LOGINBab 6
Pagi-pagi sekali Celina sudah rapi dengan pakaian formal dan siap pergi ke perusahaan tempat bekerja ibunya. Denada hanya karyawan kantor biasa dengan pekerjaan serabutan. Perusahaan itu memang tak terlalu besar, tapi setidaknya bisa menghidupi anak-anak daripada harus berjualan keliling yang penghasilannya tak menentu. Umur Denada sudah 45 tahun hanya perusahaan itu yang menerimanya. Selama tiga tahun Denada bekerja di sana. "Ibu, aku akan berjuang membebaskan Ibu. Kita akan berkumpul lagi," ucap Celina dalam hati. Usahanya tidak akan sia-sia. Celina menghampiri perusahaan Surya Cipta yang menuduh korupsi 100 juta. Walau Denada mengelak, tapi tak ada satupun yang percaya. Semua bukti menyatakan Denada yang melakukan korupsi tersebut hingga akhirnya di penjara. Kalau memang ibunya korupsi pasti ada barang mewah yang dimilikinya, tapi sampai saat ini tak ada barang atau tabungan yang bernilai 100 juta. Mereka saja masih hidup pas-pasan. Tidak mungkin. Hasil penyelidik semuanya dusta di mata Celina. Celina sudah mencari di sudut rumah dan tabungan milik Denada apakah ada uang sebanyak itu, tapi nihil. Untuk makan saja seadanya dan Denada masih ada cicilan utang hingga sisa uang gaji hanya cukup untuk makan. Gaji ibunya tidak besar selalu banyak potongan dari perusahaan. Celina mendekati resepsionis dan memberitahu maksud kedatangannya. Salah satu pegawai mengantar Celina ke ruang Direktur Utama. "Saya mau mengembalikan uang kepada perusahaan Anda." Celina duduk di depan pria berjas cokelat setelah dipersilakan. Pria dengan rambut tersisir rapi, kacamata bingkai hitam menatap Celina tajam. Senyum tipis terukir di bibirnya. "Baiklah, Nona Celina." Suara pria itu, Tuan Nick tegas dan jelas. Ia menyadarkan tubuhnya ke kursi coklat kedua jari menyatu melihat Celina dengan senyum penuh arti. Celina mengeluarkan uang 100 juta tunai yang ia bawa dengan tas jinjing hitam. Hari ini juga akan menyelesaikan permasalahan ibunya. Tumpukan uang berjejer di atas meja. Celina sudah menghitung di bank sebelum di serahkan. "Ehm. Berapa jumlah uang ini?" Tuan Nick menyentuh dagu dengan jambang halus menghiasi wajahnya. Ia melihat tumpukan uang di atas meja tanpa menyentuh. Memang menggiurkan, tapi di matanya tidak cukup. "100 juta. Sesuai dengan tuduhan perusahaan Anda kepada ibu saya, Denada." Celina menekan kalimat paling akhir. Ia yakin kalau ibunya tak bersalah hanya dijadikan kambing hitam. Lalu siapa dalang ini semua. Celina belum mengetahui lebih jelas. Tepatnya tak ada yang mau membantu. Teman-teman ibunya bungkam dan menolak untuk membantu. Celina sudah berusaha membujuk. Tapi tetap saja tak ada yang mau. "Mohon maaf. Uang yang gelapkan bukan 100 juta melainkan 300 juta sudah termasuk denda dan kompensasi. Semua sudah saya hitung dengan detail." Kedua tangan Celina menggebrak meja hingga suara mengeleger di ruangan. Sorot matanya memerah. Ia seperti dipermainkan saja. Sebelum uang terkumpul Tuan Nick memberitahu total yang harus ia bayar adalah 100 juta kenapa tiba-tiba menjadi 300 juta sungguh konyol. "Ah, Anda bilang kemarin 100 juta sekarang bilang beda lagi. Anda mau memeras saya! Ibu saya tak melakukan hal itu. Ia hanya jadi kambing hitam saja. Saya yakin ada yang memfitnahnya. Anda pimpinan kenapa mempermainkan orang miskin seperti kami, Tuan. Di mana hati nurani Anda. Ibu saya tak bersalah." "Walau Anda berkata demikian. Tapi pengadilan lebih percaya bukti dan saksinya. Semua menuju ke Denada. Anda pasti paham sebagai mahasiswi, Nona. Anda tak akan menang melawan kami. Anda lihat sendiri bukti-bukti itu. Tanpa semuanya tidak mungkin Denada masuk penjara." "Tuan Nick yang terhormat. Keadaan ibu saya sangat memperhatikan. Saat ini ia ada di rumah sakit. Tolong bebaskan Ibu saya. Saya akan bayar 150 juta sisanya akan segera saya berikan. Cabut tuntunan itu. Tolong, Tuan. Kesehatan Ibu saya tidak baik. Ia tak bisa tinggal di ruangan sempit dan pengap. Tolong, Tuan bebaskan dia." "Bagaimana Anda bisa menjamin semuanya. Sedangkan 100 juta saja butuh waktu cukup lama. Saya tidak bisa memenuhi permintaan Anda. Dampak dari pengelapan dana itu membuat saya rugi banyak. Uang 100 juta tak bisa menutupinya. Mohon maaf, ambil kembali uang Anda Nona dan kembali setelah 300 juta terpenuhi. Celina menangkupkan kedua tangan. Ia memohon dan memelas agar pria itu mau memberikan keringanan. Saat ini keadaan ibunya tak baik. Penyakitnya masih sering kambuh. "Saya hanya punya Ibu sedangkan Ayah sudah tiada. Tolong, Tuan. Kasih sayang keringanan. Cabut tuntutan Tuan. Saya janji akan membayar sisanya. Saya akan melakukan apa saja asal Ibu saya dibebaskan. Tolong, Pak." Tuan Nick menatap Celina dan membuang muka. Ponsel di tangannya berdering dan ia berbicara dengan bahasa Perancis hanya beberapa menit saja wajahnya langsung berubah ramah. "Baiklah kalau begitu. Temani saya bertemu klien malam ini. Buat dia menandatangani kontrak, jika tak berhasil maka saya tak akan mencabut gugatan. Bagaimana?" Celina terdiam apakah ini hanya makan malam dan penandatanganan kontrak saja atau ada hal lain yang ia harus lakukan.Bab 6 Pagi-pagi sekali Celina sudah rapi dengan pakaian formal dan siap pergi ke perusahaan tempat bekerja ibunya. Denada hanya karyawan kantor biasa dengan pekerjaan serabutan. Perusahaan itu memang tak terlalu besar, tapi setidaknya bisa menghidupi anak-anak daripada harus berjualan keliling yang penghasilannya tak menentu. Umur Denada sudah 45 tahun hanya perusahaan itu yang menerimanya. Selama tiga tahun Denada bekerja di sana. "Ibu, aku akan berjuang membebaskan Ibu. Kita akan berkumpul lagi," ucap Celina dalam hati. Usahanya tidak akan sia-sia. Celina menghampiri perusahaan Surya Cipta yang menuduh korupsi 100 juta. Walau Denada mengelak, tapi tak ada satupun yang percaya. Semua bukti menyatakan Denada yang melakukan korupsi tersebut hingga akhirnya di penjara. Kalau memang ibunya korupsi pasti ada barang mewah yang dimilikinya, tapi sampai saat ini tak ada barang atau tabungan yang bernilai 100 juta. Mereka saja masih hidup pas-pasan. Tidak mungkin. Hasil penyelidik se
Bab 5 Setelah kelas usai Celina menunduk sepanjang jalan. Setiap kali nama Luis disebut teman-temannya jantung Celina semakin berdetak kencang. Dosen baru itu adalah Luis, teman kencan Celina. Kenapa harus dia yang menjadi dosennya. Apakah takdir memang sudah mengaturnya. Celina membuang napas panjang. "Benar-benar gak aku duga. Ganteng banget Pak Luis. Kalau begini aku betah dan gak mau bolos," ucap Vina sepanjang jalan membicarakan pria itu. Begitu juga yang lainnya. "Aku harus mendapatkan nilai bagus untuk mendapatkan perhatiannya. Cel, bantu aku belajar. Aku ingin mendapatkan nilai yang bagus." Celina tak menanggapi ucapannya. Vina baru menyadari sesuatu yang aneh dari Celina. Ia menahan lengan Celina agar berhenti berjalan. "Cel, muka kamu pucat banget. Kamu kenapa?" Vina menyentuh dagu Celina. "Gak apa. Aku pengen buru-buru pulang, aja. Malam ini harus kerja sebelumnya aku mau jenguk Ibu." Suara Celina lesu dan lemah. "Tapi ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari aku. Ad
Bab 4Keesok paginya Celina segera pulang ke rumah dan langsung ke kampus sedangkan Riana menemani ibunya di rumah sakit. Ia izin tidak masuk sekolah. Semua kebutuhan selama di rumah sakit sudah ia belikan dari makanan sampai minuman. Riana tak akan mau meninggalkan ibunya sendirian. Kini Celina duduk di kursi kantin kampus menikmati sarapan sebelum dosen datang. Kantung mata menghitam dan tubuh lemas. Rambut hanya diikat asal. Pakai kaos biasa dan jeans biru navy. Begitu simple penampilan gadis itu, tapi tetap cantik. Ia butuh asupan agar otaknya dapat menerima pelajaran. Setelah percakapan dengan Riana semalam, semuanya aman. Celina harus berbohong lagi kalau di hotel ada pesta temannya. Riana percaya jika kakaknya tak melakukan hal macam-macam. Pemilik kantin mengantarkan pesanan Celina. Gadis itu adalah pelanggan pertamanya. "Makanlah Celina jangan tidur," tegur pemilik kantin melihat kepala Celina di atas meja. Gadis itu memang sering tertidur di atas meja kantin. Beberap
Bab 3 Suara langkah kaki terdengar di lorong rumah sakit. Keadaan lorong sangat sepi dan senyap. Celina dan Riana bergandengan tangan mencari kamar ibunya. "Kamar Rose nomor 18, Kak." Riana mengingat hal itu. Mereka bertanya kepada perawat yang melintas. Beruntung menemukan salah satu perawat jaga apalagi rumah sakit tampak tak ada penghuninya."Di sana!" tunjuk Celina. Tangan mereka masih bertautan. Sejam lalu kabar itu diketahui mereka hanya saja ada kendala. Mereka sulit mendapatkan taksi karena malam semakin larut. Celina ingat teman ayahnya yang tadi mengantar pulang. Ia menghubungi pria itu, nomor yang sempat diberikannya tadi di dama mobil. Untung saja ia masih ada di sekitar tempat tinggal Celina dan menunggu penumpang baru. Hanya butuh dua puluh menit karena putaran jalan ke rumah Celina agak jauh. "Ibu Anda asmanya kambuh. Ia juga mengalami luka serius. Bagian perut tergores senjata tajam dan harus segera dioperasi." ucap penelepon yang mengaku sebagai polisi. Kalima
Celina menatap jalan raya, langit mengeluarkan rintik hujan. Udara semakin dingin. Celine memeluk tubuhnya sendiri. Tubuhnya bersandar di jok mobil penumpang. Beberapa kali supir taksi melirik ke arahnya. "Kenapa Anda melihat saya seperti itu Pak?" tanya Celina. Ia risih dengan tatapan supir tersebut. Apalagi ia pulang di jam rawan kejahatan. "Saya merasa tak asing dengan Anda Nona, maaf kalau membuat Anda takut," ungkap supir itu ragu. Ia masih menatap Celina dari kaca spion depan. "Apakah Anda putri sulung Alvin dan ibu Anda Denada?" Netra supir itu penuh harap. Ia sudah lama tak mendengar kabar istri dari Alvin. Alvin adalah ayah kandung Celina. Dulu ia juga supir taksi karena kecelakaan ayahnya meninggal dunia setelah dirawat tiga hari di rumah sakit. Sejak itu hidup mereka berubah drastis. Kehidupan semakin miskin dan sengsara. Ibunya harus banting tulang untuk membiayai kedua putrinya. Celina mendapatkan beasiswa Universitas Herd yang terkenal dengan murid berprestasi. Ban
Bab 1 "Berapa tarifmu?" Pria itu duduk di sofa kulit cream elegan di depannya tersaji wine dengan dua gelas cantik tertata rapi. Jas hitam menutupi tubuhnya yang atletis, tatapan mata tajam, mata bola coklat gelap yang dingin tanpa ekspresi. Alis tebal, rahang tegas dan keras. Wajahnya dihiasi jambang halus. Ruangan luas dengan pencahayaan hangat menampilkan ranjang king size berlapis seprai putih bersih di luar jendela memperlihatkan pemandangan kota yang berkilau. "100 Juta Om," ucap gadis dihadapannya, Celina. Wajah tertunduk tak berani melihat wajah pelanggan pertamanya. Kedua tangan meremas dress memperlihatkan kaki dan kulit tubuhnya. "Apa kamu yakin bersih?" tanya pria itu menatap ragu. Luis Suarez, pria yang baru datang dari luar negeri ingin melepaskan lelah dengan cara menjamah wanita. Ia bukan pemain hanya ingin bermain sekali-kali saja. Perjalanan 15 jam membuat dirinya ingin bercinta. Ia harus datang ke kota Barlian atas perintah orang tuanya. Dengan bantuan t







