"Sudahlah Pak, suruh saja Kang Tarjo buat rumah di bagian yang jauh sana! Tanah milik Bapak yang berada di belakang rumahnya Lek Pahing, ngapain juga di dekat sini. Bikin rusuh, orangnya saja pemalas, miskin gitu," bujuk Yu Surti.
Pak Sugi yang sedari tadi berpikir akan memberikan bagian tanah kepada anak lelakinya itu, terdiam sesaat karena bujuk rayu dari anak perempuannya yang selalu saja bicara dan tidak mau diam. Mak Siti istri Pak Sugi hanya menghela nafas berat mendengar celoteh putrinya dengan sesekali melirik ke arah suaminya.Pak Sugi menikahi Mak Sitii dan mempunyai delapan anak, Kang Tarjo adalah anak nomer tiga dan masih mempunyai adik lelaki satu yang telah sukses menurut orang desa karena menjadi aparat negara. Anak lelaki bungsu mereka yang selalu dibanggakan bekerja sebagai mandor bangunan di kota besar.Kang Tarjo masih mempunyai tiga orang Kakak, yang sudah berkeluarga dan mempunyai rumah sendiri. Tidak seperti anak-anak perempuan Pak Sugi lainnya, meski Yu Sumi juga anak perempuan tetapi banyak diam tidak terlalu ikut campur urusan orang tua.Sedang dua Kakak Kang Tarjo, sama halnya dengannya. Diam, tidak banyak bicara. Entah, kenapa anak-anak perempuan Pak Sugi seolah seperti lelaki yang ingin berkuasa atas segalanya."Lagian dia kan tidak pernah membantu Bapak kerja dari saat muda Pak, kasih saja bagian yang jauh sana!" bujuknya lagi dengan mengelus lengan lelaki yang sudah sepuh tapi masih terlihat bugar itu."Atau … kasih yang di pinggir sungai saja, Pak, hihihihi …" imbuh Yu Sarni dengan tawa cekikikan."Kamu bisa diam tidak Surti, Sarni ... bagaimanapun juga Tarjo itu Kakak kandung kalian. Seharusnya kalian hargai dia sedikit saja, dan … keputusan Bapak tidak bisa diganggu gugat. Tarjo akan mendirikan rumah di samping rumahku. Yang dekat jalan raya, karena bagaimanapun dia adalah anak lelaki. Tidak boleh kalah sama kalian anak perempuan!" bentak Pak Sugi yang membuat kedua putrinya tidak berkutik setelah keputusan diambil oleh dan Bapak.Baik itu Yu Surti dan Yu Sarni, anak perempuan Pak Sugi yang sejak pertama mendengar kalau Kang Tarjo ada niat ingin memisahkan diri dari orang tuanya, dan membangun rumah mereka sendiri. Memberi masukan kepada sang Bapak agar di jauhkan saja jarak antara mereka, sebab malu. Begitu kadang pikiran yang terlintas di benaknya.Gegas mereka membubarkan diri setelah Pak Sugi beranjak keluar dan memanggil Kang Tarjo untuk mengukur tanah yang akan menjadi bagiannya dan ditempati. Dengan cekatan Kang Tarjo mengukurnya dengan didampingi istrinya Yu Mini.Di dalam hati mereka bersyukur, setelah sekian lama dijadikan seperti seorang pembantu di rumah mertuanya oleh adik-adik iparnya, akhirnya akan memiliki istana meski hanya berdinding bambu. Keluarga kecil mereka akan mendapatkan kenyamanan dalam hidup tanpa gangguan dari mereka yang julidnya melebihi netizen plus enam dua."Alhamdulillah Pak, akhirnya cita-cita kita terkabul. Doa kita diijabah olehNya. Besok Emak akan pergi ke rumah Bapak, minta bantuan untuk bisa ikut mendirikan rumah sederhana kita," ucapnya pada sang suami."Iya, nanti … sapinya di jual saja Mak, buat tambah-tambah, ya …" ucap Kang Tarjo sama Yu Mini.Mengangguk Yu Mini menjawab suaminya yang sambil berkeliling di atas tanah yang akan didirikan rumahnya kelak. Memutari sambil sesekali tersenyum dan menengadah ke atas, mengucapkan syukur yang tiada terkira."Sudah dapat rumah belum, Jo?" tanya Pak Sugi."Sudah Pak, rumahnya Kang Joko. Kemarin saya sudah kesana dan minta ijin padanya. Untuk harga kita sudah musyawarahkan kok, tinggal cari hari yang baik untuk mencabut rumahnya nanti." Kang Tarjo menjawab pertanyaan Bapaknya dengan semangat menggebu.____Flashback on."Itu Pak, rumah tengah jual saja sama Tarjo. Kasihan, harus kumpul terus sama mertua dan ipar-ipar yang kurang baik. Biar mandiri dan punya rumah sendiri. Apa kamu nggak kasihan sama adikmu itu?" kata Yu Kesi pada sang suami yang sedang mengelinting rokok dari kulit jagung."Iya, nanti kalau kesini tak kasih tahu padanya untuk membeli rumah itu. Daripada beli ke orang lain," jawabnya dengan masih menyiapkan rokok kesukaannya."Assalamualaikum, Kang … apa kabarnya?" sapa Kang Tarjo yang datang ke rumah Kang Joko."Wa'alaikumsalam, masuk Jo," jawab Kang Joko dan Yu Kesi serempak."Maksud saya ke sini hendak membeli rumah yang Kang Joko tawarkan kala itu, apa masih berlaku, Kang?" tanya Kang Tarjo dengan sedikit bergetar."Masih, tadi barusan Mbak Yu mu bilang seperti itu," jawab Kang Joko dengan senyum sedikit dan menoleh ke arah istrinya.Setelah berbincang panjang lebar, akhirnya keputusan diambil bersama. Rumah Kang Joko dibeli Kang Tarjo dengan harga yang sedikit miring, sebab tidak tega melihat adiknya yang belum punya rumah. Semoga dengan keputusan ini mereka bisa bahagia tanpa harus mendengarkan gunjingan dari adik-adik iparnya.Flashback off._____"Ya sudah, kamu segera ke rumah Mbah Kasno untuk tanya hari baiknya. Biar segera kita bangun rumah kamu!" perintah Pak Sugi kepada anaknya.Rumah di bangun dengan cara gotong royong bersama tetangga kanan kiri juga saudara. Beramai-ramai masih menjaga kekeluargaan dan erat dalam tali persaudaraan antar tetangga. Akhirnya rumah Kang Tarjo berdiri dengan gagah meski hanya berdindingkan bambu.Setiap hari, Kang Tarjo beserta istri membuat dinding bambu dengan telaten. Bambu milik Pak Sugi Bapaknya sendiri tanpa harus lagi membeli. Jika sudah selesai, maka akan dipasang pada sisi kanan dan kiri rumah yang telah di bangun.Semilir angin yang masuk saat malam tidak membuat mereka kedinginan, karena telah ditempeli koran bekas supaya tidak terlalu banyak angin yang masuk. Pintu pun masih terbuat dari bambu, terasa nyaman dan bersyukur meski sederhana yang penting bahagia.Listrik masih ikut dengan Pak Sugi, meski jika subuh tiba akan dicabut colokannya dan berganti dengan temaramnya lentera yang terbuat dari minyak tanah dengan botol minuman bekas yang terbuat dari gelas kaca."Alhamdulillah, semoga kelak bisa punya token listrik sendiri ya Pak. Di mulai dari yang kecil-kecil dulu karena rezeki kita juga nggak banyak. Yang penting, punya rumah sendiri. Itupun sudah amat sangat bahagia," ucap Yu Mini suatu sore tatkala sedang duduk santai di teras rumahnya."Amin," serempak Kang Tarjo dan Reni mengucapkannya.Raut bahagia terpancar dari wajah mereka, meski masih minim penataan cahaya. Televisi juga belum ada, namun tetap saja mereka bersyukur telah mempunyai sebuah istana."Mak, apa iya jika aku mau belajar saat subuh harus pakai lampu minyak?" tanya Reni, putri semata wayang Kang Tarjo dan Yu Mini."Tidak apa nduk, yang penting kamu dan juga adikmu bisa belajar dan sukses kelak," jawab sang ibu dengan mengelus lembut rambut Reni yang panjang."Kenapa Lek Surti dan Lek Sarni tidak suka sama kita ya Mak?""Hust!" Telunjuk Yu Mini menutup mulut putrinya dengan menggelengkan kepala pelan.Yu Mini pun berlalu ke dapur untuk menyiapkan makan malam yang hampir tiba, suara adzan dari Musholla membangkitkan mereka untuk mengambil air wudhu dan menunaikan kewajiban kepada sang pencipta."Lain kali tidak boleh bicara seperti itu ya nduk, nggak baik." Nasehat Yu Mini kepada putrinya."Iya Mak."❤️❤️❤️❤️❤️Bersambung ...Rumah Kang Tarjo sudah berdiri megah di samping rumah bapaknya, Pak Sugi. Meski tidaklah bertembok bata, tapi keluarga kecil itu amatlah bahagia dan tak hentinya mengucap syukur pada sang pencipta.Meski listrik masih numpang sama Pak Sugi, setiap menjelang magrib baru dinyalakan dan sesudah subuh langsung dicabut atau dimatikan oleh Yu Sarni. Tak menyurutkan niat Reni, anak semata wayangnya Kang Tarjo untuk selalu belajar."Bayar listrik mahal, harus berhemat, nanti kalau nyala semua bisa bahaya." Begitu ucapan Yu Sarni saat ditegur Yu Mini suatu hari.Pulang dengan berlinang air mata, Yu Mini berdoa dalam hati. Semoga kelak bisa menyambung listrik sendiri agar bebas menyalakan lampu dan mendengarkan radio setiap saat.Iya, tanpa televisi, Yu Mini dan keluarga menikmati hiburan sehari-harinya meski tanpa benda elektronik itu. Sebab, zaman itu televisi sangatlah mahal dan sedikit langka."Nggak apa, kamu masih bisa nonton di tempat tetangga kok, Ren," begitu ucapan Kang Tarjo kepada p
"Bapak mau kerja ke kota Mak, kalian berdua di rumah tidak apa 'kan kalau aku tinggal?" tanya Kang Tarjo saat selesai makan malam."Mau kemana Pak?" tanya Yu Mini balik. "Mau ke kota, diajak kerja, sama Kang Badi, biar buat nambah-nambah uang jajannya Reni, Mak." "Nggak apa Pak, nanti juga kalau ada orang hajatan, Emak kan kerja. Bisa juga buat nambah-nambah tabungan kita. Amin." Reni hanya tersenyum sambil berbisik kata Amin, mendengar semua ucapan kedua orang tuanya.Kang Tarjo memang bekerja serabutan, siapapun yang mengajak pasti mau bekerja, asal halal. Dari kerja di sawah orang satu ke orang yang lain, ikut menebang tebu dan juga memperbaiki jalan. Upahnya selalu dikumpulkan oleh Yu Mini demi memenuhi kebutuhan mereka dan biaya sekolah sang anak.Dari merantau ke ibu kota, hingga ke pulau seberang pun dilakukan asal semua masih bisa dilakukan dengan tenaganya, Kang Tarjo tidak pernah menolak. Biar hidupnya jauh lebih baik, begitu alasannya."Hati-hati ya Pak, jaga diri dengan
Kang Paimin pulang dengan perasaan yang sangat bahagia, menemui Yu Surti istrinya. Kedua anak Kang Paimin terlihat biasa-biasa saja melihat bapaknya pulang dari rantau meski lama tidak bertemu.Sebab dari kecil hingga beranjak remaja, kedua anaknya di rawat oleh Pak Sugi dan Mak Siti. Bahkan, kadang jika sang bapaknya pulang justru perselisihanlah yang menyambutnya. Kang Paimin jika marah akan memukuli anaknya tanpa ampun, hingga terkadang mengundang perdebatan antara dirinya dengan sang mertua Pak Sugi."Besok kita buat rumah, di desaku. Warisan sudah dibagi, aku mendapatkan sebidang tanah untuk dibangun rumah dan dua petak sawah. Lebih dari cukup, daripada tanah warisan dari orang tuamu, jauh lebih lebar milikku." Kang Paimin bicara dengan menggebu, mengungkapkan semua hasil musyawarah dari saudara-saudaranya. "Yakin Kang?" tanya Yu Surti kurang percaya terhadap suaminya sendiri.Dengan menggeser posisi duduknya, Yu Surti bertanya sekali lagi atas kabar baik yang dibawa suaminya i
Semua barang milik Yu Surti dimuat dalam sebuah truk besar, dari kasur dan perkakas dapur yang menjadi andalannya pun di angkut satu persatu oleh para warga yang membantu. Tak lupa juga rumah yang menjadi bagiannya yang diminta saat pertama ingin memisahkan diri dari orang tua mereka dibawa serta. Pak Sugi dan Mak Siti tidak ikut serta, mereka hanya mendoakan dari jauh, sebab terlalu ringkih raganya untuk di bawa pergi jauh.Perjalanan memakan waktu sekitar lima belas menit, semua warga yang ikut membantu membawa satu persatu barang-barang itu turun dari truk."Hati-hati nanti pecah, itu barang mahal!" ucap Yu Surti pada salah satu pemuda yang membawa barang pecah belah."Iya, Yu," balasnya."Kerja kok sambil bercanda, nanti kalau ada apa-apa memang mau tanggung jawab?" ocehnya yang membuat para pemuda saling melirik satu dan yang lainnya.Setelah semua diturunkan, sejenak mereka beristirahat dengan dijamu minuman dan gorengan sebagai balas jasa atas bantuan yang diberikan."Kalau di
Brugh. "Apa ini?" tanya Yu Mini saat melihat tiang penyangga jemuran ambruk.Semua pakaian yang belum kering telah bercampur dengan tanah, semakin kotor saat ada ayam melintas dan menginjaknya tanpa permisi. Yu Mini hanya diam mematung tanpa beranjak keluar mengambil jemurannya yang sudah berubah warna. Coklat."Kamu, kalau mau bikin jemuran, jangan di sini! Ini tanah masih milikku, ingat!" seru Yu Sarni dengan lantangnya.Air mata Yu Mini semakin deras dan tidak dapat dibendung lagi. Banjir bak air bah yang tanggulnya telah jebol. "Kenapa malah nangis? Kamu tuli? Seharusnya kamu tahu, kamu di sini itu cuma numpang, iyakan? Numpang sama suami kamu, tahu diri dong. Jangan main pakai hak milik orang lain, mau serakah? Oh, tidak bisa. Selama masih ada saya, kamu tidak akan bisa semena-mena di sini. Paham?" kata Yu Sarni dengan menginjak-injak pakaian yang telah jatuh ke tanah itu, seringainya melebihi hantu kuntilanak.Yu Mini hanya terdiam melihat perilaku sang ipar dengan menyeka air
"Mak, aku akan pergi merantau. Emak di rumah sama Lilik, ya, tolong jaga dia! Nanti kalau ada uang aku akan pulang sebentar untuk melihat putriku itu!" Yu Sarni mengutarakan maksud hatinya kepada sang ibu, Mak Siti.Memang tidak bisa di pungkiri, kehidupan ekonomi Yu Sarni kurang beruntung. Jika hanya di rumah dan mengandalkan panen dari sawah, tidak akan bisa memenuhi kebutuhan yang dia mau.Apalagi Lusi sudah sekolah, mau tidak mau Yu Sarni harus berjuang keras untuk menghidupi putri kecilnya itu. Sebab, bapaknya tidak ada kabar mau menafkahi putrinya itu."Iya, Emak akan jaga anak kamu kok," jawab Mak Siti lembut. Mak Siti sudah terbiasa mengasuh cucu-cucunya dari kecil. Anak-anak Yu Surti dari dulu memanglah yang mengasuh adalah Mak Siti. Jadi, tidaklah kaget jika Mak Siti dan Pak Sugi selalu saja diberi beban oleh kedua putrinya itu.Mereka sangat menyayangi cucu-cucunya, namun kasih sayang seorang Kakek dan Nenek itu berbeda jika dengan cucu dari anak-anak lelaki mereka. Entahl
"Apa yang terjadi saat Emak di sawah kemarin, Ren?" tanya Yu Mini kepada putrinya saat selesai belajar.Reni yang kaget dengan pertanyaan sang Emak, hanya terdiam sambil mengemasi buku-buku sekolahnya ke dalam tas. Mata mereka bertemu dan ada gurat kepasrahan di dalamnya."Kenapa diam? Emak sedang berbicara dengan kamu. Ada apa dengan Lek Surti? Kamu buat kesalahan padanya?" ulangnya dengan menatap putrinya yang kelihatan gelisah itu.Reni hendak berbohong kalau tidak terjadi apa-apa, namun hati kecilnya sulit sekali untuk tidak bicara jujur kepada sang Emak. Ingin jujur atas kelakuan Bu Leknya, namun takut kalau terjadi permusuhan antar saudara."Ren ….""Berjanji, ya, Mak … Emak jangan bertengkar dengan Lek Surti kalau Reni bicara jujur! Janji, ya, Mak!" Reni bersimpuh di kaki Emaknya dengan berlinang air mata.Takut kalau Emaknya gaduh dengan iparnya yang sangat kejam itu, takut karena tidak akan ada yang membela. Sebab, Bapaknya sedang bekerja jauh di rantau orang.Mak Siti? Pak S
"Heh, bocah dekil! Apa yang kamu lakukan terhadap Purwo, hah!" pekik Yu Surti dengan menggedor pintu seperti orang yang hendak merampok rumah.Keras. Tanpa salam, Yu Surti masih berteriak kencang dengan suara yang menggema. Seolah dialah orang yang paling keras bicaranya.Yu Mini yang baru selesai mengadu terhadap sang penciptaNya, kaget bukan kepalang mendengar gedoran pintu yang hendak lepas dari penyangganya."Assalamualaikum, Dek …" suara Yu Mini terputus karena Yu Surti masih mencerocos saja tanpa henti.Meski Yu Mini mengucapkan salam, namun dia enggan menjawabnya. Matanya malah tambah membesar saat melihat Reni yang sedang duduk santai sambil membaca buku tanpa menoleh ke arahnya sama sekali.Sesekali Reni mengunyah keripik singkong buatan Emaknya dengan suara yang dibuat-buat. Yang membuat hati Yu Surti semakin dongkol dan ingin ikut mengunyah Reni utuh."Heh, Reni, kamu budek, ya? Dari tadi aku gedor pintu kamu, kenapa tidak di buka? Aku juga memanggilmu, tapi kenapa kamu tid