"Kamu mau ketemu sama Etthan?" tanya Felix, ia sangat penasaran, tadi ia sempat menanyakan hal serupa pada Etthan tetapi tak dijawab.
'Sungguh sialan!' Felix diam-diam mengumpat sahabatnya yang dengan tega membuatnya merasa penasaran, awas saja nanti."Enggak tahu!" jawab Ara, gadis itu masih sedikit ketus saat menjawab, rupanya acara marah-marah hari ini belum berakhir."Kok gitu, sih?" tanya Felix lagi, sungguh ia mulai kesal sekarang, ia hanya ingin tahu saja, kenapa Ara membuatnya sangat sulit.Hening, Ara kembali bungkam dan mengabaikan Felix."Pokoknya Kamu enggak boleh ketemu Etthan!" kata Felix tegas.Mendengar kalau Ara akan menemui sahabat karibnya itu membuat Felix sedikit khawatir, alasan kekhawatirannya juga tak jelas, intinya Felix tak ingin mereka bertemu, itu saja."Kamu sebenarnya ada masalah apa, sih?" tanya Ara ikutan kesal.Siapa yang tak kesal kalau hidupnya diatur-atur seperti itu. Ini pertama kalinya ia merasa kewalahan menghadapi partner-nya sejak terjun ke dunia pacaran kontrak. Ara merasa, bertemu dengan Etthan tak melanggar salah satu dari poin yang ada dalam kontrak mereka. Lagi pula, ia ingin bertemu pria itu untuk mengucapkan terima kasih sekaligus meminta maaf karena kemarin Etthan lah yang menjadi sasaran kekesalannya."Pokoknya enggak boleh!" tegas Felix, ia masih tetap pada pendiriannya. Entahlah, instingnya mengatakan kalau ia tak boleh membiarkan mereka berdua bertemu.Oke, Ara dan Etthan memang sempat bertemu saat Felix mengenalkan Ara sebagai pacar barunya di markas, yang dimaksud Felix tak boleh adalah bertemu berdua, tanpa perantara dirinya."Terserah, aku bakalan tetap pergi," putus Ara.Mendengar hal tersebut, Felix marah tentu saja, ia memang menyukai ketika Ara berani mengajaknya berdebat, tetapi sekarang hal itu justru sedikit merepotkan untuknya, menghadapi seseorang yang tak patuh padanya membuat harga diri Felix sedikit terluka. Selama ini ia selalu berhasil membuat orang-orang di sekitarnya menuruti apa pun keinginannya, tetapi sekarang hal tersebut sedikit sulit di hadapan seorang gadis yang baru beberapa hari hadir dalam hidupnya."Kalau gitu aku ikut," putus Felix saat menyadari kalau Ara akan tetap pada keputusannya."Terserah," jawab Ara malas, sepertinya ia sudah tak ingin berdebat.***Di sinilah Felix sekarang, tengah duduk menyaksikan dua orang yang sedang asyik mengobrol dan mengabaikan keberadaannya.Tak seperti rencana awal ketika Ara dan Etthan memutuskan bertemu di halte, mereka malah bertemu di markas, tentu saja hal tersebut Felix yang memutuskan."Ekhem!" Felix berdeham agak keras untuk menarik simpati dua orang itu. Melihat mereka tertawa lepas sambil mengobrol membuatnya merasa panas, ada yang bergejolak di dadanya dan Felix sangat tahu perasaan macam apa itu: cemburu.Seolah angin lalu, baik Ara maupun Etthan tak ada yang menggubris gangguan kecil barusan, mereka masih asik membicarakan hal-hal random lainnya.Akhirnya karena sudah tak tahan lagi, Felix berdiri dan menggenggam tangan Ara, mengajak gadis itu ikut dengannya."Ayo pulang!" kata Felix."Apaan, sih?" tanya Ara bingung, ka merasa baru saja duduk, sekarang sudah diajak pulang."Kok cepet banget pulangnya?" tanya Etthan, pria itu juga bingung sekaligus tak rela kalau Ara akan dibawa pulang secepat itu. Jujur saja, ia merasa senang dengan kehadiran gadis itu, menurutnya Ara tidak seperti pacar-pacar Felix yang sebelumnya, gadis itu lebih easy going dan tak sombong."Lix?" tanya Etthan lagi, begitu melihat Felix sama sekali tak menjawab pertanyaannya."Harus banget gue jawab pertanyaan lo?" tanya Felix balik dengan nada ketus."Ck!" Ara berdecak sebal. "Kalau mau pulang, pulang aja sana sendiri," katanya saking kesal dengan Felix."Kamu juga ikut pulang!" tegas Felix."Enggak, aku masih pengen di sini." Ara menjawab tak kalah tegas.Mereka berdua sama-sama keras kepala. Anak-anak yang kebetulan ada di Markas menahan napas melihat perdebatan tersebut, pasalnya selama mereka jadi anak buah Felix, tak pernah ada satu pun yang berani melawan pria itu, pengecualian untuk Etthan karena pria itu sahabat baik Felix. Etthan pun hanya melawan dalam artian bercanda bukan yang serius seperti sekarang."Kalau gitu semuanya bubar!" kata Felix lantang.Semua yang mendengar hal tersebut langsung bergerak cepat, mereka memang lebih baik pergi daripada terjebak dalam ruangan dengan atmosfer menegangkan itu. Felix yang marah sangat dihindari semua orang yang ada di sana."Tanpa pengecualian!" tegas Felix sambil melihat Etthan yang masih diam di tempat duduknya.Etthan yang mengerti hal tersebut juga ikut bangkit dan melangkah pergi, ia tak ingin memperpanjang semuanya, tetapi sebelum itu ia sempat berkata, "gue enggak tahu lo kenapa, semoga cepet baik dah moodnya, Lo yang begini kayak singa lagi lahiran, senggol dikit bacok! Pamit dulu ya, Ara."Setelah itu Etthan pergi, meninggalkan Felix dan Ara berdua di sana."Sekarang apa lagi? Kamu ngusir mereka biar apa? Aku lagi ngobrol sama Etthan, loh, Kamu kenapa, sih?" tanya Ara marah. Ia merasa Felix sudah keterlaluan kali ini."Etthan aja terus!" kata Felix kesal, ia mulai menelungkupkan kepalanya ke atas meja di depannya. Sejujurnya, ia juga merasa kalau tindakannya tadi sangat kekanak-kanakan, tetapi itu semua ia lakukan karena merasa cemburu. Felix tidak menyangkal perasaannya sama sekali, ia tahu betul apa yang diinginkan oleh hatinya.Ara menghela napas perlahan. "Kamu kenapa, ada yang salah sama Etthan?" tanya Ara lembut. Ia sadar, kalau terus seperti ini masalahnya akan semakin panjang kalau salah satu di antara mereka tak ada yang mau mengalah. Felix jelas bukan orang yang mau menyampingkan egonya."Enggak tahu!" jawab Felix masih dengan posisi menelungkupkan kepalanya, kini gantian ia yang menjawab Ara dengan ketus.Tangan Ara terulur mengusap kepala Felix lembut. "Kamu kenapa, hm?"Menghadapi mood Felix yang berubah-ubah seperti ini perlu kesabaran ekstra. Ara sudah berhadapan dengan banyak pria di luar sana dan hal seperti perubahan mood bukanlah sesuatu yang baru baginya, hanya perlu sedikit kesabaran dan semuanya selesai."Felix," kata Ara lagi dengan suara lebih lembut."Aku ngantuk," jawab Felix sambil mendongak."Ayo pulang," ajak Ara dan menghentikan usapannya.Felix terlihat kecewa saat Ara menarik tangan dari kepalanya."Tidurnya nanti di Apartemen," kata Ara lagi saat tak mendapat jawaban apa pun."Lagi!" kata Felix, bukannya bangkit pria itu malah mengambil tangan Ara dan menaruhnya di kepala."Nanti!" kata Ara. " Sekarang pulang.""Janji?" tanya Felix, karena jujur ia merasa nyaman dengan perlakuan Ara barusan."Hm.""Oke, ayo pulang," kata Felix sambil tersenyum cerah.Lihat, kan, pria itu sudah tak marah-marah lagi."Mood-nya udah balik, nih? Udah enggak jadi singa lagi?" goda Ara."Ck!" Felix memalingkan wajahnya saat tahu Ara mulai menggodanya."Duh, lucu banget, sih."Perkataan yang berhasil membuat Felix salah tingkah dan tak sanggup menatap Ara sepanjang perjalanan pulang."Felix, udah dong tidurnya." Ara mulai mengeluh, pasalnya sejak kepulangan mereka dari markas, pria itu langsung menagih janjinya. Sudah satu jam lebih Ara mengusap kepala yang ada di pahanya dan sekarang ia merasa kram, kepala Felix cukup berat ternyata. "Hmm, nanti dulu ini nyaman," jawab Felix masih memejamkan matanya, ia juga menahan pinggang Ara yang ingin bangkit dengan memeluknya erat sekali. "Manja banget, sih," gerutu Ara kesal. Felix ini menurut Ara hanya luarnya saja yang terlihat sangar, padahal dalamnya sangat manja. Siapa yang menduga kalau pria yang ditakuti dan dijadikan bos di gengnya adalah sosok yang manja dan moody-an seperti ini. "Ponsel Kamu dari tadi bunyi terus, tuh," kata Ara lagi. Memang benar, sejak Felix meletakkan ponsel itu di atas meja, benda tersebut terus berbunyi, ada saja notifikasi yang masuk, entah itu panggilan maupun SMS. Akan tetapi, alih-alih terganggu, Felix justru masih nyaman dengan tidurnya. "Angkat dulu sana, siapa tahu penting!" per
"Pinter ya Kamu sekarang, Felix, udah jarang pulang, sekalinya pulang bikin Papa darah tinggi lagi." Kalimat itulah yang menjadi sambutan ketika Ara dan Felix baru tiba di rumah pria itu. "Papa enggak asyik, baru juga nyampe udah diomelin," kata Felix dengan ekspresi kesal.Awalnya tadi, Felix ingin menunjukkan kedekatannya dengan sang Papa pada Ara, tetapi hal tersebut langsung sirna saat serangkaian omelan menyambutnya di depan pintu. "Ck! Kamu ini--." Kalimat Ferdinand terpotong oleh seruan Felix. "Eiitss, ceramahnya nanti aja, lihat nih, Felix bawa siapa?" Ara yang sedari tadi diam itu akhirnya tersenyum canggung ketika Ferdinand menatapnya dengan penasaran. "Pagi, Om, saya Ara," sapa Ara dengan ragu-ragu. Ia sedikit takut, kesan pertama yang Ara tangkap dari Papa Felix adalah galak. "Anak siapa yang Kamu bawa ini, Felix? Awas aja kalau Kamu buat masalah lagi, Papa kirim beneran kamu ke pondok pesantren." Ferdinand berucap sambil menatap tajam pada putranya, ia bahkan tak m
"Jauhi gadis itu dan mulai pendekatan dengan salah satu anak dari teman Papa." Kata-kata tersebut langsung menyambut Felix ketika ia baru saja duduk di depan Papanya. Sesuai keinginan pria paruh baya itu, mereka memang perlu berbicara, akan tetapi, Felix sedikit tak menyangka kalau Ferdinand akan membicarakan hal itu dan mulai ikut campur urusan percintaannya, biasanya sang Papa tak begini. "Papa sehat?” Alih-alih menanggapi dengan serius perkataan Ferdinand, ia malah mengajukan pertanyaan seperti itu. " Sehat, kenapa?" tanya Ferdinand balik. "Kirain Papa lagi demam, omongan Papa ngelantur," jawab Felix santai. Mendengar jawaban Felix membuat Ferdinand menghela napas keras. "Papa serius, Felix!" "Tapi kenapa? Biasanya Papa enggak pernah ikut campur urusan kayak gini. Toh, Felix juga enggak bikin masalah, kan!" Akhirnya Felix mengutarakan rasa penasarannya. "Enggak bikin masalah dari mana? Ini apa?" tanya Ferdinand jengkel mengeluarkan kertas berisi catatan pengeluaran Felix sel
Ara sedang dilanda kebingungan saat ini, pasalnya ia sangat butuh uang lagi, tetapi setelah mendengar kalau Felix kemarin dimarahi oleh Papanya karena terlalu boros, Ara jadi sungkan untuk meminta pada pria itu. Ia juga malu kalau terlalu sering meminta uang, apalagi nominal yang dimintanya jelas tak sedikit. "Gimana, ya?" Ara bergumam pada dirinya sendiri. Saat ini, Ara tengah sendiri di apartemen karena Felix belum mengunjunginya sama sekali. Pria itu hanya memberinya kabar lewat pesan saja tadi pagi, selepasnya tak ada apa-apa lagi, biasanya Felix akan mengacau di pagi buta, bahkan sebelum Ara benar-benar bangun dari tidurnya. Setelah lama bergulat dengan pikirannya, akhirnya Ara mendapatkan satu ide yang menurutnya bisa menyelamatkannya dari kondisi terdesak saat ini, walaupun ide tersebut sedikit berisiko pada kelangsungan hubungan kontraknya dengan Felix. "Bodo amatlah, asal jangan sampai ketahuan aja," gumam Ara sambil berjalan ke arah meja di mana ponselnya terletak. Ara m
Sekitar jam sepuluh pagi, Felix sudah berada di apartemen Ara guna mengunjungi gadis itu. Setelah mereka terikat kontrak, hidup Felix memang tak pernah jauh-jauh dari Ara, seolah-olah gadis itulah pusat hidupnya. Akan tetapi, alih-alih menemukan Ara yang sedang beraktivitas seperti biasanya, Felix malah menemukan apartemen dalam keadaan kosong, ketika masuk tadi, hanya kesunyian saja yang menyambutnya. Setelah yakin kalau Ara memang tak ada di apartemen, Felix akhirnya memutuskan untuk menelepon gadis itu. Satu panggilan nyambung, tetapi ak dijawab. Felix masih bisa sabar, ia mencoba sekali lagi dan masih tak dijawab juga oleh gadis itu. [Kamu di mana?] Satu pesan terkirim pada Ara, jangankan pesan, sudah jelas-jelas kalau tadi teleponnya saja tak diangkat. "Ke mana, sih?" tanya Felix pada dirinya sendiri, ia kesal ketika Ara menghilang begitu saja tanpa memberinya kabar terlebih dahulu, padahal Felix sendiri selalu menyempatkan dirinya untuk mengabari gadis itu ketika tak sempat
"SIALAN!" Satu bentakan keluar dari bibir Felix untuk Ara. Bukan karena Felix marah pada gadis itu, bukan itu. Hanya saja, Felix dilanda rasa cemas dan takut. Seharian, Felix menunggu Ara pulang dan seharian juga ia diliputi perasaan takut kehilangan yang sangat besar. Felix kalut, ia takut sekali. Takut kalau Ara pergi meninggalkannya, takut kalau Ara kabur dan memutus kontrak mereka. Kemudian tadi, ketika melihat Ara pulang dan berdiri di depannya, berada dalam jangkauannya dan dalam keadaan baik-baik saja membuat Felix dihantam rasa lega yang luar biasa. Tetapi sayang, rasa lega itu tak bisa ia ekspresikan dengan baik, justru raut kesal dan marah yang ia tunjukkan. "Masuk kamar sana!" perintah Felix.Untuk saat ini, sepertinya mereka memang tak perlu bicara, lebih baik menunggu besok ketika mereka berdua sudah bisa berpikir lebih jernih. Setelah mendengar perintah itu, Ara menurut dengan segera. "Good night, Felix.." Sebelum pergi, Ara berkata sesuatu yang membuat Felix sedi
Bukankah keadaan sekarang terlalu berlebihan, sudah seminggu sejak kejadian Ara mengabaikan telepon Felix dan pria itu masih marah sampai sekarang. Ara bahkan tak habis pikir, Felix yang biasanya selalu menempelinya kini berubah cuek, yang lebih parah lagi, pria itu lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Angel. Angel, nama itu membuat Ara muak akhir-akhir ini. Alasannya karena wanita itu selalu saja mengikuti Felix, bahkan Angel sudah berani berkunjung ke apartemen mereka, tentu saja Ara kesal dengan hal itu. Sebelumnya ia tak pernah seperti ini, biasanya ia selalu acuh tak acuh dengan pacar kontraknya yang lain, ia tak terlalu peduli kalau partner-nya membawa wanita lain, asalkan bayarannya tetap lancar dan tak melanggar kontrak, itu sudah cukup baginya. Akan tetapi, sekarang berbeda dan Ara mulai menyadari satu hal, ia mulai terlihat seperti gadis cemburuan yang tak suka kekasihnya bersama wanita lain. Ara tertegun sejenak dengan pemikirannya barusan. Ini tak bisa terus dibiar
Malam ini, entah bisa disebut sebuah keberuntungan atau kesialan bagi Ara, pasalnya tumben sekali ia bisa seruangan dengan Felix setelah kejadian pria itu yang marah. Walaupun bisa seruangan dan berduaan, namun rupanya tak terjadi percakapan di antara mereka selama puluhan menit. Ara yang tak tahu harus berbicara apa dan Felix yang masih mementingkan egonya, sungguh dua perpaduan yang sempurna. Bosan dengan keheningan di antara mereka, Ara meraih remot dan mulai menyalakan televisi, akhirnya beberapa jam ke depan hanya di isi dengan suara-suara dari sinetron yang tayang di televisii saja. Karena tak ada pilihan lain, Ara memilih fokus saja, tetapi beberapa menit kemudian, ia merasakan beban berat di pangkuannya, ternyata beban itu adalah kepala Felix. Ara terkejut sekaligus senang, bukankah ini tandanya Felix sudah sedikit lebih melunak padanya? Kalau iya berarti ia harus menggunakan kesempatan berharga ini. "Ngantuk, ya? Pindah ke kamar, gih, nanti badannya sakit," ucap Ara lembut