Share

Bab 8

Bab 8

Aku coba melangkah. Namun, ketika hampir mendekati Mas Irfan. Tiba-tiba ada yang menarik pergelangan tanganku. Seorang lelaki bertubuh tinggi semampai, hidung mancung dan berkulit sawo matang.

"Lepas! Kamu siapa?" tanyaku sambil menepis genggamannya. Ia pun coba menutup mulutku dengan tangan seraya menyuruhku diam.

"Sttt, jangan keras-keras, saya orang suruhan Pak Angga." Aku menatapnya dengan mata menyipit.

"Papa mertuaku?" tanyaku keheranan. Ia pun mengangguk. 

"Kita ke kantor," ajaknya.

"Sebentar, saya mau ngalihin Mas Irfan dulu," ucapku.

Tiba-tiba kulihat wanita hamil yang tadi menunggu antrian keluar dari toilet.

"Mbak, tunggu sebentar," cegahku.

"Ya, Mbak."

"Nanti kalau ada lelaki yang menanyakan Anggi, itu saya, bilang saja, Mbak dengar dari suster bahwa saya cancel jadwal dengan Dokter Wulan," suruhku.

"Oh gitu ya, Mbak. Ya sudah nanti saya bilang seperti itu," jawabnya membuatku lega.

Setelah itu, aku dan lelaki suruhan Papa Angga bergegas ke parkiran. Entahlah, papa mertuaku kenapa menyuruh orang untuk menjemputku.

Aku menaiki mobil Avanza Veloz milik detektif itu. Sepertinya orang ini seorang detektif, wajahnya agak sedikit datar, ia jarang bicara.

"Mas, Anda detektif mertua saya?" tanyaku ketika masih di perjalanan.

"Bukan, Mbak. Saya hanya orang kepercayaannya Pak Angga di luar kota. Baru semalam diminta ikut dengannya ke Jakarta," jawabnya santai.

Aku pun mengangguk seraya paham dengan ucapannya. 

Kemudian, setibanya di kantor. Mertuaku sudah menungguku di kantor bagian keuangan. 

"Bu Anggi sudah ditunggu Pak Angga di ruangan Mbak Desi," ucap satpam yang berjaga di depan.

"Terima kasih, Pak," jawabku sopan. Kemudian melangkahkan kaki ini menuju ruangan bagian keuangan.

Aku masuk dengan mengetuk pintu, lalu dipersilakan masuk, dan ternyata kulihat papa mertuaku sedang berada di depan komputer.

"Pah, kenapa pulang ngga ngomong-ngomong?" tanyaku sambil meraih punggung tangannya.

"Sengaja, semalam saat Papa hubungi kamu itu sudah di jalan dengan Rendi, yang barusan jemput kamu di RS," ungkap papa mertuaku. Aku pun mengangguk seraya paham dengan ucapannya. Namun, yang aku heran, kenapa ia tahu aku ada di rumah sakit?

"Kok tahu aku ada di RS, Pah?" tanyaku lagi.

"Ya, tahu dari Rendi juga. Jadi dia sudah mengikutimu sejak berangkat tadi pagi," terang papa lagi. Aku tersenyum tipis, sedikit mengerutkan kening. Sungguh papa mertuaku luar biasa, ia mertua rasa orang tua.

"Lalu maksudnya gimana, Pah?" tanyaku lagi.

Kemudian, kulihat wajah Desi pun menunduk ketika mertuaku menyorotnya.

"Des, ada apa ini?" tanyaku heran.

"Jadi, Desi yang melaporkan perselingkuhan Irfan dengan Karin, sebab laporan keuangan pun amburadul karena banyak saldo yang masuk ke rekening Irfan pribadi, entahlah uangnya pasti untuk Karin, ya kan Anggi?" tanya papa mertuaku. 

Aku bergeming, sambil menatap wajah mertuaku yang tidak mirip dengan Mas Irfan. Ternyata aku tak perlu menunjukkan bukti apapun ke papa mertuaku untuk membuatnya percaya. Ia pun sudah lebih dulu mengetahuinya.

"Pah, aku baru mengetahuinya setelah membaca pesan penarikan tunai, ATM Mas Irfan dipegang oleh Karin kemarin. Dan anehnya Mama tahu, Pah," jelasku meskipun dengan sungkan.

Papa menghela napas panjang, kemudian ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi.

"Sudah kuduga, Gita pasti tahu, Papa curiga Mama Gita belakangan ini sibuk merajut kaos kaki bayi, ia kan pandai membuat kaos kaki dari benang wol." Papa menggelengkan kepalanya seraya tak percaya.

"Sebenarnya aku ingin marah, tapi ...." Aku menunda ucapan.

"Kamu tadi di rumah sakit ingin memergoki mereka?" tanya papa.

"Iya, tapi Mas Irfan tidak ada. Sampai akhirnya aku dan Karin saling umpat," sambungku lagi.

"Ya, tadi Rendi menghubungi papa, bagaimana keadaan Karin?"

"Tadi pendarahan, Pah, di rumah sakit, entahlah keguguran atau tidak," timpalku. 

"Iya, Papa tahu, makanya Rendi langsung menarik tanganmu, khawatir tambah runyam jika bertemu dengan Irfan saat itu. Setelah kamu pergi, Irfan juga minta ditransfer sejumlah uang, tapi Papa sedang membekukan keuangan kantor. Ini sengaja, agar ia tak dapat menggunakan uang seenaknya. Tenang saja, Sayang, Papa akan berusaha untuk memisahkan mereka, kamu berhak bahagia," ungkapnya membuatku terkejut. Sayang katanya? Ia menyebutku dengan panggilan seperti itu? Rasanya membuatku rindu dengan kedua orang tuaku di kampung.

"Jadi Mas Irfan sudah menghubungi Desi?" Papa pun mengangguk ketika aku bertanya. "Apa kita langsung ke rumah sakit, Pah?" usulku.

Uang tabungan sudah ada di tanganku, makanya ia menghubungi kantor. Lalu bagaimana keadaan Karin dan bayinya?

"Iya, sepertinya kita harus ke sana, Papa ingin memergokinya sekarang juga. Pasti Mama Gita pun ada di rumah sakit," jawab papa mertuaku setuju.

Akhirnya ia setuju untuk kembali ke rumah sakit. Ya, sandiwara ini harus segera diakhiri, mereka harus tahu bahwa kami bukanlah orang bodoh yang mudah dibohongi.

"Rendi di mana?" tanya papa padaku.

"Masih di depan, Pah."

"Baiklah, kita ke sana dengan mobil Rendi saja, ini supaya Irfan tidak lari ketika melihat kedatangan kita," usul papa. Aku pun mengangguk setuju. Kemudian, papa menghubungi Rendi untuk bersiap dan menunggu di lobi.

Kami menuju ke rumah sakit untuk menyelesaikan masalah keluarga. Ada rasa bahagia juga sedih. Aku bahagia memiliki mertua yang care dan lebih mengutamakan perasaan menantu ketimbang anaknya. Sedihnya, sebentar lagi aku akan mendengar Mas Irfan terpaksa mengakui segala yang telah ia lakukan.

Setibanya di rumah sakit. Rendi langsung ke bagian informasi untuk mencari tahu pasien Karin Alika.

"Gimana, Ren?" tanya papa.

"Ada di kamar 413 lantai 3 kelas 3, Pak. Pasien Karin Alika dirawat inap untuk bed rest," jawabnya. Ternyata hanya bed rest tidak keguguran. Syukurlah, aku jadi tidak disalahkan olehnya lagi.

"Baiklah, kita segera ke ruangannya," ajak papa sambil melangkah. Ia tampak antusias untuk memergoki mereka bertiga. Ya, Mama Gita, Mas Irfan, dan Karin.

Aku pun mempersiapkan diri untuk menemui mereka bertiga. Semoga tidak ada lagi yang menghindar. Mereka harus tahu bahwa seorang Anggara Pratama sangat mendukung dan menyayangiku.

Setibanya di kamar 413. Aku dan Papa menunggu di luar, yang lebih dulu masuk adalah Rendi, orang kepercayaan mertuaku. Ia masuk untuk memastikan bahwa mereka ada di kamar yang kami kunjungi.

Selang beberapa detik, Rendi pun kembali ke luar.

"Ada, Pak. Ibu juga ada di dalam," ucapnya sambil membuka masker yang ia kenakan.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status