Meski Istriku tak kunjung hamil selama sembilan tahun pernikahan kami, aku tetap mencintainya. Terlebih, dia sangat pandai melayani dan menyenangkan hatiku. Oleh sebab itu, aku mengizinkannya untuk pergi aerobik. Toh, katanya, dia ingin tetap cantik dan bugar demi aku. Namun, aku tak menyangka bahwa selama ini dia berbohong. Dia tiba-tiba hamil, tapi bukan anakku.
Lihat lebih banyakBAB 1
"Mau ke mana lagi, Dek?" tanyaku pada Yulia--istriku.
Kesal rasanya, setiap aku libur kantor, dirinya selalu tidak ada di rumah. Jangankan melayani segala kebutuhanku, menemani pun tak sempat. Jika sudah pergi, ia bisa pulang menjelang malam.
"Biasa, Mas, aerobik. Kan buat Mas juga." Wanita berusia 36 tahun itu mengedipkan satu matanya ke arahku.
"Khusus hari ini, tolong jangan pergi. Mas ingin mengajakmu jalan-jalan," pintaku. Biasanya dia akan luluh jika sudah diiming-imingi jalan-jalan, belanja apalagi liburan ke luar kota.
"Ke mana?" tanyanya dengan mata berbinar.
"Sini dulu, dong!" Kupanggil dirinya yang sudah berdiri di depan lemari sepatu.
Langkah kakinya menuju ke arahku, meliuk-liuk seperti ikan yang tengah berenang. Benar, bukan, jika sudah diimingi jalan-jalan, ia akan mendekat.
Wanita yang telah kunikahi 9 tahun lamanya itu duduk di pangkuanku. Jemari lentiknya mengusap halus jenggot kasar yang baru saja kucukur.
"Mau jalan-jalan ke mana?" ulangnya.
"Kamu maunya, ke mana?" balasku, mengecup pipinya yang tetap kenyal meski usianya tak lagi muda.
Wanitaku tak pernah kubiarkan kekurangan apa pun. Skincare, perawatan wajah dan seluruh kulitnya selalu kupenuhi. Belum lagi segala macam alat make-up. Katanya, semua itu untukku. Ya, tentu saja. Aku yang membiayainya.
"Sebetulnya, aku sedang ingin pergi ke pegunungan yang ada air terjunnya. Tapi gak mungkin, 'kan, kita bisa ke sana hari ini. Mas saja liburnya cuma sehari dalam seminggu," jawabnya mengerucutkan bibir.
"Mau banget?" tanyaku, menatap mata indah dengan bulu mata lentik yang selalu dirawatnya.
Gemas. Rasanya aku selalu ingin menggigit pipi mulus itu, setiap kali berdekatan dengannya. Tapi entah mengapa, sudah hampir satu bulan ini ia selalu menolak keinginanku. Katanya, datang bulannya tak teratur dan selalu keluar seperti flek.
"Mau," rengeknya dengan manja.
"Kita ke sana sekarang. Menginap di sana. Gimana?" ajakku.
"Serius? Besok Mas kerja, 'kan?" Mata indah itu menatapku keheranan.
"Gak pa-pa, gak usah kerja. Mas 'kan bosnya," ucapku, menaik turunkan alis.
"Tapi, Mas, hari ini aku udah terlanjur buat janji sama teman-teman. Mau sekalian arisan bulanan juga sama teman aerobik," katanya, terlihat sedih.
Apalagi aku. Sangat sedih. Sudah kuturuti kemauannya, malah dia sendiri yang menolak lagi. Selalu itu alasannya. Aerobik lah, arisan lah, acara ulang tahun teman lah. Dan aku selalu dinomor-duakan.
Aku diam saja. Malas menjawabnya. Karena jika sudah begitu, ia tak akan mau mengalah untukku.
"Boleh, ya, Mas. Kita pergi minggu depan saja, gimana?" tanyanya. Kedua belah telapak tangannya membingkai wajahku. Merayu.
"Terserah!" ujarku.
"Ayolah, Mas. Kalau aku bugar, Mas juga yang senang, bukan?" Ia terus saja menggodaku. Dia pikir, kelelakianku tidak akan bangkit dan meminta hak jika diperlakukan seperti ini.
"Boleh, Sayang. Tapi, temani Mas tiga puluh menit saja. Jika tidak, Mas tidak akan mengijinkan dan akan mencabut semua fasilitasmu." Sengaja kuancam dirinya. Kepalaku sudah terasa pusing menahan selama hampir satu bulan ini.
"Nanti aku terlambat, Mas. Pulangnya saja, ya?" Ia masih mengelak dan seperti ingin segera pergi.
"Enggak! Temani Mas, atau Mas cabut semua fasilitasmu?" ulangku, dengan tatapan memicing.
Dia bilang, kecantikan dan kebugarannya hanya untukku. Lalu mengapa selalu menolak keinginanku.
"Huummm!" Ia membuang napas kasar. Tercium aroma wangi, membuatku semakin di puncak keinginanku.
"Oke. Mau, tidak?" tanyaku lagi, menelusupkan tangan ke dalam hoodienya. Selama ini aku tak pernah mengancamnya seperti itu. Ide itu kudapat dari anak buahku, di kantor.
Ya, kami biasa saling bercerita tentang rumah tangga masing-masing. Saling mendukung saat dalam kesulitan, saling memberi pendapat setiap kali dihadapkan dengan suatu pilihan, juga membantu mencarikan solusi dalam setiap masalah.
Sebagai sesama laki-laki, kami bahkan tak jarang menceritakan urusan ranjang pula. Seperti minggu lalu, kuceritakan tentang Yulia yang hampir sebulan ini tak memberiku jatah. Arman--anak buahku sempat mencurigai istriku macam-macam, namun dengan santai aku menepisnya.
Tidak mungkin, bukan, Yulia bermain api di belakangku, sementara diriku nyaris tak ada cacat. Dalam artian, aku hampir punya segalanya. Hanya keturunan saja yang belum Allah titipkan pada kami, hingga di tahun ke sembilan pernikahan kami.
Aku memang punya banyak tabungan. Namun tak sekali pun kami pergi ke dokter untuk periksa. Ibuku yang berasal dari kampung, selalu membantu mengirim ramuan khusus agar kami segera memiliki anak. Kata wanita hebatku, tak perlulah pergi ke dokter segala. Jika sudah waktunya tiba, pasti akan hamil juga. Ya, menurutku itu benar.
Pernah beberapa kali Yulia merengek, memintaku pergi ke dokter kandungan, ingin mengecek kesuburan kami. Seperti saran Ibu, aku menolaknya dengan alasan tidak penting.
Sekali lagi kusentuh punggungnya dengan lembut, mencoba memancingnya. Akhirnya Yulia mengangguk juga, tersenyum menggoda ke arahku.
Benar, bukan. Mana mau dia kehilangan semua fasilitas yang kuberi. Uang belanja di atas rata-rata, sementara dirinya tak pernah memasak. Kami selalu makan makanan restoran langganan kami, kecuali sarapan. Mobil, kartu kredit unlimited, motor matic untuk dirinya jika ingin pergi jarak dekat. Tidak lupa kuberi ia jatah belanja pakaian atau aksesoris lainnya, semaunya. Semua kupenuhi, asalkan ia bahagia.
Aku pun tak pernah mengekangnya. Hampir setiap hari ia pergi bersama teman-temannya, untuk menyenangkan pikirannya. Bagiku itu tak masalah. Asalkan jangan sampai ke luar jalur.
Meski membebaskan, aku tak pernah abai terhadapnya. Tanggungjawabku sebagai suami tidak main-main. Ia hanya boleh keluar rumah dengan menggunakan hijabnya. Jika tidak, maka aku akan murka. Ponselnya pun selalu diam-diam kucek setiap malam. Tidak pernah ada hal yang mencurigakan.
Kini kami berdua saling berbagi keringat di sofa ruang tamu. Tak perlulah pergi ke kamar untuk menuntaskan hasrat. Aku sudah tak tahan.
Rupanya, tak sampai tiga puluh menit aku sudah kalah.
**
"Aku berangkat, Mas," pamitnya, menciumi kedua pipiku.
"Hati-hati, Sayang. Nanti malam, buat Mas ka-o, lagi, ya!" pesanku, mengedipkan sebelah mata.
"Beres!" Ia mengangkat tangan dan menempelkannya di pelipis.
Yulia melesatkan mobil sedan keluaran terbaru yang kubelikan satu tahun lalu, menggantikan mobil lamanya. Sudah bosan, katanya. Tak masalah, asalkan ada untuk membelinya. Aku sendiri masih menggunakan mobil lama yang sudah lebih dari 10 tahun menjadi kendaraan pribadiku.
Aku duduk seorang diri, menyesap kopi hitam yang Yulia buatkan sebelum berangkat. Kulirik arloji yang jarum pendeknya menunjuk ke angka delapan. Namun pikiranku tak pernah lepas dari sesuatu yang kurasa tidak biasa.
Saat bermain tadi, aku merasa perut Yulia lebih padat dan membulat. Apa itu lemak, seperti yang ia katakan padaku, tadi.
"Sayang, perutmu bulat sekali? Sepertinya agak condong ke depan."
"Iya, Mas. Ini gara-gara aku sering ngemil saat menunggu Mas pulang dari kantor. Melar, deh!"
"Oh, ya? Tapi tubuhmu tetap langsing," kataku, tadi, setelah kami selesai bermain.
"Ini namanya lemak, Mas. Kayaknya baru kelihatan di perut saja," jawabnya dan hanya kuangguki. Aku percaya saja.
Menurutku bisa saja benar. Anak buahku di kantor lebih banyak wanita, bahkan ada yang sudah menjadi seorang ibu. Dan jika diperhatikan, rata-rata di antara mereka memiliki perut yang sedikit maju.
Tapi setelah kuingat-ingat lagi, mengapa perut Yulia berbeda.
Aku yang tengah diam berpikir, terkejut dengan suara ringtone lagu korea yang jarang sekali kudengar. Sudah pasti bukan suara ponselku.
Kucari keberadaan benda yang terus berdering itu. Rupanya terselip di sela sofa. Kubaca nama peneleponnya yang bernama Evani, dengan foto profil artis k-pop.
"Ponselnya tertinggal. Buru-buru banget, sih!" gumamku seraya menekan tombol berwarna hijau.
Panggilan tersambung. Aku tak berbicara sepatah kata pun. Mataku membulat sempurna, ketika mendengar suara di ujung sana.
"Sudah berangkat?" tanya seorang pria di ujung telepon.
PoV AuthorDengan gagah Raffa keluar dari ruang persidangan. Senyum kepuasan tersirat di wajahnya yang kali ini mengenakan kacamata hitam. Setelan jas warna hitam dengan celana senada, membuatnya terlihat sangat elegan dan misterius.Hasil putusan sidang benar-benar telah memberinya kepuasan. Jeremy mendapatkan hukuman lebih dari delapan belas tahun, karena terjerat pasal berlapis. Kekerasan hingga percobaan pem_bu_nuhan, penggunakan obat-obatan keras dan telah membuka tempat haram berkedok gym."Terima kasih banyak, Pak Endri. Sudah ke sekian kalinya Bapak membantu saya dalam proses hukum yang terpaksa saya ambil. Kalau bukan Bapak yang menjadi pengacara saya, entahlah.""Kembali kasih, Pak. Tapi saya yakin, siapa pun itu, jika Pak Raffa kliennya sudah pasti menang. Bapak tidak bersalah dan terbilang cerdik dalam mengumpulkan bukti. Juga tidak mudah terperangkap oleh lawan," puji Pak Endri pada pria di hadapannya."Ya, berdasarkan pengalaman mungkin ya, Pak." Raffa terkekeh di akhir
PoV RaffaMalam ini, di rumah sakit kembali kami berada. Sore tadi, saat tengah menemani Embun memilih tas, sambil menunggu jam tayang film yang kami tonton, tiba-tiba saja ponselku berdering."Pak, maaf, ini Cyra badannya panas banget." Suara Bi Murni di ujung telepon, sontak saja membuyarkan konsentrasiku. Kutatap Embun yang tengah memandangku penuh khawatir."Ya Allah ... oke, Bi, saya segera pulang." Tanpa memberitahu Embun lebih dulu, kuputuskan untuk membatalkan acara nonton film."Ada apa, Yah?" tanya Embun tak sabar, ketika kumatikan panggilan."Cyra sakit, Sayang. Badannya panas," jelasku."Ya Allah! Ayo, Mas, kita pulang sekarang." Embun menarik jemariku, melupakan hasratnya untuk membeli tas.Kami berjalan cepat keluar dari mal, sore tadi. Melupakan tiket menonton yang sudah terlanjur dibeli, serta meninggalkan mobil yang belum selesai dipoles di bengkel.Sepanjang perjalanan, Embun sangat gelisah. Sesekali ia mengusap ujung netranya dengan tisyu, seperti tengah merasakan p
PoV Author"Saya minta maaf, Pak atas kejadian ini. Anak saya baru belajar nyetir," ucap seorang wanita berusia kisaran 60 tahun. Sementara anaknya yang menabrak adalah seorang gadis muda berpakaian seksi."Ndin, minta maaf!" suruh sang Ibu yang dandanannya tak kalah mentereng.Embun dan Raffa yang sejak tadi diam di depan mobil mereka, tampak risih melihat kedua wanita beda usia yang terlihat kurang senonoh."Ma-maaf, Mas, aku gak sengaja," ucap gadis bertubuh tinggi itu, sedikit terbata-bata."Ya, sudah, gak pa-pa. Lain kali hati-hati," pesan Raffa, sambil berjalan ke arah belakang mobilnya untuk mengecek kerusakan yang terjadi."Nanti kami ganti rugi atas kerusakannya, Pak." Ibu dari wanita itu menyusul dan menawarkan ganti rugi.Ada yang terasa tak enak didengar oleh Embun. Ibu dari gadis itu sudah berumur, tetapi memanggil Bapak pada suaminya. Sementara gadis itu, justeru memanggil suaminya dengan sebutan Mas."Ya ... sepertinya memang harus begitu. Tergores cukup dalam bamper mo
"Bunda gak sakit, Yah." Bibir manis istriku justeru melengkungkan senyuman."Mak-maksudnya?" Aku sedikit heran. Jelas-jelas ia sakit sejak tiga hari lalu, bahkan kini sampai tak sadarkan diri dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Mengapa raut wajahnya justeru menampakkan kebahagiaan?"Dareen mau punya adik. Seperti yang Ayah mau, tambah anak biar tambah ramai dan tambah rezeki. Baju-baju hamil aku juga akan terpakai lagi," kekeh Embun, sedikit menggodaku.Allah ... benarkah apa yang barusan kudengar? Embun, istriku tengah mengandung untuk yang ke tiga kalinya, di usianya yang sudah tak muda lagi. Aku sangat bahagia, akan tetapi, ada rasa takut yang menggelayut perlahan. Usianya sudah bukan usia yang pantas untuk melahirkan. Apakah Embun-ku masih mampu melahirkan anak kami? Buah cinta kami yang ke sekian."Bunda serius?" tanyaku, untuk memastikan.Embun-ku mengangguk dengan wajah teduh nun manisnya. Layaknya tetesan embun pagi yang senantiasa memberikan kesejukan, senyumannya terus te
Aku terkejut bukan main. Dalam persidangan, Jeremy mengaku telah mengenal Yulia sejak lama. Ia juga mengaku sudah mengenal Evano. Kedua pasangan selingkuh yang kini telah sama-sama meninggal itu, rupanya sudah menyisakan luka di hati Jeremy."Jika saja saat itu kamu hanya melepaskan Yulia tanpa membu_nuhnya, aku tidak akan segi_la ini ingin menghabisimu!""Apa? Yulia? Membu_nuh? Aku tidak membu_nuh siapa pun. Baik Yulia maupun Evano, sama meninggal karena ulah mereka sendiri.""Ya! Yulia ma_ti karena tergi_la ingin bertahan denganmu!""Dia kecelakaan, karena berusaha mengambil alih kendaraan dalam kondisi yang lemah, Jeremy. Kamu tahu apa soal Yulia?" selidikku saat persidangan itu."Aku tau semua tentang dia. Aku tau betapa besar lukanya karena mencintaimu. Aku tau seberapa hancur Yulia saat kau tinggalkan! Kamu terlalu naif, Baji_ngan!""Mengapa aku yang disalahkan? Mereka telah selingkuh sampai Yulia yang kala itu masih sah menjadi istriku hamil oleh selingkuhannya."Kemarin, amara
Pagi yang begitu cerah, menampakkan semburat jingganya di sela jendela kamar kami. Kubuka selimut berwarna ungu, yang mana sudah tak menampakkan keberadaan wanita tercantik yang selalu tidur di sisiku.Pastilah wanita cantik berwajah teduh itu sudah sibuk mengurus rumah, sebelum anak-anak kami terbangun. Padahal, adzan subuh saja belum berkumandang.Hari ini adalah minggu, yang artinya aku tidak pergi ke kantor. Akan kumanfaatkan hari libur ini untuk membantu meringankan tugas istriku. Salah. Semua tugas rumah adalah tugasku, namun Embun memilih berbakti padaku dan mengurusnya sebagai sebuah ungkapan kasihnya."Sayang ..." Kupanggil wanita berambut hitam sepunggung itu, di balik dinding sekat ruang makan dan dapur."Eh, Yah. Sudah bangun?" tanyanya dengan lembut. Tentu saja wanitaku tak ingin suara kami mengganggu tidur yang lainnya."Udah, dong!" Kulingkarkan tangan di perutnya, menyandarkan dagu di bahunya yang sudah menguarkan wangi sabun dan shampo."Bunda sudah mandi?" selidikku
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen