Jumat malam. Cahaya dari lampu kendaraan misterius itu masih bergerak lambat. Berhubung belum dekat, aku menggenggam obeng dengan sangat erat. Tanganku berlatih sekedarnya jika harus ada pertarungan kecil. Biar tak lama, aku pernah mengikuti pelatihan karate di sekolah. Sedikit banyaknya manfaat latihan dari seni bela diri itu, aku bisa menendang lawanku dengan baik.Kendaraan itu sudah dekat. “Bandrek, Dek?” Sebuah pertanyaan diberikan kepadaku.Kulepaskan nafas lega. “Tidak,” jawabku singkat. Itu hanyalah bapak tua penjual bandrek dengan gerobak dagangannya. Pantas saja jalannya lambat. Motor yang ia pakai tidak kalah tua dengan usianya. Seketika sadar, aku lalu memanggil, “Pak!” Aku bergerak mendekati, setengah berlari. Gerobak bandrek itu berhenti mendadak. Bapak itu terkejut mendapatiku sudah menyusul dan kini berada tepat di depannya. Keterkejutannya seperti sedang melihat hantu. Matanya tertuju pada obeng yang kupegang erat. Tidak bermaksud menakuti, aku lantas mengantongi ob
(Dari sudut pandang Reno)Sejak tadi malam aku resah. Handphone milikku tertinggal di mobil Anggi saat ia mengantarku pulang dari kantor kemarin. Mobilku sedang dalam proses perbaikan di bengkel. Besok pagi akan diantar mekanik ke rumah. Bagaimana jika Jane melakukan panggilan. Aku tidak ingin ia salah paham. Pagi ini, aku sudah berada di kantor dan sudah mulai tidak sabar menunggu kehadiran Anggi. Aku ingin segera meminta hp ku. Aku Reno Ardian. Suami dari Jane dan Ayah dari Tania. Bagiku, mereka berdua adalah napasku. Aku yakin sekali jika Jane tahu bahwa aku sangat mencintainya melebihi dari apapun di dunia ini. Bahkan, aku mencintainya melebihi perkiraannya tentang perasaanku kepadanya. Aku bisa gila jika ia berencana untuk berpisah denganku. Apa saja akan kulakukan agar hubungan rumit ini bisa berakhir dengan baik dan bahagia. Sebagai catatan, aku tidak ingin melepas satupun dari mereka. Jane. Aku mengenalnya saat ia pertama kali menginjakkan kaki di sek
“Aku cantik, tidak. Mas?”“Cantik,” jawabku sekenanya. Hatiku tidak tenang. Bagaimana jika di acara itu nantinya ada yang menanyakan tentang keberadaan istriku, Jane. Aku masih saja gelisah, meski sebelumnya Mama sudah meyakinkan bahwa acara itu adalah perhelatan orang-orang penting di dunia bisnis. Tidak ada yang perduli dengan privasi masing-masing pengunjung acara.“Reno!” Itu Mama. Ia sedang memegang cangkir mahal dengan minuman merah di dalamnya. Ia melambaikan tangannya ke arah kami agar segera datang menghampirinya. Di sana, ada beberapa pria berjas yang menunggu. Aku lantas merapikan dasiku saat berjalan pelan ke arah mereka dan Anggi menggantungkan tangannya di tangan kiriku. Oke baiklah, Ini semua demi bisnis.“Kenapa lama sekali?” Mama tersenyum penuh wibawa memandangi tangan Anggi.“Kami sudah di sini sejak tadi, Bu. Tapi Mas Reno menemaniku berbicara di depan wartawan berita ekonomi sebelum masuk ke ruangan ini,” jelas Anggi tersenyum tak kalah wibawa.“Pria yang baik,” u
Jangan panggil aku Reno, jika aku tidak bisa membawa istriku pulang ke rumah dalam waktu dekat.Pagi ini aku bangun lebih cepat dari biasanya. Aku ijin tidak masuk ke kantor. Handphone sengaja kumatikan dan kutinggalkan di rumah. Aku ingin mengurus sesuatu yang harus sesuai dengan rencanaku. Aku ingin mengeluarkan bakat aktingku yang terpendam. Kali ini aku menuju sebuah rumah peran di tengah kota. Tempat dimana sahabat lamaku kini bekerja. Saat sampai di sana, aku sangat antusias masuk dan mencari sosok sahabatku tersebut.“Bram?” Aku menegur seseorang di depan teras bangunan.“Reno!” Dia langsung mengenaliku dan menjabat tanganku erat. Kami bercanda gurau sebelum akhirnya masuk ke dalam ruang kerja miliknya, lalu aku mulai membicarakan hal serius tentang masalahku serta alasan mengapa aku mencarinya.“Aku ingin dibuatkan set rumah sakit dalam keadaan koma, Bro! Aku bayar berapapun untuk itu. Aku hanya ingin istriku percaya bahwa aku sedang dalam keadaan sakit yang serius.”“Wah. Aku
Mati saja, Mas.Senja terlihat manis di ujung jendela rumah sakit ini. Aku sendiri menikmati rasa rindu dan rasa senang untuk kehadirannya. Pukul berapa ini? Kenapa Jane belum kunjung datang? Tapi biarlah, yang terpenting adalah dia berkata bahwa dia akan datang hari ini.“Mas Reno!” Gadis itu datang ke dalam ruangan.“Ke-Kenapa kamu di sini?” tanyaku kebingungan. Suaraku sampai tercekat karena terkejut melihatnya sudah berada di dalam ruangan dengan disusul mamaku.“Kami yang seharusnya bertanya, kenapa Jane yang berada di luar kota lebih dahulu tahu berita keadaanmu dibandingkan kami!” Mama memotong.Gadis itu adalah Anggi, dan saat ini ia sedang menangis, aku panik, meski begitu, aku masih sempat memperhatikan wajahnya yang terlihat cantik saat menghapus air mata.“Aku tidak apa-apa. Bisakah kalian pulang saja untuk saat ini?” jelasku mulai merasa kewalahan, memikirkan apa yang akan terjadi jika Jane datang.“Kenapa harus pulang? Mama masih geram dikirimi fotomu dalam keadaan berd
(Dari sudut pandang Haikal)Namaku Haikal. Semua orang yang pernah dekat denganku mengatakan bahwa selain tampan, aku juga sangat loyal dan perhatian. Itulah mengapa setiap wanita yang dekat denganku selalu merasa aku perlakukan secara spesial. Padahal, tidak ada yang spesial. Semua sama. Wanita manapun memanglah harus diperlakukan dengan sebaik mungkin. Sebelum akhirnya aku bertemu dengan Jane. Kakak kelas saat aku duduk di bangku SMU.Awalnya aku memang ingin selalu memperhatikannya, mengapresiasi setiap prestasinya hingga secara diam-diam menjadi penggemar rahasianya. Tapi, ternyata kebiasaanku memuji-muji namanya, membuat tidak nyaman teman les pianoku sekaligus tetanggaku, Anggi. Putri tunggal dari keluarga kaya raya dari kalangan pengusaha international. Anggi kerap sekali kesepian ditinggal orang tuanya untuk urusan bisnis keluar negeri.Aku masih ingat sekali saat terakhir Anggi pergi meninggalkanku dan tidak ingin lagi dekat denganku adalah saat Jane menikah dengan Reno. Saat
“Aku boleh mengerjakan beberapa contoh soal ujian masuk bersamamu ya, Kal?” Jane memegang lenganku. Kami dari perjalanan pulang belanja buku di tempat biasa. Bus umum yang kami tumpangi penuh.Aku menoleh dan bertanya, “Bersamaku?” Bukan tidak mau, aku hanya menjaga-jaga hati agar tidak berakhir sebagai pelampiasan atau pelarian dari masalah rumah tangga Jane. “Kamu sudah berpengalaman dengan dunia perkuliahan dan ujian masuk ke berbagai kampus. Ditambah lagi, aku juga tidak punya siapa-siapa yang bisa diandalkan untuk saat ini.” Jane memajang muka memelas.Aku berpikir sejenak. “Oke deh.”Bus yang kami tumpangi terus melaju seperti detak jantungku di dekat Jane. Wanita yang sudah lama kukenal. Saat hari sudah mulai menggelap, halte tempat aku seharusnya berhenti sudah sampai. Aku enggan turun namun apa yang akan dipikirkan Jane jika aku masih terus mengikutinya untuk hari yang melelahkan ini. Baiklah, aku turun.“Aku duluan, ya!”“Okay!” jawab Jane dengan senyumanKami akhirnya berp
Sejak tadi, Aku tetap terjaga di kamar. Berbagai kegiatan sudah kulakukan untuk menditraksi pikiran tentang kalimat Anggi, tapi fokusku tetap terikut oleh bayangannya.Kini aku berada di jalan, mengendarai mobil, berpikir dan menciptakan seribu satu skenario tentang apa gerangan yang Anggi ketahui tentang misteri kematian Ayah Jane. Apa mungkin ia benar-benar mengetahui tentang apa yang terjadi pada malam itu? Jika benar, mengapa ia baru mengungkapkannya sekarang. Apa keuntungan yang ia ambil dengan menyimpan sendiri rahasiaku. Dia tidak mungkin berpikir bahwa aku adalah tersangkanya, tapi kalau sepercaya diri itu, mana mungkin ia tidak punya suatu fakta sebagai pegangan dan benakku pun tak berhenti berceloteh.Handphone milikku berdering. Itu panggilan dari Anggi. Antara malas dan penasaran, aku akhirnya mengangkat panggilan tersebut.“Ya, Halo.”“Kenapa belum tidur?”“Haruskah aku menjawabmu?”“Apakah masih kepikiran dengan ancamanku?”“Tidak sama sekali.”“Benarkah?”“Dari awal,