BAB 2
"Sudah berangkat?" tanya seorang pria di ujung telepon.
Mendengarnya, entah mengapa aku merasa tak nyaman. Mengapa tiba-tiba ada seorang pria menelepon istriku dan menanyakan apakah ia sudah berangkat, atau belum.
"Kamu siapa?" tanyaku, tanpa menjawab pertanyaannya.
"Oh, maaf. Saya suaminya Evani. Vani sedang di kamar mandi, sudah kebelet. Dia minta aku teleponkan Yulia," jawab pria di ujung sana.
Nyes. Seketika hawa dingin kembali menyejukkan hatiku yang sempat memanas. Kukira laki-laki itu sedang janjian dengan istriku.
"Katakan pada istrimu, Yulia sudah berangkat. Handphone-nya tertinggal di rumah," jelasku dengan ramah.
Bukankah teman Yulia, temanku juga. Jadi aku harus bersikap ramah pada mereka.
"Oh, begitu, ya. Ya, sudah, nanti kusampaikan pada Vani," kata pria itu.
Aku pun mematikan sambungan telepon.
Oh, iya, semalam aku lupa mengecek ponsel Yulia. Sekarang saja, lah.
Kembali ke teras, menikmati angin menjelang siang yang berembus bersamaan dengan hangatnya mentari.
Kulihat chat di aplikasi Whatsappnya, semua normal-normal saja. Ada beberapa grup yang isinya hanya ibu-ibu sebayanya saja. Ada pula beberapa chat dari teman-temannya. Bahkan ada chat dari ibuku. Aku penasaran dan membukanya.
Ibu : [Yul, sudah Ibu terima uangnya. Terima kasih banyak, ya, Nduk. Semoga rezeqi kalian selalu diberi kelancaran dan keberkahan.]
Yulia : [Sama-sama, Bu. Do'akan juga, agar Yulia segera hamil.]
Ibu : [Tentu saja, Nduk. Ibu dan Bapak selalu mendo'akanmu. Semoga tahun ini, Allah titipkan ruh di dalam rahimmu.]
Yulia : [Aamiin. Terima kasih, ya, Bu.]
Ibu : [Kembali kasih, Nduk.]
Mataku memanas. Ada embun yang mengahalangi pandanganku. Aku terharu, membaca setiap kalimat yang Yulia ketik dalam pesan ini. Ia tak pernah sekali pun berbuat curang. Jatah bulanan Ibu, selalu dikirimnya sesuai yang kuberikan.
Ibu pun sudah tak segan lagi menyayanginya, mendo'akan untuk kebaikan kami.
Di jaman sekarang ini, sudah sangat jarang ditemukan menantu dan mertua yang akur seperti anak dan ibu kandung.
Selesai membaca chat dari ibu, aku lantas membuka pesan chat dari Evani. Entahlah, pesan terakhir yang muncul sebelum ku-klik, sedikit menggangguku.
Yulia : [Kurang berapa?]
Evani : [Sudah cukup. Sisanya sudah kutambahi dengan uangku.]
Yulia : [So sweet, deh, kamu. Makasih, ya, Ayank!]
Evani : [Siap, Ayank Cantik!]
Sepertinya ada yang janggal pada chat dengan nama Evani tadi. Mengapa bisa semanis itu? Atau, mereka sudah terbiasa becanda seperti itu.
Ah, sudahlah. Aku pun sering mengejek Arman dengan panggilan sayang dirinya kepada istrinya. Seru saja, saling mengejek, saling menertawakan, tetapi selalu saling mensupport.
Sepertinya itu juga yang Yulia dan Evani lakukan. Bisa dibilang, mereka ini bestie.
Merasa sudah cukup membaca chat di aplikasi hijau itu, aku beralih pada sosial media milik istriku. Tak perlu lagi log in, atau semacamnya, karena sudah otomatis masuk ke akunnya.
Dua sosial media berwarna biru dan pink miliknya, tak ada yang aneh. Hanya ada postingan-postingan foto dan video saat mereka tengah aerobik.
"Sepertinya seru juga senam macam ini. Minggu depan, aku akan meminta Yulia mengantarku ke studio senam aerobik khusus pria. Semoga saja ia mau." Aku bergumam, menyaksikan video yang dipostingnya di sosial media.
Di menit ke tiga, aku sedikit terperangah. Tunggu! Mengapa ada laki-laki dalam video tersebut? Dan laki-laki itu sangat tampan, bertubuh atletis dan berkulit putih.
Dia siapa? batinku bertanya.
Di detik terakhir video itu, sekilas terlihat spanduk yang terbentang di atas ruangan khusus itu.
"Evano aerobik studio's"
Mengapa nama studio aerobik itu sangat mirip dengan nama teman Yulia. Hanya berbeda satu huruf belakangnya saja. Atau jangan-jangan, teman Yulia itu kembaran pemilik studio aerobik itu.
Ya, mungkin saja, bukan. Biar kutanyakan nanti, ketika ia pulang.
Tak terasa, hari sudah siang. Perutku terasa lapar karena sejak pagi tak makan apa-apa. Aku dan Yulia sudah terbiasa tidak sarapan nasi, sejak Yulia memutuskan untuk ikut senam aerobik. Katanya, ia tidak mau gendut.
Karena tak selera melihatnya sarapan buah-buahan, salad, atau oatmeal, telur rebus dan menu diet lainnya, aku pun enggan sarapan. Makan siang pun di kantor. Entah apa yang Yulia makan ketika jam makan siang.
Gegas kutekan tombol pesan pada layar ponsel, setelah memilih makanan yang kumau pada aplikasi pesan antar.
Tak sampai satu jam, makanan datang. Kuberikan ongkos lebih pada pemuda yang mengantar makananku.
Aku lantas menikmati makanan itu sendirian. Terbayang di kepalaku ingin mengajak Yulia makan di luar, nanti malam. Sudah lama juga kami tidak makan malam di luar. Selama hampir satu tahun ini ia memutuskan ikut senam, aku selalu memesan makanan lewat aplikasi. Dan itu hanya untukku saja. Yulia bilang, ia sudah kenyang makan buah-buahan.
Aku sempat khawatir dengan kesehatannya. Namun aku pun takjub melihat perubahan fisiknya yang semakin menggemaskan. Kulitnya kencang, mulus dan ramping, tetapi tidak kurus juga.
**
Sudah jam empat sore Yulia tak juga tiba. Padahal aku sudah berpesan, agar ia tidak pulang terlalu sore.
"Mungkin sebentar lagi," gumamku.
Duduk menunggu di kursi teras, sesekali menoleh ke arah jalanan di depan halaman rumah yang tertutup pagar.
Aku kembali ingat, ada satu aplikasi yang belum kubuka di ponsel Yulia.
Istriku memang jujur. Ia tak pernah mengunci layar ponselnya dengan sesuatu yang aku tidak ketahui. Kunci layar ponselnya selalu tanggal pernikahan kami, sejak dulu.
Kubuka aplikasi tak tok yang sekarang ini tengah digandrungi oleh hampir semua orang. Aku penasaran, apa saja isi akun istriku. Apakah ia mengikuti tren yang ada, berjoget-joget tidak jelas seperti cacing kepanasan. Jika benar, maka aku harus menegurnya.
Dalam profil Yulia, hanya ada sekitar sepuluh video. Dan itu masih di batas wajar, menurutku. Ia memang berjoget, namun gerakannya sangat wajar dan dia tidak sendirian. Dan pastinya, dengan pakaian tertutup seperti yang kuminta.
"Kamu boleh keluar, asalkan menggunakan hijab. Dan posting foto atau video pun tidak sembarang. Harus tetap memakai hijab, agar tidak ada mata keranjang yang mengincar," pesanku kala itu.
Aku tersenyum kagum menatap foto cantik istriku. Beruntungnya aku mendapat wanita pintar sepertinya. Yulia adalah anak sulung dari dua orang adik-adiknya. Ia seorang perawat, namun aku memintanya berhenti setelah menikah.
Tentu saja sudah kujamin biaya pendidikan kedua adik laki-lakinya, juga memenuhi kebutuhan orang tuanya.
Gajiku sebegai Direktur Personalia di kantor, tentu selalu cukup untuk kebutuhan kami semua. Malahan, aku masih bisa menyisihkan sedikitnya dua puluh persen gajiku untuk ditabung. Ya, bagaimana lagi, banyak yang harus kubiayai.
Tengah asik menatap wajah cantik istriku, ponsel yang kupegang bergetar. Ya, aku mematikan nadanya, sebelum tidur siang tadi. Tak suka saja suara berisik, jika hendak tidur.
Notifkasi chat masuk dan terbaca di atas foto yang tengah kupandangi.
Kontak bernama Siska mengirim sebuah foto tangan seorang laki-laki yang melingkar di pinggang seorang wanita. Dari sana terlihat bahwa, foto diambil dari belakang.
Caption yang tertera di sana cukup membuatku kebingungan.
[Cie ... mesranya calon ortu]
"Foto siapa, ini? Mengapa wanita itu mengirimnya pada Yulia dan captionnya seperti itu?" tanyaku, bergumam.
Mungkin saja itu adalah foto salah satu teman Yulia. Dan sepertinya teman bernama Siska itu ingin memberitahu foto hasil tangkapannya kepada Yulia. Sudahlah, nanti akan kutanyakan pada Yulia.
Kembali sebuah chat masuk dengan pengirim yang sama.
[Cie, cuma dibaca. Mentang-mentang sedang berduaan. Ngomong-omong, kamu mau berapa lama bolos aerobik?]
Apa? Bolos aerobik? Lalu, ke mana istriku pergi sejak pagi hingga sesore ini?
BAB 3Tubuhku bergetar, napasku memburu dan seketika alunan detak jantungku berpacu kuat. Pesan chat dari seseorang bernama Siska itu mampu memudarkan kepercayaanku terhadap istriku.[Maksudmu, apa?] Dengan tangan gemetaran, kubalas pesan itu. Biarlah, tak perlu kukatakan bahwa ponsel ini tertinggal oleh pemiliknya.Tak berapa lama, Siska pun membalas lagi pesanku. [Kumat, deh, pura-pura beg*! Kamu ditanyain, tuh, sama Mbak Tania. Dua bulan lebih gak pernah hadir aerobik. Rugi, lho, kalau ada lomba gak diikut sertakan.]Dadaku kian bergemuruh. Kubanting dengan kasar gelas kopi bekas tadi pagi yang masih teronggok di meja teras."Kurang aj*r! Beraninya Yulia membohongiku." Geligiku gemeretak menahan amarah, namun aku hanya sendirian. Percuma. Yulia tidak akan tahu kemarahanku.[Tadi foto siapa?] Kukirim pesan pertanyaan pada kontak bernama Siska. Penasaran, apa motifnya mengirim foto itu pada Yulia.[Dih, pura-pura gak tau. Hari ini jadwal praktek suamiku. Kebetulan dia melihatmu ke Ob
BAB 4"Apa maksudnya, sih?" tanyaku.Wajah cantik istriku seketika menegang, terlihat lebih pucat dari sebelumnya. Mengapa ia sekaget itu, pikirku."Kenapa, Sayang?" ulangku, merangkul bahunya, hingga menempel ke dadaku."Eu ... itu, Mas. Ini, tuh ... sebentar," jawabnya terputus-putus. Kulihat ibu jari dan telunjuknya mencubit layar ponsel, hingga foto yang sore tadi kulihat membesar."Apa, Mas curiga padaku?" tanyanya dengan tatapan mengiba."Emm ... sedikit." Aku sengaja bercanda, ingin tahu saja reaksinya."Ya ampun, Mas. Lihat! Aku gak mungkin pergi pakai baju seksi begini," cebiknya, menunjukkan kaki mulus dari foto itu."Iya juga, sih. Tapi lihat, Sayang. Dresnya mirip punyamu," ujarku, menunjuk dres yang dikenakan wanita dalam foto itu.Puk! Ia menjauh dan menepuk lenganku, hingga aku mengaduh dan mengusapnya."Baju kayak gini, tuh, banyak di mal. Mas kira aku ini istri presiden, yang bajunya dipesan dan dijahit khusus."Seketika aku tergelak. Melihat matanya melotot seperti i
BAB 5[Tidak mungkin. Aku melihat sendiri kau lari. Lain kali hati-hati. Jaga kandunganmu,] balas Evani, sontak membuat mataku membulat sempurna.Sebuah teka-teki memenuhi isi kepalaku. Kutautkan alis, berpikir sejenak untuk mencerna kalimat yang baru saja kubaca. Sekilas melirik ke arah Yulia yang tengah terlelap. Tubuhnya terlentang, menonjolkan sebongkah bulat di perutnya."Kandungan?" gumamku. Kulihat kembali perutnya tidak terlalu tampak saat tengah terlentang. Namun tetap berbeda dari biasanya. Jika kuperhatikan, tidak seperti lemak yang biasanya akan menggelambir ke samping, jika posisinya seperti itu.Apa maksud Evani? tanyaku di dalam hati.Jangan-jangan, Yulia hamil?Ah, tidak mungkin. Jika benar, sudah pasti aku adalah orang pertama yang mengetahuinya.Yulia bergerak miring ke arahku. Gegas kuhapus jejak percakapan dengan temannya yang belum kukenal itu."Mas, ngapain?" tanyanya, mengerjapkan mata yang belum terbuka sepenuhnya."Bersih-bersih dulu, sana. Ganti baju, habis i
Mengapa Yulia terlihat ketakutan setelah aku menerima kunci mobilnya. Jelas ada yang ia sembunyikan. Kuamati terus gerak-geriknya, sambil menghampiri mobil di sebelahnya."Mas. Maksud aku ... itu, di dalam ada barang-barang punya Evani, Siska dan Audy. Ya, rencananya siang ini mau aku antar ke mereka." Tanpa kuminta, Yulia menjelaskannya."Oh. Barang apa?" tanyaku, menatapnya serius."Biasalah. Barang-barang wanita. Kamu inget, 'kan kemarin kita habis belanja-belanja," ucapnya seraya tersenyum kaku.Kali ini jelas terlihat raut wajahnya yang berbeda. Ada ketakutan mendalam dari sorot mata indahnya. Sepertinya benar dugaanku."Barang apa, Yulia? Jangan muter-muter!" tukasku sinis. Aku sangat jarang memanggil namanya. Hanya saat emosi saja."Dal*man, Mas. Lingerie, yang suka aku pakai kalo malam," jawabnya sedikit berbisik."Oh. Kirain barang apaan. Mas udah ngira ke obat-obatan terlarang," ungkapku sedikit terkekeh. Kulihat dari ekor mataku, Yulia tersenyum tenang. Tapi aku tidak perca
Sebuah benda kecil memanjang, bertuliskan nama merek di atasnya, lantas terdapat pula dua buah garis berwarna merah di bawahnya.Aku ingat. Ini test pack yang pernah Yulia gunakan beberapa tahun lalu, saat kami mengira dirinya hamil karena terlambat datang bulan. Hanya saja, test pack yang ia gunakan saat itu hanya muncul satu garis merah. Itu artinya, test pack yang saat ini kupegang menunjukkan penggunanya positif hamil."Kamu hamil?" tanyaku lirih, menatapnya penuh haru."Bukan milikku, Mas," jawab Yulia, tertunduk lesu."Oh, ya? Tapi Mas merasa, kamu memang hamil." Tetesan embun sedikit membasahi wajahku, namun aku terus tersenyum ke arahnya."Enggak, Mas." Yulia menggeleng pasti "Kita periksa sekarang, untuk membuktikanya. Ya?" ajakku, sangat penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi."Enggak. Aku memang gak hamil," tukasnya sambil memegangi perutnya yang terbungkus sebuah midi dres yang panjangnya hanya sampai betis."Tapi Mas yakin, di dalam sini ada malaikat kecil." Aku be
PoV Author"Mengapa Ibu tidak periksa, sejak awal ketahuan hamil?" tegur dokter pada Yulia."Saya masih ragu, Dok. Kebetulan, sudah beberapa kali kecewa oleh alat tes kehamilan sebelum-sebelumnya. Jadi, ketika mendapat garis dua, saya memilih untuk tidak terlalu peduli." Yulia menjawab bohong. Ia sengaja memilih rumah sakit yang belum pernah didatanginya.Sejak dua bulan lebih yang lalu, dirinya melakukan tes kehamilan. Dan seketika itu pula, ia memberitahukan pada kekasih gelapnya dan rutin memeriksakan kandungannya setiap bulan. Terhitung sudah tiga kali dirinya periksa bersama pria itu. Dan yang terakhir adalah ketika suami Siska menangkap gambarnya dari belakang."Setidaknya, beritahu aku, suamimu." Wajah Raffa tampak tak baik-baik saja. Bukannya bahagia, ia malah berpikir ke segala arah tentang kehamilan istrinya yang ia anggap janggal."Mas, kamu marah padaku?" tanya Yulia dengan wajah sendu."Apa bayinya sehat, Dok?" tanya Raffa, tak mempedulikan rengekan istrinya."Alhamdulill
PoV Author"Apa, suamimu yang balas chatku?" tebak Evano."Ya Allah. Bagaimana ini?" Wajah cantik Yulia berbias ketakutan. Ia telihat sangat panik, takut suaminya sudah mengetahui semuanya.Wanita itu lantas mengatakan pada Evano, tentang chat dari Siska yang mengirim foto mereka saat di rumah sakit pagi itu."Ceroboh! Aku sudah bilang, bercerai dengan cara yang anggun, agar kamu mendapat banyak bagian dari suamimu!" omel Evano.~~Sementara di tempat lain, Raffa tengah memantau incarannya. Ia sudah menyuruh orang untuk memata-matai istrinya, serta mencari info tentang alamat studio aerobik yang biasa Yulia datangi.Tak hanya itu, Raffa juga telah melacak nomor telepon dua kontak yang ia dapat dari ponsel Yulia. Siska dan Evani.Meski terus berpikir positif, bayangan hal buruk yang diperbuat istrinya tetap saja menghantui pikirannya. Ia tak akan tenang, sebelum membuktikan semua yang pernah diucapkan istrinya.Sebuah pesan masuk ke ponselnya.[Target berada tak jauh dari rumah sakit B
Terik matahari terasa membakar kulit. Aku harus menyusuri jalanan untuk sampai di kafe terdekat, hendak bertemu dengan klien. Mobilku sudah dijemput oleh pihak bengkel langganan, untuk diperbaiki.Karena jarak kantor dengan kafe tersebut tidak begitu jauh, aku pun cukup berjalan kaki saja. Kulirik jam di pergelangan tangan, khawatir klien sudah menunggu di sana. Kebetulan aku sendiri, karena sekertarisku sedang cuti.Di depan kafe, aku tak sengaja menabrak seorang pramusaji. Minumam berwarna orange yang dibawanya tumpah mengenai kemejaku."Maaf, Pak, saya gak sengaja." Pramusaji itu meminta maaf, mengelap kemejaku dengan celemeknya."Gak pa-pa. Sudah, biarkan saja. Lagipula, ini salah saya juga terlalu buru-buru."Ah, si*l. Bagaimana aku bisa bertemu klien jika pakaianku basah seperti ini. Aku menggerutu di dalam hati. Tiba-tiba seorang wanita mendekat ke arahku."Mas Raffa?" tegurnya.Aku mendongak, meliriknya sekilas dan kembali fokus pada kemejaku. Tapi saat melihatnya sekilas tadi