Share

Bubur Nasi dan Sup Iga

Cahaya lilin yang kekuningan menimpa wajah Reno. siapapun pasti setuju dengan julukan tampan untuk Reno. sekali lagi, kami tidak berdebat tentang apapun untuk kejadian kemarin, dimana ia menampar Anggi.

Aku juga malas mengulas dan membahas sebab akibat kejadian itu. saat ini, yang menjadi peganganku adalah Reno tidak akan melangkah ke jenjang impian Anggi tanpa persetujuanku. untuk itu, aku masih bisa mempercayainya.

Jika dipikirkan, pernikahan ternyata bukanlah akhir cerita bahagia untuk sebuah hubungan seperti yang sering menjadi alur drama romantis di televisi.

Awal pernikahan pasti masih terasa sangat manis di tahun pertama, tahun di mana negara api belum menyerang.

Jika, saat masih gadis aku bisa tidur kapan pun aku mau, ingin makan, belanja, traveling dan apapun itu tanpa mempertimbangkan pengeluaran. kini, semua menjadi hal berbeda.

Baik, sebenarnya aku sama sekali tidak keberatan karena anak adalah sumber kebahagiaan yang tidak mungkin aku dapatkan saat masih berstatus gadis.

Meski, di awal kelahirannya, aku hampir tiap malam bergadang sendirian tanpa mengganggu Reno. Seharian mengurus rumah dan kebutuhan anak hingga lupa menyisir rambut. Berhenti makan dan terbangun dari tidur karena anak menangis. Seperti saat ini, aku sedang buang air dan anakku menangis menggedor-gedor pintu kamar mandi.

"Sebentar sayang!" ujarku di dalam toilet.

"Ma…Ma…Ma…," tangisnya pecah dengan terus menggedor pintu kamar mandi. sudah hampir seminggu ia mulai bisa berjalan perlahan. Aku dan Ibu yang pertama melihatnya, bukan Reno.

"Ayo kemari...," Jawabku membuka pintu karena tidak tahan melihatnya menangis. aku lantas memangkunya di saat genting begini.

Siapa anak Mama?" tanyaku mencium keningnya.

"Loh, kok anak dibawa ke toilet dek?" tanya Reno dengan suara serak, terkejut saat membuka kamar mandi. aku tidak menjawab dan membiarkannya mengambil serta membawa Tania keluar dari kamar mandi.

Mendengar suaranya serak karena flu, tiba-tiba, ada ide muncul di kepalaku. aku bergegas menyelesaikan ritual di toilet ini, lalu keluar mendekati Reno.

"Mas tidak terlambat ke kantor?" tanyaku.

"Iya ini mau bersiap-siap berangkat," jawabnya santai.

" Aku buatkan bubur nasi dan sup iga ya!" ujarku menatapnya

"Bagaimana kalau nanti siang saja, Mas takut telat ke kantor," jawabnya

"Aku antar saja nanti ke kantor!" tawarku dengan serius

"A...apa? Hmm, tidak usah dek. nanti kamu repot!"

"Tidak repot kok, Mas. Kenapa aku merasa bahwa Mas Reno sepertinya takut?" Aku menatapnya dengan tatapan curiga.

"Takut kenapa?" Reno mulai gugup.

"Jadi?" lanjutku.

"Ya sudah tidak apa-apa," balasnya mau tidak mau.

"Oke nanti aku siapkan!" Aku tersenyum penuh semangat, lalu mengambil alih untuk menggendong Tania.

**

Namaku Jane Zabila dan dulunya aku dijuluki chef Jane oleh sahabat-sahabatku sejak aku di bangku sekolah dasar. Mereka bilang, apa saja yang dimasak olehku akan terasa sangat enak.

Itu juga salah satu alasan mengapa Reno jatuh cinta padaku. Dia adalah abang kelas di bangku SMP dan awal kami bertemu adalah saat Ia menjadi panitia untuk lomba masak dimana akulah yang menjadi juara umumnya.

Namaku Jane Zabila, selain juara umum di angkatanku dalam hal pendidikan. aku juga juara umum di hampir setiap perlombaan masak di sekolah. dan menurutku, sudah saatnya aku menunjukkan gigi di depan perempuan yang bernama Anggi itu. dia harus tahu, dia mencoba peruntungan di tempat yang salah.

**

Di kantor Reno.

Aku masih di lobi saat menunggu konfirmasi Reno agar operator memperbolehkanku naik ke lantai 19 di mana ruangan Reno berada.

"Wah, ada Mbak Jane," sapa perempuan laknat itu tiba-tiba muncul. Kenapa harus dia yang menjadi pembukaan orang yang kutemui.

"Berani kamu ya, menyapa!" Aku menatapnya kesal sambil menggoyang-goyangkan anakku di gendongan belakang.

"Biar sini saya bantu," ujarnya ingin menghampiri salah satu rantang besar yang kubawa. aku bergerak cepat menjauhkannya dari tangan perempuan ini. Gila sekali dia, menganggap kejadian sebelumnya seolah tidak pernah terjadi.

"Tidak usah!" jawabku kasar.

"Sebentar ya, Bu. Bapak masih rapat, Ibu bisa duduk di sofa ruang tunggu." Operator itu memberi penjelasan.

"Oh, kenapa harus menunggu di sini? tidak apa-apa. Biar Ibu ini langsung ke kantor Pak Reno. Beliau ini istri sah Pak Reno," Potongnya melirikku dengan senyuman memuakkan. Paling tidak, dia mengakui bahawa aku ini adalah istri sah dari Reno.

"Baik, Bu! silahkan ke ruangan Pak Reno di lantai 19" Operator itu memberiku sebuah kartu. Aku mengambilnya, lalu segera pergi tanpa mengucapkan apa-apa ke Anggi. ia terus menatapiku hingga masuk ke dalam lift. come on, aku tidak boleh gugup.

**

Sesampainya di lantai 19. Aku mendapati banyak meja karyawan yang tersusun rapi dan aku harus melewati mereka barulah bisa masuk ke dalam ruang kerja Reno.

"Ibu Jane!" Sapa seorang karyawan senior yang akrab kupanggil Mbak Yayang. kami kerap bertukar resep masakan jika bertemu di acara wisata perusahaan.

"Hai, Mbak Yayang!"

"Ibu mencari Bapak, ya?"

"Iya Benar."

"Ibu bawa apa? Aduh, adik cantik, imut sekali! Boleh saya gendong Bu," kata Mbak Yayang meminta untuk mengambil anakku.

 "Boleh," jawabku senang.

Akupun berjalan bersama Mbak Yayang menuju ruangan Reno, sepanjang berjalan, karyawan-karyawan di sana tersenyum ramah dan menunduk menyapa hingga Reno keluar dari ruangan. Padaha, aku belum sempat masuk.

"Beneran datang, Dek?"

"Iya Mas," jawabku tersenyum.

"Mas senang kamu datang, tapi harusnya tidak perlu repot-repot."

"Aku masak bubur nasi dan sup iga dengan porsi yang banyak," jelasku mengeraskan suara. Para karyawan lebih banyak melirik daripada yang tidak.

Reno memeriksa rantang dan plastik yang kubawa,"Kamu masak banyak sekali dek," ujar Reno.

"Kelihatannya enak, Pak," celetuk salah satu karyawan.

Aku tersenyum. belum lima menit senyum itu terukir di bibirku. Anggi sudah hadir dan berjalan menuju Reno dengan beberapa berkas di dalam map.

"Ayo, silahkan yang mau mencoba masakan saya!" Aku membuka rantang agar aroma kelezatannya tercium dan benar saja, tidak butuh waktu lama untuk membuat kebanyakan dari mereka bangkit dan mendekati rantang-rantang besarku.

"Saya sudah menyiapkan mangkuk dan sendok plastik sekali pakai juga!" Aku sangat bersemangat menyendoki bubur dan sup Iga buatanku.

"Kamu ke sini, untukku atau untuk karyawanku sih dek?" cetus Reno membuat Anggi sedikit gusar. Aku tidak menjawab, bahkan tidak sempat melihat wajahnya karena terlalu sibuk membantu menyiapkan makanan di dalam mangkuk palstik agar dapat langsung disantap.

"Waah, ini beneran masakan Ibu Jane? rasanya lebih enak dari sup restoran favorit aku," cetus salah satu karyawan pria di sana.

"Setuju! Enak sekali rasanya. Saya boleh tambah, ya, bu?" cetus yang lain.

"Astaga, saya mau menangis karena rindu kampung halaman. rasanya benar-benar enak loh!"

"Iya benar."

"Benar sekali!"

Satu persatu, semua dari mereka saling bersahutan untuk memberi pujian. Tidak sia-sia rasanya bersusah payah datang ke kantor Reno. Semoga Reno sadar kalau istrinya juga punya kelebihan.

"Bapak Reno beruntung sekali punya istri seperti Ibu Jane," cetus Mbak Yayang "Tentu saja, saya memang sangat beruntung," jawab Reno.

Smash!

Teriakku girang di dalam hati. Wajah Anggi merah padam.

'Ini masih permulaan Barbara,' ujarku di dalam benak sembari sedikit melihat wajah Anggi.

"Tentu saja Ibu Jane bisa memasak dengan baik. semua Ibu rumah tangga pasti bisa, karena itulah profesinya." Anggi mulai memberi serangan balik.

"Tidak, Kok. Mama Tania memang sejak kecil sudah punya bakat memasak," jawab Reno.

"Terima kasih sayang," jawabku melembutkan suara dengan nada manja, lalu tersenyum manis. Anggi membuang muka kesal.

Tidak ada yang fokus dengan posisi rumit antara kami bertiga, Aku, Reno dan Anggi di tengah-tengah mereka. Biarlah! fokus dengan masakanku saja sudah sangat baik.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status