Empat puluh menit kemudian kami sampai disalah satu tempat wisata hits di Yogya. Sebenarnya hanya perkebunan madu, tapi ada cafe baru yang menjual makanan dan minuman serba madu, dan spot untuk foto yang pasti akan disukai pada netizen.
Aku dan Leon sebelumnya sudah mencari dan menentukan tempat apa saja yang akan kami kunjungi. Jadi tidak bingung harus kemana setelah sampai di kota kunjungan kami. Sebelumnya juga aku sudah menghubungi pengelola tempat itu dan berkata akan datang dan meminta ijin untuk meliput berita tentang tempat itu.
Hampir empat jam kami disana, mba Silvy sebagai presenter mencoba berbagai wahana yang ada, dan juga makanannya. Aku ikut tersenyum saat melihat dia berbicara dengan luwesnya di depan camera, hampir tidak pernah mengulang karena dia pintar bicara. Dia sangat berbeda jika sedang ngobrol biasa. Hebat!
Aku dan Leon mengamati gambar di layar kecil sambil menandai bagian mana yang akan kami potong. Sedikit banyak pekerjaanku sama, tapi ini lebih luas karena bukan hanya satu objek yang jadi fokus liputannya. Jadi memakan waktu lebih lama daripada saat syuting makanan saja.
Kami makan siang disana. Tristian bilang kami boleh memesan yang kami mau dan aku berubah semangat. Aku ingin mencoba jus sirsak madu dan makan steak ayam madunya. Aku memilih duduk dengan Leon sambil ngobrol dengannya. Leon bilang biasanya saat kembali ke hotel kami harus menonton lagi, lalu mulai memilih adegan yang akan dibuang. Leon itu jago soal sunting-menyunting video. Dan aku harus banyak belajar. Mereka semua sudah berpengalaman dan aku harus membuktikan kalau aku juga ahli di bidangku.
Pukul 3 sore kami sampai di hotel. Aku satu kamar dengan mba Silvy, Leon dengan mas Andreas, dan si head team sendirian. Untung kamar kami beda lantai. Malam itu Tristian mengajak kami makan keluar, tapi aku beralasan sakit perut sehingga memilih untuk stay di kamar hotel.
Mereka berempat pergi dan aku merasa lega. Entah kenapa aku merasa kewalahan, sudah lama tidak bertemu, sekarang malah bekerja bareng. Entah benar atau tidak aku sering mendapati dia menatapku. Tapi aku tidak ingin geer sendiri, mungkin dia mengamati anak buahnya dan itu hal yang wajar.
Suara ponsel berbunyi. Mba Luna yang menelepon.
"Halo mba ..."
"Hi Greet, udah di Yogya?"
"Udah mba. Ini udah di hotel." sahutku.
"Udah ketemu Tian?"
Aku terdiam menghela napas malas. "Udah mba. Tadi pagi kami ketemu pas udah masuk di pesawat."
"Telat ya dia? Dia anter oleh-oleh Semarang buatku dulu kerumah soalnya, makanya terlambat."
Aku merasakan perasaan tidak nyaman saat mendengar itu. Jadi dia terlambat bukan karena telat bangun ...
"Waah.. perhatian banget ya?" Suaraku mencicit tidak nyaman. Dan aku mendengar tawa mba Luna.
"Iya. Aku juga kaget. Eh kok kamu ga keluar makan malem Greet? Dia bilang lagi makan keluar."
Dadaku seperti tercubit, kok aneh ya?
"Iya mba, aku kecapean. Belum terbiasa sih ... dulu waktu liput kuliner kan cuma berapa jam doang. Ini lebih lama. Masih menyesuaikan." jawabku.
"Jaga kesehatan loh Greet, kalian keluar kota gitu beda ama di dalam kota. Ya udah kamu istirahat deh. Kabar-kabari ya Greet."
Aku mematikan ponsel setelah mengucapkan salam perpisahan pada mba Luna lalu merebahkan tubuhku ke ranjang. Mba Luna pernah bilang sebelum aku pindah, dia ingin aku mengenal calon tunangannya. Katanya mba Luna ingin minta pendapatku apakah dia cocok dengan Tristian.
Cocok, tentu saja cocok. Wanitanya cantik, prianya tampan. Mereka serasi secara fisik.
Tristian ...
Siapa yang tidak akan terpesona pada pria seperti dia. Aku pun pernah jatuh dalam pesonanya, dulu...
Ting tong!
Aku terkejut duduk tegak, siapa ya? Seingatku mereka sudah pergi sejak setengah jam lalu. Apa iya mba Silvy balik lagi?
Aku beranjak bangun dan mengintip dari balik lubang kecil di pintu hotel. Abang ojol? Emang aku pesan sesuatu ya? Perasaan belum deh ...
Aku membuka pintu perlahan.
"Dengan mba Greet?" tanyanya sambil membaca kertas kecil.
"Iya?" Aku menatapnya heran.
"Ini pesanannya mba." Dia menyodorkan kotak hangat didalam plastik bening tersegel.
"Saya ga pesan makanan Pak. Salah kali Pak ..." sahutku enggan menerima.
Dia mengecek ponselnya. "Dengan akun @DelmarIan mba atas nama pesanannya." Dia memperlihatkan layar ponselnya.
Aku menggigit bibirku, aku kenal betul nama akun itu. Akun yang dulu sering memesan makanan secara online. Aku menerima makanan itu dan menutup pintu setelah mengucapkan terima kasih.
Aku duduk di ranjang menghela napas. Lalu membuka makanan yang masih panas dan berasap. Bau harum dan cabe menyengat langsung tercium saat aku membuka kotaknya.
Nasi goreng iga bakar pedas. Makanan favoritku.
Apa maksudnya ini?
***
Aku mengaduk teh susu saat sarapan pagi. Semalam head team kami bilang tidak usah menyunting dulu di hari pertama kami kemarin, kami di ijinkan istirahat lebih cepat karena hari ini kegiatan kami full dari pagi hingga sore. Ada tiga tempat yang akan kami kunjungi. Aku duduk dengan mba Silvy saat sarapan.
"Udah ga sakit perut kamu Greet?"
Aku menggeleng sambil tersenyum "Udah baikan kok mba." Aku sedikit merasa tidak enak karena berbohong tapi mau bagaimana lagi, aku harus mempersiapkan hatiku supaya tidak terguncang seperti kemarin.
Jam sembilan kami mulai jalan ke daerah pesisir pantai di daerah Wonosari Gunung Kidul. Ada goa bawah tanah dan wisata pantai pasir putihnya. Cuaca sangat mendukung siang itu ketika kami sampai. Pencahayaan yang bagus membuat pengambilan gambar berjalan lancar. Mas Andreas juga hebat mengarahkan cameranya. Kami ikut turun ke bawah, Leon membantu mas Andreas membawa perlengkapannya. Dan aku memandang sedikit ngeri saat harus menuruni ke tangga batu agar sampai ke mulut goa.
Langkahku kikuk, aku memang tidak suka ketinggian. Tidak ada pegangan tangga juga saat aku berpijak untuk menjaga keseimbangan tubuhku. Aku merentangkan tanganku ke samping agar tubuhku tidak oleng. Lalu seseorang menggenggam tanganku. Aku mendongak dan pandangan kami bertemu.
"Kalau takut pegang tanganku, Greet.."
Suara dan tatapan itu, langsung melemparku ke kenangan masa lalu.
Ya masa lalu, saat dia memegang tanganku seperti ini saat kami pergi bersama ke Monas dan naik ke atasnya.
Empat tahun lalu.
-tbc-
Flashback On.. Monas"Leganyaaaa ...."Aku menghela napas saat menyerahkan hardcover tugas akhirku pagi ini. Hatiku terasa ringan, selesai sudah kewajibanku sebagai seorang mahasiswa."Greet!"Suara berat yang terngiang di benakku terdengar, walau dalam situasi gelap sekalipun aku akan mengenali suara itu. Aku menoleh dan melambai ke arah pria itu yang akhir-akhir ini dekat denganku. Tristian Delmar, yang biasa di panggil Ian oleh teman-teman seangkatan kami. Kami dekat sejak setahun belakangan ini. Ada tiga mata kuliah dimana aku dan dia sekelompok, dan hari ini kami janjian untuk jalan setelah menyelesaikan skripsi kami.
Tristian povDia mengacuhkanku. Benarkah dia tidak ingat padaku?Terkejut awalnya saat melihat dia di pesawat kemarin. Saat di Semarang, rekan kerjaku bilang ada dua anak baru yang akan masuk ke divisi kami. Salah satunya bernama Greet. Jujur pikiranku langsung terbayang Greet yang ku kenal. Gadis polos dan tulus saat berteman denganku waktu kuliah dulu. Pertemanan kami cukup unik, di tahun terakhir kuliah kami kebetulan satu kelas dalam tiga mata kuliah. Dan kami selalu satu kelompok. Dia, Greet yang chubby, selalu rajin mengerjakan dan mencatat tugas kelompok kami, terlihat menarik daripada Rinka yang terus sibuk mengulas lipstik atau Sophie yang membuat vlog kemana dan dimanapun kami berkumpul untuk mengerjakan tugas.Dan siapa sangka kalau Greet sama
Flashback On - Four Years AgoAku berlari dengan kecepatan cukup tergesa di atas rata-rata menurutku. Menaiki tangga tanpa peduli dengan orang-orang yang memandangku heran.Napasku berpacu seolah oksigen terbatas untuk dihirup. Setelah anak tangga terakhir langkahku melambat. Aku berjalan pelan menuju ruangan yang di tuju lalu berhenti di depan pintu. Menarik napas banyak-banyak, lalu mengusap peluh di dahi sebelum membuka pintu.Aku menunduk sedikit saat melihat ada empat puluh kepala menengok hampir bersamaan ke arahku.Seorang pria paruh baya berdiri di samping meja dosen, menurunkan kacamatanya memandangku dengan tatapan terganggu."Ma-maaf saya terlambat pak." Aku berjalan mendekat dengan perlahan sambil menelan saliva dengan susah payah. Gawat kalau sampe ga di perbolehkan masuk!"Ck ..." Pria tua itu melirik jam di pergelangan tangannya. "Lima belas menit! Lain k
Aku merapihkan meja kerja dan tasku, kemudian bergegas mengantre untuk absen pulang. Biasa aku bersantai-santai, tapi sekarang aku sedikit tergesa. Seseorang yang aku rindukan sudah menunggu di bawah, di lobby kantor tepatnya. Aku mengabaikan tatapan penasaran yang selalu aku hindari tiga hari belakangan ini. Tidak beda jauh dengan saat ke Yogya kemarin, dia terus membuatku kesal karena tidak berhenti mengawasiku. Tapi aku tidak peduli, tidak ingin terlihat peduli.Aku turun dari lift dan setengah berlari ke arah coffe shop yang terletak di tengah lobby kantor. Mataku menoleh ke berbagai arah kemudian pandanganku berubah gelap saat seseorang menangkup tangannya menutup inderaku itu."Rick!" Aku setengah berteriak dan berbalik."Hai ..." Pria tampan yang sudah lama aku rindukan itu tersenyum lebar. Aku memekik dan langsung memeluknya."Oh God, i miss you so much!" ucapnya tidak peduli dengan pandangan orang lain yang menatap kami.
Tristian POVAku merasa jengkel,sejengkel-jengkelnya! Ini pekerjaan kantor, untuk apa bule tidak jelas itu ikut kami kesini? Apakah dia tidak tahu bahwa kita kesini untuk bekerja bukan untuk liburan? Ditambah lagi panggilannya kepada Greet yang sok ke inggris-inggrisan.Han ... Hon ... Han ... Hon ...Di sini kan Indonesia bukan luar negeri! Tetapi anehnya anak buahku tidak ada yang keberatan kalau dia ikut, ditambah lagi pria itu seperti memberikan sogokan kepada anak buahku dengan membeli berbagai macam makanan seolah aku tidak pernah melakukannya. Cih!Kami menginap di salah satucottagebintang lima di pinggir pantai untuk menginap disini selama tiga hari. Plan kami kali ini meliput tentang fasilitas dan restauran yang ada di cottage. Yang semakin menyebalkan adalah si pria bule itu bahkan menginap di tempat yang sama dengan kami.Setelah jam makan siang, rencananya kami akan break sebentar sampai jam dua lal
Greet povHarusnya aku bernapas lega, Tristian terlihat cuek, dingin, tidak terus menatapku seperti biasa. Apakah karena ada Rick? Tapi kenapa aku sekarang malah gelisah?Aku belum bisa cerita apa-apa pada Rick. Untungnya dia tidak menuntut penjelasan saat kemarin aku bilang bahwa dia pacarku di depan Luna dan Tristian. Dia sekarang sedang tertidur lelap di kamarnya, katanya mau menikmati waktu zen-nya sampai saat makan malam nanti.Tidak terasa sudah matahari sudah hampir tenggelam, kami sudah berkeliling sambil mengupas setiap sudut di hotel ini. Tinggal makan malam dan wawancara dengan chef.Aku sangat suka sunset. Bagiku itu keindahan yang Tuhan ciptakan, agar kita bisa menghargai waktu di siang hari sebelum menikmati saat malamnya.Aku duduk di tepian batu-batu besar di pinggir pantai. Hotel ini membuat dermaga kecil sepanjang lima ratus meter yang menjorok ke pantai, biasanya digunakan bagi para tamu menginap yang in
Aku duduk dengan Rick saat kami sarapan. Dia melayaniku dengan baik, mengambilkan ini, membawakan itu, dia sengaja memberi perhatian lebih padaku setelah kejadian kemarin. Akhirnya aku mengungkap siapa Tristian. Aku pernah bercerita pada Rick tentang pria yang pernah membuatku patah hati, tapi aku tidak pernah memberi tahu siapa namanya. Dan dia terkejut saat tahu kalau pria itu adalah Tristian.Rick marah saat aku tidak bisa lagi menutupi perasaanku, selama ini dia pikir aku sudah melupakan Tristian tapi nyatanya pria itu masih saja menguasai pikiranku. Mungkin rasanya berlebihan, tapi untuk gadis dengan rasainsecuretinggi sepertiku, menyukai seorang pria bukan hal mudah, apalagi untuk membuka hati.Aku dulu merasa di permainkan. Tidak seorang pun seharusnya boleh memainkan perasaan orang lain. Dan aku d
"Pak, saya pulang duluan aja deh ... ga enak sama mba Luna.""Loh, kamu ga denger tadi Luna bilang apa? Kamu diminta temenin aku cari hadiah. Nanti aku anter pulang." sahutnya sambil nyeloyor jalan."Tapi Pak ... Pak!" Tristian tidak menghiraukan panggilanku, membuatku mau tak mau mengikutinya.Aku setengah hati saat menemaninya masuk ke satu toko dan toko lainnya. Asal menjawab saat dia minta pendapat."Greet, semakin kamu banyak diam maka semakin lama kita berkeliling di mall ini." sahutnya tanpa menatapku.Benar juga sih! Akhirnya aku fokus saat dia menanyakan pendapatku, semakin cepat dia menemukan hadiah maka semakin cepat aku pulang dan berpisah dengannya.Kami masuk ke salah satu toko perhiasan. Semua benda gemerlap berkilauan itu tampak cantik. Aku tidak pernah memakai perhiasan emas apalagi berlian walau Mama pernah membelikan untukku."Saudaranya umur berapa Pak?" tanya si karyawan toko."Umur kamu berapa Greet?" Tris