Bukankah keadaan sekarang terlalu berlebihan, sudah seminggu sejak kejadian Ara mengabaikan telepon Felix dan pria itu masih marah sampai sekarang. Ara bahkan tak habis pikir, Felix yang biasanya selalu menempelinya kini berubah cuek, yang lebih parah lagi, pria itu lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Angel. Angel, nama itu membuat Ara muak akhir-akhir ini. Alasannya karena wanita itu selalu saja mengikuti Felix, bahkan Angel sudah berani berkunjung ke apartemen mereka, tentu saja Ara kesal dengan hal itu. Sebelumnya ia tak pernah seperti ini, biasanya ia selalu acuh tak acuh dengan pacar kontraknya yang lain, ia tak terlalu peduli kalau partner-nya membawa wanita lain, asalkan bayarannya tetap lancar dan tak melanggar kontrak, itu sudah cukup baginya. Akan tetapi, sekarang berbeda dan Ara mulai menyadari satu hal, ia mulai terlihat seperti gadis cemburuan yang tak suka kekasihnya bersama wanita lain. Ara tertegun sejenak dengan pemikirannya barusan. Ini tak bisa terus dibiar
Malam ini, entah bisa disebut sebuah keberuntungan atau kesialan bagi Ara, pasalnya tumben sekali ia bisa seruangan dengan Felix setelah kejadian pria itu yang marah. Walaupun bisa seruangan dan berduaan, namun rupanya tak terjadi percakapan di antara mereka selama puluhan menit. Ara yang tak tahu harus berbicara apa dan Felix yang masih mementingkan egonya, sungguh dua perpaduan yang sempurna. Bosan dengan keheningan di antara mereka, Ara meraih remot dan mulai menyalakan televisi, akhirnya beberapa jam ke depan hanya di isi dengan suara-suara dari sinetron yang tayang di televisii saja. Karena tak ada pilihan lain, Ara memilih fokus saja, tetapi beberapa menit kemudian, ia merasakan beban berat di pangkuannya, ternyata beban itu adalah kepala Felix. Ara terkejut sekaligus senang, bukankah ini tandanya Felix sudah sedikit lebih melunak padanya? Kalau iya berarti ia harus menggunakan kesempatan berharga ini. "Ngantuk, ya? Pindah ke kamar, gih, nanti badannya sakit," ucap Ara lembut
"Ara," panggil Felix. Saat ini, Felix tengah berusaha menepati janjinya untuk melukis Ara. "Apa? btw, diem gini ternyata capek juga ya," sahut Ara. Posisinya saat ini adalah duduk menyamping, ia sendiri yang ingin dilukis dengan posisi tersebut. "Bentar lagi selesai, tahan sebentar," kata Felix. "Kamu udah bilang gitu lima kali," kata Ara cemberut. Kalau tahu dilukis bisa selama dan selelah ini, Ara lebih baik memilih posisi tiduran saja tadi. "Ara," panggil Felix lagi. Sepertinya ada yang ingin pria itu katakan sedari tadi, tetapi ia masih menimbang-nimbang. "Apa?" "Aku mau bicara serius," ucap Felix. Walaupun bibirnya tetap berbicara, tetapi tangan pria itu tetap cekatan menyapu kuas sesuai dengan pose Ara saat ini. "Bicara aja, lumayan biar aku enggak bosan juga," sahut Ara yang masih tetap mempertahankan posisinya. "Ini tentang kontrak kita," kata Felix setelah beberapa lama terdiam. Mendengar hal tersebut, Ara sebenarnya ingin menoleh tetapi masih bisa ia tahan. "Kenapa
Ferdinand termenung di kursi ruangan kerjanya. Barusan sekali, ia berhasil mendapatkan satu fakta mengejutkan tentang sosok Adara Lansonia. Setelah menghubungi Tania, salah satu teman semasa sekolahnya dulu yang saat ini bekerja di Rumah Sakit Cempaka, untuk menanyakan tentang seorang pasien yang sering dikunjungi Ara, Ferdinand akhirnya tahu kalau ternyata gadis itu memikul beban yang sangat berat. Ayah Ara, yang ternyata bernama Mahendra, kata Tania sudah lama dirawat di sana, bahkan sebelum ia mulai bekerja di tempat itu, merupakan pasien yang kisahnya lumayan terkenal di kalangan para dokter dan perawat di sana. Pasalnya, di saat semua orang sudah menyerah akan kondisi pria malang itu, Ara selaku sang anak tetap percaya dan mengusahakan yang terbaik, ia memaksa dokter supaya tak mencabut alat penunjang hidup untuk Ayahnya dan semua perjuangan itu terbukti. Sampai sekarang, Mahendra masih tetap bertahan. Ferdinand yang sempat memiliki pemikiran negatif pada Ara tentu saja langsun
"Makan malam orang kaya, mah, beda ya," celetuk Ara begitu ia melihat bagaimana mewahnya jamuan yang disediakan oleh Ferdinand. "Bedanya di mana?" tanya Felix penasaran, lagi pula menurutnya ini hanya makan malam sederhana saja. "Dulu, mah, kalau di kampung biasanya cuma liwetan," sahut Ara. Kalau dulu sewaktu ia masih tinggal di kampung bersama Ayahnya, kalau ada liwetan biasanya juga tak semewah ini, padahal itu sudah hajatan paling besar bagi mereka. "Kan sama aja, makan-makan namanya." "Iya, sih." "Kalian di sini?" tanya Ferdinand tiba-tiba muncul. "Enggak, di luar." Felix menjawab sebal, sudah jelas-jelas mereka berada di hadapannya, Ferdinand masih saja bertanya. "Basa-basi," bisik Ara kesal pada Felix dan membalas tersenyum ke arah Ferdinand. "Ara cantik, sini sayang," kata Ferdinand dan membawa Ara ke pelukan hangatnya. Ara yang merasa semua perlakuan Ferdinand begitu tiba-tiba hanya mampu terbengong saja dalam dekapan pria paruh baya itu. Sudah lama rasanya ia tak mer
"Jadi cowok, kok, kasar amat." Rendy langsung berbicara begitu melihat Felix keluar dari ruangan yang diyakini tempatnya bersama Ara sebelumnya. "Enggak usah ikut campur urusan orang Lo!" ketus Felix sambil memandang sekelilingnya, berusaha mencari keberadaan Ara. "Kalau lo lagi nyari cewek lo, kayaknya dia udah pulang. Kasihan banget, mana pulangnya sendiri, dalam keadaan nangis lagi, berengsek banget cowoknya," kata Rendy berusaha memanas-manasi Felix dan berharap supaya pria itu terpancing dengan ucapannya. "Makasih, ngomong-ngomong lo kalau sama gue bacotnya lancar banget," ketus Felix, tetapi ia tak melakukan apa-apa seperti yang diharapkan Rendy, "jaga noh image cuek lo, jangan cuma dijadiin gelar doang," lanjutnya kemudian pergi dari hadapan Rendy dan berusaha mengejar Ara. Rendy yang mendengar dan melihat hal itu mengumpat pelan dan tersenyum sinis, "rupanya lo banyak belajar dari pengalaman," gumamnya. *** "Huh! Gini toh rasanya pacaran beneran, dibentak dikit nangis, di
"Ara sayang, sini dong deketan, semalem 'kan Kamu pengin banget lihat abs aku, nih aku kasih lihat sekarang, sepuasnya malah." Felix sejak pagi memang sudah gencar menggoda Ara sejak kejadian semalam, dimana Ara tertangkap basah mengagumi bentuk tubuhnya. "Felix, Kamu kok lama-lama tambah ngeselin, yak!" sebal Ara, ia tentu saja malu dan sedikit gugup, bagaimanapun tubuh Felix memang proporsional dan sesuai dengan tipenya. Tetapi, kalau untuk mengakui secara terang-terangan, ia tentu saja tak mau, terlebih malu sebenarnya."Makanya sini, lihat nih, kapan lagi coba kamu bisa lihat yang beginian secara gratis," kata Felix sambil tangannya mengangkat singlet putih yang tengah ia kenakan dan memamerkan perut six pack-nya.Ara mulai sebal sekaligus sedikit senang dengan situasi ini. Ia sebal karena merasa kalau Felix berhasil menemukan celah untuk terus menggodanya, dan tentu saja ia senang karena seperti kata Felix tadi; kapan lagi ia bisa melihat perut lelaki idamannya kalau bukan sekar
Ketika Felix keluar dari kamar dan sudah selesai dengan ritual mandinya, ia mendapati Ara dan Talitha sedang saling memelototi. Tatapan kedua perempuan itu sangat menusuk seolah ingin menguliti satu sama lain. "Ekhem!" Felix berdehem pelan untuk mendapatkan atensi dua cewek tersebut. "Felix," ucap Talitha dengan nada manja dan terkesan dibuat-buat dan hal itu ditanggapi Ara dengan decihan kecil diiringi dengusan kasar dari Felix. Sepertinya tuan rumah sama-sama tak menyukai tamu yang datang hari ini. "Lo ngapain di sini?!" tanya Felix dengan intonasi yang tak santai pada Talitha. Ara yang mendengar nada bicara Felix yang ketus itu jadi tersenyum menang. Lihat saja, ia akan tunjukkan siapa pemenang sebenarnya di sini. "Sayang, wanita ini tadi masuk sendiri terus katanya dia nyari Kamu, makanya aku suruh cepetan tadi," adu Ara sedikit dilebay-lebaykan, padahal sebenarnya ia sedikit geli berbicara begitu dengan Felix, tetapi demi pencitraan di depan Talitha ia harus rela dan berakti