

“Mau mati lu!?” Ia melotot seketika saat kubalas dengan senyuman. Aku melambaikan tangan minta maaf.

Sementara ponsel di saku celanaku bergetar sedari tadi, barangkali Berno yang menelepon karena aku belum kunjung datang. Kuabaikan saja karena beberapa menit lagi aku sampai.

Suara ban berdecit ketika aku mengerem di depan gedung paling tinggi di kota itu. Lekas aku melepas helm dan berkaca di spion sambil merapikan rambut. Kusisir dengan jari, rontok. Ah, harusnya aku pakai pelembab rambut bukan mama lemon. Apalah daya yang tak sempat mandi karena kehabisan waktu.

Tak lupa kukembalikan kaca spion ke posisi awal, takut perkataan Bude benar lagi dan motor jadi tak mau hidup.

Melompat aku dari motor. Rupanya aku lupa menurunkan kaki standar hingga motor Bude roboh seketika. Ambruk ke lantai paving block yang berpasir tipis. Aaah, membuang waktuku saja. Aku pun tak menghiraukannya dan berlalu begitu saja.

Saat itu lah seorang satpam meniup peluit kencang. Priiiitt! Aku menoleh kiri-kanan, apa aku kena kartu kuning atau merah? Hah? Memangnya aku melakukan pelanggaran?

“Motor Ibu tidak terparkir dengan baik. Nanti saya bisa tilang Ibu, silakan perbaiki posisi motornya. Kasihan dia udah jomblo malah ditinggalin tergeletak gitu, Bu.”

“Aduh, Pak. Saya lagi buru-buru, nih, mau ikut tender pengadaan bibit sawit.”

“Gak bisa. Nanti hati Ibu saya tilang, eh, motornya maksudnya.”

“Tapi ….” Aku ingin berdebat kalau seorang satpam harusnya tak bisa memberi tilang kendaraan.

“Gak ada tapi-tapian.” Satpam itu berani melotot padaku. Mungkin karena penampilanku yang kacau tak mencerminkan seorang Direktur di perusahaan. “Silakan, Bu. Sekarang atau tidak selamanya!”

“Puitis amat sih, Pak.”

“Dulu saya memang suka puisi. Saya suka puisi cinta dari Kahlil Gibran. Waktu SMA saya suka sama seorang wanita tapi ditolak karena gak bisa nembak. Jadi dia bilang mau pacaran sama sahabat saya saja, tapi ternyata sahabat saya itu juga gak bisa nembak. Akhirnya dia pacaran sama guru BK.”

“Sedih amat kisah Bapak.”

“Iya, Bu. Lebih sedih lagi kalau dengar kisah saya mau kuliah. Saya suka lagi dengan seorang janda … Eh, kok jadi curhat ini. Cepat berdiriin motornya sana!”

“I-iya, Pak.” Aku gegas kembali mengangkat motorku agar berdiri. Namun, tenagaku lemas. Tak kuat. Pisang goreng Bude tadi ternyata hanya cukup menyempal perut, tak cukup untuk memberi tenaga ekstra.

“Sini, aku bantu.” Suara lelaki itu tiba-tiba mengagetkanku. Saat aku menoleh, betapa terkejut saat melihat orang yang ada di sampingku ternyata adalah si tampan. “Bilqis Elfath?” lanjutnya.

Amboi! Dia ingat nama lengkapku. Tahan, Bilqis. Jangan salto dulu. Bibir, jangan dulu tersenyum dan kamu, jantung, jangan mulai lagi, deh. Tatapanku dan si tampan bertemu. Gawat, aku lupa meletakkan file namanya di memori sebelah mana. Aku lupa namanya, Tuhan.

Nama mana oi namanya mana, Bilqiiis!

***

BERSAMBUNG …. TAP LOVE DAN KOMENTAR DULU YUK!

Dapatkan penghasilan mulai dari Rp. 1.000.000 dari nulis di PF online.

Kerja sehari satu jam doang dan sambil rebahan, bisa cuan jutaan!

Pelajari caranya di Kelas LTF (Latih Tulis Fiksi)!Daftar di sini ya!

0823-0614-5892 (admin Ara)

Cek dulu I*******m : @kelasmenulisonline.ltf

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • GAMBAR SUAMIKU DAN SELINGKUHANNYA DI BALIHO RAKSASA   Bab 24

    Mobil merah yang kami naiki sampai dengan elegan di sebuah café mewah di kota kami. De’Leon, begitu tulisan di depan café itu, dengan tampilan minimalis ala eropa dan gambar menu-menu Perancis di sebagian dinding.Harusnya ini adalah momen paling menyenangkan bagiku: menaiki mobil sport keren dengan orang tampan sejagad raya. Namun, hatiku tak begitu menyenangkan, menerka-nerka siapa gerangan orang yang akan kami temui.“Jei, siapa yang akan kita temui, ibu kamu?” Aku mencoba menghibur diriku sendiri. Ayo, Jei, jawab saja kalau itu ibumu. Jangan jawab hal yang kutakutkan.Jei membukakan pintu mobil.“Nanti kamu akan tahu sendiri, sebentar lagi. Aku mohon, Bil, tolong jelaskan sedetailnya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Aku gak mau dia salah paham. Kamu ngerti ‘kan maksudku, Bil?”Aku mengangguk. Jei kemudian mengajakku masuk ke café itu disambut oleh pelayan rapi. Aroma khas memanjakan hidung. Sedap sekali. Di meja nomor 27 itu kami duduk dan tiada sesiapa pun. Orang yang dimaksu

  • GAMBAR SUAMIKU DAN SELINGKUHANNYA DI BALIHO RAKSASA   BAB 23

    TANGAN Mita gemetar higga tampak kertas fotokopi itu bergetar pula. Matanya sibuk menggerayai permukaan kertas. Bu Saniah heran dan mengkerut keningnya. Suasana mendadak tegang dan sunyi, sayang tiada bunyi jangkrik yang berkerik-kerik.“Ini-ini ….” Mita berujar tapi tak kuat, tersekat.“Ada apa, Mit?” Bu Saniah bergabung dan ikut melihat fotokopi sertifikat itu.“Ini palsu, ‘kan? Ini buat-buatan kamu aja ‘kan Kak Bilqis? Segitunya kamu mau menghancurkan keluargaku, ini pasti palsu. Kak Azmi, katakan ini palsu, Kak. Katakan.” Mita beralih pada Azmi yang masih bersungut.Azmi tak menjawab. Bergeming.“Atau perlu kutunjukkan yang asli?” ancamku pelan saja. “Maksudmu apa, Kak?” Mita memelototkan mata.“Aku bisa buktikan dengan pengacara, saksi bahkan di bawah payung hukum yang sah. Pokoknya, Aku mau kalian pergi dari sini, itu aja. Aku udah gak mau lihat wajah kalian lagi. Dari pada aku selalu emosi dan terus buat dosa, mendingan kalian kuusir. Maaf, jangan tersinggung.” Aku mengangkat

  • GAMBAR SUAMIKU DAN SELINGKUHANNYA DI BALIHO RAKSASA   Bab 21

    Semua orang diam kecuali suara musik yang menggema kencang. Tegang.“Namanya … Lita.” Azmi menjawab pertanyaan Berno soal siapa wanita simpanannya itu. Seketika hadirin bersorak, riuh, bersiul-siul lalu reda kembali.Sementara Lita sudah salah tingkah. Tatapan kami bertemu dan ia langsung menundukkan kepala, sedikit merasa bersalah, tetapi lebih banyak rasa malunya. Aku mengangkat ujung bibir dan tetap menatapnya tajam. Ini saatnya semua terbongkar, Lita. Takkan ada yang tertutupi lagi.“Fitnah!” Lita berdiri. Kembali suara sorakan di sekeliling menggema. “Ini pasti settingan. Ini hanya dalam rangka hiburan, ‘kan? Jangan percaya ini semua hadirin.”Tak satu pun yang menghiraukan Lita.“Krik krik!” Seseorang menirukan suara jangkrik. Lelucon kalau ada orang berkata, tetapi tiada yang menghiraukan sama-sekali. Beberapa orang terkekeh.“Kayak ada yang ngomong, tapi siapa, ya?” sindir Berno sambil pura-pura celingukan dari tas panggung. Lita tampak semakin kesal dan menghentakkan kakin

  • GAMBAR SUAMIKU DAN SELINGKUHANNYA DI BALIHO RAKSASA   Bab 21

    Semua orang diam kecuali suara musik yang menggema kencang. Tegang.“Namanya … Lita.” Azmi menjawab pertanyaan Berno soal siapa wanita simpanannya itu. Seketika hadirin bersorak, riuh, bersiul-siul lalu reda kembali.Sementara Lita sudah salah tingkah. Tatapan kami bertemu dan ia langsung menundukkan kepala, sedikit merasa bersalah, tetapi lebih banyak rasa malunya. Aku mengangkat ujung bibir dan tetap menatapnya tajam. Ini saatnya semua terbongkar, Lita. Takkan ada yang tertutupi lagi.“Fitnah!” Lita berdiri. Kembali suara sorakan di sekeliling menggema. “Ini pasti settingan. Ini hanya dalam rangka hiburan, ‘kan? Jangan percaya ini semua hadirin.”Tak satu pun yang menghiraukan Lita.“Krik krik!” Seseorang menirukan suara jangkrik. Lelucon kalau ada orang berkata, tetapi tiada yang menghiraukan sama-sekali. Beberapa orang terkekeh.“Kayak ada yang ngomong, tapi siapa, ya?” sindir Berno sambil pura-pura celingukan dari tas panggung. Lita tampak semakin kesal dan menghentakkan kakin

  • GAMBAR SUAMIKU DAN SELINGKUHANNYA DI BALIHO RAKSASA   Bab 20

    PLAK!Sebuah tamparan mendarat di pipi Bu Saniah, keras sekali dan tak berbalas. Padahal tadinya Bu Saniah mantan mertuaku itu yang hampir menamparku. Namun, nyatanya tangan Lita yang menamparnya."Jangan sentuh sahabat saya, Bu." Lita menatap Bu Saniah dengan tajam, setajam silet, tetapi bukan acara gosip artis."Heh. Beraninya nampar saya kamu, ya!" ujar Bu Saniah memegangi pipinya. Puluhan pasang mata memperhatikan.Drama apa lagi?Sekonyong-konyong Bu Saniah melayangkan tangan ke pipi Lita. Lita mengelak dan hanya menyentuh dagunya. Beberapa lelaki bagian keamanan kemudian mendatangi mereka dan memisahkan. Bu Saniah diseret ke belakang."Mohon maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi." MC di panggung harus menenangkan kembali para undangan yang masih riuh."Lit, kamu kembali duduk aja. Aku gak apa-apa," pungkasku. Padahal dalam hatiku sedang bertanya-tanya."Oh, ya, dah, aku duduk lagi." Lita lalu kembali ke tempat duduk istimewanya. Sama seperti kursi para petinggi perusahaan. Tida

  • GAMBAR SUAMIKU DAN SELINGKUHANNYA DI BALIHO RAKSASA   Bab 19

    “Oom-oom.” Mita menyeret manajer keuangan perusahaanku, Samian Palupi. Lelaki yang diseret tampak risih dan tak senang. Sebentar-sebentar ia melepas tangan Mita yang memegangi lengannya.“Ada salah satu staf rendahan di perusahaan ini yang sering jahat sama aku, Oom,” adu Mita. Perempuan berambut lurus itu lantas menunjuk-nunjuk ke arahku.“Pecat aja dia, Oom!” Mita merengek macam anak kecil bibirnya mencebik sehingga kelihatan semakin ‘dower’.Aku menggelengkan kepala, tetapi bukan karena terbawa irama musik dari panggung, bukan! Pecat saja kalau berani. Malah sebaliknya, aku yang akan memberhentikan lelaki macam Samian dari perusahaanku.“Eeh, Mita, jangan pegang-pegang tangan Oom gini di tempat umum. Nanti kita ketahuan.” Lelaki bernama Samian itu berusaha melepas tangan Mita yang terus mengupil di hidungnya. Eh, maksudnya terus menarik lengannya.Sementara Mita terus berusaha menggandeng Samian dan menyeret ke arahku. Samian menolak, tentu saja karena tahu kalau wanita yang dimaks

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status