Share

Awal Mula (Flashback)

Pagi hari, udara di desa Sumberejo begitu menusuk kulit hingga ke tulang. Dingin. Sumber air di seluruh desa terasa seperti air es. Bagaimana tidak? Letak desa Sumberejo berada di Kaki Pegunungan Semeru.

Itulah alasan yang mungkin, membuat Gayatri malas untuk bangun pagi. Keluar dari balik selimut bagai berada di kutub utara dan menyentuh air biasa bagaikan menyentuh salju yang sangat dingin.

"Gayatri, ayo, bangun! Pamali anak gadis bangun setelah matahari terbit!" teriak seorang wanita paruh baya yang sedang berkutat di dapur.

Ibu Hartini atau biasa dipanggil Bu Tini, ia adalah Ibu kandung Gayatri. Ia membesarkan anaknya seorang diri. Semenjak suaminya pergi saat Gayatri masih kecil, ia tetap pada pendiriannya. Tak akan menikah lagi demi menghindari sesuatu yang tak ia inginkan.

"Gayatri ... anak itu memang pemalas. Matahari sudah mulai terbit tapi masih betah di dalam kamar," ucap Bu Tini sembari menyalakan kayu bakar untuk digunakan memasak di kompor tungku. Lantas, Bu Tini merebus air untuk dipergunakan memasak dan mandi Gayatri.

Setelah semua dipastikan beres, Bu Tini menuju ke kamar Gayatri. "Gayatri, ayo, bangun! Waktu salat Subuh keburu habis," ujar Bu Tini sembari menyibak selimut yang menutupi tubuh putrinya.

"Dingin, Bu. Gayatri males," rengek Gayatri sambil menarik kembali sellimutnya.

"Gayatri! Bangun, mandi, salat!" tegas Bu Tini membuat Gayatri mau tak mau bangun dengan perasaan malas.

"Air panas ada di panci. Gunakan secukupnya untuk mandi," tutur Bu Tini mengekori langkah gontai Gayatri.

"Iya." Gayatri mengambil ember dan mengisinya dengan air mendidih yang ada di panci di atas tungku. Ia melangkah menuju kamar mandi yang berada di belakang rumah. Ya ... letak kamar mandinya berada di luar rumah dan hanya tertutup oleh pepohonan.

"Salat dulu, Tri," perintah Bu Tini kepada Gayatri yang sudah terlihat segar.

"Iya, Bu."

***

"Hmm ... aromanya wangi sekali," ujar Gayatri seraya masuk ke dapur.

Aroma wangi yang dimaksud ialah sambal terasi buatan ibunya. Aroma yang dihasilkan memanjakan hidung siapa saja yang mencium. Bu Tini selalu mencampur sambalnya dengan ikan asin, sehingga kucing pun seakan-akan menunggu bagiannya.

"Bu, aku bantuin apa?" tanya Gayatri yang sudah selesai dengan aktivitasnya.

"Angkat sayuran itu. Sepertinya sudah matang," balas Ibu Gayatri seraya menunjuk panci berisi sayuran dengan dagunya.

Gayatri mengangguk. Ia mengambil serok ukuran besar dan mengangkat sayuran yang kini sudah menjadi kulupan.

"Bu, nanti Gayatri ikut ke sawah, ya." Gayatri berucap sambil meletakkan kulupan  tersebut di sebelah sambal. Menu paling istimewa menurut Gayatri.

"Mau ngapain, Tri?"

"Bantuin Ibu," sahut Gayatri dengan seulas senyum yang menunjukkan gigi gingsulnya.

"Anterin makanan saja nanti siang ke sawah. Gak perlu barengin Ibu. Di sawah itu panas, nanti kamu jadi kucel," sahut Bu Tini.

Ibu Gayatri berganti pakaian khusus untuk ke sawah. Pakaian lusuh yang sudah pudar warnanya. Tak lupa juga Bu Tini menggunakan caping agar kepalanya tidak pusing karena terik matahari.

"Ya udah kalau gitu. Hati-hati, Bu."

Gayatri, kembang desa yang baru mekar. Mulai menunjukkan pesonanya. Usianya kini sudah delapan belas tahun. Kecantikan yang dimilikinya membuat kumbang-kumbang ingin menghinggapinya.

Terik matahari terasa membakar kulit. Gayatri melangkah menuju sawah dengan membawa rantang berisi nasi dan sambal ikan asin. Banyak pemuda maupun orang tua yang memandanginya.

"Eh, Gayatri, mau ke mana?" tanya seorang pemuda yang berpapasan dengan Gayatri.

"Mau ke sawah, Mas. Nganterin bekal buat ibu," jawab Gayatri dengan tersenyum ramah.

"Hati-hati, Mbak Tri," timpal pemuda itu.

Gayatri mengangguk. Ia merasa jengah karena banyak pria menatap dirinya. Bahkan ada juga pria beristri yang menatapnya tanpa sungkan. Apalagi, tatapan mereka seakan-akan ingin menerkam.

Gayatri berjalan lebih cepat ke sawah, menghindari tatapan-tatapan para pria kepada dirinya. Sesampainya di sawah, Gayatri menyisir pandangan mencari ibunya.

"Ibu!" teriak Gayatri, yang di panggil pun menghentikan kegiatannya.

Gayatri melangkah ke arah ibunya. Meletakkan bekal di tempat istirahat dan menyalami ibunya.

"Wah, Gayatri wis perawan(sudah dewasa). Tambah ketok ayune(kelihatan cantinya)," celetuk Bu Ningsih, teman kerja Ibu.

"Iya, wis perawan, tapi isih akeh malese(masih banyak malasnya)," timpal ibu. Gayatri hanya cemberut mendengar penuturan ibunya.

"Tak

pek mantu, gelem opo ora, Nduk(Aku jadikan menantu, mau apa tidak, Nak)?" timpal ibu yang satunya, Bu Tatik.

"Ojo, ngepek mantu arek iki, Bu. Mengko sampean susah dewe(Jangan ngambil mantu anak ini. Nanti anda susah sendiri)," canda Ibu Gayatri.

"Sudah, Bu. Kasihan, Gayatri. Mukanya sampai ditekuk gitu," timpal Bu Denok—mandor pekerja di sawah.

"Sudah waktunya istirahat. Ayo, semuanya kita makan bersama!" imbuh Bu Denok.

Makan bersama di pinggir sawah di bawah atap terpal ditambah semilir angin berembus sejuk membuat hati Gayatri nyaman. Biasanya, di rumah ia hanya makan sendirian. Kini, ia merasakan indahnya kebersamaan.

"Gayatri, kamu makanlah juga," titah Bu Tini sembari mengambilkan nasi dan lauknya.

"Iya, Bu. Bu, aku ke sini tiap hari, ya? Nganterin bekal buat Ibu," tawar Gayatri.

"Anak Bu Tini, mungkin nyaman di sini. Makanya pengen ke sini tiap hari," celetuk Bu Tatik.

"Iya, Bu. Saya merasa nyaman di sini. Pemandangannya bagus," sahut Gayatri sambi tertawa kecil.

"Iya, terserah kamu saja, Tri," ucap ibu.

Gayatri tersenyum senang. Ia bisa melihat pemandangan di luar rumah setiap hari. Selama ini, ia jarang pergi ke luar rumah karena ibunya tak mengizinkan.

***

Matahari mulai berjalan ke arah barat. Jarum jam yang bertengger di pergelangan tangan Bu Denok menunjukkan pukul empat. Para pekerja di sawah bersiap untuk pulang ke rumah masing-masing.

"Gayatri, ayo, pulang, Nak!" ajak Bu Tini.

"Pamitan dulu sama ibu-ibu yang lain," imbuhnya.

"Iya, Bu," jawab Gayatri, kemudian berpamitan ke semua teman ibunya.

"Ibu-ibu, saya pulang duluan," pamit Bu Tini dan diiringi Gayatri

Gayatri dan ibunya berjalan beriringan pulang ke rumah. Perjalanan dari sawah ke rumah memakan waktu sekitar lima belas menitan. Jadi, mereka mengisinya dengan saling bercanda.

"Gayatri?" sapa seorang pria tampan yang kini berada di hadapan Gayatri.

"Iya, siapa, ya?" tanya Gayatri yang tak pernah melihat pria yang baru saja menyapanya.

"Aku Galang," jawan pria itu sembari mengulurkan tangannya.

"Oh, iya," balas Gayatri sembari menangkup kedua tangannya di depan dada. Pria itu tampak canggung.

"Maaf, Mas. Saya sama ibu mau pulang," ucap Gayatri.

"Oh, iya, silakan! Maaf mengganggu."

"Permisi, Nak," ucap Bu Tini.

Pria bernama Galang itu menatap Gayatri dengan tatapan sinis. Selama ini, tak ada yang menolak untuk bersalaman dengannya. Siapa Gayatri yang berani menolak pesonanya?

"Lihat saja! Kau akan mengemis cinta padaku," ucap Galang seraya melangkah pergi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status