Share

Kartu Nama

Mas Reno memandangi Tania, putri kecil kami yang sedang membentuk sesuatu dengan balok-balok miliknya. Belakangan ini kegiatan Mas Reno sudah banyak berubah. Ia dan putriku lebih banyak menghabiskan waktu berdua saja di jam pulang kantor. Melihat itu, tentu saja aku senang.

Meski banyak orang berkata jika suami tiba-tiba berubah bersikap sangat baik atau meluangkan waktu yang banyak dengan istri dan anaknya maka sejatinya ia telah melakukan kesalahan di luar dan sedang berusaha menutupinya. Aku tidak perduli.

Fokusku saat ini adalah mendalami makna bertahan sebab aku hanya butuh diriku sendiri dan Tuhan untuk memahaminya. bukan omongan orang lain.

"Mas, ini undangan apa?" tanyaku memegang undangan di atas meja kerja suami yang sedang kurapikan.

"Oh, Itu." Mas Reno lantas mendekat dan meraih undangan yang baru saja berada di tanganku.

"Hanya undangan ulang tahun perusahaan."

"Aku mau ikut, Mas."

"Acara seperti ini pasti membosankan,Jane."

"Tapi. aku mau ikut!"

"Kalau kamu ikut, Bagaimana dengan Tania?" tanya Mas Reno.

"Kenapa jika aku membawanya?"

"Ini acara resmi dan serba formal. tidak ada peserta undangan yang membawa balita," tegasnya berusaha menjelaskan.

"Aku bisa suruh Ibu untuk datang!"

"Kamu serius ingin ikut?"

"Iya, Mas."

"Bukan karena ada alasan apa-apa kan?"

"Alasan apa yang Mas maksud? atau jangan-jangan Mas yang takut, aku menghadiri undangan karena ada alasan apa-apa," Jawabku meliriknya dengan tatapan curiga.

"Tidak kok. Tidak ada. Ya sudah, kamu boleh ikut," jawab Mas Reno gugup.

"Gitu dong." Aku mencubit pipinya dan berlalu pergi dengan siulan lagu shincan. Mas Reno terlihat menarik napas dalam.

Hidup itu akan sesak jika terus-terusan berdiri di atas masalah yang kita vonis menjadi masalah. kenapa masalah itu tidak didekati saja, lalu lantik ia menjadi masalah kecil yang memiliki jalan penyelesaian dan suatu hari hanya akan jadi cerita lucu.

Pernikahan itu adalah sekolah yang tiap hari kita dituntut untuk terus belajar, sayangnya tidak ada kata tamat untuk sekolah yang satu ini sampai nanti kita benar-benar menutup mata.

Begitu pula aku. Aisyah sempat menghawatirkan aku dan memberi sumpah serapah untuk Mas Reno karena tidak terima aku dikhianati. Aisyah bilang, jika dia menjadi aku maka dia akan meminta cerai karena sudah tidak ada lagi gunanya hubungan yang ternodai orang ketiga.

Bohong jika aku tidak terbawa amarah. Namun, apakah cerai menjadi solusi? Tentu tidak. Aku sudah punya anak dan aku masih punya gambaran untuk memperbaiki hubungan kami.

Aku percaya aku bisa. Aku bukan malaikat yang tidak memiliki batas sabar, hanya saja, selama aku masih merasa memiliki kekuatan maka sebisanya akan kulakukan yang terbaik.

**

Malam itu di sebuah gedung mewah. Tempat diselenggarakannya acara ulang tahun perusahaan di mana Mas Reno bekerja. Aku menggandeng mesra tangan Mas Reno.

Kami berjalan masuk dengan senyum yang kompak. beberapa tamu datang menghampiri dan kami saling berjabat tangan.

Mas Reno mengajakku menemui atasannya. Aku berbincang banyak hal dengan istri atasannya.

Semuanya terasa baik-baik saja meski sekilas aku melihat sosok Anggi di salah satu sudut meja. Sendiri dengan gelas kacanya. Hingga salah seorang lelaki tua mendekati mereka, Anggi pun ikut mendekat. Mas Reno bahkan merapikan pakaiannya menyambut lelaki itu. Siapa dia?

"Hai, Pak Anwar!" sapa lelaki itu terlebih dahulu ke atasan Mas Reno.

"Hi Pak Burhan. saya kira anda masih di Jepang."

"Ha...Ha…, tadinya memang begitu tapi begitu saya tahu kalau perusahaan ini ulang tahun, saya jadi bersemangat untuk pulang ke Tanah air."

"Terima kasih sudah menyempatkan hadir Pak. suatu kehormatan bagi kami untuk menjamu Bapak di sini."

"Tentu saja. ini adalah acara yang hebat. saya sangat menikmatinya."

Mereka pun saling tertawa. Mas Reno berusaha ikut bergabung dalam tawa yang terlihat memaksa. Aku hanya tersenyum.

"Siapa ini?" kata Bapak itu menanyakan Mas Reno. wajah Mas Reno pun seketika gugup. Kemudian Atasannya, Pak Anwar memperkenalkan Mas Reno dan jabatannya di perusahaan, juga Anggi yang sudah hadir diantara kami.

"Senang bisa berjabat tangan dengan Bapak," ujar Mas Reno tersenyum gugup dan menunduk.

"Kamu kenal saya?"

"Tentu saja, Pak. siapa yang tidak kenal dengan Bapak Burhan. Chief Executive Officer sekaligus pendiri dan pemilik perusahaan ritel raksasa di Negara ini," jelas Mas Reno membuatku mengerti alasannya gugup.

"Ha…Ha…, kamu bisa saja." Bapak Burhan tertawa puas.

"Bagaimana perkembangan cabang perusahaan di Jepang?" tanya Pak Anwar dengan wajah ramah.

"Tidak terlalu baik. ada sedikit kendala namun seharusnya tidak jadi masalah. kamu tahu kan jika pengendalikan proses manufacturing tidak sesuai dengan standar yang ditentukan. yaaah begitulah.”

"Kami juga pernah mengalami itu, Tapi solusinya ada di...," Pak Anwar melirik Mas Reno.

"Hmm...." Mas Reno kembali gugup

"Ada di Factory Manager atau Manajer pabrik," sambung Anggi seolah menyelamatkan posisi Mas Reno.

"Benar sekali." Sambut Pak Anwar.

"Merencanakan, mengkoordinasi, mengarahkan dan mengendalikan kegiatan manufacturing yang meliputi PPIC, produksi, teknik purchasing dan gudang untuk memperlancar proses pencapaian sasaran perusahaan baik jangka pendek maupun jangka panjang adalah tugas utama seorang Manajer pabrik.

Jika masalah yang seperti Pak Burhan terjadi maka jalan terbaik adalah...." Anggi memaparkan solusi statistik ekonomi dengan pemahaman yang luar biasa. aku sediri jadi belajar tentang dunia pemasaran dari penjelasannya barusan.

"Oh, iya, saya jadi teringat dengan sebuah jurnal yang dikirimkan melalui email oleh Profesor Otawa di Jepang. saya penasaran dengan isinya. kalian tahu, bahasa inggrisku tidak sebaik itu untuk memahami isi jurnal ilmiah. kamu bisa membantu saya?"

Tanya Pak Burhan ke Anggi. kali ini, Anggi yang gugup dan Mas Reno mencoba membantu dengan membuka file p*f di gadget milik Pak Burhan tersebut.

"Bagaimana jika kami mengirim ulasan jurnal ini esok hari," tawar Anggi.

Pak Burhan tertawa dan berkata tidak apa-apa dan tidak harus repot-repot mengenai jurnal ini. Semuanya terdiam. Sayang sekali ternyata bahasa Inggris mereka belum sampai ke level tertinggi IELTS.

Aku jadi penasaran tentang isinya. Sedikit aku melirik untuk mengintip gadget di tangan Mas Reno.

"Istrimu sepertinya tertarik dengan dunia kerjamu, Reno," ujar Pak Burhan membuat semua mata kini tertuju padaku yang tengah mengintip Gadget. aku membetulkan cara bediri dan tertawa kecil.

"Sayangnya, Ia hanya ibu rumah tangga biasa," sambung Anggi menyudutkanku. Tak tahan diperlakukan begitu, aku lantas menawarkan diri untuk melihat isi jurnal tersebut. Mata Anggi seperti mau keluar karena merasa aku akan merusak suasana.

"Istri saya dulunya adalah mahasiswi dari universitas negeri ternama di kota Bandung untuk jurusan Bahasa Inggris. Nilainya selalu menjadi yang terbaik," jelas Mas Reno membiarkanku meneliti jurnal tersebut.

"Berarti Nyona ini sarjana bahasa?" tanya Pak Burhan.

"Tidak. Sebab setelah menikah kami memutuskan bersama agar dia tidak melanjutkan kuliah demi bisa fokus, mengurus putri kecil kami."

"Oh, begitu rupanya. Sayang sekali...."

"I get it. Ini adalah sebuah jurnal Matematika keuangan. saya akan coba paparkan maksud dari jurnal yang dikirimkan ke Bapak. Ini adalah jurnal tentang cara mengetahui model matematika yang menggambarkan hubungan antara rasio keuangan terhadap persentase laba pada perusahaan manufktur yang tercatat di Bursa Effek dengan menggunakan metode Dekomposisi...," paparku dengan wajah serius.

Aku menerjemahkan isi jurnal secara detail bahkan aku juga mencoba memberi pendapat tentang maksud dan tujuan beberapa materi jurnal. wajah Pak Burhan sangat terkesan. begitu juga Pak Anwar dan istri. hanya Mas Reno dan Anggi yang terlihat datar. Anggi malah membuang mukanya. Sama sekali tidak melihatku saat sesi pemaparan.

"Bagaimana jika aku memberimu beasiswa untuk melanjutkan kuliah?" Pak Burhan memberi tawaran indah yang begitu tiba-tiba. hatiku sangat bersemangat.

"Tidak bisa, Pak. Istri saya memang ingin fokus mengurus rumah tangga saja," jawab Mas Reno tanpa meminta pendapatku. aku menatapnya kesal.

"Baik, tidak masalah. Tapi, Nyonya, jika kamu suatu saat berubah pikiran. silahkan hubungi sekretaris saya," ujar Pak Burhan memberiku sebuah kartu nama. Aku tersenyum mengangguk. tidak lama kemudian, Pak Burhan beranjak pergi.

Pak Anwar memberiku pujian luar biasa dan mengatakan bahwa Pak Burhan tidak segampang itu memberikan kartu namanya ke orang lain apalagi memberikan tawaran. Setahu Pak Anwar, siapapun orang yang diberinya tawaran akan berakhir dengan jabatan bagus di divisi perusahaan raksasa miliknya.

Mendengar itu, aku tersanjung. Namun kebalikannya, Mas Reno terlihat gusar, lalu Anggi, dia pergi begitu saja dengan wajah kesal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status