Bab 6
"Loh kamu di sini juga periksa kandungannya? Memang kamu sedang hamil juga?" sindir Karin membuatku tersenyum tipis.
"Nggak usah nyindir, aku heran ya sama kamu, Karin. Kerja sekretaris tapi seenaknya jalan-jalan ke rumah sakit. Aku aduin ke Papa mertuaku nanti supaya Mas Irfan ganti sekretaris saja. Punya sekretaris kok seenaknya keluar masuk kantor," cetusku benar-benar geram dengan kelakuan wanita yang berkulit eksotis itu. Modal seksi dan gaya mempesona saja sudah berani menggoda suami orang."Silakan saja ngadu, paling nanti kamu dicerai oleh Mas Irfan," sindir balik Karin dengan alis terangkat. Sifat sombongnya mulai ia tunjukkan."Oh jadi kamu nantang aku, ya? Wanita jal*ng," sindirku lagi."Jangan sembarangan bicara kamu, Nggi," balas Karin mulai emosi."Loh, kok marah, kenyataannya seperti itu, mana suamimu? Itu anak siapa yang ada di rahim kamu? Apa sudah ada ikatan pernikahan?" sindirku lagi membuat netra Karin membulat, matanya tampak memerah ketika aku meluapkan kekesalan padanya."Anak yang kukandung ada bapaknya, ya, jangan sampai aku hilang kesabaran di sini, wanita mandul," umpat Karin. Ia semakin meninggi ketika aku mulai memancing amarahnya.Aku memberikan tepuk tangan padanya, senyum ini pun aku kembangkan di hadapan wanita yang memang lebih tinggi lima centi meter dariku."Mandul kamu bilang? Jangan sok tahu, j*blay," umpatku gantian tapi sedikit menekan di telinganya.Napasnya terlihat naik turun, aku memperhatikannya, emosinya sudah mulai membara tak terkontrol."Kurang ajar kamu, ya, kalau berani kita ribut jangan di sini!" tantang Karin. Akhirnya ia menantangku untuk keluar dari rumah sakit."Siapa takut," celetukku dengan alis terangkat dan senyum sedikit mengembang.Aku tidak langsung jalan, karena ada pesan masuk dari Mas Irfan. Namun, belum sempat aku baca, Karin menarik pergelangan tanganku dengan paksa, aku pun menepisnya dengan keras."Ayo ikut aku!" Karin menantang sambil menarik pergelangan tangan ini dengan keras, padahal tanpa ia tarik pun aku akan jalan mengikuti langkahnya."Iya, aku pasti ikut kamu!" jawabku sambil menepis tangan Karin dengan amat keras, sebab aku tidak suka dipaksa seperti itu.Bruk!Karin jatuh ke lantai ketika aku berusaha melepaskan genggaman tangannya. Padahal aku hanya menepis ajakannya yang terlalu memaksa.
"Aw!" teriaknya ketika jatuh ke lantai.Aku pun segera menolongnya. Walau bagaimanapun, ia dalam keadaan hamil, tidak kuasa aku melihat wanita hamil jatuh.
"Kamu nggak apa-apa, kan?" tanyaku sambil menyodorkan tangan untuk membantunya bangkit."Kamu tuh sengaja, ya, sengaja ingin mencelakakan aku?" tukasnya ketika masih tersungkur di lantai. Wanita yang terlihat seperti meringis kesakitan bercampur kesal itu malah menyalahkan aku. Padahal jelas-jelas ia duluan yang memaksa untuk menyeretku keluar rumah sakit.Tidak lama kemudian, darah mulai keluar dari pahanya yang mulus. Ya, terlihat sekali, sebab Karin memakai baju hamil seukuran lutut dan lengan tertutup jas."Karin, itu ada darah keluar dari paha kamu," ucapku sambil berusaha menolongnya."Tuh kan, ini gara-gara kamu, Anggi. Tolong! Tolong saya!" Kemudian para suami yang menunggu antrian istrinya pun turut membantu Karin, suster yang sedang bertugas di dekat kami juga turut menghampiri. Tiba-tiba suasana menjadi ramai. Namun, batang hidung Mas Irfan belum terlihat juga."Bu, ini pendarahannya ngalir terus, sebaiknya bawa ke UGD saja biar langsung ditangani dokter," usul salah seorang suster. "Tapi urutan saya di Dokter Wulan sebentar lagi, Sus. Saya nunggu di sini saja," jawab Karin sambil ditatih oleh lelaki dan salah seorang suster. Ia tetap tak mau ditolong olehku. "Ya sudah, kalau ada apa-apa, misal tiba-tiba kontraksi hebat, segera ke UGD ya, Bu," pesan suster yang tadi turut menatih Karin.Setelah ia duduk, aku pun duduk di belakangnya. Sambil membaca pesan dari Mas Irfan yang tadi belum sempat aku baca.[Bagaimana pertemuan dengan Dokter Sonia?] tanyanya. Berati ia tidak mengantarkan Karin ke sini? Atau ia sengaja tes kejujuranku lagi? Sebaiknya aku balas dengan alasan lain saja.[Dokter Sonia menyarankan aku untuk periksakan kandungan ke Dokter Wulan di Rumah Sakit Citra Kencana. Sebab, hari ini beliau ada seminar.]Aku kirim balasannya, Mas Irfan pun membalasnya lagi.[Ya, aku tahu, tadi sekretarisku bilang bertemu denganmu di rumah sakit. Ternyata istriku masih jujur ya.] balasnya membuatku mengernyitkan dahi. Karin beritahu Mas Irfan? Rasanya tidak mungkin, sedari tadi Karin bersamaku debat di sini.Aku tak membalas chatnya lagi. Mas Irfan ada di sini, aku yakin itu. Namun, karena ada aku di sini, ia berusaha bersembunyi.Aku letakkan ponselku ke dalam tas, lalu melihat ke arah Karin yang sedang meringis kesakitan. Lalu aku bangkit melihat ke depan."Karin, darahnya semakin banyak yang keluar, ke UGD saja sesuai pesan suster tadi," usulku."Sakit! Tolong sakit!" Tiba-tiba tangis Karin pecah mengeluh kesakitan. "Mas! Tolong!" teriaknya lagi sambil meremas perutnya.Ia memanggil seseorang dengan sebutan Mas? Itu artinya suamiku ada di sini. Namun, bersembunyi. Aku celingukan mencari keberadaan Mas Irfan, tapi mataku tak menemukannya."Kamu dengan suamimu, ke sini?" sindirku."Kamu jangan menambahkan kesakitan aku, Anggi. Diam bisa nggak? Perutku tiba-tiba seperti diremas-remas, sakit," lirihnya kesakitan."Ya sudah, kita ke UGD," usulku lagi. "Sus, tolong panggilkan petugas UGD!" teriakku ke salah satu suster.Kemudian, suster datang bersama petugas, dan membawa Karin untuk ke UGD. Aku sengaja tidak ikut mengantarkan Karin ke UGD. Sebab, ingin tahu apakah Mas Irfan berani muncul di sana setelah aku tidak lagi mengikuti Karin.Aku kembali duduk, tapi rasa penasaran kian menjadi setelah beberapa menit Karin dibawa ke UGD, Dokter Wulan keluar dari ruangan. Sepertinya ia yang akan menindaklanjuti kondisi Karin. Praktek ditunda tindakan medis lebih dulu. Kami pun rela menunggu Dokter untuk praktek kembali.Aku pun turut mengikuti langkah Dokter Wulan beserta suster pendampingnya. Seketika langkahku terhenti ketika melihat Mas Irfan sudah berada di depan ruang UGD dengan memakai pakaian kantor yang tadi pagi kusiapkan. Ia tampak mondar-mandir di depan UGD seraya cemas.Aku pun segera menghampiri Mas Irfan dengan langkah perlahan.BersambungBab 72Tidak lama kemudian, berselang beberapa jam kemudian, Sherina dan Satrio datang. Mereka langsung bertemu dengan Anggi dan Irfan di kantor yang nyaris hancur.Sherina mengejutkan sesuatu, ia memberikan informasi yang membuat Satrio terbelalak."Pak, saya tahu pelaku pembakaran kantor Irgi Pratama," jelas Sherina.Anggi dan Irfan tertegun, ia nyaris tak berkedip menatap wajah wanita yang sempat dituduh sebagai penerornya. Kaki Anggi melangkah ke arah Sherina, meskipun berat Sherina hanya menghela napas di hadapan Anggi."Saya tahu, pasti kamu mau menuduh saya lagi, iya kan?" sindir Sherina. Sebelum ditanya ia sudah menebak apa yang akan Anggi lakukan.Kemudian, Irfan menggandeng erat tangan istrinya. Ia tidak ingin Anggi melakukan kesalahan yang kedua kalinya.&nbs
Bab 71Angga langsung menghubungi Rendi. Namun, ia ragu-ragu sebab orang kepercayaannya itu sedang berada di rumah sakit menemani Arya.Tangan Angga dihentak-hentakkan, seraya kebingungan harus menghubungi siapa untuk menugaskan ke Jogja. Sebab, ia sudah amat kelelahan mengurusi urusan di sini.Angga menghela napas panjang. Sedangkan Anggi dan Irfan saling beradu pandangan, mereka berdua tiba-tiba mengangguk."Pah, kami berdua yang ke Jogja, besok pagi berangkat," ucap Irfan membuat mata Angga seketika berair."Apa kalian tidak lelah? Aku khawatir dengan kesehatan kalian," tutur Angga belum mengizinkan mereka berdua."Pah, kami berdua masih muda, sedangkan Papa usianya sudah tidak memungkinkan lagi untuk kecapean, jadi biarkan saja ya, kami belajar mengurus hal yang ekstrim seperti ini," rayu Anggi.Kemudian, Gita merangkul pundak lelaki yang sangat setia padanya, dilingkarkan tangan di leher Angga.
Bab 70"Baiklah, kami bebaskan Sherina dan Satrio berdasarkan bukti yang Bapak berikan, tentunya kami juga akan segera mencari keberadaan saudara Dodi," ucap komandan membuat seketika suasana mencair. Semuanya mengelus dadanya masing-masing seraya lega dengan keputusan yang diambil oleh komandan.Kemudian, komandan memerintahkan petugas untuk membebaskan Sherina dan Satrio tanpa syarat apapun. Mereka berdua dibebaskan karena terbukti tidak bersalah.Semuanya bangkit menyambut kedatangan Sherina dan Satrio. Kemudian, seketika itu juga Alex menyergap tubuh Satrio."Pah," sapa Satrio pada Alex. Meskipun ayah sambung, tapi Alex memperlakukan Satrio seperti anak kandungnya. Mereka berdua melepaskan rasa haru, air matanya pun tak terasa meleleh membasahi pipinya."Kamu sudah bebas, janji Papa sudah ditepati," timpal Alex kepada anaknya.Seisi ruangan berjabat tangan, namun senyum Sherina terlihat sangat terpaksa
Bab 69Setelah dibuka rekaman yang tersimpan. Terdengar suara di antara mereka yang berada di satu meja restoran berdebat."Kenapa kamu lakukan ini sampai terlalu jauh? Bukankah Pak Irgi telah memberikan pesangon cukup besar?" tanya istrinya Dodi. "Kamu tega melihat anak istrimu kini luntang-lantung tidak jelas?" tambahnya lagi dengan nada menekan."Sudahlah, tahu apa kamu urusan lelaki? Sekarang habiskan makanan, kita akan terbang ke Jawa Timur!" Dodi terdengar tambah marah.Kemudian, hening seketika. Setelah itu Dodi terdengar menghubungi seseorang."Candra, tolong kamu habiskan laki-laki yang bernama Arya, dia telah terlalu jauh ikut campur," suruh Dodi melalui sambungan telepon."Gila kamu, Mas! Sudah bersalah malah nyelakain orang! Bukankah janji kamu hanya menakut-nakuti keluarga Pratama? Kenapa sejauh ini?" sentak istrinya."Kamu mau ikut pergi atau di sini?" Pertanyaan terakhir y
Bab 68"Ada apa dengan Arya, Ren?" tanya Anggara. Posisinya yang tadi duduk setelah menyuruh Anggi dan Irfan masuk kini berdiri."Pah, tenang ya, duduk bicaranya biar tenang," pesan Irfan sambil mengelus-elus punggung mertuanya."Arya kecelakaan, Pak," terang Rendi memberikan informasi yang membuat keluarga Pratama kehilangan harapan."Astaga, lalu bagaimana kondisinya?" tanya Angga terkejut sekaligus panik. Lalu mulutnya komat-kamit memberikan informasi pada anak mantu dan sahabatnya yang berada di sebelah Angga."Kondisinya belum sadarkan diri, Pak. Sekarang ada di Rumah Sakit Sentosa," ucapnya membuat Angga tanpa pikir panjang mematikan sambungan teleponnya. Ia menghela napas berat seraya tidak mempercayai takdir."Yuk kita ke Rumah Sakit Sentosa!" ajaknya sambil meraih tas kecil yang ia bawa.Mereka berempat bersiap ke rumah sakit. Kali ini sepasang suami istri itu yang menenangkan p
Bab 67"Saya minta maaf atas tuduhan yang kemarin," ucap Anggi dengan kerendahan hati."Tidak salah dengar? Anggi yang bersikeras menahanku kini minta maaf?" sindir telak Sherina. Sepertinya ada dendam kesumat di dalam hati Sherina.Kemudian, Irfan membuka percakapan dengan memotong pembicaraan Sherina. Ini supaya tidak berlarut-larut dalam dendam."Ya, ini kesalahpahaman, mohon dimaklumi, Sherina. Maaf kami benar-benar baru mengetahui yang sebenarnya," tutur Irfan coba membela istrinya.Hening, seketika suasana hening, Satrio pun menatap lekat ke arah Anggi."Saya tahu, kamu seperti itu karena tuduhan anak buah peneror itu, saya paham betul," timpal Satrio."Saya janji akan membersihkan nama baik kalian nantinya," ucap Anggi.Sedangkan Sherina masih duduk terpaku bersandar dengan santai. Ia merasa menang atas ucapan maaf yang telah dilontarkan Anggi dan Irfan."Saya