"Yah aku juga lah", kata Renata tersenyum jahil. "Eh serius ?", kata Awan agak panik membayangkan bagian paling pribadinya sudah di lihat dan dipegang – pegang oleh Renata, sulit rasanya membayangkannya. "Hihiiiii", terdengar tawa dari Inah yang berdiri di belakang Ren. "Masnya percaya aja di bohongin Non Ren begitu mah, hehehe", lanjut Inah sambil tertawa. "Jadi yang benar gimana toh ?", tanya Awan bingung. "Bagian 'itu'nya, pak Usman yang bersihin Mas", lanjut Inah lagi menambahkan. Oh syukurlah, gak kebayang bagi Awan jika Renata yang membersihkan 'anu'nya, mending kalau lagi sadar, ini pas dia lagi gak sadar, wkwkwk. "Kok lega begitu wajahnya! Mang gak suka yah kalau seandainya aku yang bersihin 'itu'nya ?", kata Ren sedikit jutek. Lalu memasukan handuk yang habis dipakai membersihkan keringat Awan ke dalam ember kecil. "Maunya sihh", kata Awan tersenyum nakal menggoda Ren. "Ih masnya nakal juga ternyata, hahaha", sela Inah. Anjiirr lupa kalau masih ada Inah disini, pikir
POV Awan "Sudah bangun toh ?", tanya seorang pria ketika aku bangun dari tidur. Aku ingat dia adalah orang yang bertarung denganku terakhir ketika menyelamatkan Ren tempo hari. Aku sedikit terkesiap, dan terbangun. "Tidak usah kaget begitu. Saya hanya memeriksa kondisi kamu kok", katanya tersenyum ramah padaku. Aku lihat, di bagian dadaku yang sebelumnya masih sedikit terasa sakit, ada olesan seperti cairan yang sangat familiar bagiku. Ini seperti obat yang dulu sering di kasih Angku (kakek) kalau aku terluka atau cidera. "ini...", kataku agak ragu sambil melirik tempat cairan obat yang di olehkan oleh orang tersebut di dadaku. "Jangan khawatir, itu obat penyembuh luka", katanya sambil duduk di sofa kamarku. Di dalam kamar hanya ada kami berdua, tidak kulihat Ren, ketika kulihat jam di meja samping tempat tidurku, ternyata sudah jam 8 pagi. Ada beberapa jam aku tertidur rupanya, mungkin karena baru bisa tertidur menjelang subuh sampai – sampai tidak kusadari ada orang lain yang m
POV AwanPagi ini ku terbangun dengan perasaan yang tidak enak, setelah apa yang terjadi kemarin membuat hubunganku dengan Ren menjadi serba canggung. Bahkan sejak semalam, Ren tidak menyapaku sama sekali. Yah, mungkin ini lah yang terbaik bagi kami berdua untuk saat ini. Aku harus belajar untuk introspeksi diri, bukan karena apa yang diucapkan Ren bersama teman – temannya tempo hari. Justru karena apa yang di ucapkan Ren waktu itu membuatku sadar akan suatu hal yang penting, Ren dan statusku!.Mungkin bisa saja Ren benar – benar tulus dengan perasaannya padaku, tapi apa yang akan dipikirkan oleh orang lain tentang dirinya. Seorang anak konglomerat berhubungan dengan seorang anak pembantu. Gila! Aku tidak sanggup membayangkan Ren yang akan menjadi malu karena statusku ini. Jika aku dan Ren memang ditakdirkan untuk berjodoh di kehidupan ini, paling tidak aku harus bisa memantaskan diri untuknya. Untuk itu, aku harus berhasil dulu agar statusku bisa sebanding dengannya kelak, agar orang
Rachel melihatku sebentar, mungkin dia heran melihat responku. Rasain dah tuh, kayaknya tipikal cewek cuek begini harus di hadapi dengan cuek juga. Tampak Rachel menarik napas dalam sebentar lalu menghembuskannya. "Gue heran aja, masih ada cowok bodoh kayak loe yang mau mengantar nyawa sia – sia masuk ke sarangnya geng motor hanya demi menyelamatkan seorang cewek", katanya dengan ekspresi yang susah kutebak. "Yah. Mungkin benar apa katamu. Karena aku bodoh", jawabku asal, sambil duduk di rumput taman dan meluruskan kakiku. Rachel seperti tidak menyangka jawabanku akan ngasal seperti itu, mulutnya sampe melongo dan jadi canggung mau melanjutkan kata – katanya kembali. "Apa semua itu pantas ?", tanyanya dengan menaikan alis matanya sebelah kanan menatapku. "Aku tidak tahu", jawabku datar. Rachel terlihat makin bingung dengan jawabanku, lalu ia ikutan duduk di sebelahku meluruskan kakinya kedepan, sambil menunggu jawabanku lebih lanjut. "Aku tidak tahu apa itu pantas. Tapi demi seo
POV Renata Aku sudah berusaha tidur dari semalam, namun setiap mataku terpejam kembali teringat dengan kata – kata Awan yang sangat menyakitkan bagiku. Entah kenapa ia seperti sengaja mengucapkan kata yang jelas ia sangat tahu kalau aku sangat benci jika ia mengucapkan kata itu. Dan sore kemaren Awan seperti sengaja memanggilku dengan sebutan 'Non'. Padahal sejak awal bertemu sudah kubilang padanya jika aku paling tidak suka ia memanggilku dengan sebutan itu. Lama aku terdiam saat Awan memanggilku dengan panggilan 'Non', bahkan ia dengan datarnya mengucapkannya. Aku memanggil namanya dengan pedih yang tertahan di dada, namun ia pergi begitu saja. Shit! Aku benar – benar tidak tahan. Kenapa Awan merendahkan dirinya begitu, aku saja tidak mempermasalahkan status dan strata sosialnya. Karena bagiku ia adalah seorang yang sangat spesial bagiku, dan semua sikap anehnya terjawab sudah ketika tidak lama kemudian mbak Surti menyadarkanku dari lamunan panjangku. "Non Ren, kenapa menangis", k
POV AuthorTernyata supir Joe membawa Awan ke kantornya terlebih dahulu. Entah apa yang di rencanakan oleh Joe pada Awan, tapi sepertinya ia sengaja membawa Awan ke tempat kerjanya terlebih dahulu untuk mempelajari potensi dan latar belakang Awan yang sebenarnya."Hai, selamat datang anak muda", sambut Joe begitu melihat Awan masuk ke ruang kerjanya."Halo om", sapa Awan sambil menjabat tangan Joe."Gimana keadaanmu ? udah pulih sepenuhnya ?", tanya Joe basa – basi."Yah, seperti yang Om lihat. Udah fit kembali nih", kata Awan tersenyum santai.Setelah berbasa – basi sebentar, Joe mengajak Awan keliling perusahaannya. Tidak terasa hari sudah larut sore ketika mereka selesai berkeliling sekitar perusahaan Joe yang terbilang lumayan besar besar.Saat malam, Joe sengaja mengajak Awan untuk mampir di salah satu night club yang di kelolanya."Tempat apa ni om ?", tanya Awan heran, karena memang itu pertama kalinya ia mampir ke tempat seperti itu."Ini namanya dunia malam ibu kota anak muda"
"Lihat ke arena yang dibawah", kata Joe sambil menunjuk ke arah Arena yang ada di lantai bawah. Ternyata di sana sudah ada orang yang lagi bertarung, dan dari bangku penonton terdengar sorak sorai dari penonton mendukung masing – masing jagoan mereka. di arena sendiri kedua petarung sudah saling berdarah – darah, namun tetap saling serang dengan semangat tinggi dan keahlian beladiri masing – masing. Seolah saling menunjukkan siapa diantara mereka yang paling jago, karena siapa yang bisa merobohkan lawannya, maka dia lah yang akan jadi pemenangnya. Namun karena Awan dan Joe saat ini sedang berada di ruang VIP sehingga suara sorakan penonton tidak terdengar menganggu ke dalam ruangan. "Maksud om apa menunjukkan tempat ini pada saya ?" tanya Awan. "Dan pertarungan itu, apa maksudnya ?", sambung Awan. "hehehe ternyata kamu orangnya tidak suka basa – basi yah", kata Joe sambil melirik Awan sebentar. Lalu ia membakar cerutunya sambil menatap ke arah depan. Awan menunggu Joe menjelaskan
"Ya udah, kamu boleh kembali bekerja", perintah Joe pada anak buahnya tersebut. Junet mengangguk hormat pada Joe dan Awan, lalu ia permisi keluar ruangan. "Junet itu yang memimpin bisnis disini sementara", kata Joe lagi sambil melihat ke arah Awan. "Sementara ? memang siapa yang menghandle sebelumnya om ?" "Bosky", jawab Joe. "Bosky ?", ulang Awan, seperti pernah mendengar nama tersebut, namun lupa ia pernah mendengarnya dimana. "Iya!, orang yang kamu bikin babak belur sebelum masuk ruang utama di gudang tempo hari", dengan tawa yang agak sumbing mengingat bagaimana tangan kanannya tersebut di kalahkan oleh Awan waktu itu. "Oh, saya benar – benar minta maaf om. saya gak tahu kalau itu anak buah om", kata Awan menyesal. "Hehehe, gak usah dipikirkan. Seorang petarung justru akan bangga kalah dipertarungan daripada kalah diatas ranjang, iya kan!", kata Joe santai dengan memberi analogi yang aneh. "Om bisa aja!. Tapi saya merasa tidak enak karena telah membuat anak buah om cidera