Selembar kertas bertuliskan menu tergeletak di atas meja. Aku belum memesan apapun selain secangkir kopi pahit agar selaras dengan rasa yang ada di dalam hati. Meja yang berada di belakangku adalah meja yang diduduki Reno dan Anggi.
Penyamaranku sepertinya berhasil sebab mereka sama sekali tidak memperhatikan ke arah meja ini. Seorang pelayan mengantarkan minuman yang dipesan Reno dan Anggi. Mereka berbincang tentang Tania, Anakku. Pembicaraan mereka berganti topik dan mulai membuatku gugup. Pikiranku berterbangan entah ke mana-mana. Hatiku berdebar.
“Sudah kamu pastikan ke dokter?”
“Belum. Tapi sepertinya aku memang sedang hamil,” ujar Anggi. Langit diluar cerah, tetapi petir seolah menyambar atap restoran. Kaki-kakiku lemas, pikiranku panik.
“Kamu yakin?” tanya Reno.
Gelasku terjatuh.
“Kenapa itu? Jatuh,” Anggi berdiri dari kursi.
Aku menunduk, menggeleng tidak menjawab dan bergegas jongkok membereskan cangkirku. Reno mulai mendekati. Air mataku mengalir dari balik kaca mata hitam. Hancur sudah pertahananku. Duniaku menggelap.
“Maaf sudah membuatmu menunggu sayang,” Sebuah telapak tangan ikut meraih barang yang berserak di lantai. Siapa lelaki ini? Wajahnya sendu tersenyum hangat di dekatku. Reno tidak jadi ikut membantu. Dia Kembali duduk di depan Anggi. Aku mengintip dari atas kaca mata hitam. Anggi sedikit melirikku, lalu menoleh ke Reno tidak memperhatikan lagi. Aku tidak ketahuan.
“Ayo duduk,” kata lelaki asing ini memapahku ke atas kursi. Pelayan datang dan membereskan meja yang berantakan.
“Dua cangkir lemon tea dan dua sandwich telur,” ujar lelaki ini memesankan makanan dan minuman. Ia kembali tersenyum. Aku lantas menunduk dan mendekatkan leherku ke hadapannya.
Siapa kamu?” tanyaku pelan. Meski sangat terbantu akan kehadirannya, tetapi tetap saja ini adalah kejadian ganjil. Aku tidak mengenalnya sama sekali.
“Namaku Haikal,” ucapnya mengikuti gayaku berbisik.
“Haikal?” tanyaku masih bingung. Di tengah kebingungan, hatiku masih terasa perih berada di belakang Reno.
“Aku sepupu Aisyah,” jelasnya lagi dengan suara pelan. Ingatanku Kembali terbang pada sebuah panggilan masuk ke handphone saat hendak masuk ke restoran ini.
Itu adalah panggilan dari Aisyah. Aku mengatakan bahwa aku sedang memata-matai Reno yang akan menemui Anggi. Aisyah malah mengomel dan memintaku untuk kembali saja. aku tidak menanggapi apa-apa karena fokus dengan sosok Reno yang terus saja berjalan masuk ke dalam restoran.
"Kamu, di mana?" tanya Aisyah saat itu di telepon. Aku tidak menjawab karena sibuk mencari tempat yang pas untuk duduk di dekat mereka berdua.
"Jane," seru Aisyah dari dalam telepon. Aku mengakhiri panggilannya dan hanya berbagi lokasi melalui pesan w******p.
Sejenak aku terdiam. merenung serta mencoba mendengarkan lagi percakapan Reno dan Anggi dengan sisa kekuatan yang ada. Air mataku berlinang lagi.
“Jangan terlalu dimasukkan ke dalam hati. Percayalah, dia tidak hamil,” ujar Haikal tiba-tiba.
“Ha?” Aku masih shock dengan kalimat Haikal. Siapa dia hingga harus ikut campur dalam masalah ini.
“Aku berada di sana saat Aisyah pertama kali menelpon tentang perjumpaan mereka di Bandung,” jelas Haikal membuat bayanganku berputar ke belakang.
Benar sekali, ada pria yang menemani Aisyah saat itu. Saat ia melaporkan keberadaan Reno Bersama Anggi untuk pertama kali.
“Ini aku perkenalkan tentang beasiswa beberapa universitas yang bisa didapatkan dengan cara yang mudah. Jika kamu mengikuti program beasiswa ini, maka kamu bisa melanjutkan mimpi yang sempat tertunda,” ujar Haikal memberi beberapa print out artikel beasiswa.
Mendengar penjelasan tentang beasiswa program studi. Hatiku sedikit terasa nyaman. Sedikit demi sedikit, aku dapat menyeka air mata di pipi.
“Dari mana kamu tahu jika saat ini aku sedang tertarik dengan Pendidikan?”
“Aku tahu dan kenal kamu sudah sejak lama, Jane.”
“Sejak kamu duduk di bangku SMA.”
“Benarkah? Kenapa aku tidak pernah melihatmu,” tanyaku mengabaikan dua sejoli di belakang.
“Gadis populer sepertimu wajar saja tidak mengenal beberapa adik kelas di waktu sekolah. Tapi, aku sangat mengenalmu.”
“Kamu itu adik kelasku?” Aku terkejut dengan tetap menekan suara agar tidak membuat Reno curiga. Haikal tertawa kecil.
“Aku bahkan sudah mempelajari minat dan bakat yang paling cocok untukmu sejak kamu duduk di bangku kuliah”
“Jangan bilang kamu juga adik kelasku di kampus?”
“Iya, benar. Hanya saja kita beda jurusan.”
“Jurusan apa?”
“Jurusan patah hati,” Jawabnya membuatku sempat tersenyum di waktu yang tragis seperti saat ini.
Haikal lantas menjelaskan satu persatu program beasiswa itu. Memberi gambaran pendalaman materi di masing-masing fakultas dan jurusan yang ditawarkan. Serta sedikit menghiburku dengan guyonan aneh miliknya. Aku hanya tersenyum menghargai usaha Haikal, lalu melirik ke belakang. Reno sedang menuangkan minuman untuk Anggi.
“Aku pulang duluan,” ujar Reno bangkit dari tempat duduknya.
“Kamu sedang menelpon siapa, Mas?” tanya Anggi melihat Reno sibuk dengan handphonenya.
Haikal secara sigap mengambil handphone milikku lalu menonaktifkannya.
“Kenapa tidak tersambung, ya?” Reno mengeluh sendiri dan beranjak pergi mengabaikan pertanyaan Anggi. Ia juga melewati Aku, istrinya tercinta tanpa ada rasa curiga. Aku fokus menatap punggungnya dari belakang.
‘Kamu tega, Mas,” lirihku dalam hati.
Haikal membiarkanku berdiam sejenak menatap kepergian Reno, lalu disusul Anggi. Wangi perfum gadis laknat itu sangat menyengat saat melintas lewat. Ingin sekali menjambak rambutnya sampai copot.
“Hey,” tegur Haikal.
Aku baru sadar jika wajah lelaki di depanku ini tampan. Ia tersenyum lagi menatapku hangat. Umurnya terlihat jauh lebih muda dariku. “Iya, gimana… gimana….”
“Gak gimana, gimana, sih,” jawabnya terkekeh. Aku jadi malu sendiri.
Untuk melebur kesenggangan, aku mengambil salah satu kertas artikel beasiswa yang ia pegang, lalu mulai mengajukan beberapa pertanyaan, berharap aku bisa menemukan semangat baru yang membuatku bisa bertahan untuk hidup.
“Kalau iya aku melanjutkan kuliah, apa wajahku tidak ketuaan?”
“Ya enggak, lah!”
“Masa?”
“Iya, beneran enggak. Apalagi kalau kamu serius menyelesaikan kuliah.”
“Memang apa hubungannya muka tua dengan serius kuliah?”
“Kamu cantik jika memasang wajah serius.” Haikal melontarkan pujian.
Aku meliriknya dan mulai berpikir. Apakah anak kecil ini sedang bermain-main dengan keadaanku? Ataukah ia memang perduli padaku? “Kamu ini pandai sekali memuji,” tukasku merasa geli.
“Enggak muji, aku ini ngomong fakta.” Haikal menjawab sambil menunduk juga saat Anggi melewati meja kami.
Akhirnya dua sejoli itu sudah pergi dari ruangan ini. Jane menyenderkan punggungnya ke sofa dengan perasaan tidak karuan.
Tidak terasa, air mataku kembali berlinang. “Kira-kira kurangku di mana, ya?”
“Setiap manusia itu memang terlahir dengan kekurangan dan kelebihan. Jadi, tidak ada yang sempurna.”
Aku mencerna perkataan Haikal secara perlahan, tetapi hal itu membuat tangisku malah menjadi menjadi-jadi.
“Tega sekali dia memperlakukan aku seperti ini,” keluhku menghusap air di pipi.
Haikal memberikan tisu, “Semua akan baik-baik saja. Kamu ini wanita yang hebat. Jadi, tenang saja!”
Tenang bagaimana? Dia ini tahu apa? “Terima kasih sudah hadir di waktu yang tepat,” ujarku menatapnya, lalu menunduk berterima kasih.
Aku termenung melihat dari kaca mobil milik Haikal. “Terima kasih sudah bersedia mengantarku, Kal. Padahal aku baru mengenalmu satu hari,” gumamku menunduk.“Jangan sungkan, Jane!”Beraneka ragam perasaan melanda hatiku. Sedih mendapati kenyataan bahwa suamiku tercinta tega berkhianat hingga sampai ke tahap ranjang. Bisa-bisanya Reno panik saat rubah liar itu membuat kemungkinan bahwa ia hamil. Air mataku, lantas meleleh lagi.“Ini.” Haikal menawarkan selembar tisu sambil mengemudi.“Terima kasih,” jawabku membuang muka ke luar jendela. Hening.Haikal seperti sedang melihat calon mahasiswa baru yang layak untuk diajarkan tentang orientasi studi dan pengenalan kampus. ”Menjadi mahasiswa di Universitas Negeri itu harus…,” paparnya memulai berbicara tentang kelebihan kampus A dibanding kampus B lalu, memaparkan program-program beasiswa dalam negeri yang menarik hingga yang terbaik. Sayangnya, aku hanya tersenyum sekenanya. Tidak antusias lagi untuk menanggapi. Ia terlihat berpikir dan
Siang menjelang sore itu. Akhirnya Haikal ikut makan sate bersamaku. Kami tidak lagi membahas masalah stiker lama yang melekat di motor. Namun, lebih fokus membicarakan tentang beasiswa dan jurusan di universitas.“ini nih yang paling aku rekomendasi,” ujar Haikal bersemangat.“Apa ini?” Aku melihat layar handphone milik Haikal.“Umurmu masih masuk dalam katagori penerima beasiswa ini, selain uang kuliahnya gratis. Nantinya di pertengahan masa kuliah, kampus ini suka mengirimkan utusan mahasiswa ke luar negeri untuk kegiatan pertukaran pelajar selama beberapa minggu. Boleh bawa anak, boleh juga bawa suami. Naah, di sini kamu bisa membangun relasi untuk tujuan pekerjaan kamu ke depan. Bisa untuk bekerja di kedutaan luar negeri dan lain-lain,” jelasnya.“Lalu, bagaimana bisa aku masuk ke perusahaan?”“Alurnya, ya seperti yang aku jelaskan sebelumnya kepadamu, dalami dulu ilmu Bahasa Inggris. Selesaikan jenjang strata satu, lalu nanti kita pikirkan, apakah memang lebih baik tetap serius
Bab 10Aku mematut-matut diri di depan cermin. Kegiatan yang sudah kulakukan sejak usai shalat shubuh tadi pagi. Aku terus memperhatikan fisikku saat ini. Badanku terlihat jauh berbeda dibandingkan saat masih menjadi gadis. Begitu juga wajah yang sudah tidak sebersih dulu, apalagi rambut, Meski Panjang tapi tidak begitu terawat. Ingin pergi ke salon bagus, tetapi uang di dompetku tidak memadai. Andai saja aku punya penghasilan.“Ma… Ma….”Mataku terbelalak melihat Tania berjalan tertatih-tatih berjalan menuju ke arahku. Berjalan dengan langkah yang lamban dan agak terhuyung-huyung. Air mataku menetes di pipi. Ini pertama kalinya ia berjalan. Ibuku ada di belakang memantau dan menjaganya sambil tertawa bahagia. Aku langsung mendekap anakku erat. Sangat erat. Anehnya, ia tidak memberontak dan membiarkan aku begitu dalam waktu lama.“Kamu , baik-baik saja?” tanya Ibu mendekatiku. Aku mengangguk.“Bu, kira-kira. Aku kuat gak ya, Bu, melanjutkan kuliah?”“Kenapa tidak kuat?” tanya Ibu.“
Di dalam kamar tamu, rumah kami, aku mengunci diri dari dalam. Dari suara mobilnya, Reno mungkin sudah tiba. Aku mendengar pintu kamar utama dibuka pelan. Tidak mendapatiku di sana. Akhirnya gagang pintu kamar ini bergerak namun terkunci. Ia lantas pergi lagi menuju kamar utama kami. Reno bukannya tidak paham akan rasa sakit yang kini sedang kurasakan. Dan ia memberiku waktu untuk menyendiri.Saat ini aku sedang merampungkan surat yang aku tulis khusus untuk Reno. Penaku meluncur di atas surat.…Mas, kurasa begitulah perasaanku saat ini. Sebagai penutup aku ingin menyampaikan syarat untukmu jikapun tidak dapat dikabulkan maka dengan terpaksa aku akan menggugat cerai. Bukti foto dan isi pesan dari wanita laknat itu sudah cukup untuk barang bukti di pengadilan. Aku ingin menyelesaikan pendidikanku di Kota kelahiranku, Bandung. Aku ingin tinggal Bersama Ibu dan Tania selama menempuh Pendidikan. Untuk sementara, aku ingin tidak berada di sisimu, Mas.Hormatku,Mama TaniaSetelah menulis
“Kamu yakin baik-baik saja, Jane?” Haikal bertanya, aku mengangguk. Walaupun hatiku dipenuhi rasa campur aduk yang tidak membuat nyaman, aku tetap harus menjadi waras dan normal secara mental serta fisik.Kring....Nada Handphone milikku berdering. Itu panggilan dari Sania. Aku bingung harus bagaimana nantinya menjawab pertanyaan dan sindiran darinya. Kali ini aku merasa sangat malang. Aku memasukkan handphone itu ke dalam tas dan membiarkannya terus berdering.Teringat belasan tahun lalu saat awal perjumpaanku dengan Sania. Hubungan kami ditentang olehnya dikarenakan Reno adalah anak tunggal dari keluarga kaya raya sehingga baginya menikah itu adalah urusan belakang yang tidak semestinya dipercepat, sedangkan saat itu Reno bersikukuh ingin segera menikahiku karena cinta. Sania membujuk sampai menangis di depan Reno agar membatalkan niatnya untuk menikah dan memilih untuk mengembangkan karir di perusahaan ibunya. Namun, Reno menolak.Karena marah, ibunya bahkan tidak memberi posisi
Dua jam yang lalu, duniaku masih terasa gelap. Sekarang sudah sedikit terang karena ada Tania di sisi. Ia merengek minta ditemani bermain balok. Aku lantas dengan senang hati membantunya membangun balok warna-warni tersebut meski rasa lelah di perjalanan tadi masih terasa. Sebelumnya, Ibu menyiapkan bubur manis yang membuatku memiliki tenaga untuk tidak langsung tidur.“Istirahat saja dulu. Kamu baru saja turun dari pesawat, loh!”“Aku baik-baik saja, Bu.”“Yakin?”“Hmmm,” jawabku mengangguk pelan.“Ya sudah. Tapi, kalau ingin istirahat. Katakan pada Ibu agar Tania bisa Ibu pegang.”Benar saja. Tidak lama kemudian, aku sudah tertidur diantara mainan balok-balok plastik milik Tania. Ibu meletakkan bantal dengan lembut di bawah kepalaku, lalu merendahkan suhu AC. Akupun terlelap di ruang bermain Tania. Sedangkan Tania sudah dibawa Ibu keluar.Malam harinya, kediaman kami dikejutkan dengan sebuah mobil mewah yang masuk ke dalam pekarangan rumah. Hatiku sudah merasa tidak enak. Saat mengi
Malam semakin larut.Ibu masuk ke dalam kamarku dan Tania. “Ini Ibu buatkan, Teh.”“Darimana Ibu tahu kalau aku belum tidur?” kataku bergegas duduk.Ibu tidak menjawab. “Minum sajalah.” Dia tersenyum dan memberiku secangkir teh.Aku menunduk lalu bersandar di bahu Ibu. Terasa begitu nyaman dan hangat. Aku lupa kapan terakhir bersandar di bahu ibuku seperti ini. Pasti sudah lama sekali.“Ibu tahu saat ini kamu merasa bahwa hidup ini berat. Kamu terluka, tapi Ibu percaya jika putri kebanggaan Ibu adalah wanita yang tegar, Ibu yakin kamu bisa melewati ini semua dengan jalan keluar yang terbaik. Malam ini, rasa sakit itu akan berkurang seperempat, besok akan berkurang separuhnya, dan lusa sudah tidak akan terasa sakit lagi. Percaya saja dengan itu. Karena beberapa hari lagi kamu akan bersyukur karena sudah melangkah sejauh ini. Tidak ada kata nasib buruk dari tuhan. Semua ada hikmahnya dan sebagai manusia biasa, kita hanya bertugas untuk mencari hikmah dari semua kejadian lalu akhirnya b
Begitu kakiku melangkah ke dapur, Aku langsung disambut Aisyah dengan panci saus pasta yang sudah kubuat sebelumnya. Aku begitu sibuk hari ini. Banyak pesanan pasta yang masuk. Untung saja Aisyah punya waktu membantu.“Setelah ini, kamu sudah bisa memikirkan untuk mencari asisten,” bisik Aisyah.“Iya, aku tahu,” jawabku tetap bekerja dengan cekatan.Ini adalah hari ke tiga, kami membuka pesanan pasta. Dari kemarin, pesanan terus bertambah dan puncaknya hari ini. Ada pesanan untuk acara arisan di siang dan acara reuni komunitas gitar di malam hari.“Siapa sangka kamu begitu terkenal soal masak di sekolah kita dulu. Gila! Kakak kelas, adik kelas bahkan guru SMA kita dulu langsung bergerak untuk memesan pasta buatanmu,” puji Aisyah bangga.“Aku juga tidak menyangka,” jawabku merasa senang.“Tapi iya, sih. Kalau kamu tidak terkenal, tidak mungkin sepupuku si Haikal bisa sangat-sangat mengidolakanmu sejak dulu.”Mendengar itu aku tersanjung.“Aduhai, Mama Tania. Meriah sekali!” Ibuku masuk