Share

Definitely Him

Aku menguap entah untuk yang ke berapa kalinya, melirik jam di pergelangan tanganku, masih pukul lima pagi dan aku sudah sampai di terminal satu bandara SoeTa. Pagi ini adalah hari pertamaku penugasan keluar kota dan nampaknya aku yang paling pertama datang dibanding rekan teamku yang lain. Pesawat pukul tujuh pagi menuju Yogyakarta, seharusnya kami sudah check in tapi belum terlihat batang hidung siapapun. Udara pagi dan ac bandara ditambah suasana yang masih sepi membuat tubuhku sedikit kedinginan. Untung saja aku mengenakan cardigan jeans kesayanganku.

Walau ngantuk, aku merasa bersemangat, aku terbiasa pergi liburan dengan kedua orangtuaku. Dan sekarang pekerjaanku menuntut untuk pergi keluar kota, anggap saja sekalian liburan sendirian. Lima belas menit kemudian mulai terlihat rekan-rekan yang ku kenal. Ada mba Silvy, mas Andreas, Leon yang seumuran denganku.

"Pak Tian mungkin agak telat katanya, kita disuruh boarding duluan. Dia semalam baru sampai dari Semarang." sahut Mas Andreas menjelaskan.

Kami hanya manggut-manggut. Aku belum pernah bertemu dengan Head Team ku. Seminggu kemarin bekerja aku berusaha membaur dengan rekan satu teamku dan sepertinya mereka bisa menerima kedatanganku.

Satu jam kemudian kami sudah menunggu di ruang check in, hingga tidak lama kemudian terdengar panggilan untuk penumpang pesawat jurusan Yogyakarta. Sampai saat itu pun head team kami belum sampai. Semua merasa cemas kenapa pak Tian terlambat. Kami berjalan ke arah pesawat sampai duduk di bangku kami. Aku duduk bersama Leon di barisan tiga kursi. Leon duduk di dekat jendela, aku di tengah. Sedangkan mba Silvy dan mas Andreas di seberang lorong yang berisi dua kursi.

Kami sedang memakai seatbelt saat suara lega mas Andreas menyapa seorang pria. "Pak Tian!"

Saat aku hendak menoleh tasku jatuh, jadi aku kembali membuka seatbelt dan membungkuk meraih tasku.

"Pak, telat tumbenan?" sahut mba Silvy.

"Iya, sorry ya. Semalam larut banget balik dari Semarang, kesiangan bangun. Hape juga lowbatt."

Jantungku berdetak kencang, aku seperti pernah mendengar suara ini tapi aku harap dugaanku salah.

"Pantesan di telepon susah Pak." sahut mba Silvy lagi.

"Halo." Pria itu terdengar menyapa Leon, aku merasakan gerakan tangan di atas punggungku yang membungkuk, rasanya aku tidak ingin menegakkan tubuhku. Aku tidak ingin masuk ke dalam dunia mimpi yang selama ini hanya ada di malamku. Suaranya sama persis dengan ...

Aku menahan napas dan dengan perlahan mendongak, menatap dari ujung sepatunya dan terus ke atas, bola mataku terbelalak dan mulutku terbuka saat dengan jelas melihat wajah pria yang sedang memasukan barang bawannya di bagasi cabin di bagian atas pesawat.

Astaga!!!

Itu dia!!!

Aku kembali menuduk dan memejamkan mataku. Astaga.. mimpi apa aku? Kenapa dia ada disini? Dan ... dan ... Astaga!

"Greet, ngapain lo?" Leon menatapku aneh. Aku tersentak dan menegakkan tubuhku.

"G-gapapa Yon, i-ini tas gw..." Aku melirik ke arahnya dan pandangan kami bertemu.

Deg ...

Deg deg ...

Deg ...

Aku tahu, dibalik eskpresi tenangnya, sedetik lalu dia sama terkejutnya denganku. Lidahku rasanya kelu tidak bisa berkata apa-apa. Aku tidak tahu apakah dia mengenaliku atau tidak.

Ah, bodoh kamu Greet, tentu saja dia mengenalimu! Berapa banyak cewek gendut didalam hidupnya? Mungkin hanya kamu!!

Aku menelan salivaku saat dia berdehem kemudian mengulurkan tangannya.

"Hai. Saya Tristian. Head team kamu."

Aku mengulurkan tanganku ragu, mengepalkannya hingga jarak tangan kami semakin dekat dan menjabat tangannya.

"S..saya.. Greet, Pak."

Entah perasaanku atau memang dia menggenggam lebih erat daripada cara bersalaman pada umumnya, dan dengan tergesa aku menarik tanganku. Tidak ingin berlama-lama bersentuhan dengannya.

Lalu dia duduk di kursi sebelahku, berbincang dengan rekan lainnya. Sedangkan aku merasa kikuk, aku berharap perjalanan Jakarta-Yogyakarta ini hanya lima menit saja, aku memejamkan mataku terus berdoa agar Tuhan mau bekerja sama membangunku dari tidur jika saat ini memang aku bermimpi, dan ini mimpi buruk yang tidak aku inginkan.

Leherku terasa kaku saat kami tiba di bandara Adi Sutjipto pukul sembilan pagi. Aku duduk dengan tegang disepanjang penerbangan. Bagaimana tidak tegang, orang yang paling tidak ingin aku temui di dunia malah duduk disampingku, bicara seolah-olah kami baru bertemu sekarang.

Hei, apa yang aku harapkan?

Aku mengetuk kepalaku merasa bodoh. Tristian menyarankan kami untuk sarapan terlebih dahulu karena kami akan langsung bekerja. Aku makan dengan tidak selera padahal jam sarapannya sudah lewat dari jam makan pagiku dan harusnya aku merasa lapar. Tapi entah mengapa aku malah tidak napsu makan.

"Ngapa Greet, ga doyan gudeg lo?" Leon yang duduk didepanku memperhatikan saat kami makan di restoran masih didalam bandara. Semua mata memandang padaku.

"Emm, e-enak kok! Cuma kurang sreg aja buat sarapan pagi." sahutku beralasan. Untunglah yang lain tidak bertanya tapi anehnya Tristian menatapku lebih lama daripada yang lain.

Aku pura-pura tidak menyadari dan mengajak Leon bicara tentang pengalaman kerjanya. Untungnya pria itu terus mengoceh membuat pikiranku teralihkan.

Setengah jam kemudian kami menunggu mobil jemputan. Aku memilih duduk sendirian di belakang. Aku mengirimkan pesan pada kedua orangtuaku agar mereka tidak khawatir. Aku sedang melamun memikirkan nasibku saat terdengar suara pria itu.

"Kita bikin grup w* ya? Biar gampang komunikasinya."

Aku menelan salivaku, rencananya aku tidak ingin membiarkan dia tahu nomor ponselku, tapi tidak mungkin sih, bagaimanapun kami pasti akan kerja bareng. Aku menghela napas.

Tuhan, kenapa sih harus ketemu dia lagi? Aku harus bagaimana? Apa aku bisa mengundurkan diri? Tapi rasanya konyol banget.

Wait, kenapa aku jadi uring-uringan gini?

Greet, kamu bukan cewek yang dulu hanya jadi bahan olokan! Kamu sekarang punya tekad kuat dan niat besar untuk bekerja, jadi jangan ciut nyali gara-gara orang ga penting kaya dia!

Aku manggut-manggut mendengar semangat membara dari pikiranku sendiri. Aku menegakkan kepalaku, menatap dari belakang pria itu.

Dia-dia, Gw-gw!

"Greet ...."

"Hah?" Aku tersentak saat semua kepala berputar menatapku.

"Nomor handphone kamu ..." sahut Tristian.

Aku tersenyum kecut. "Ma..maaf Pak. Saya melamun." Aku menyebutkan nomor ponselku yang sejak dulu aku pakai dan tidak pernah aku ganti. Lalu tenggelam di kursiku.

Aku meremas dadaku yang berdebar saat namaku disebut olehnya. Masih sama seperti dulu jika dia memanggil namaku. Dadaku berdebar tidak nyaman saat kilasan kenangan itu muncul tapi segera ku enyahkan dari benakku.

Mereka boleh orang yang sama, tapi aku bukan Greet yang dulu. Aku harus menjaga jarak, putusku.

-tbc-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status