Siang menjelang sore itu. Akhirnya Haikal ikut makan sate bersamaku. Kami tidak lagi membahas masalah stiker lama yang melekat di motor. Namun, lebih fokus membicarakan tentang beasiswa dan jurusan di universitas.“ini nih yang paling aku rekomendasi,” ujar Haikal bersemangat.“Apa ini?” Aku melihat layar handphone milik Haikal.“Umurmu masih masuk dalam katagori penerima beasiswa ini, selain uang kuliahnya gratis. Nantinya di pertengahan masa kuliah, kampus ini suka mengirimkan utusan mahasiswa ke luar negeri untuk kegiatan pertukaran pelajar selama beberapa minggu. Boleh bawa anak, boleh juga bawa suami. Naah, di sini kamu bisa membangun relasi untuk tujuan pekerjaan kamu ke depan. Bisa untuk bekerja di kedutaan luar negeri dan lain-lain,” jelasnya.“Lalu, bagaimana bisa aku masuk ke perusahaan?”“Alurnya, ya seperti yang aku jelaskan sebelumnya kepadamu, dalami dulu ilmu Bahasa Inggris. Selesaikan jenjang strata satu, lalu nanti kita pikirkan, apakah memang lebih baik tetap serius
Bab 10Aku mematut-matut diri di depan cermin. Kegiatan yang sudah kulakukan sejak usai shalat shubuh tadi pagi. Aku terus memperhatikan fisikku saat ini. Badanku terlihat jauh berbeda dibandingkan saat masih menjadi gadis. Begitu juga wajah yang sudah tidak sebersih dulu, apalagi rambut, Meski Panjang tapi tidak begitu terawat. Ingin pergi ke salon bagus, tetapi uang di dompetku tidak memadai. Andai saja aku punya penghasilan.“Ma… Ma….”Mataku terbelalak melihat Tania berjalan tertatih-tatih berjalan menuju ke arahku. Berjalan dengan langkah yang lamban dan agak terhuyung-huyung. Air mataku menetes di pipi. Ini pertama kalinya ia berjalan. Ibuku ada di belakang memantau dan menjaganya sambil tertawa bahagia. Aku langsung mendekap anakku erat. Sangat erat. Anehnya, ia tidak memberontak dan membiarkan aku begitu dalam waktu lama.“Kamu , baik-baik saja?” tanya Ibu mendekatiku. Aku mengangguk.“Bu, kira-kira. Aku kuat gak ya, Bu, melanjutkan kuliah?”“Kenapa tidak kuat?” tanya Ibu.“
Di dalam kamar tamu, rumah kami, aku mengunci diri dari dalam. Dari suara mobilnya, Reno mungkin sudah tiba. Aku mendengar pintu kamar utama dibuka pelan. Tidak mendapatiku di sana. Akhirnya gagang pintu kamar ini bergerak namun terkunci. Ia lantas pergi lagi menuju kamar utama kami. Reno bukannya tidak paham akan rasa sakit yang kini sedang kurasakan. Dan ia memberiku waktu untuk menyendiri.Saat ini aku sedang merampungkan surat yang aku tulis khusus untuk Reno. Penaku meluncur di atas surat.…Mas, kurasa begitulah perasaanku saat ini. Sebagai penutup aku ingin menyampaikan syarat untukmu jikapun tidak dapat dikabulkan maka dengan terpaksa aku akan menggugat cerai. Bukti foto dan isi pesan dari wanita laknat itu sudah cukup untuk barang bukti di pengadilan. Aku ingin menyelesaikan pendidikanku di Kota kelahiranku, Bandung. Aku ingin tinggal Bersama Ibu dan Tania selama menempuh Pendidikan. Untuk sementara, aku ingin tidak berada di sisimu, Mas.Hormatku,Mama TaniaSetelah menulis
“Kamu yakin baik-baik saja, Jane?” Haikal bertanya, aku mengangguk. Walaupun hatiku dipenuhi rasa campur aduk yang tidak membuat nyaman, aku tetap harus menjadi waras dan normal secara mental serta fisik.Kring....Nada Handphone milikku berdering. Itu panggilan dari Sania. Aku bingung harus bagaimana nantinya menjawab pertanyaan dan sindiran darinya. Kali ini aku merasa sangat malang. Aku memasukkan handphone itu ke dalam tas dan membiarkannya terus berdering.Teringat belasan tahun lalu saat awal perjumpaanku dengan Sania. Hubungan kami ditentang olehnya dikarenakan Reno adalah anak tunggal dari keluarga kaya raya sehingga baginya menikah itu adalah urusan belakang yang tidak semestinya dipercepat, sedangkan saat itu Reno bersikukuh ingin segera menikahiku karena cinta. Sania membujuk sampai menangis di depan Reno agar membatalkan niatnya untuk menikah dan memilih untuk mengembangkan karir di perusahaan ibunya. Namun, Reno menolak.Karena marah, ibunya bahkan tidak memberi posisi
Dua jam yang lalu, duniaku masih terasa gelap. Sekarang sudah sedikit terang karena ada Tania di sisi. Ia merengek minta ditemani bermain balok. Aku lantas dengan senang hati membantunya membangun balok warna-warni tersebut meski rasa lelah di perjalanan tadi masih terasa. Sebelumnya, Ibu menyiapkan bubur manis yang membuatku memiliki tenaga untuk tidak langsung tidur.“Istirahat saja dulu. Kamu baru saja turun dari pesawat, loh!”“Aku baik-baik saja, Bu.”“Yakin?”“Hmmm,” jawabku mengangguk pelan.“Ya sudah. Tapi, kalau ingin istirahat. Katakan pada Ibu agar Tania bisa Ibu pegang.”Benar saja. Tidak lama kemudian, aku sudah tertidur diantara mainan balok-balok plastik milik Tania. Ibu meletakkan bantal dengan lembut di bawah kepalaku, lalu merendahkan suhu AC. Akupun terlelap di ruang bermain Tania. Sedangkan Tania sudah dibawa Ibu keluar.Malam harinya, kediaman kami dikejutkan dengan sebuah mobil mewah yang masuk ke dalam pekarangan rumah. Hatiku sudah merasa tidak enak. Saat mengi
Malam semakin larut.Ibu masuk ke dalam kamarku dan Tania. “Ini Ibu buatkan, Teh.”“Darimana Ibu tahu kalau aku belum tidur?” kataku bergegas duduk.Ibu tidak menjawab. “Minum sajalah.” Dia tersenyum dan memberiku secangkir teh.Aku menunduk lalu bersandar di bahu Ibu. Terasa begitu nyaman dan hangat. Aku lupa kapan terakhir bersandar di bahu ibuku seperti ini. Pasti sudah lama sekali.“Ibu tahu saat ini kamu merasa bahwa hidup ini berat. Kamu terluka, tapi Ibu percaya jika putri kebanggaan Ibu adalah wanita yang tegar, Ibu yakin kamu bisa melewati ini semua dengan jalan keluar yang terbaik. Malam ini, rasa sakit itu akan berkurang seperempat, besok akan berkurang separuhnya, dan lusa sudah tidak akan terasa sakit lagi. Percaya saja dengan itu. Karena beberapa hari lagi kamu akan bersyukur karena sudah melangkah sejauh ini. Tidak ada kata nasib buruk dari tuhan. Semua ada hikmahnya dan sebagai manusia biasa, kita hanya bertugas untuk mencari hikmah dari semua kejadian lalu akhirnya b
Begitu kakiku melangkah ke dapur, Aku langsung disambut Aisyah dengan panci saus pasta yang sudah kubuat sebelumnya. Aku begitu sibuk hari ini. Banyak pesanan pasta yang masuk. Untung saja Aisyah punya waktu membantu.“Setelah ini, kamu sudah bisa memikirkan untuk mencari asisten,” bisik Aisyah.“Iya, aku tahu,” jawabku tetap bekerja dengan cekatan.Ini adalah hari ke tiga, kami membuka pesanan pasta. Dari kemarin, pesanan terus bertambah dan puncaknya hari ini. Ada pesanan untuk acara arisan di siang dan acara reuni komunitas gitar di malam hari.“Siapa sangka kamu begitu terkenal soal masak di sekolah kita dulu. Gila! Kakak kelas, adik kelas bahkan guru SMA kita dulu langsung bergerak untuk memesan pasta buatanmu,” puji Aisyah bangga.“Aku juga tidak menyangka,” jawabku merasa senang.“Tapi iya, sih. Kalau kamu tidak terkenal, tidak mungkin sepupuku si Haikal bisa sangat-sangat mengidolakanmu sejak dulu.”Mendengar itu aku tersanjung.“Aduhai, Mama Tania. Meriah sekali!” Ibuku masuk
Jumat malam. Cahaya dari lampu kendaraan misterius itu masih bergerak lambat. Berhubung belum dekat, aku menggenggam obeng dengan sangat erat. Tanganku berlatih sekedarnya jika harus ada pertarungan kecil. Biar tak lama, aku pernah mengikuti pelatihan karate di sekolah. Sedikit banyaknya manfaat latihan dari seni bela diri itu, aku bisa menendang lawanku dengan baik.Kendaraan itu sudah dekat. “Bandrek, Dek?” Sebuah pertanyaan diberikan kepadaku.Kulepaskan nafas lega. “Tidak,” jawabku singkat. Itu hanyalah bapak tua penjual bandrek dengan gerobak dagangannya. Pantas saja jalannya lambat. Motor yang ia pakai tidak kalah tua dengan usianya. Seketika sadar, aku lalu memanggil, “Pak!” Aku bergerak mendekati, setengah berlari. Gerobak bandrek itu berhenti mendadak. Bapak itu terkejut mendapatiku sudah menyusul dan kini berada tepat di depannya. Keterkejutannya seperti sedang melihat hantu. Matanya tertuju pada obeng yang kupegang erat. Tidak bermaksud menakuti, aku lantas mengantongi ob