Share

Bab 7

Bab 7

POV Irfan

Flashback awal mula tergoda Karin

Ketika lelaki sering bertemu maka timbul perasaan lebih terhadap lawan jenisnya. Terlebih ia sering menemani ketika bekerja. Pastinya akan timbul benih-benih cinta. Entahlah, mata ini tak dapat menahan godaan sosok Karin yang begitu mempesona. Lekuk tubuhnya yang selalu ia tonjolkan ketika bersama di kantor, membuatku akhirnya jatuh di pelukannya.

"Maaf, Pak, kalau menurut saya, pernikahan yang telah dibangun selama 2 tahun, tapi belum memiliki keturunan, itu sudah bukti bahwa istri Pak Irfan mandul," hasut Karin ketika kami sedang makan siang bersama.

"Entahlah, kami sedang berusaha program ke dokter kandungan, sudah berjalan sebulan," jawabku.

Tiba-tiba tangan wanita yang sudah bekerja hampir setengah tahun menggenggam tanganku.

"Percayalah, Pak. Anak adalah aset untuk Pak Irfan, anak adalah penerus perusahaan. Sama halnya Pak Angga, pemilik dari perusahaan ini, ia berharap banyak pada Pak Irfan," rayu Karin sambil menatapku penuh perhatian. Jantungku pun mulai berdetak kencang, ketika bangkit lalu duduk di sampingku.

"Tapi, pernikahanku dengan Anggi atas keinginan Papa, mana bisa aku berpaling darinya," jawabku.

"Nggak perlu, berpaling, aku siap jadi istri simpananmu, yang terpenting, aku bisa memberikan kamu keturunan. Percayalah, Pak Angga pasti menginginkan cucu," rayunya lagi sambil menyandar di bahuku. 

Aku melihat sekeliling, khawatir ada yang kenal dan melaporkan hal ini pada papa.

"Karin, ini umum, tolong jaga sikap, aku khawatir ada yang melihat kebersamaan kita," pintaku sambil berusaha melepaskan sandarannya.

Aku tidak tahu, apa yang harus kulakukan. Namun, entah kenapa jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya hari ini ketika berada di dekat Karin. Apakah aku mulai jatuh cinta?

"Kalau Pak Irfan malu di sini, kita bisa ke apartemen saya, Pak," usul Karin. Kemudian, ia menatapku dengan senyum mengembang. Lalu ia mengangkat kedua alisnya. "Gimana? Setuju? Tenang, kita ngobrol saja di apartemen, mencurahkan isi hati." 

Akhirnya aku mengangguk tak dapat mengelak ajakannya, sebab ia sudah bangkit dari duduk dan menarik telapak tanganku.

Kami meluncur ke arah apartemen Karin, ia sangat antusias sekali mengajakku sekadar ngobrol.

"Aku hanya ingin jadi teman ngobrol Pak Irfan saja, tenang Pak, jangan tegang," goda Karin ketika aku melajukan mobil. Aku tersenyum mengangkat setengah bibirku.

Setibanya di apartemen, aku disuguhkan minuman beralkohol olehnya. Ternyata Karin biasa minum-minuman keras, aku geleng-geleng ketika disuguhkannya.

"Kamu biasa minum ini?" tanyaku heran.

"Nggak, kalau lagi suntuk saja, Pak," sahutnya.

"Oh gitu, terakhir saya minum alkohol itu ketika putus cinta dari cinta pertama saya, sampai akhirnya saya dijodohkan dengan Anggi," jelasku ketika ia menuangkan segelas minuman alkohol.

"Oh ya, menarik sekali masa lalunya, Pak. Oh ya, boleh nggak saya panggil Mas di sini, boleh ya," rayu Karin sambil memberikan minumannya. Aku pun menerimanya, lalu meneguk minuman yang telah disuguhkan Karin.

"Tambah lagi," pintaku. Sebab, aku merasa hangat ketika meneguk minuman yang telah disediakan Karin. Ia pun terus menerus menuangkan minuman itu hingga kami berdua mabuk berat. Kemudian, Karin pun menggodaku hingga akhirnya kami melakukan hubungan layaknya suami-istri.

***

Dua bulan kemudian

"Aku hamil, Mas," ucap Karin ketika berada di kantor.

"Sttt, jangan keras-keras," sahutku sambil menutup mulutnya.

"Bagaimana dengan bayi ini?" tanya Karin.

"Aku akan tanggung jawab," jawabku lagi.

"Apanya yang tanggung jawab?" Tiba-tiba mamaku muncul dari balik pintu. Kami berdua terbelalak melihat kedatangan mama yang mendadak.

"Mah, duduk dulu, tenang, ya," rayuku padanya. Karin pun keluar dari ruanganku, sebab sudah aku kedipkan mata sebagai tanda untuk segera keluar.

Aku berusaha meyakinkan mama bahwa anak itu akan menjadi penerus keluarga Pratama. Akhirnya mama setuju dengan keputusanku untuk bertanggungjawab pada Karin. Namun, aku dipertegas oleh mama untuk memeriksa kandungan Karin terlebih dahulu, khawatir ia berbohong. 

[Jika benar kamu positif, periksakan kehamilanmu, tapi jangan ke Dokter Sonia Rumah Sakit Ibu Ananda. Periksa saja ke Rumah Sakit Citra Kencana, dengan Dokter Wulan SpOG, ia juga bagus.] Aku kirim pesan ketika ia berada di ruangannya.

[Siap, Mas. Aku akan periksakan di sana. Kamu ikut, ya!] ajaknya. Namun, aku tak membalas pesan tersebut. Rasanya masih tak percaya, aku telah mengkhianati Anggi.

Kami menikah secara siri pada tanggal 21 Agustus 2021, setelah meyakinkan diri dengan memeriksakan ke Dokter Wulan SpOG bahwa Karin benar-benar hamil.

***

Flashback di toko bayi

Malam itu ketika Anggi mengajakku ke toko bayi, aku mengirim pesan ke mama untuk bersembunyi ke toilet. Namun, akhirnya kepergok juga, dengan usaha menutupi ini semua, akhirnya Anggi pun percaya denganku, dengan syarat saldo ATM dipindah ke rekeningnya.

Selanjutnya kami makan malam bersama. Namun, aku dikejutkan dengan panggilan masuk dari papa. Ia sudah mencium perselingkuhanku. Ini akan membuat resah aku dan Karin.

Malam semakin larut, aku masih chat dengan Karin untuk planning ke dokter kandungan sekaligus membicarakan mengenai papaku.

***

Pagi-pagi sekali aku telah disiapkan segala sesuatunya oleh Anggi, dan aku pun segera ke kantor. Setelah itu barulah ke rumah sakit menemani Karin kontrol.

Setibanya di rumah sakit, tiba-tiba aku kebelet ingin ke toilet. Namun, selesai dari toilet aku dikejutkan dengan sosok Anggi yang tiba-tiba ada di depan antrian Dokter Wulan.

'Aku tidak boleh menghampiri mereka sekarang. Ya, lebih baik memantau dari kejauhan saja,' gumamku dalam hati.

Kulihat mereka berdebat sengit di sana, sepertinya Karin emosi dengan ucapan Anggi. Aku coba alihkan dengan menanyakan pada Anggi perihal Dokter Sonia. Ia pun menjawabnya dengan jujur. Ternyata ia tidak pernah berbohong padaku. Namun, aku yang tega mengkhianatinya.

Pertengkaran mereka pun berlanjut adu mulut hingga akhirnya Karin terjatuh. Astaga, aku ingin menolongnya, tapi itu takkan mungkin. Akhirnya aku menunggu Karin di depan UGD, aku berharap ia dibawa ke UGD karena dari kejauhan darahnya tampak keluar terus menerus.

Ketika aku berada di depan UGD. Sedikit ada keanehan yang membuatku penasaran. Suara hentakan langkah yang tiba-tiba menghilang, akhirnya dengan rasa penasaran, aku coba cek ke depan antrian Dokter Wulan, untuk memastikan bahwa itu bukan Anggi.

Kulihat ke depan, tidak ada Anggi di kursi manapun. Akhirnya kuberanikan diri untuk menanyakan pada salah satu pasien.

"Mbak, tadi yang masuk namanya Anggi bukan?" tanyaku.

"Bukan, Pak. Bu Anggi tadi sudah pulang, tadi saya sempat dengar beliau cancel jadwal pada suster di situ," sahutnya.

Aku menghela napas panjang, akhirnya aku bisa tenang menunggu Karin di sini.

"Panggilan untuk keluarga pasien Nyonya Karin Alika!" Suara panggilan melalui toa rumah sakit pun terdengar. Aku pun beranjak pergi dengan langkah setengah berlari.

"Sus, bagaimana dengan istri saya?" tanyaku pada suster jaga.

"Pak, Bu Karin harus bed rest, dirawat di sini ya, silakan bapak urus segala biayanya terlebih dahulu," suruh suster.

"Tapi janinnya bagaimana, Sus?"

"Masih sehat kok, Pak. Makanya harus bed rest untuk beberapa hari," jawabnya. Dengan semangat aku pun ke tempat pendaftaran untuk memesan kamar VVIP. Namun, aku teringat, ATM beserta saldonya sudah kupindah ke rekening Anggi tadi sebelum berangkat ke rumah sakit. Uang yang di ATM pe*mata sudah habis. 

Akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi kantor bagian keuangan, untuk segera mentransfer ke rekening gajiku.

"Mbak, tunggu sebentar, saya telepon kantor dulu untuk melakukan deposit ke rumah sakit ini," ucapku pada kasir rumah sakit. Ya, untuk mendapatkan kamar VVIP aku harus deposit sejumlah uang di sini.

"Iya, Pak." 

Perusahaan kami ada asuransi tapi tidak untuk kamar VVIP. Aku tidak mau Karin dirawat di kamar kelas 3.

"Halo, Desi, bisa transfer uang 50 juta sekarang?" tanyaku pada bagian keuangan.

"Maaf, Pak. Tadi Pak Angga audit keuangan, jadi semua sedang dibekukan untuk sementara oleh Pak Angga," jawabnya. Papa audit? Bukankah masih di luar kota? Astaga, bagaimana dengan Karin dan bayi di kandungannya? Masa iya Karin dirawat di kamar kelas 3?

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status