"Pinter ya Kamu sekarang, Felix, udah jarang pulang, sekalinya pulang bikin Papa darah tinggi lagi." Kalimat itulah yang menjadi sambutan ketika Ara dan Felix baru tiba di rumah pria itu. "Papa enggak asyik, baru juga nyampe udah diomelin," kata Felix dengan ekspresi kesal.Awalnya tadi, Felix ingin menunjukkan kedekatannya dengan sang Papa pada Ara, tetapi hal tersebut langsung sirna saat serangkaian omelan menyambutnya di depan pintu. "Ck! Kamu ini--." Kalimat Ferdinand terpotong oleh seruan Felix. "Eiitss, ceramahnya nanti aja, lihat nih, Felix bawa siapa?" Ara yang sedari tadi diam itu akhirnya tersenyum canggung ketika Ferdinand menatapnya dengan penasaran. "Pagi, Om, saya Ara," sapa Ara dengan ragu-ragu. Ia sedikit takut, kesan pertama yang Ara tangkap dari Papa Felix adalah galak. "Anak siapa yang Kamu bawa ini, Felix? Awas aja kalau Kamu buat masalah lagi, Papa kirim beneran kamu ke pondok pesantren." Ferdinand berucap sambil menatap tajam pada putranya, ia bahkan tak m
"Jauhi gadis itu dan mulai pendekatan dengan salah satu anak dari teman Papa." Kata-kata tersebut langsung menyambut Felix ketika ia baru saja duduk di depan Papanya. Sesuai keinginan pria paruh baya itu, mereka memang perlu berbicara, akan tetapi, Felix sedikit tak menyangka kalau Ferdinand akan membicarakan hal itu dan mulai ikut campur urusan percintaannya, biasanya sang Papa tak begini. "Papa sehat?” Alih-alih menanggapi dengan serius perkataan Ferdinand, ia malah mengajukan pertanyaan seperti itu. " Sehat, kenapa?" tanya Ferdinand balik. "Kirain Papa lagi demam, omongan Papa ngelantur," jawab Felix santai. Mendengar jawaban Felix membuat Ferdinand menghela napas keras. "Papa serius, Felix!" "Tapi kenapa? Biasanya Papa enggak pernah ikut campur urusan kayak gini. Toh, Felix juga enggak bikin masalah, kan!" Akhirnya Felix mengutarakan rasa penasarannya. "Enggak bikin masalah dari mana? Ini apa?" tanya Ferdinand jengkel mengeluarkan kertas berisi catatan pengeluaran Felix sel
Ara sedang dilanda kebingungan saat ini, pasalnya ia sangat butuh uang lagi, tetapi setelah mendengar kalau Felix kemarin dimarahi oleh Papanya karena terlalu boros, Ara jadi sungkan untuk meminta pada pria itu. Ia juga malu kalau terlalu sering meminta uang, apalagi nominal yang dimintanya jelas tak sedikit. "Gimana, ya?" Ara bergumam pada dirinya sendiri. Saat ini, Ara tengah sendiri di apartemen karena Felix belum mengunjunginya sama sekali. Pria itu hanya memberinya kabar lewat pesan saja tadi pagi, selepasnya tak ada apa-apa lagi, biasanya Felix akan mengacau di pagi buta, bahkan sebelum Ara benar-benar bangun dari tidurnya. Setelah lama bergulat dengan pikirannya, akhirnya Ara mendapatkan satu ide yang menurutnya bisa menyelamatkannya dari kondisi terdesak saat ini, walaupun ide tersebut sedikit berisiko pada kelangsungan hubungan kontraknya dengan Felix. "Bodo amatlah, asal jangan sampai ketahuan aja," gumam Ara sambil berjalan ke arah meja di mana ponselnya terletak. Ara m
Sekitar jam sepuluh pagi, Felix sudah berada di apartemen Ara guna mengunjungi gadis itu. Setelah mereka terikat kontrak, hidup Felix memang tak pernah jauh-jauh dari Ara, seolah-olah gadis itulah pusat hidupnya. Akan tetapi, alih-alih menemukan Ara yang sedang beraktivitas seperti biasanya, Felix malah menemukan apartemen dalam keadaan kosong, ketika masuk tadi, hanya kesunyian saja yang menyambutnya. Setelah yakin kalau Ara memang tak ada di apartemen, Felix akhirnya memutuskan untuk menelepon gadis itu. Satu panggilan nyambung, tetapi ak dijawab. Felix masih bisa sabar, ia mencoba sekali lagi dan masih tak dijawab juga oleh gadis itu. [Kamu di mana?] Satu pesan terkirim pada Ara, jangankan pesan, sudah jelas-jelas kalau tadi teleponnya saja tak diangkat. "Ke mana, sih?" tanya Felix pada dirinya sendiri, ia kesal ketika Ara menghilang begitu saja tanpa memberinya kabar terlebih dahulu, padahal Felix sendiri selalu menyempatkan dirinya untuk mengabari gadis itu ketika tak sempat
"SIALAN!" Satu bentakan keluar dari bibir Felix untuk Ara. Bukan karena Felix marah pada gadis itu, bukan itu. Hanya saja, Felix dilanda rasa cemas dan takut. Seharian, Felix menunggu Ara pulang dan seharian juga ia diliputi perasaan takut kehilangan yang sangat besar. Felix kalut, ia takut sekali. Takut kalau Ara pergi meninggalkannya, takut kalau Ara kabur dan memutus kontrak mereka. Kemudian tadi, ketika melihat Ara pulang dan berdiri di depannya, berada dalam jangkauannya dan dalam keadaan baik-baik saja membuat Felix dihantam rasa lega yang luar biasa. Tetapi sayang, rasa lega itu tak bisa ia ekspresikan dengan baik, justru raut kesal dan marah yang ia tunjukkan. "Masuk kamar sana!" perintah Felix.Untuk saat ini, sepertinya mereka memang tak perlu bicara, lebih baik menunggu besok ketika mereka berdua sudah bisa berpikir lebih jernih. Setelah mendengar perintah itu, Ara menurut dengan segera. "Good night, Felix.." Sebelum pergi, Ara berkata sesuatu yang membuat Felix sedi
Bukankah keadaan sekarang terlalu berlebihan, sudah seminggu sejak kejadian Ara mengabaikan telepon Felix dan pria itu masih marah sampai sekarang. Ara bahkan tak habis pikir, Felix yang biasanya selalu menempelinya kini berubah cuek, yang lebih parah lagi, pria itu lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Angel. Angel, nama itu membuat Ara muak akhir-akhir ini. Alasannya karena wanita itu selalu saja mengikuti Felix, bahkan Angel sudah berani berkunjung ke apartemen mereka, tentu saja Ara kesal dengan hal itu. Sebelumnya ia tak pernah seperti ini, biasanya ia selalu acuh tak acuh dengan pacar kontraknya yang lain, ia tak terlalu peduli kalau partner-nya membawa wanita lain, asalkan bayarannya tetap lancar dan tak melanggar kontrak, itu sudah cukup baginya. Akan tetapi, sekarang berbeda dan Ara mulai menyadari satu hal, ia mulai terlihat seperti gadis cemburuan yang tak suka kekasihnya bersama wanita lain. Ara tertegun sejenak dengan pemikirannya barusan. Ini tak bisa terus dibiar
Malam ini, entah bisa disebut sebuah keberuntungan atau kesialan bagi Ara, pasalnya tumben sekali ia bisa seruangan dengan Felix setelah kejadian pria itu yang marah. Walaupun bisa seruangan dan berduaan, namun rupanya tak terjadi percakapan di antara mereka selama puluhan menit. Ara yang tak tahu harus berbicara apa dan Felix yang masih mementingkan egonya, sungguh dua perpaduan yang sempurna. Bosan dengan keheningan di antara mereka, Ara meraih remot dan mulai menyalakan televisi, akhirnya beberapa jam ke depan hanya di isi dengan suara-suara dari sinetron yang tayang di televisii saja. Karena tak ada pilihan lain, Ara memilih fokus saja, tetapi beberapa menit kemudian, ia merasakan beban berat di pangkuannya, ternyata beban itu adalah kepala Felix. Ara terkejut sekaligus senang, bukankah ini tandanya Felix sudah sedikit lebih melunak padanya? Kalau iya berarti ia harus menggunakan kesempatan berharga ini. "Ngantuk, ya? Pindah ke kamar, gih, nanti badannya sakit," ucap Ara lembut
"Ara," panggil Felix. Saat ini, Felix tengah berusaha menepati janjinya untuk melukis Ara. "Apa? btw, diem gini ternyata capek juga ya," sahut Ara. Posisinya saat ini adalah duduk menyamping, ia sendiri yang ingin dilukis dengan posisi tersebut. "Bentar lagi selesai, tahan sebentar," kata Felix. "Kamu udah bilang gitu lima kali," kata Ara cemberut. Kalau tahu dilukis bisa selama dan selelah ini, Ara lebih baik memilih posisi tiduran saja tadi. "Ara," panggil Felix lagi. Sepertinya ada yang ingin pria itu katakan sedari tadi, tetapi ia masih menimbang-nimbang. "Apa?" "Aku mau bicara serius," ucap Felix. Walaupun bibirnya tetap berbicara, tetapi tangan pria itu tetap cekatan menyapu kuas sesuai dengan pose Ara saat ini. "Bicara aja, lumayan biar aku enggak bosan juga," sahut Ara yang masih tetap mempertahankan posisinya. "Ini tentang kontrak kita," kata Felix setelah beberapa lama terdiam. Mendengar hal tersebut, Ara sebenarnya ingin menoleh tetapi masih bisa ia tahan. "Kenapa