Bab 9
Kami berdua masuk ke kamar dimana Karin harus bed rest. Rendi bertugas jaga di depan. Langkah kaki kami berdua beranjak beriringan, hingga tiba di hadapan bed nomor 3 di antara 5 pasien rumah sakit.
Papa mertuaku melipat kedua tangannya di atas dada sambil tersenyum tipis pada mama mertuaku.
"Papa," celetuk Mama Gita terkejut. Matanya tak berkedip ketika papa berada di hadapannya. Kemudian, kulihat Mama berpindah posisi, yang tadinya sedang duduk sambil menyuapi Karin buah, kini ia bangkit dan meletakkan buahnya di atas meja.
"Ya, ini aku, kenapa? Kaget?" sindir Papa Angga sambil mengangkat kedua alisnya. Kemudian, Mama Gita menghampiri papa mertuaku, lalu meraih punggung tangannya untuk dikecup.
"Irfan, Papa datang kok nggak cium tangan? Cepat cium tangan Papa!" perintah Mama Gita pada anaknya. Kemudian, Mas Irfan pun turut menghampiri papa meskipun masih dalam keadaan tercengang.
Papa mertuaku hanya tersenyum, aku yang berada di sampingnya pun bergantian turut mengecup punggung tangan Mama Gita dan Mas Irfan. Ya, aku masih memperlakukan mereka sebagai orang tua dan suami.
"Kok kalian bisa ke sini berdua?" tanya mama coba mengeluarkan jurusnya. Ia seraya mengalihkan pembicaraan.
"Ya, tadi ketemu di lobi, Mah, aku kan periksa kandungan juga di sini, ya kan Mas? Tadi aku sudah bilang Mas Irfan kok Mah," jawabku sambil tersenyum.
Kulihat wajah Karin yang sedang berbaring menatapku sinis. Netranya tampak memerah penuh amarah.
"Tadi, saya dan Anggi ...." celetuk Karin terputus.
"Kenapa Karin?" tanya papa mertuaku sinis. "Ini ada apa kok anak saya beserta mamanya bisa berada di ruangan ini? Memang kamu ada hubungan saudara dengan istri dan anak saya?" sindir papa mertuaku. Aku pun balik menatap Karin. Ia terbelalak mendengar pertanyaan papa, terlebih mama mertuaku yang sontak menoleh ke arah suaminya.
"Pah, apa-apaan sih pertanyaannya aneh. Mama dan Irfan kebetulan tadi ketemu Karin saat dibawa ke ruang rawat inap," sanggah Mama Gita. "Iya, kan Irfan?" Mama Gita mencoba meyakinkan.
Aku tidak menyangka dengan Mama Gita, ia tetap mengelak dari tuduhan yang jelas-jelas benar adanya.
Mama Gita menatap Mas Irfan. Namun, ia tetap terdiam tak menghiraukan pertanyaan mamanya. Sepertinya ini dikarenakan Mas Irfan tegang, jadi ia melamun dan tak mendengar pertanyaan mama.
"Irfan, iya kan?" tegas mama mertuaku sekali lagi.
Mas Irfan pun sadar dari lamunannya. "I-iya, Mah," jawabnya terbata-bata.
Hampir saja aku menertawakan Mas Irfan. Namun, aku tahan dengan menghela napas panjang.
"Tuh kan, Pah. Kami ke sini nggak sengaja ketemu," jawab mama berusaha meyakinkan.
Kulihat wajah Mas Irfan memucat, keningnya pun penuh keringat, tapi lengannya terus menggandeng tangan mamanya.
"Pah, kenapa keuangan kantor dibekukan? Aneh sekali, aku ini anak pemilik perusahaan, tapi keuangan kantor saja tidak ada kuasanya," cetus Mas Irfan. Rupanya sedari tadi ia diam sedang memikirkan alibi untuk menghindari pertanyaan dari papanya.
Papa tertawa kecil sambil menyoroti anaknya. Kemudian matanya beralih ke wajah ibu mertuaku.
"Sudahlah jangan mengalihkan pembicaraan. Kalian itu aneh, ngapain di rumah sakit ini? Kamu sehat kan, Mah?" tanya papa.
"Sehat, Pah. Kami berdua jenguk teman Mama, tadi ketemu Karin. Sudah itu aku sudah jujur loh, Pah," jelas mama dengan penjelasan palsu.
Aku dan papa mertua saling beradu pandang. Kemudian, aku mengangguk ke arah papa mertuaku.
"Oh gitu, baiklah, temanmu namanya siapa, Mah. Biar aku suruh Rendi tanya bagian informasi pasien yang akan mama kunjungi," jawab papa dengan sengaja. Ya, kami berdua sudah sepakat untuk mendengarkan penjelasan mereka lebih dulu. Setelah itu, barulah memberikan bukti bahwa mereka tengah berbohong.
Kejujuran itu sangat penting, jika mereka masih berkelit, itu artinya ada sesuatu di balik perselingkuhan ini.
"Pah, kenapa sih kamu selalu begini? Selalu curiga saja pada Mama? Hah!" sentak Mama Gita membuatku terkejut. Ia justru menyalahkan Papa Angga.
Kemudian, suster jaga pun datang. Mungkin karena kami terlalu ribut di ruangan ini.
"Maaf, ini rumah sakit, hanya pasien dirawat untuk istirahat. Jadi tolong keluar dari ruangan ini ya, jam besuk juga belum waktunya," suruh suster membuat perdebatan terhenti.
Akhirnya kami memutuskan untuk bicara di luar ruangan, juga bukan di rumah sakit.
"Ya sudah, Karin, cepat sehat ya, maaf Tante pergi dulu," pamit Mama Gita.
"Tante, Pak Irfan, terima kasih banyak sudah mau jenguk, saya di sini tidak memiliki saudara, kalian membuat saya terharu," ucap Karin berbohong. Rasanya aku kesal mendengar dan melihat sandiwaranya di depan mata.
Seandainya ini bukan rumah sakit, pasti papa mertuaku sudah membongkar semua sandiwara mereka.
Kami semua beranjak pergi meninggalkan Karin di kamar inap. Aku dan papa tak pamit padanya ketika meninggalkan ruangan.
Kulihat wajah Mas Irfan pun masih pucat pasi. Ia berjalan pelan seraya tak memiliki tujuan. Namun, sebentar-sebentar aku melirik Mama Gita yang selalu berusaha menenangkan Mas Irfan dengan berbisik-bisik sambil menepuk pundaknya.
Kami berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Tiba-tiba langkah papa mertuaku terhenti di depan lobi parkiran.
"Di sini saja," ucapnya sembari menyetop kami semua.
"Ngapain di sini?" tantang mama.
"Ya, kejelasan dan kejujuran," sahut papa mertuaku lagi. Rasanya aku hanya mampu terdiam mendengar pertengkaran mereka. Padahal tujuan utama adalah membongkar semua sandiwara Mama Gita, Mas Irfan, dan Karin.
"Pah, kamu kenapa sih lebih percaya wanita udik ini?" Mama tiba-tiba menantang papa mertuaku.
Plak! Tamparan dilayangkan ke pipi mama.
"Jaga mulutmu, suatu saat kamu akan menyesal!" ancam Papa Angga.
"Nyesel gimana? Aku nggak akan nyesel, Anggi ini hanya anak sahabatmu yang dari kampung dan tiba-tiba kamu jodohkan dengan anak kita, seharusnya ia tidak menikah dengan Irfan, kasihan anak kita Pah, tertekan dengan wanita kampung ini," umpat Mama Gita dengan sederet hinaan untukku.
Air mata ini tak mampu kubendung ketika ada yang menghina kedua orang tuaku. Ya, sakit jika sudah menyangkut orang tua.
"Pah, aku pulang, nggak jadi bongkar rahasia mereka. Biarkan saja mereka menikmati masa-masa mendua dari istri," cetusku kesal.
"Kamu nuduh aku mendua, Sayang? Aku kan selalu nurutin kata-kata kamu, tabungan saja ada di kamu," timpal Mas Irfan membuatku geram. Ia belum juga mengakui perselingkuhannya dengan Karin.
Aku pun segera mengeluarkan ponsel. Rasanya sudah tak ada lagi sisa kesabaran di dalam dada ini, yang ada hanya rasa benci padanya.
"Baiklah, kalau gitu, aku akan tunjukkan bukti bahwa kamu memang sudah menduakan aku dengan Karin, sekretarismu," celetukku persis di hadapan Mas Irfan.
Bersambung
Bab 10POV IrfanAku hanya bisa menghela napas, ketika papaku sendiri telah membekukan keuangan perusahaan untuk anaknya. Akhirnya aku terpaksa menghubungi Mama Gita untuk meminta bantuannya."Halo, Mah." Aku memulai buka pembicaraan."Ya, Irfan kamu di mana, kok bising gitu suaranya?" tanyanya balik."Aku di RS Citra Kencana, Mah. Karin hampir keguguran," celetukku pada mama melalui sambungan telepon."Loh kok bisa?" tanyanya balik."Ceritanya panjang. Mama bisa ke sini, nggak? Aku butuh bantuan Mama.""Iya, Mama segera ke situ, di ruang VVIP, kan?""Rencana kelas 3, Mah. Keuangan kantor dibekukan Papa. Aku minta tolong rayu Papa bisa nggak?" tanyaku lagi."Susah, F
Bab 11Herannya dengan Mas Irfan, sudah kepergok masih saja berkelit. Apalagi Mama Gita, ia justru mengumpat aku dengan sebutan wanita udik dan sebagainya. Sakit, itu sudah pasti, tapi aku berusaha menahan emosi. Sebab papa mertuaku sungguh amat membelaku.Mas Irfan cemburu dengan perlakuan papanya padaku. Ia menuduh papanya sendiri memiliki rasa yang lebih terhadapku. Padahal, aku tahu ia seperti itu karena dititipkan oleh kedua orang tuaku.Aku pun sudah memberikan bukti padanya, tapi apa yang kudapatkan? Ya, ia mengaku bahwa ada hubungan spesial dengan Karin. Namun, tidak mengakui telah menikah dan akan memiliki anak darinya.Akhirnya aku tunjukkan bukti akurat yang Desi kirim ketika aku dalam perjalanan ke rumah sakit."Lihat ini, ada video yang dapat membuktikan bahwa kalian telah menikah diam-diam," ucapku pada Mas Irfan. Kemudian, kuputar video pernikahan siri yang singkat itu. Ya, aku sengaja memberikan video ini set
Bab 12POV Pak Anggara"Anggi! Bangun! Tolong!" teriakku histeris ketika Anggi pingsan terkena tusukan. Darah segar yang keluar dari pinggangnya pun tak berhenti mengalir. Aku panik dan mencemaskan Anggi. Sebab, ia tertusuk karena hendak menghalangi preman tadi.Rendi terbangun dari pingsannya setelah dicelakai oleh orang yang tak kami kenal."Astaga! Mbak Anggi kenapa, Pak?" tanyanya ketika mulai bangkit. Rendi mulai melangkah ke arahku yang sedang memangku Anggi."Tertusuk, cepat bawa ke mobil, kita bawa ke rumah sakit." Kemudian, beberapa orang yang lewat pun turut membantu menolong kami. Jalan yang tadi sepi kini sudah mulai dilewati orang ketika aku teriak meminta bantuan."Tadi saya dengar suara teriakan minta tolong, makanya ke sini," ucap salah seorang yang menolong. Kami berempat m
Bab 13POV IrfanAku terkejut ketika mendengar penuturan Papa Angga melalui sambungan telepon. Anggi ditusuk oleh preman? Apa jangan-jangan ini ulah Karin? Aku harus menghubunginya sambil jalan ke rumah sakit."Mah, ayo ke rumah sakit, Anggi ditusuk," ajakku. Namun, mama tidak ingin ikut."Kamu saja, Mama nggak mau.""Mah, jangan bikin Papa tambah kesal, tambah ingin hapus daftar nama kita, untuk sekarang ini kita sedang terhimpit," ucapku padanya. Egonya mama pada papa bisa menghancurkan rencanaku untuk tetap mempertahankan pernikahanku dengan Anggi.Satu-satunya jalan untuk menjadi pewaris perusahaan adalah mempertahankan pernikahanku dengan Anggi. Sebab, Anggi lah orang yang paling disayangi papa, entahlah apa yang membuatnya seperti itu."Baiklah, meskipun kesal yan
Bab 14POV Irfan"Apa-apaan kamu Irfan nuduh Mama yang mencelakai Anggi, mana mungkin Mama celakai menantu sendiri," sanggahnya. Aku terdiam sejenak, masih belum percaya pada ucapan mama."Gimana ya, Mah. Bukankah Mama benci dengan Anggi? Siapa tahu dugaanku ini benar, maaf ya Mah, hanya menduga kok," cetusku."Loh, itu nuduh itu bukan dugaan. Nuduh tanpa bukti, padahal Mama sudah membela kamu di hadapan Papa. Sesakit ini dituduh yang tidak dilakukan," lirih mama tiba-tiba membuatku merasa bersalah."Bukan gitu, maaf ya, Mah. Aku heran saja kenapa Mama malam-malam gini nelepon aku?" tanyaku penasaran."Justru Mama hubungi kamu karena ingin menanyakan, kenapa tadi Karin nelponin Mama terus?" tanyanya. Penuturan Mama Gita membuatku jadi merasakan ada yang tidak beres dengan tingkahnya Karin.Kemudian, di saat aku sedang berbicara dengan mama melalui sambungan telepon, Rendi tiba-tiba muncul dari
Bab 15POV Irfan"Maksud kalian apa?" tanyaku ketika baru saja tiba di hadapan mereka. Mata ketiganya tak kalah membulat sama sepertiku. Pasti ada rahasia yang mereka sembunyikan makanya terkejut ketika tahu bahwa aku ada di sini."Irfan, kamu di sini?" tanya papa. Kemudian kedua mertuaku bangkit dari duduknya."Iya, aku mendengar obrolan kalian barusan," jawabku.Kemudian papa menghampiriku dan menyuruh duduk di dekatnya."Bagaimana kondisi Anggi?" tanyanya yang amat mengkhawatirkan menantunya. Meskipun menurutku ini adalah wajar karena papa merasa utang budi atas pengorbanan yang Anggi lakukan. Namun, aneh saja jika ia selalu membela semua yang dilakukan Anggi."Anggi sudah sadar, semalam juga telah cerita padaku, ia curiga penusukan ini dilakukan musuh Papa, ap
Bab 16POV Karin"Bagaimana kondisimu?" tanya Pak Alex Subroto, saingan bisnis Pak Angga."Sudah lebih baik, bagaimana keadaan Anggi? Apakah ia selamat?" tanyaku dengan alis terangkat. Kemudian, Pak Alex mengeluarkan sebuah amplop coklat yang berisikan uang bagianku. Bukan waktu singkat membuat keluarga Pratama hancur, membutuhkan waktu yang sangat panjang, hingga aku harus rela mengorbankan tubuh ini untuk Mas Irfan."Dia selamat, itu juga saya baru tahu dari orang suruhan saya yang datang ke rumah sakit, entahlah saya menginginkan Angga yang terluka, tapi malah menantunya," jawab Pak Alex."Polisi pasti mencari tahu tentang ini, dan rencana kita untuk mengelabuhi mereka sepertinya berhasil, mereka pasti anggap yang menjadi incaran adalah Anggi, padahal Pak Angga.""Tapi tetap saja saya menyesal yang terkena tusukan Anggi, bukan Angga. Sebab musuh saya Angga," jelas Pak Alex."Sudahlah, ini uang un
Bab 17POV Irfan"Baiklah, kita ke rumah sakit tempat Karin dirawat sekarang juga," ajakku pada papa. Kemudian papa memerintahkan Rendi untuk turut ikut bersama kami.Kami pamit pada Anggi dan orang tuanya. Tidak lupa meminta Anggi untuk tidak cemas agar cepat pulih.Kami pun bergegas dengan menggunakan mobilku. Namun, Rendi yang mengendarai mobil. Dengan kecepatan tinggi, hanya kurang lebih tiga puluh menit saja kami telah tiba di rumah sakit.Ketika sudah sampai, pertama yang kami kunjungi adalah kamar inap Karin. Sebab, dari awal pembicaraan mama, yang mengejarnya adalah bodyguard dari lelaki yang mengunjungi Karin.Akan tetapi, apa yang kami harapkan tidak didapat dengan mudah, Karin masih tetap merahasiakannya. Padahal aku yakin ia tahu akan hal ini. Sampai akhirnya di depan ruan