Share

Nasihat Ibu

Menjelang malam hari, bada salat Magrib. Gayatri selalu berbaring di pangkuan ibunya. Bermanja dengan seorang ibu adalah hal paling menyenangkan untuk seorang anak. Ditemani oleh irama jangkrik yang saling bersahutan di samping rumah, membuat suasana semakin syahdu.

"Ibu?"

"Aku sayang Ibu," ucap Gayatri yang merasa nyaman saat Bu Tini mengusap-usap kepalanya.

"Oh, ya? Jika sekarang kamu bilang sayang sama ibu, apa nanti jika kenal sama cowok akan tetap sama?" ujar Bu Tini yang seketika membuat Gayatri mendongak menatap ibunya.

"Ibu, kok, ngomongnya gitu, sih?" ucap Gayatri yang merasa tak terima.

"Ibu, aku sayangnya sama Ibu. Nggak adalah cowok-cowokan," jawab Gayatri.

Bu Tini tertawa. Guratan keriput di wajah Bu Tini tak menampik kecantikan yang pernah dimilikinya. Tatapan teduh yang selalu terpancar dari kedua matanya membuat siapa pun akan merasa nyaman jika terus bersamanya.

"Gayatri anakku, jadilah wanita salihah, ya, Nak! Jangan termakan rayuan lelaki. Jangan sampai kamu masuk ke dalam lubang zina!" tutur Bu Tini.

"Kamu sudah dewasa. ibu takut suatu saat kamu tersandung ke dalam jebakan setan. Apalagi, ibu membesarkanmu hanya seorang diri." Ibu terlihat sendu.

Gayatri yang mendengarkan hanya diam sembari menghapus bulir-bulir bening yang merembes di sudut matanya. Perkataan Bu Tini benar-benar menusuk relung hati Gayatri.

Gayatri bangkit dari pangkuan ibunya. Ia menatap mata sayu Bu Tini yang meneduhkan. Direngkuhnya tubuh Bu Tini yang kian hari kian ringkih. Air mata yang hanya setetes dua tetes keluar. Kini, membanjiri pipi Gayatri hingga membasahi mukenah yang dipakai Bu Tini.

"Ibu, aku janji, akan jadi perhiasan dunia. Aku gak akan membuat Ibu kecewa," kata Gayatri.

"Iya, ibu percaya. Sekarang, kita salat Isya dulu. Azan sudah berkumandang sejak tadi," ajak Bu Tini.

Gayatri dan Bu Tini melaksanakan salat Isya bersama. Dalam hati, Gayatri berjanji akan membahagiakan ibunya. Tidak akan membuatnya kecewa apalagi sampai membuat ibunya mengeluarkan air mata.

Pekat malam yang hanya disinari sinar rembulan menambah kehangatan sepasang Ibu dan anak yang tengah bercengkerama sembari menyantap hidangan ala kadarnya. Nasi , kecap, dan kerupuk. Namun, kesederhanaan itulah yang membuat hubungan mereka semakit hangat.

"Bu, kalau aku kerja ke luar kota, menurut Ibu gimana?" tanya Gayatri memecah keheningan.

Bu Tini menatap tajam seakan-akan tak menyukai ucapan Gayatri. Sebenarnya, Gayatri ingin mengubah kondisi perekonomian keluarganya. Walaupun Gayatri hanya lulusan SD, siapa tahu di kota nanti, keberuntungan akan berpihak padanya.

"Bu!" tegur Gayatri.

Bu Tini tetap bergeming. Ia berhenti mengunyah makananya seolah-olah selera makannya telah sirna. Bu Tini lantas berlalu meninggalkan Gayatri sendiri. Gayatri pun mengikuti langkah Bu Tini menuju kamar.

Bu Tini duduk di tepi ranjang reot yang sudah tak layak pakai dengan mata yang menyiratkan kesedihan.

"Kamu tega ninggalin ibu sendiri di sini, Tri?" tanya Bu Tini nanar.

"Ibu, saat aku kerja di luar kota, sebulan sekali aku akan pulang. Aku akan menjenguk Ibu di sini," terang Gayatri, "Aku ingin mengubah hidup kita, Bu," imbuh Gayatri.

"Ibu gak setuju, Tri. Lebih baik ibu hidup sederhana seperti ini, dari pada melihatmu harus jauh dari ibu." Bu Tini mulai sesenggukan. Gayatri yang tak tega lantas merengkuh tubuh ibunya yang bergetar.

"Aku gak akan pergi, Bu. Itu hanya rencanaku saja. Siapa tahu Ibu menyetujuinya," kata Gayatri menenangkan ibunya.

***

Sinar yang berasal dari arah timur terasa hangat di bumi. Burung-burung beterbangan hinggap dari pohon satu ke pohon lainnya. Ditambah lagi langit yang cerah menghiasi cakrawala.

Gayatri melangkah menuju sawah. Hal ini sudah menjadi kebiasaan yang ia lakukan setiap hari. Pandangan kagum dan nakal atau pun bisik-bisik dari mulut ke mulut sudah menjadi santapan Gayatri ketika melewati orang-orang di kampung.

"Tri!" seru seorang pemuda, ia adalah Galang, pemuda yang waktu itu menghadang jalan Gayatri dan ibunya.

"Iya, ada apa?" sahut Gayatri sedikit malas.

"Mau ke sawah, ya? Aku temenin mau?" tawar Galang dengan senyum yang dibuat semanis mungkin.

Gayatri sejenak terpaku melihat senyumnya. Namun, sesegera mungkin ia menolak halus tawaran Galang. Gayatri ingat pesan dan janjinya pada sang ibu. Selain itu, Gayatri tidak ingin orang-orang akan menilai buruk dirinya.

"Tenang, Tri. Aku bukan orang jahat. Aku hanya ingin menemanimu. Apa kau tak jengah melihat tatapan para lelaki di kampung ini kepadamu?" tanya Galang seakan-akan mengerti apa yang ada di pikiran Gayatri.

"Tap—."

"Aku takut, ada yang berniat jahat padamu. Perjalanan ke sawah itu masih cukup jauh," ujar Galang, yang berhasil membuat Gayatri sedikit takut. Akhirnya, Gayatri pun menyetujui tawaran Galang.

Galang dan Gayatri berjalan berdampingan, tetapi dengan jarak yang cukup jauh untuk memisahkan. Gayatri semakin risi karena tatapan orang-orang kini seperti menunjukkan rasa tidak suka padanya

"Ciiee ... ciee .... Galang dapet juga, nih, ye!" celetuk seorang pria. Galang hanya tersenyum menanggapinya.

"Gak usah didengerin, Tri." Galang seolah-olah mengerti perasaan Gayatri.

Sebenarnya dia siapa, sih? batin Gayatri.

"Galang!" panggil Gayatri.

"Hmm?" Galang menoleh. Wajahnya benar-benar sangat tampan, hidungnya mancung, matanya tajam, alisnya yang hitam, serta rahang tegas yang menambah kharismanya.

"Sebenarnya, kamu itu siapa?" tanya Gayatri, tetapi Galang malah tertawa terbahak-bahak. Seakan-akan pertanyaan Gayatri adalah sebuah banyolan.

"Aku, kan, udah bilang. Namaku Galang," jawab Galang dengan menunduk badan bagaikan orang yang sedang memperkenalkan diri.

Gayatri tersenyum melihatnya. "Bukan itu maksudku, sebenarnya kamu ini dari mana asalnya?"

"Lah, kamu, sih, gak pernah ke luar rumah. Jadi, gak pernah kenal sama tetangga sekampung," sahut Galang.

“Iya juga, sih,” gumam Gayatri.

Galang dan Gayatri saling bertukar cerita dan memperkenalkan diri masing-masing. Gayatri mulai merasa nyaman dengan Galang. Ia menilai bahwa Galang adalah lelaki yang baik. Sekalipun Galang tak pernah berniat menyentuh Gayatri.

Hamparan sawah luas sudah terlihat di depan mata. Galang pamit pulang setelah mengantarkan Gayatri. Ada perasaan tak rela dalam hati Gayatri ketika Galang pergi meninggalkannya. Namun, ia bisa apa.

Gayatri melangkah menuju tempat ibunya. Seperti biasa, mereka makan bersama sembari bersenda gurau. Melepas penat dan lelah yang mereka rasakan setelah bekerja.

"Bu, pria yang kemarin lusa itu—," cicit Gayatri.

"Kenapa?" tanya ibunya memotong pembicaraan Gayatri.

"Dia pemuda yang baik. Tadi, aku dianterin sama dia," jawab Gayatri menunduk.

"Kenapa kamu mau, Tri?"

"Aku merasa jengah dengan tatapan orang-orang, Bu. Setelah Galang nemenin aku, mereka hanya menunduk. Apa Galang itu orang yang berpengaruh, ya?" tanya Gayatri dengan gejolak rasa yang entah apa namanya.

"Kamu harus hati-hati. Ingat pesan ibu."

"Iya, Bu, iya," jawab Gayatri.

Mungkin, perasaan Gayatri itu hanya sebatas kekaguman kepada Galang. Gayatri akan mencoba menghapusnya sebelum kekaguman itu menjadi lebih dalam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status