Share

Foto Kiriman Sahabat

Empat hari sudah aku menghilang dari rumah. Reno mencari ke rumah orang tuaku di Bandung, Ia tidak begitu saja percaya pada Ibu yang mengatakan bahwa aku tidak berkunjung ke rumahnya. Namun, aku tidak bodoh, tentu saja aku tidak tinggal di rumah Ibu. Aku berdiam di rumah peninggalan milik Almarhum Ayah di puncak.

Ibuku memilih tidak ikut campur dalam masalah rumah tangga kami. Ibu hanya memberiku semangat dan membantu menjaga Tania di saat berkunjung. Yang aku tahu, aku merasa malu kepada Ibu. Andai aku mendengarkan orang tuaku untuk tidak menikah secepat itu. Mungkin, saat ini aku tidak bergantung pada Mas Reno dalam hal penghasilan.

“Sudah dua kali suamimu datang ke rumah. Ia terlihat sangat menghawatirkanmu, Jane,” ujar Ibu sembari menyuapi Tania makan.

“Aku benar-benar sedang ingin sendiri, Bu.”

“Apa tidak sebaiknya kamu mengaktifkan handphone milikmu, Nak. Setidaknya, beri kabar kalau kamu sedang baik-baik saja bersama Tania.”

“Iya bu, nanti aku aktifkan,” jawabku malas.

“Jika tahun lalu kalian jadi berlebaran di Bandung, mungkin Reno sudah tahu tempat ini dan datang ke sini untuk menjemputmu. Sayangnya, ia selalu berhalangan ke Puncak.”

Aku melihati wajah Ibu. Aku adalah putri tunggal Ibu dan Almarhum Ayahku. Mungkin, aku terlalu percaya laki-laki dikarenakan sosok Ayah yang sangat luar biasa saat menjadi seorang suami dan juga menjadi seorang Ayah.

Aku dimanjakan sedemikian rupa hingga tidak tahu betapa hidup ini keras dan apa saja bisa terjadi secara tiba-tiba. Rumah ini sangat nyaman untuk ditempati, tetapi aku tidak mungkin berlama-lama di sini.

Selain dari uang pensiunan Ayah yang pernah menjabat sebagai Dekan di Universitas Negeri di Kota Bandung, Ibu juga mengandalkan rumah ini sebagai tambahan pemasukan untuk kebutuhannya sehari-hari. Karena posisinya di Puncak, Rumah ini terkadang disewa harian dan bulanan untuk pengunjung. Aku tidak menceritakan secara detail, masalah apa yang sedang terjadi antara Aku dan Mas Reno kepada Ibu.

Ibu hanya tau Aku sedang ngambek dan ingin menyendiri. Aku bahkan tidak membawa uang lebih saat mendatangi Ibu. Sehingga, susu anak, diapers dan makan, selama empat hari di sini, ditanggung oleh Ibu.

Meski tidak memberatkan, aku sungguh segan dengan Ibu. Siap atau tidak siap, aku harus segera kembali ke rumahku berasama Mas Reno. Tidak hari ini, mungkin dua atau tiga hari lagi.

“Bu,” panggilku

“Iya….”

“Ibu dulu berapa lama kenal dengan Ayah sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah?”

“Tidak sampai satu bulan.”

“Ibu mau menikah dengan pria yang baru dikenal?”

“Kamu ini kenapa sih? Kalau gak mau yaa gak ada kamu di dunia ini!”

“Ibu dijodohkan yaa?”

“Iya, Benar. Kamu, kan tahu kalau kakek kamu dulunya adalah seorang Ustadz. Jadi, Ibu gak dibolehin pacaran. Nanti, menikah ditaarrufkan saja. Jadilah Ibu dan Ayah berkenalan, lalu langsung silaturahim keluarga. Alhamdulillah takdir menyatukan Ibu dengan sosok yang baik seperti Ayahmu.”

“Jadi, pacaran selama puluhan tahun itu tidak menjamin kita akan berdampingan dengan orang yang benar ya, Bu?”

“Kamu ini kenapa? Pertanyaannya kok begitu. Ya sudah, Ibu bawa Tania dulu ke kamar ya!” pinta Ibu. Aku mengangguk.

Aku membuka tas ransel yang sebelumnya kubawa. Ada dompet di dalamnya. Hanya dua lembar uang seratus ribu di sana. Bagaimanapun, aku harus segera pulang. Lusa adalah hari senin.

Dan senin adalah hari dimana Mas Reno memberikan uang belanja sebesar dua juta rupiah. Uang belanjaku secara rutin ia berikan setiap seminggu sekali. Karena dibutakan cinta, itu sudah lebih dari cukup bagiku.

Jadi, hidup dengan serba cukup saja dapat membuatku merasa sangat Bahagia. Namun, itu dulu. Sebelum wanita laknat itu datang ke rumah.

Aku lantas mencari handphone milikku di tas rensel tersebut lalu segera mengaktifkannya. Astaga. Ada seratus lebih pesan masuk dari Mas Reno. Ia terus menghubungiku via WA, Massanger, SMS dan bahkan I*******m. Pesan terakhir Mas Reno di WA memberitahuku bahwa ia masih di Bandung karena berpikir aku berada di sana.

Baru saja ingin kubalas salah satu dari pesan tersebut, satu panggilan masuk terpampang di layer utamaku. Itu panggilan dari salah satu sahabatku Aisyah.

“Assalamualaikum!"

“Waalaikumsalam sah, ada apa?”

“Jane, kamu di mana?”

“Di… di aduh memangnya kenapa sah?” Aku bertanya bingung.

“Ini aku sedang berada restoran steak Manhattan Bandung. Sebentar, aku kirim foto via WA yaa. Aku susah menjelaskannya. Takut salah!”

“I-iya,” jawabku dengan perasaan tidak enak.

Ke dua kakiku lemas seperti tidak berdaya. Foto yang dikirimkan Aisyah adalah foto Reno dan wanita yang bernama Anggi itu. Mereka terlihat sedang tertawa menikmati suasana indah dalam restoran. Ya Allah, dosa apakah yang kuperbuat sehingga aku harus menerima cobaan ini.

Tidak menunggu lama, aku memaksakan berdiri dan menyambar dompetku. Aku bahkan hanya buru-buru pamit dengan Ibu, kemudian, memesan gojek online. Aku menuju ke sana sesuai titik lokasi yang dikirim Aisyah. Awas kamu, Mas.

Sesampainya di sana. Aku langsung bisa melihat posisi mereka. Sebentar aku terdiam mengamati. Anggi berdiri seolah ingin beranjak, ia meraih telapak tangan Reno untuk diletakkan ke keningnya. Ia kemudian benar-benar melangkah pergi, Tapi apa ini? Reno menarik tangannya seolah tidak ingin membiarkannya pergi.

Hatiku sakit sekali. Aku tidak tahan lagi. Bukannya ditepis, gadis itu malah tertawa membiarkan tangannya terus dipegang.

Dengan seribu langkah, aku mendekati mereka, melepaskan tangan Reno dari tangannya, lalu mendorong perempuan itu hingga terduduk lagi.

Air minuman yang ia sisakan digelas kuhamburkan tanpa sisa ke wajahnya. Ia marah, tangannya mengepal. Reno memelukku berusaha menenangkan. Anggi lantas berdiri dan mengambil gelas minuman milik Reno.

“Jangan, Nggi!” teriak Reno.

Tidak perduli dengan larangan Reno, ia melemparkan minuman beserta gelasnya ke arahku. Reno menghalangi. Gelas itu mengenai mukanya, sedangkan airnya mengenai sebagian dari bajuku. Pelipis mata Reno berdarah sedangkan bajuku sedikit basah.

Praaaaak! Pipi perempuan laknat itu ditampar oleh Reno.

'Ternyata kamu bisa sok jadi pahlawan juga, Mas!' Hatiku berbisik.

Reno yang menampar dengan keras, tetapi kenapa aku yang ditatap wanita itu dengan sangat tajam. Setajam silet. ‘Lalu aku kudu piye?’ Lirik mataku mengejek. Aisyah memberikan jempol dari meja sebelah.

Reno membawaku keluar tanpa berbasa-basi lagi. Aku, lantas mengikutinya hingga sampai di tempat parkiran, kemudian melepaskan tangan Reno dengan sekuat tenaga.

“Aku bisa jalan sendiri, Mas,” tegasku dengan air muka kesal.

“Kamu jangan salah paham dulu! Mas bisa jelaskan.”

‘Penjelasan apa yang ingin kau paparkan bangsat’ Hatiku bergemuruh.

“Aku sedang tidak ingin mendengar apa-apa, Mas. Ayo jemput anak kita, lalu pulang,” jawabku segera masuk ke dalam mobil Reno.

Reno tidak langsung masuk. Ia menghusap-husap wajahnya. Tidak lama kemudian, Anggi keluar dari restoran dengan rambut yang basah. Ia terlihat seksi. Aku benci itu. Tanpa sengaja, aku mendapati  wajah Reno yang terus menatap wajahnya.

Anggi memakai pakaian ketat berwarna hitam, membuat kulit putihnya terlihat terang. Ukuran tubuh yang ideal sedikit membuatku buru-buru melihat diri dari kaca depan. Jawaban mengapa Mas Retno tergoda pastilah karena fisik. Aku sudah tidak secantik dulu saat masih gadis, perutku sudah mulai membuncit dan bagian tanganku terlihat mengembang.

“Kamu mau berdiri di situ terus, Mas?” tegasku dengan nada suara tinggi.

“Iya Dek, Mas masuk,” jawab Reno bergegas masuk ke dalam mobil. Reno selalu begitu saat berada di posisi tersudut atau dalam posisi membujuk, ia akan memanggilku dengan panggilan Adek.

Dari kejauhan tampak Anggi membanting mobil miliknya, lalu berlalu dengan injakan gas yang dalam. Dasar perempuan laknat. Kenapa sudahlah cantik, ia bisa mengendarai mobil sebagus itu. Ia bahkan masih terlihat elegan meski di posisi ditinggalkan. Aku kembali layu. Bersandar lemas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status