Cahaya lilin yang kekuningan menimpa wajah Reno. siapapun pasti setuju dengan julukan tampan untuk Reno. sekali lagi, kami tidak berdebat tentang apapun untuk kejadian kemarin, dimana ia menampar Anggi.
Aku juga malas mengulas dan membahas sebab akibat kejadian itu. saat ini, yang menjadi peganganku adalah Reno tidak akan melangkah ke jenjang impian Anggi tanpa persetujuanku. untuk itu, aku masih bisa mempercayainya.
Jika dipikirkan, pernikahan ternyata bukanlah akhir cerita bahagia untuk sebuah hubungan seperti yang sering menjadi alur drama romantis di televisi.
Awal pernikahan pasti masih terasa sangat manis di tahun pertama, tahun di mana negara api belum menyerang.
Jika, saat masih gadis aku bisa tidur kapan pun aku mau, ingin makan, belanja, traveling dan apapun itu tanpa mempertimbangkan pengeluaran. kini, semua menjadi hal berbeda.
Baik, sebenarnya aku sama sekali tidak keberatan karena anak adalah sumber kebahagiaan yang tidak mungkin aku dapatkan saat masih berstatus gadis.
Meski, di awal kelahirannya, aku hampir tiap malam bergadang sendirian tanpa mengganggu Reno. Seharian mengurus rumah dan kebutuhan anak hingga lupa menyisir rambut. Berhenti makan dan terbangun dari tidur karena anak menangis. Seperti saat ini, aku sedang buang air dan anakku menangis menggedor-gedor pintu kamar mandi.
"Sebentar sayang!" ujarku di dalam toilet.
"Ma…Ma…Ma…," tangisnya pecah dengan terus menggedor pintu kamar mandi. sudah hampir seminggu ia mulai bisa berjalan perlahan. Aku dan Ibu yang pertama melihatnya, bukan Reno.
"Ayo kemari...," Jawabku membuka pintu karena tidak tahan melihatnya menangis. aku lantas memangkunya di saat genting begini.
Siapa anak Mama?" tanyaku mencium keningnya.
"Loh, kok anak dibawa ke toilet dek?" tanya Reno dengan suara serak, terkejut saat membuka kamar mandi. aku tidak menjawab dan membiarkannya mengambil serta membawa Tania keluar dari kamar mandi.
Mendengar suaranya serak karena flu, tiba-tiba, ada ide muncul di kepalaku. aku bergegas menyelesaikan ritual di toilet ini, lalu keluar mendekati Reno.
"Mas tidak terlambat ke kantor?" tanyaku.
"Iya ini mau bersiap-siap berangkat," jawabnya santai.
" Aku buatkan bubur nasi dan sup iga ya!" ujarku menatapnya
"Bagaimana kalau nanti siang saja, Mas takut telat ke kantor," jawabnya
"Aku antar saja nanti ke kantor!" tawarku dengan serius
"A...apa? Hmm, tidak usah dek. nanti kamu repot!"
"Tidak repot kok, Mas. Kenapa aku merasa bahwa Mas Reno sepertinya takut?" Aku menatapnya dengan tatapan curiga.
"Takut kenapa?" Reno mulai gugup.
"Jadi?" lanjutku.
"Ya sudah tidak apa-apa," balasnya mau tidak mau.
"Oke nanti aku siapkan!" Aku tersenyum penuh semangat, lalu mengambil alih untuk menggendong Tania.
**
Namaku Jane Zabila dan dulunya aku dijuluki chef Jane oleh sahabat-sahabatku sejak aku di bangku sekolah dasar. Mereka bilang, apa saja yang dimasak olehku akan terasa sangat enak.
Itu juga salah satu alasan mengapa Reno jatuh cinta padaku. Dia adalah abang kelas di bangku SMP dan awal kami bertemu adalah saat Ia menjadi panitia untuk lomba masak dimana akulah yang menjadi juara umumnya.
Namaku Jane Zabila, selain juara umum di angkatanku dalam hal pendidikan. aku juga juara umum di hampir setiap perlombaan masak di sekolah. dan menurutku, sudah saatnya aku menunjukkan gigi di depan perempuan yang bernama Anggi itu. dia harus tahu, dia mencoba peruntungan di tempat yang salah.
**
Di kantor Reno.
Aku masih di lobi saat menunggu konfirmasi Reno agar operator memperbolehkanku naik ke lantai 19 di mana ruangan Reno berada.
"Wah, ada Mbak Jane," sapa perempuan laknat itu tiba-tiba muncul. Kenapa harus dia yang menjadi pembukaan orang yang kutemui.
"Berani kamu ya, menyapa!" Aku menatapnya kesal sambil menggoyang-goyangkan anakku di gendongan belakang.
"Biar sini saya bantu," ujarnya ingin menghampiri salah satu rantang besar yang kubawa. aku bergerak cepat menjauhkannya dari tangan perempuan ini. Gila sekali dia, menganggap kejadian sebelumnya seolah tidak pernah terjadi.
"Tidak usah!" jawabku kasar.
"Sebentar ya, Bu. Bapak masih rapat, Ibu bisa duduk di sofa ruang tunggu." Operator itu memberi penjelasan.
"Oh, kenapa harus menunggu di sini? tidak apa-apa. Biar Ibu ini langsung ke kantor Pak Reno. Beliau ini istri sah Pak Reno," Potongnya melirikku dengan senyuman memuakkan. Paling tidak, dia mengakui bahawa aku ini adalah istri sah dari Reno.
"Baik, Bu! silahkan ke ruangan Pak Reno di lantai 19" Operator itu memberiku sebuah kartu. Aku mengambilnya, lalu segera pergi tanpa mengucapkan apa-apa ke Anggi. ia terus menatapiku hingga masuk ke dalam lift. come on, aku tidak boleh gugup.
**
Sesampainya di lantai 19. Aku mendapati banyak meja karyawan yang tersusun rapi dan aku harus melewati mereka barulah bisa masuk ke dalam ruang kerja Reno.
"Ibu Jane!" Sapa seorang karyawan senior yang akrab kupanggil Mbak Yayang. kami kerap bertukar resep masakan jika bertemu di acara wisata perusahaan.
"Hai, Mbak Yayang!"
"Ibu mencari Bapak, ya?"
"Iya Benar."
"Ibu bawa apa? Aduh, adik cantik, imut sekali! Boleh saya gendong Bu," kata Mbak Yayang meminta untuk mengambil anakku.
"Boleh," jawabku senang.
Akupun berjalan bersama Mbak Yayang menuju ruangan Reno, sepanjang berjalan, karyawan-karyawan di sana tersenyum ramah dan menunduk menyapa hingga Reno keluar dari ruangan. Padaha, aku belum sempat masuk.
"Beneran datang, Dek?"
"Iya Mas," jawabku tersenyum.
"Mas senang kamu datang, tapi harusnya tidak perlu repot-repot."
"Aku masak bubur nasi dan sup iga dengan porsi yang banyak," jelasku mengeraskan suara. Para karyawan lebih banyak melirik daripada yang tidak.
Reno memeriksa rantang dan plastik yang kubawa,"Kamu masak banyak sekali dek," ujar Reno.
"Kelihatannya enak, Pak," celetuk salah satu karyawan.
Aku tersenyum. belum lima menit senyum itu terukir di bibirku. Anggi sudah hadir dan berjalan menuju Reno dengan beberapa berkas di dalam map.
"Ayo, silahkan yang mau mencoba masakan saya!" Aku membuka rantang agar aroma kelezatannya tercium dan benar saja, tidak butuh waktu lama untuk membuat kebanyakan dari mereka bangkit dan mendekati rantang-rantang besarku.
"Saya sudah menyiapkan mangkuk dan sendok plastik sekali pakai juga!" Aku sangat bersemangat menyendoki bubur dan sup Iga buatanku.
"Kamu ke sini, untukku atau untuk karyawanku sih dek?" cetus Reno membuat Anggi sedikit gusar. Aku tidak menjawab, bahkan tidak sempat melihat wajahnya karena terlalu sibuk membantu menyiapkan makanan di dalam mangkuk palstik agar dapat langsung disantap.
"Waah, ini beneran masakan Ibu Jane? rasanya lebih enak dari sup restoran favorit aku," cetus salah satu karyawan pria di sana.
"Setuju! Enak sekali rasanya. Saya boleh tambah, ya, bu?" cetus yang lain.
"Astaga, saya mau menangis karena rindu kampung halaman. rasanya benar-benar enak loh!"
"Iya benar."
"Benar sekali!"
Satu persatu, semua dari mereka saling bersahutan untuk memberi pujian. Tidak sia-sia rasanya bersusah payah datang ke kantor Reno. Semoga Reno sadar kalau istrinya juga punya kelebihan.
"Bapak Reno beruntung sekali punya istri seperti Ibu Jane," cetus Mbak Yayang "Tentu saja, saya memang sangat beruntung," jawab Reno.
Smash!
Teriakku girang di dalam hati. Wajah Anggi merah padam.
'Ini masih permulaan Barbara,' ujarku di dalam benak sembari sedikit melihat wajah Anggi.
"Tentu saja Ibu Jane bisa memasak dengan baik. semua Ibu rumah tangga pasti bisa, karena itulah profesinya." Anggi mulai memberi serangan balik.
"Tidak, Kok. Mama Tania memang sejak kecil sudah punya bakat memasak," jawab Reno.
"Terima kasih sayang," jawabku melembutkan suara dengan nada manja, lalu tersenyum manis. Anggi membuang muka kesal.
Tidak ada yang fokus dengan posisi rumit antara kami bertiga, Aku, Reno dan Anggi di tengah-tengah mereka. Biarlah! fokus dengan masakanku saja sudah sangat baik.
Mas Reno memandangi Tania, putri kecil kami yang sedang membentuk sesuatu dengan balok-balok miliknya. Belakangan ini kegiatan Mas Reno sudah banyak berubah. Ia dan putriku lebih banyak menghabiskan waktu berdua saja di jam pulang kantor. Melihat itu, tentu saja aku senang.Meski banyak orang berkata jika suami tiba-tiba berubah bersikap sangat baik atau meluangkan waktu yang banyak dengan istri dan anaknya maka sejatinya ia telah melakukan kesalahan di luar dan sedang berusaha menutupinya. Aku tidak perduli.Fokusku saat ini adalah mendalami makna bertahan sebab aku hanya butuh diriku sendiri dan Tuhan untuk memahaminya. bukan omongan orang lain."Mas, ini undangan apa?" tanyaku memegang undangan di atas meja kerja suami yang sedang kurapikan."Oh, Itu." Mas Reno lantas mendekat dan meraih undangan yang baru saja berada di tanganku."Hanya undangan ulang tahun perusahaan.""Aku mau ikut, Mas.""Acara seperti ini pasti membosankan,Jane.""Tapi. aku mau ikut!""Kalau kamu ikut, Bagaima
Tidak ada alasan untuk meninggalkan dapur di jam sepagi ini. Reno akan segera bangun dalam keadaan lapar dan aku harus mempersiapkan sarapan serta teh hangat untuknya.Tawaran dari Pak Burhan tadi malam masih bergentayangan di dalam kepalaku. Sudah lama rasanya, aku ingin menebus rasa bersalah kepada kedua orang tua yang sejak aku duduk di bangku sekolah dasar selalu bangga atas prestasiku. Aku ingin sekolah lagi. Aku ingin mengukir prestasi lagi.Masih terngiang saat Ayah bertanya kepadaku menjelang lulus SMA, “Kamu nanti mau kuliah jurusan apa?”“Ayah maunya aku ambil jurusan apa?”“Jurusan apa saja boleh asal kamu bisa mengikutinya dengan baik dan fokus.”“Kayaknya aku ambil jurusan tata boga saja, ya, kan, Yah?”“Boleh,” jawabnya saat itu.Ibu datang menimpali, “Kuliah itu pegangannya buku, pena, kamus dan sejenisnya, bukan sendok dan panci!”“Loh, Ibu ini kok sepele. Orang-orang pada bayar mahal ke luar negeri asal bisa belajar menjadi chef profesional. Bayangkan saja, sekali mem
Selembar kertas bertuliskan menu tergeletak di atas meja. Aku belum memesan apapun selain secangkir kopi pahit agar selaras dengan rasa yang ada di dalam hati. Meja yang berada di belakangku adalah meja yang diduduki Reno dan Anggi. Penyamaranku sepertinya berhasil sebab mereka sama sekali tidak memperhatikan ke arah meja ini. Seorang pelayan mengantarkan minuman yang dipesan Reno dan Anggi. Mereka berbincang tentang Tania, Anakku. Pembicaraan mereka berganti topik dan mulai membuatku gugup. Pikiranku berterbangan entah ke mana-mana. Hatiku berdebar. “Sudah kamu pastikan ke dokter?” “Belum. Tapi sepertinya aku memang sedang hamil,” ujar Anggi. Langit diluar cerah, tetapi petir seolah menyambar atap restoran. Kaki-kakiku lemas, pikiranku panik. “Kamu yakin?” tanya Reno. Gelasku terjatuh. “Kenapa itu? Jatuh,” Anggi berdiri dari kursi.Aku menunduk, menggeleng tidak menjawab dan bergegas jongkok membereskan cangkirku. Reno mulai mendekati. Air mataku mengalir dari balik kaca mata
Aku termenung melihat dari kaca mobil milik Haikal. “Terima kasih sudah bersedia mengantarku, Kal. Padahal aku baru mengenalmu satu hari,” gumamku menunduk.“Jangan sungkan, Jane!”Beraneka ragam perasaan melanda hatiku. Sedih mendapati kenyataan bahwa suamiku tercinta tega berkhianat hingga sampai ke tahap ranjang. Bisa-bisanya Reno panik saat rubah liar itu membuat kemungkinan bahwa ia hamil. Air mataku, lantas meleleh lagi.“Ini.” Haikal menawarkan selembar tisu sambil mengemudi.“Terima kasih,” jawabku membuang muka ke luar jendela. Hening.Haikal seperti sedang melihat calon mahasiswa baru yang layak untuk diajarkan tentang orientasi studi dan pengenalan kampus. ”Menjadi mahasiswa di Universitas Negeri itu harus…,” paparnya memulai berbicara tentang kelebihan kampus A dibanding kampus B lalu, memaparkan program-program beasiswa dalam negeri yang menarik hingga yang terbaik. Sayangnya, aku hanya tersenyum sekenanya. Tidak antusias lagi untuk menanggapi. Ia terlihat berpikir dan
Siang menjelang sore itu. Akhirnya Haikal ikut makan sate bersamaku. Kami tidak lagi membahas masalah stiker lama yang melekat di motor. Namun, lebih fokus membicarakan tentang beasiswa dan jurusan di universitas.“ini nih yang paling aku rekomendasi,” ujar Haikal bersemangat.“Apa ini?” Aku melihat layar handphone milik Haikal.“Umurmu masih masuk dalam katagori penerima beasiswa ini, selain uang kuliahnya gratis. Nantinya di pertengahan masa kuliah, kampus ini suka mengirimkan utusan mahasiswa ke luar negeri untuk kegiatan pertukaran pelajar selama beberapa minggu. Boleh bawa anak, boleh juga bawa suami. Naah, di sini kamu bisa membangun relasi untuk tujuan pekerjaan kamu ke depan. Bisa untuk bekerja di kedutaan luar negeri dan lain-lain,” jelasnya.“Lalu, bagaimana bisa aku masuk ke perusahaan?”“Alurnya, ya seperti yang aku jelaskan sebelumnya kepadamu, dalami dulu ilmu Bahasa Inggris. Selesaikan jenjang strata satu, lalu nanti kita pikirkan, apakah memang lebih baik tetap serius
Bab 10Aku mematut-matut diri di depan cermin. Kegiatan yang sudah kulakukan sejak usai shalat shubuh tadi pagi. Aku terus memperhatikan fisikku saat ini. Badanku terlihat jauh berbeda dibandingkan saat masih menjadi gadis. Begitu juga wajah yang sudah tidak sebersih dulu, apalagi rambut, Meski Panjang tapi tidak begitu terawat. Ingin pergi ke salon bagus, tetapi uang di dompetku tidak memadai. Andai saja aku punya penghasilan.“Ma… Ma….”Mataku terbelalak melihat Tania berjalan tertatih-tatih berjalan menuju ke arahku. Berjalan dengan langkah yang lamban dan agak terhuyung-huyung. Air mataku menetes di pipi. Ini pertama kalinya ia berjalan. Ibuku ada di belakang memantau dan menjaganya sambil tertawa bahagia. Aku langsung mendekap anakku erat. Sangat erat. Anehnya, ia tidak memberontak dan membiarkan aku begitu dalam waktu lama.“Kamu , baik-baik saja?” tanya Ibu mendekatiku. Aku mengangguk.“Bu, kira-kira. Aku kuat gak ya, Bu, melanjutkan kuliah?”“Kenapa tidak kuat?” tanya Ibu.“
Di dalam kamar tamu, rumah kami, aku mengunci diri dari dalam. Dari suara mobilnya, Reno mungkin sudah tiba. Aku mendengar pintu kamar utama dibuka pelan. Tidak mendapatiku di sana. Akhirnya gagang pintu kamar ini bergerak namun terkunci. Ia lantas pergi lagi menuju kamar utama kami. Reno bukannya tidak paham akan rasa sakit yang kini sedang kurasakan. Dan ia memberiku waktu untuk menyendiri.Saat ini aku sedang merampungkan surat yang aku tulis khusus untuk Reno. Penaku meluncur di atas surat.…Mas, kurasa begitulah perasaanku saat ini. Sebagai penutup aku ingin menyampaikan syarat untukmu jikapun tidak dapat dikabulkan maka dengan terpaksa aku akan menggugat cerai. Bukti foto dan isi pesan dari wanita laknat itu sudah cukup untuk barang bukti di pengadilan. Aku ingin menyelesaikan pendidikanku di Kota kelahiranku, Bandung. Aku ingin tinggal Bersama Ibu dan Tania selama menempuh Pendidikan. Untuk sementara, aku ingin tidak berada di sisimu, Mas.Hormatku,Mama TaniaSetelah menulis
“Kamu yakin baik-baik saja, Jane?” Haikal bertanya, aku mengangguk. Walaupun hatiku dipenuhi rasa campur aduk yang tidak membuat nyaman, aku tetap harus menjadi waras dan normal secara mental serta fisik.Kring....Nada Handphone milikku berdering. Itu panggilan dari Sania. Aku bingung harus bagaimana nantinya menjawab pertanyaan dan sindiran darinya. Kali ini aku merasa sangat malang. Aku memasukkan handphone itu ke dalam tas dan membiarkannya terus berdering.Teringat belasan tahun lalu saat awal perjumpaanku dengan Sania. Hubungan kami ditentang olehnya dikarenakan Reno adalah anak tunggal dari keluarga kaya raya sehingga baginya menikah itu adalah urusan belakang yang tidak semestinya dipercepat, sedangkan saat itu Reno bersikukuh ingin segera menikahiku karena cinta. Sania membujuk sampai menangis di depan Reno agar membatalkan niatnya untuk menikah dan memilih untuk mengembangkan karir di perusahaan ibunya. Namun, Reno menolak.Karena marah, ibunya bahkan tidak memberi posisi