Share

Wangi yang Berbeda

BAB 3

Tubuhku bergetar, napasku memburu dan seketika alunan detak jantungku berpacu kuat. Pesan chat dari seseorang bernama Siska itu mampu memudarkan kepercayaanku terhadap istriku.

[Maksudmu, apa?] Dengan tangan gemetaran, kubalas pesan itu. Biarlah, tak perlu kukatakan bahwa ponsel ini tertinggal oleh pemiliknya.

Tak berapa lama, Siska pun membalas lagi pesanku. [Kumat, deh, pura-pura beg*! Kamu ditanyain, tuh, sama Mbak Tania. Dua bulan lebih gak pernah hadir aerobik. Rugi, lho, kalau ada lomba gak diikut sertakan.]

Dadaku kian bergemuruh. Kubanting dengan kasar gelas kopi bekas tadi pagi yang masih teronggok di meja teras.

"Kurang aj*r! Beraninya Yulia membohongiku." Geligiku gemeretak menahan amarah, namun aku hanya sendirian. Percuma. Yulia tidak akan tahu kemarahanku.

[Tadi foto siapa?] Kukirim pesan pertanyaan pada kontak bernama Siska. Penasaran, apa motifnya mengirim foto itu pada Yulia.

[Dih, pura-pura gak tau. Hari ini jadwal praktek suamiku. Kebetulan dia melihatmu ke Obgyn sama itu.]

Praktek? Yulia ke Obgyn? Itu, apa maksudnya? Bermacam tanya memenuhi isi kepalaku. Setahuku, Obgyn adalah dokter kandungan. Lalu, siapa yang Siska maksudkan dengan kata itu.

Kuperbesar foto yang tadi dikirimnya. Jelas-jelas ini bukan Yulia. Dari pakaiannya saja sudah berbeda. Yulia memang memiliki dres selutut warna mocca seperti ini, namun hanya ia gunakan untuk di dalam rumah.

Tidak mungkin, bukan, istriku keluar apalagi ke rumah sakit hanya mengenakan dres ketat sependek itu. Baju haram semacam itu hanya akan ia gunakan untuk menggodaku saja.

Lagipula, Yulia tadi pergi mengenakan rok lebar, atasan kaus lengan panjang warna putih, hoodie hitam dan hijab warna krem seperti roknya. 

Dan pria yang melingkarkan tangan di pinggang wanita dalam foto ini, sudah pasti suami dari wanita ini sendiri. Fix, wanita dalam foto ini bukan istriku.

Ya Allah ... hampir saja aku terpancing oleh godaan syetan yang ingin menghancurkan rumah tanggaku.

Maafkan Mas, Sayang. Untung logika Mas masih berjalan seimbang, beriringan dengan amarah yang memuncak.

Tak kubalas lagi pesan dari nomor bernama Siska itu. Sepertinya wanita itu tahu jika temannya tak membawa ponsel dan sengaja ingin memanas-manasiku. Kutaruh ponsel milik istriku ke meja kerjaku. Sudah cukup aku mengotak-atik ponsel tersebut dan nyaris terpancing emosi dibuatnya.

Merasa bosan di rumah, hanya bolak-balik nonton televisi tidak ada yang menarik satupun. Kuhampiri halaman belakang, tempat di mana istriku dulu rajin bercocok tanam.

Kini tanah di halaman belakang terlihat tandus. Bahkan rumput liarpun tak ada yang mau mencuat dari dalamnya.

"Sedang apa, Sayang?"

"Biasa, Mas, nyiram tanaman. Lihat, deh, sini. Aku baru habis panen cabai. Lumayan, gak perlu beli."

Terngiang di telingaku obrolan singkat kami di suatu sore. Beberapa tahun lalu, Yulia tak pernah keluar rumah. Ia betah di dalam, menanam berbagai macam bunga, tanaman hias, cabai dan tomat. Sejak dua tahun lalu, ia mulai aktif mengikuti kegiatan arisan ibu-ibu komplek. Dan sejak satu tahun lalu, istriku merengek ingin merawat tubuh dan kulitnya, agar aku tidak akan pernah berpaling darinya. 

Urusan merawat tubuh dan kulit, sebetulnya sudah sejak awal menikah dilakukannya. Hanya saja, ia merawatnya di rumah dengan berbagai macam perawatan yang kubelikan. Barulah setahun yang lalu, ia mau kusuruh pergi ke salon. Bahkan sejak saat itu, Yulia meminta ijin untuk ikut aerobik.

Terhitung dua kali pindah tempat. Dan tempat terbarunya ini lah, yang paling lama ia datangi setiap tiga hari sekali. Dan kini ia sudah tak pernah lagi ikut arisan ibu-ibu komplek.

Terdengar kumandang adzan maghrib dari mushola dekat rumah. Gegas kuambil wudhu, bersiap ingin pergi ke mushola. Namun langkahku terhenti, teringat pada istriku yang belum pulang.

"Di rumah aja. Takutnya Yulia pergi lagi, jika aku tak ada di rumah."

*

Benar saja. Baru selesai mengucap salam dalam rukun shalat, Yulia datang mengucap salam.

Aku sudah sangat merindukannya, bergegas menyudahi, tanpa berdo'a lagi. Bahkan sajadah pun kubiarkan masih tergelar di atas karpet.

"Sayang. Kok, pulangnya hampir malam, sih." Kupeluk tubuhnya yang selalu wangi.

Namun kali ini, wanginya terasa berbeda dengan pagi tadi sebelum berangkat. Seperti wangi parfume pria.

"Maaf, ya, Mas. Tadi temen aku ngajak belanja-belanja, gitu. Aku aja capek banget, lho, ini. Lengket, belum mandi." Wanita cantikku mengendus bau badannya sendiri yang sama sekali tak tercium bau.

"Sana, mandi. Habis itu langsung shalat, mumpung masih ada waktu." Kuusap puncak kepalanya, hingga ia tersenyum begitu menggemaskan.

Wanitaku bergegas ke kamar mandi kamar kami. Aku sendiri memilih melipat sajadah yang belum kubereskan.

Terbesit tanya di kepalaku. Sore tadi aku sempat sangat marah padanya, mengapa sekarang tak ada rasa itu sedikitpun. Melihat wajahnya saja, aku langsung terpesona dan tak mampu berkata keras. Aku bahkan tak bisa langsung menanyainya pasal foto dan chat yang kulihat di ponselnya. Tak tega, ia baru saja pulang dan pasti sangat lelah.

Sambil menunggunya mandi, aku menyiapkan pakaian ganti serta alat shalat untuknya. Seketika bibirku terangkat membentuk sebuah senyuman.

'Sudah lama juga Yulia tidak melakukan hal itu untukku,' batinku, mengingat keharmonisan kami di awal-awal pernikahan hingga beberapa tahun belakangan.

Aku dulu hampir tak pernah mengambil pakaian sendiri, menggelar sajadah sendiri dan memakai dasi sendiri. Bahkan, mengambil makanan pun selalu Yulia yang lakukan.

Seiring berjalannya waktu, semua itu sudah berubah. Kuanggap wajar, karena dalam pernikahan adalah sebuah kerja sama. Aku mulai terbiasa tak dilayaninya.

"Mas!" Sebuah panggilan lembut terdengar menggoda.

"Eh, Dek. Sudah, mandinya?" tanyaku, mendongak ke arahnya.

"Udah. Aku shalat dulu, ya. Makasih, udah disiapin."

    

Meski ada banyak yang berubah, namun senyumannya selalu sama. Selalu membuatku jatuh cinta, lagi dan lagi.

Aku masih duduk di tepi ranjang, memerhatikannya tengah beribadah. Semoga saja, nanti malam ia mau beribadah denganku.

**

Di tengah gelapnya malam bertabur bintang, kami duduk bersisian menatap indahnya ciptaan sang kuasa. Ya, aku berhasil mengajaknya makan malam di luar, di sebuah restoran rooftop kesukaannya.

Wajahnya terlihat sangat lelah, namun ia masih mau mengikuti inginku. Rindu, ingin berkencan seperti dulu saat kami masih pengantin baru.

"Kamu mau makan apa?" tanyaku, sambil membaca buku menu.

"Aku ... salad buah. Roti isi daging juga, deh. Laper," jawabnya setelah berpikir cukup lama.

Jujur saja aku senang jika ia ingin makan banyak. Artinya uangku ada banyak yang masuk ke perutnya.

Tak berapa lama setelah memesan, makanan kami datang. Kusuapi bibir tipis itu dengan lembut. Kupandangi wajah malu-malunya, yang sesekali menunduk.

Semoga ini adalah awal yang baik untuk memulai kembali keharmonisan kami.

Kami sudah selesai makan, namun masih menikmati keindahan malam di rooftop ini. Kuberikan ponselnya yang hari ini tak ia bawa.

"Oh! Ya Allah. Ada di kamu, Mas." Tangan lentiknya menerima ponsel itu.

"Iya, Sayang. Lain kali, jangan terlalu buru-buru."

"Iya, Mas. Habisnya, Mas pake acara minta jatah di saat aku mau pergi."

"He he ... setelah dari sini, Mas mau minta lagi. Boleh?" tanyaku, menggodanya dengan sentuhan di dagu.

"Apa tadi ada yang telfon?" tanya Yulia, tanpa menjawab ucapanku.

"Ada. Revani atau siapa, ya, tadi."

"Evani, mungkin."

"Ah, iya itu. Tapi yang bicara suaminya. Katanya, dia sedang kebelet ke kamar mandi."

"He he he ... kebiasaan si Vani, begitu. Sering kebelet." Wanitaku terkekeh. Tak nampak sedikitpun kecemasan di wajahnya. Akhirnya aku bisa bernapas lega, bahwa pria yang menelepon dengan nama itu memang suami Evani.

"Ada chat juga dari Siska."

"Oh, ya? Apa?"

"Buka saja."

Yulia mulai membaca percakapan aku dengan Siska sore tadi. Kulihat matanya sedikit membulat, sesekali menoleh padaku.

"Apa maksudnya, sih?" tanyaku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nosha Yusop
pandaiĀ² tupai melompat...ayuh lompat..dasar tidak tahu bersyukur...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status