Pagi hari, udara di desa Sumberejo begitu menusuk kulit hingga ke tulang. Dingin. Sumber air di seluruh desa terasa seperti air es. Bagaimana tidak? Letak desa Sumberejo berada di Kaki Pegunungan Semeru.
Itulah alasan yang mungkin, membuat Gayatri malas untuk bangun pagi. Keluar dari balik selimut bagai berada di kutub utara dan menyentuh air biasa bagaikan menyentuh salju yang sangat dingin.
"Gayatri, ayo, bangun! Pamali anak gadis bangun setelah matahari terbit!" teriak seorang wanita paruh baya yang sedang berkutat di dapur.
Ibu Hartini atau biasa dipanggil Bu Tini, ia adalah Ibu kandung Gayatri. Ia membesarkan anaknya seorang diri. Semenjak suaminya pergi saat Gayatri masih kecil, ia tetap pada pendiriannya. Tak akan menikah lagi demi menghindari sesuatu yang tak ia inginkan.
"Gayatri ... anak itu memang pemalas. Matahari sudah mulai terbit tapi masih betah di dalam kamar," ucap Bu Tini sembari menyalakan kayu bakar untuk digunakan memasak di kompor tungku. Lantas, Bu Tini merebus air untuk dipergunakan memasak dan mandi Gayatri.
Setelah semua dipastikan beres, Bu Tini menuju ke kamar Gayatri. "Gayatri, ayo, bangun! Waktu salat Subuh keburu habis," ujar Bu Tini sembari menyibak selimut yang menutupi tubuh putrinya.
"Dingin, Bu. Gayatri males," rengek Gayatri sambil menarik kembali sellimutnya.
"Gayatri! Bangun, mandi, salat!" tegas Bu Tini membuat Gayatri mau tak mau bangun dengan perasaan malas.
"Air panas ada di panci. Gunakan secukupnya untuk mandi," tutur Bu Tini mengekori langkah gontai Gayatri.
"Iya." Gayatri mengambil ember dan mengisinya dengan air mendidih yang ada di panci di atas tungku. Ia melangkah menuju kamar mandi yang berada di belakang rumah. Ya ... letak kamar mandinya berada di luar rumah dan hanya tertutup oleh pepohonan.
"Salat dulu, Tri," perintah Bu Tini kepada Gayatri yang sudah terlihat segar.
"Iya, Bu."
***
"Hmm ... aromanya wangi sekali," ujar Gayatri seraya masuk ke dapur.
Aroma wangi yang dimaksud ialah sambal terasi buatan ibunya. Aroma yang dihasilkan memanjakan hidung siapa saja yang mencium. Bu Tini selalu mencampur sambalnya dengan ikan asin, sehingga kucing pun seakan-akan menunggu bagiannya.
"Bu, aku bantuin apa?" tanya Gayatri yang sudah selesai dengan aktivitasnya.
"Angkat sayuran itu. Sepertinya sudah matang," balas Ibu Gayatri seraya menunjuk panci berisi sayuran dengan dagunya.
Gayatri mengangguk. Ia mengambil serok ukuran besar dan mengangkat sayuran yang kini sudah menjadi kulupan.
"Bu, nanti Gayatri ikut ke sawah, ya." Gayatri berucap sambil meletakkan kulupan tersebut di sebelah sambal. Menu paling istimewa menurut Gayatri.
"Mau ngapain, Tri?"
"Bantuin Ibu," sahut Gayatri dengan seulas senyum yang menunjukkan gigi gingsulnya.
"Anterin makanan saja nanti siang ke sawah. Gak perlu barengin Ibu. Di sawah itu panas, nanti kamu jadi kucel," sahut Bu Tini.
Ibu Gayatri berganti pakaian khusus untuk ke sawah. Pakaian lusuh yang sudah pudar warnanya. Tak lupa juga Bu Tini menggunakan caping agar kepalanya tidak pusing karena terik matahari.
"Ya udah kalau gitu. Hati-hati, Bu."
Gayatri, kembang desa yang baru mekar. Mulai menunjukkan pesonanya. Usianya kini sudah delapan belas tahun. Kecantikan yang dimilikinya membuat kumbang-kumbang ingin menghinggapinya.
Terik matahari terasa membakar kulit. Gayatri melangkah menuju sawah dengan membawa rantang berisi nasi dan sambal ikan asin. Banyak pemuda maupun orang tua yang memandanginya.
"Eh, Gayatri, mau ke mana?" tanya seorang pemuda yang berpapasan dengan Gayatri.
"Mau ke sawah, Mas. Nganterin bekal buat ibu," jawab Gayatri dengan tersenyum ramah.
"Hati-hati, Mbak Tri," timpal pemuda itu.
Gayatri mengangguk. Ia merasa jengah karena banyak pria menatap dirinya. Bahkan ada juga pria beristri yang menatapnya tanpa sungkan. Apalagi, tatapan mereka seakan-akan ingin menerkam.
Gayatri berjalan lebih cepat ke sawah, menghindari tatapan-tatapan para pria kepada dirinya. Sesampainya di sawah, Gayatri menyisir pandangan mencari ibunya.
"Ibu!" teriak Gayatri, yang di panggil pun menghentikan kegiatannya.
Gayatri melangkah ke arah ibunya. Meletakkan bekal di tempat istirahat dan menyalami ibunya.
"Wah, Gayatri wis perawan(sudah dewasa). Tambah ketok ayune(kelihatan cantinya)," celetuk Bu Ningsih, teman kerja Ibu.
"Iya, wis perawan, tapi isih akeh malese(masih banyak malasnya)," timpal ibu. Gayatri hanya cemberut mendengar penuturan ibunya.
"Tak
pek mantu, gelem opo ora, Nduk(Aku jadikan menantu, mau apa tidak, Nak)?" timpal ibu yang satunya, Bu Tatik."Ojo, ngepek mantu arek iki, Bu. Mengko sampean susah dewe(Jangan ngambil mantu anak ini. Nanti anda susah sendiri)," canda Ibu Gayatri.
"Sudah, Bu. Kasihan, Gayatri. Mukanya sampai ditekuk gitu," timpal Bu Denok—mandor pekerja di sawah.
"Sudah waktunya istirahat. Ayo, semuanya kita makan bersama!" imbuh Bu Denok.
Makan bersama di pinggir sawah di bawah atap terpal ditambah semilir angin berembus sejuk membuat hati Gayatri nyaman. Biasanya, di rumah ia hanya makan sendirian. Kini, ia merasakan indahnya kebersamaan.
"Gayatri, kamu makanlah juga," titah Bu Tini sembari mengambilkan nasi dan lauknya.
"Iya, Bu. Bu, aku ke sini tiap hari, ya? Nganterin bekal buat Ibu," tawar Gayatri.
"Anak Bu Tini, mungkin nyaman di sini. Makanya pengen ke sini tiap hari," celetuk Bu Tatik.
"Iya, Bu. Saya merasa nyaman di sini. Pemandangannya bagus," sahut Gayatri sambi tertawa kecil.
"Iya, terserah kamu saja, Tri," ucap ibu.
Gayatri tersenyum senang. Ia bisa melihat pemandangan di luar rumah setiap hari. Selama ini, ia jarang pergi ke luar rumah karena ibunya tak mengizinkan.
***
Matahari mulai berjalan ke arah barat. Jarum jam yang bertengger di pergelangan tangan Bu Denok menunjukkan pukul empat. Para pekerja di sawah bersiap untuk pulang ke rumah masing-masing.
"Gayatri, ayo, pulang, Nak!" ajak Bu Tini.
"Pamitan dulu sama ibu-ibu yang lain," imbuhnya.
"Iya, Bu," jawab Gayatri, kemudian berpamitan ke semua teman ibunya.
"Ibu-ibu, saya pulang duluan," pamit Bu Tini dan diiringi Gayatri
Gayatri dan ibunya berjalan beriringan pulang ke rumah. Perjalanan dari sawah ke rumah memakan waktu sekitar lima belas menitan. Jadi, mereka mengisinya dengan saling bercanda.
"Gayatri?" sapa seorang pria tampan yang kini berada di hadapan Gayatri.
"Iya, siapa, ya?" tanya Gayatri yang tak pernah melihat pria yang baru saja menyapanya.
"Aku Galang," jawan pria itu sembari mengulurkan tangannya.
"Oh, iya," balas Gayatri sembari menangkup kedua tangannya di depan dada. Pria itu tampak canggung.
"Maaf, Mas. Saya sama ibu mau pulang," ucap Gayatri.
"Oh, iya, silakan! Maaf mengganggu."
"Permisi, Nak," ucap Bu Tini.
Pria bernama Galang itu menatap Gayatri dengan tatapan sinis. Selama ini, tak ada yang menolak untuk bersalaman dengannya. Siapa Gayatri yang berani menolak pesonanya?
"Lihat saja! Kau akan mengemis cinta padaku," ucap Galang seraya melangkah pergi.
Menjelang malam hari, bada salat Magrib. Gayatri selalu berbaring di pangkuan ibunya. Bermanja dengan seorang ibu adalah hal paling menyenangkan untuk seorang anak. Ditemani oleh irama jangkrik yang saling bersahutan di samping rumah, membuat suasana semakin syahdu."Ibu?""Aku sayang Ibu," ucap Gayatri yang merasa nyaman saat Bu Tini mengusap-usap kepalanya."Oh, ya? Jika sekarang kamu bilang sayang sama ibu, apa nanti jika kenal sama cowok akan tetap sama?" ujar Bu Tini yang seketika membuat Gayatri mendongak menatap ibunya."Ibu, kok,ngomongnya gitu, sih?" ucap Gayatri yang merasa tak terima."Ibu, aku sayangnya sama Ibu. Nggak adalah cowok-cowokan," jawab Gayatri.Bu Tini tertawa. Guratan keriput di wajah Bu Tini tak menampik kecantikan ya
Gayatri berjalan menuju sawah seperti biasanya dengan menenteng rantang berisi nasi beserta sayur asem dan tempe goreng. Hari ini,Gayatri memasak sendiri. Hitung-hitung agar ia bisa luwes dalam urusan dapur.Di perempatan jalan, Gayatri diadang oleh empat pria. Mereka mengelilinginya sembari tertawa. "Minggir!" seru Gayatri sembari memeluk rantang dengan tubuh yang sedikit bergetar."Mauabang anter, Neng?" tawar seorang pria yang terlihat lebih tua dari yang lainnya."Aku bisa pergi sendiri, minggir!" teriak Gayatri."Cantik-cantik, kok, galak amat?" Seorang pemuda yang terlihat seusia Gayatri."Mbak Gayatri, pacaran sama aku, yuk?" Kini pria berpawakan tinggi tegap menimpali."Udah, jangan digodain terus. Kasih
Suasana berubah tegang. Cepat sekali Bu Tini bertindak. Padahal, Gayatri hanya beberapa kali bertemu dan berjalan bersama Galang. Namun, respon ibunya sangat tidak terduga.Gayatri berjalan sambil membawa teko berisi teh hangat dan tiga gelas yang tertata rapi di nampan. Ia melirik sekilas ke arah Galang yang terlihat terkejut dengan ucapan ibunya."Ibu, kenapa ibu mengatakan hal seperti itu? Gayatri dan Galang tidak ada hubungan apa pun." Gayatri menjelaskan kepada ibunya lantas mengambil posisi duduk di sebelah Bu Tini."Ibu hanya ingin menjaga dirimu dari fitnah, Nak. Lagi pula,tak pantas jika seorang wanita dan pria yang bukan mahram berjalan bersama. Ibu juga takut jika suatu saat kalian semakin dekat dan akhirnya terjerumus ke jurang zina," jelas Bu Tini.Gayatri mendesah kasar. Jika dipikir, memang benar perkataan yang dilontarkan ibunya. Namun, ia sama sekali tak berpi
"Gayatri, ayo, bangun! Gayatri merasa tubuhnya bergoyang. Sepeninggal Galang semalam, ia merasa sulit untuk bangun. Mungkin, karena Gayatri baru bisa tidur menjelang Subuh."Gayatri!" Suara Bu Tini kali ini terdengar lebih keras hingga mau tak mau Gayatri harus bangun."Gayatri, kok, kamu sekarang malah jadi males bangun pagi?" tanya Bu Tini. Gayatri yang masih belum sepenuhnya sadar hanya mendengarkan saja karena kepalanya terasa sangat berat."Cepetan pergi ke kamar mandi! Mandi, wudu terus salat. Sebelum waktunya habis," perintah Bu Tini."Iya, Bu." jawab Gayatri pasrah. Ia berjalan gontai ke kamar mandi dengan mata setengah terbuka.***Kepulan asap di dapur menyeruak memedihkan mata Gayatri yang tengah berjalan menuju dapur. Ternyata, kepulan asap tersebut berasal dari kayu bakar yang tengah di kipasi oleh Bu T
Langit begitu pekat. Cahaya rembulan pun tidak secerah kemarin. Gayatri yang tengah duduk di tepi jendela kamar tengah mengamati beberapa bintang di langit yang pekat. Seulas senyum tersungging kala Gayatri melihat ada dua bintang yang berjejer. Khayalannya mulai bereaksi, seakan-akan dua bintang itu adalah Galang dan dirinya."Galang, apa kau merindukanku?" Gayatri berbicara sendiri.Embusan angin menerpa wajah dan rambut Gayatri. Suara jangkrik dan katak pun turut bersenandung di gelapnya malam. Hawa dingin terasa semakin menusuk kulit, apalagi Gayatri tidak memakai jaket saat ini.Ia memutuskan menutup jendela. Namun, saat jendela akan tertutup, Gayatri mendengar suara langkah kaki menuju ke arahnya. Apakah itu Galang? pikir Gayatri."Hai?" sapa seorang pria dengan senyum merekah. Pria dengan wajah tampan di hadapannya mampu dengan mudah membiusnya."Galang?" Raut wajah Gayatri memancarkan kebahagian yang begitu kentara."Kenapa? Lagi nun
Suara azan berkumandang, membangunkan Gayatri dari mimpi indahnya. Ia mengerjap-kerjapkan mata untuk mengusir rasa kantuk yang masih terasa. Diliriknya ponsel yang berada di sebelah bantalnya, ada tiga pesan masuk dari Galang.Namun, Gayatri mengurungkan niat untuk membuka pesan tersebut karena ia tahu, ibunya pasti sedang menunggunya. Gayatri sudah tahu jika ibunya pasti sudah tahu tentang apa pun yang selama ini ia tutupi."Gayatri, kamu mau mandi air hangat?" tawar Bu Tini saat Gayatri melewati dapur.Gayatri menggeleng. "Gayatri mau mandi air dingin biar seger, Bu," sahut Gayatri.Selesai salat Subuh, Gayatri membantu ibunya yang tengah bergelut di dapur. Namun, tidak seperti biasanya. Ibu Tini lebih banyak diam kali ini, membuat Gayatri merasa tidak nyaman."Bu?""Iya!" sahut Bu Tini singkat tanpa menoleh."Ibu marah sama Gayatri?"Te
"I—ibu ...." Gayatri terkunci. Ia tidak dapat berkata apa pun. Hanya tangisan yang menjadi ungkapan hatinya saat ini."Pergi! Pergi kamu dari sini!" jerit Bu Tini sembari menunjuk-nunjuk tepat di wajah Galang. Kedua mata Bu Tini berkilat, menggambarkan bahwa ia benar-benar telah dikuasai amarah yang begitu besar."Bu, tolong dengarkan penjelasan saya," sela Galang.Bu Tini, yang telah dikuasai amarah tak memedulikan ucapan Galang. Ia sangat terkejut sekaligus kecewa dengan perbuatan memalukan yang dilakukan anak semata wayangnya. Sedangkan, Gayatri hanya menunduk tidak mampu menatap wajah sang ibu."Ibu tidak menyangka, jika kalian bisa bertindak sejauh ini," desis Bu Tini dengan tangan mengepal dan mata berkaca-kaca."Galang, aku sempat percaya padamu, tapi nyatanya kamu telah merobek kep
Semua orang yang berada di ruangan sontak terkejut mendengar ucapan Bu Tini. Pasalnya, Bu Tini terkenal sebagaiibu yang sangat menyayangi anaknya dan tidak bisa jauh dari putri semata wayangnya—Gayatri. Namun, kini ucapan Bu Tini, cukup melukiskan betapa kecewa hatinya."Sabar, Bu. Semua bisa dibicarakan baik-baik. Jangan terlalu cepat mengambil keputusan untuk emosi sesaat," sela Haji Yusuf.Gayatri yang mendengar ucapan sangibu, kini tidak lagi bersimpuh, melainkan bersujud di kaki ibunya. Gayatri meraung-raung mengucapkan maaf berkali-kali, tetapi ibunya hanya bergeming. Bu Tini tidak berniat sekali pun menoleh ke arah Gayatri."Nak, sudah jangan begitu. Bangunlah!" Haji Yusuf mencoba membantu Gayatri bangun."Bu Tini, tolong maafkanlah dia. Kita akan membantu menemui keluarga Galang," timpal Pak Budi yang
Seorang gadis tengah berdiri dibelakang jendela sambil tersenyum bahagia. Kebaya putih dan jarik motif SidaMukti melekat di tubuhnya. Motif Sida Mukti merupakan motif yang seringdigunakan saat acara akad nikah. Arti kata Mukti sendiri adalah kehidupansejahtera dan makmur, sehingga diharapkan agar kedua mempelai mempunyai sifatmengerti dan pemurah terhadap sesama."Nduk, sudah siap?" Bu Tini tersenyum seraya menepuk pundakGayatri."Insyaallah," sahut Gayatri.Bu Tini terlihat menyeka sudutmatanya yang berlinang. Menyaksikan putri semata wayangnya memakai kebayaberbalut jilbab syari dan dihiasi roncean bunga melati. Hatinya seolah-olahmendayu melihat penampilan Gayatri. Sebentar lagi, kewajibannya sebagai seorangibu akan berpindah tempat ke tangan Ustaz Haikal."Doakan aku, ya, Bu. Semoga akubisa menjadi istri salihah untuk Ustaz Haikal," ujar Gayatri."Ibu selalu mendoakan yangterbaik untukmu, Nak." Bu Tini memeluk putrinya dengan penuh sayang."Nak, ayo, kita berangkatsekarang!" ajak
Kegembiraan tak dapat disembunyikanoleh Gayatri. Wajah semringahyang ia tampilkan membuat wajahnya semakin ayu. Binar-binar bahagia terpancarjelas di wajahnya."Assalamualaikum," salamHaji Yusuf yang baru datang."Waalaikumsalam," sahutsemua penghuni rumah serempak."Silakan duduk, Abah. Dudukdikursi saja biar nanti tidak susah berdiri," tutur Gayatri."Sudah, Nak. Di bawah saja biarsama seperti yang lain. Lagi pula,abah masih kuat," sahut Haji Yusuf."Monggo, Ji. Sambildinikmati," ujar Pak Sugeng seraya menunjuk ke arah hidangan."Iya. Terima kasih. Lebih baiksekarang acaranya kita mulai, ya. Kasihan Nak Haikal sudah tidak sabar,"celetuk Haji Yusuf yang membuat Ustaz Haikal merasa malu."Silakan, Nak Haikal. Sampaikanmaksud dan tujuanmu datang ke mari bersama keluargamu." Haji Yusuf mempersilakanUstaz Haikal berucap.Ustaz Haikal menarik napas panjangdan mengeluarkannya melalui mulut. "Bismillahirrahmanirrahim. Bapak Sugengsekeluarga yang diridhoi Allah. Saya, Muhammad Haikal Firmans
Sang buana disambut oleh hangatnyasinar mentari. Kabar tentang Gayatri yang akan menikah telah menyebar keseluruh desa. Pelbagai komentar positif dan negatif turut mengiringi beredarnyakabar itu.Biarlah bagaimana orang menilai. Lagipun Gayatri tidak ingin merusak suasana hati. Setiap penilaian orang itu benar.Tergantung dari sisi mana mereka menilai.Kini, di rumah Gayatri sedang banyakorang yang membantu ibudan bapaknya. Ada yang membuat kue, rawon, dan soto. Sudah menjadi tradisi didesa Gayatri untuk saling membantu saat akan ada acara sakral, seperti lamaranataupun mantu.Raut kebahagian terpancar dari wajahBu Tini. Begitu pula Pak Sugeng yang tak henti melepas pandangan dari istrinyaitu. Ah, semoga saja kelak Gayatri juga sepertimereka, batin Gayatri."Ustaz Haikal mungkin sudah adadi desa ini," gumam Gayatri sambil memainkan ponsel. Selama ini, Gayatridan Ustaz Haikal tak pernah bertukar kabar. Mungkin, karena rasa malu yangmelanda."Assalamualaikum." Suarasalam terdengar di am
Kokok ayam saling bersahutan,diiringi mentari yang terbit dari ufuk timur. Gayatri masih betah di peraduan.Entah mengapa rasanya sulit untuk keluar dan menemui bapaknya.Asap mengepul membuat udara seantreorumah berbau sangit. Ternyata, di dapur Bu Tini sudah bergelut dengan api, air,dan makanan. Seulas senyum tersungging dari bibir Pak Sugeng saat melihatnya.Ingatan masa lalu saat masih bersama istrinya kembali melintas dalam kepalanya."Tini?" panggil Pak Sugeng.Bu Tini yang tengah sibuk memasakmenoleh kala melihat suaminya berdiri di pintu dapur. "Iya, ada apa?"tanya Bu Tini."Gayatri belum bangun, ya?"tanya Pak Sugeng."Biasanya dia sudah bangun.Mungkin masih betah di kamar," sahut Bu Tini menoleh sebentar, lantaskembali melanjutkan pekerjaannya.Pak Sugeng mengerti. Mungkin Gayatrimasih belum bisa menerima dirinya. Memang tak mudah memaafkan kesalahannya yangbegitu besar. Pak Sugeng pun memutuskan untuk menemui Gayatri di kamarnya.Tok! Tok! Tok!Gayatri menoleh ke arah pintu. T
Suara melengking Gayatri membuatsemua penghuni rumah menoleh. Tuan Darwin tersenyum miring menyaksikan Gayatriyang berlari ke arahnya dengan wajah merah padam.Plak!Tamparan keras berhasil mendarat dipipi Tuan Darwin. Bu Tini terkejut saat menyaksikan reaksi Gayatri. SedangkanPak Sugeng bingung dengan apa yang tengah terjadi."Sebaiknya Anda pergi darisini!" usir Gayatri sambil menunjuk Tuan Darwin."Cih! Dasar pelacur!" decihTuan Darwin.Seketika wajah Pak Sugeng pucat pasi.Sebuah peristiwa pertemuan dengan Gayatri melintas di dalam otaknya. Sakingbanyaknya wanita yang pernah ia jemput untuk menemui Tuan Darwin sehingga lupabahwa ia juga pernah menjemput Gayatri dan mengantarkannya ke hotel.Ya ... Pak Sugeng ingat bahwa Gayatriadalah wanita yang sempat menangis di dalam mobil yang ia sopiri waktu itu.Mengingat itu, Pak Sugeng luruh ke lantai merutuki kebodohannya. Bagaimanamungkin ia lupa dengan anaknya sendiri? Bagaimana mungkin, ia tak mengenalianak kandungnya sendiri?Bu Tini ya
Senyum merekah tergambar jelas diwajah Pak Sugeng. Dengan hati-hati, ia melangkah keluar kamar menemui Tuannya.Tuan Darwin berjanji bahwa ia akan mengantarkannya pulang ke rumah."Pak Sugeng!" panggil Tuan Darwin yang berada di ruang tengah.Gegas Pak Sugeng menemui tuannya. "Iya, Tuan?" sahutPak Sugeng."Ini untukmu. Terima kasih ataspengabdianmu bekerja padaku selama hampir sepuluh tahun ini." Tuan Darwinmengulurkan amplop cokelatbesar yang sangat tebal."Ta—tapi, ini terlalu banyak, Tuan."Pak Sugeng menerima amplop tersebut dengan bergetar. Selama ini, ia tak pernahmemegang secara langsung uang sebanyak ini."Sudahlah, itu masih tidaksebanding dengan pengorbananmu," timpal Tuan Sugeng."Kau bisa membangun rumahmu didesa dan hidup lebih baik," imbuh Tuan Darwin.Pak Sugeng tak mampu menahan airmata. Rasa haru menyeruak dalam hatinya. Dengan uang itu, Pak Sugeng akanmembangun rumah impian bersama keluarganya.Pak Sugeng masih ingat saat duluhidup bersama istrinya. Rumah yang ia tempa
"Tuan, saya ingin berhenti bekerja," ucap seorang pria sekitar usia enam puluhan. Ia memberanikandiri mengatakan hal tersebut kepada tuannya.Seseorang yang dipanggil Tuan ituberhenti dari aktivitasnya membaca koran. Ia mendongak menatap sopir yangselama hampir sepuluh tahun itu menemaninya."Kenapa, Pak Geng?" Alissang tuanbertautan."Saya rindu sama keluarga, Tuan.Saya ingin membahagiakan mereka di sisa hidup ini," sahut Pak Sugeng—sopir Tuan Darwin."Memang di mana rumahmu?"tanya Tuan Darwin dengan suaranya yang khas."Rumah saya di desa Sumberejo,Tuan. Jauh dari sini," sahut Pak Sugeng."Saya ingin menebus segalakesalahan saya sama mereka, Tuan," imbuh Pak Sugeng."Kesalahan?" tekan TuanDarwin.Pak Sugeng mengangguk, ia meraupudara sebanyak mungkin lantas mengembuskannya pelan. "Dulu sayameninggalkan mereka demi mencari kepuasan batin saya," terang Pak Sugengdengan mata berkaca-kaca.Tuan Darwin tersenyum simpulmendengar penuturan sopirnya itu. Bukankah memang wajar jika manusia h
Hati Gayatri berbunga-bunga, bagaikanbunga yang merekah di musim semi. Degup jantungnya tak keruan bagaikan tembangasmaradana yang berdetak kencang. Ia tak menyangka bahwa Ustaz Haikal akanmelamarnya."Saya akan kembali secepatnyadengan keluarga besar saya satu minggu lagi untuk melamar Gayatri secararesmi," tegas Ustaz Haikal."Iya, Mbak. Saya akan mengabarikeluarga dari ayah Haikal juga," timpal Bu Nurma."Baik, Mbak. Saya juga akanmengabari semua keluarga. Semoga saja bapaknya Gayatri pulang," sahut BuTini dengan wajah berubah sendu."Mas Sugeng tidak pernah pulang,Mbak?" Bu Nurma bertanya sebab menangkap raut kesedihan dari wajah BuTini."Semenjak Gayatri berumur empattahun, Mas Sugeng pergi dan tidak pernah kembali, Mbak. Setiap saya bertanyakepada semua keluarga Mas Sugeng, mereka tidak pernah mau menjawab. Malah sayadiperlakukan secara kasar," terang Bu Tini dengan matanya berkaca-kacaseakan-akan menerawang kejadian masa lalunya."Mereka tidak ingin menjalinkekerabatan lagi den
"Ya Allah, ampunilah hamba-Muini karena telah berani memikirkan orang yang belum halal untukku." UstazHaikal berdoa selesai salatnya.Entah mengapa, kala melihat Gayatri,ia selalu merasakan perasaan yang aneh. Sorot mata Gayatri yang memperlihatkanketeduhan membuat Ustaz Haikal sampai memikirkannya. Bahkan, sampai masuk kedalam mimpinya.Ya ... selama dua hariberturut-turut, Ustaz Haikal didatangi Gayatri lewat mimpi. Dalam mimpinya,Gayatri terlihat sangat anggun dan memesona. Wajahnya bercahaya dan keibuan."Ya Allah, jika memang kamiberjodoh, izinkanlah kami bersatu. Jika tidak, maka tolong hilangkan segalabayangannya yang selalu terlintas dalam benakku." Ustaz Haikal terusmemohon pada Sang Pencipta.Malam ini, sebelum Ustaz Haikalkembali pulang ke kota. Ia menyempatkan melaksanakan salat istikharah. Iamembutuhkan petunjuk agar Allah memberikan jawaban atas kegelisahannya.Dulu, pernah ada seorang kiai ternama bernama Kiai Bishri yang ingin menjadikan UstazHaikal sebagai menantu. Na