Share

Bab 6. Amira yang Murni

Amira tidak menyukai sikap Erzhan ini, tubuhnya bergetar ketakutan hingga menimbulkan keberanian untuk menepis tangan nakal si pria. “Aku bukan wanita yang Anda sewa setiap malam. Tolong perlakukan aku dengan hormat!” teganya walaupun irama suaranya sulit dijaga karena tubuhnya bergetar, maka bibirnya juga selaras.

Erzhan tersenyum hambar seiring memposisikan tubuhnya hingga kembali tegap seperti sebelumnya. “Aku tidak pernah menyewa wanita. Kau harus tahu!” Pria ini berlalu sangat dingin, sedangkan Amira masih duduk di atas sofa.

“Apa aku salah bicara? Bagaimana kalau pria itu mengusirku dari sini, aku harus pergi kemana?” Amira mulai cemas karena dirinya tidak memiliki tempat tinggal. Kini, kembali ke rumah ibu tirinya sudah bukan pilihan karena ibunya sendiri sudah tega menjualnya. Apa yang akan terjadi selanjutnya jika dirinya kembali, mungkin akan lebih parah dari ini.

Namun, rumah milik Erzhan juga bukan pilihan, tetapi setidaknya Amira masih ingin berada di sini hingga besok pagi, barulah gadis ini akan memikirkan rencana baru, kemana tujuannya nanti.

Amira memberanikan diri mengetuk pintu kamar Erzhan, tetapi ketukannya sangat pelan hingga hampir tidak terdengar. Jadi, dirinya berdiri kurang lebih satu menit hingga akhirnya pintu terbuka. “Ada apa?” Datar pria yang sudah mengganti pakaian formalnya.

“Eu-itu-aku ... minta maaf tetang yang tadi.” Amira menundukkan wajahnya, tetapi bola matanya bergeser ke atas mengintip Erzhan.

“Maaf saja tidak cukup, kan!” Masih datar nan dingin Erzhan yang mulai berniat mempermainkan Amira karena jarang sekali seorang perempuan meminta maaf, yang dirinya tahu kaum hawa sulit melakukan hal satu ini.

Amira mengerjap mendengarnya. “Aku sudah minta maaf, setidaknya Anda harus memberikan maaf ....” Gadis ini mulai bersikukuh karena sepanjang hidupnya dirinya selalu mendapatkan maaf dari siapapun bahkan kawan-kawan sekolahnya dulu.

Erzhan menyunggingkan setengah bibirnya. “Aku bisa memberimu maaf, tapi dengan syarat.” Seringainya mulai muncul hingga seakan pria ini sedang memikirkan hal gila.

“Tolong jangan beri sayarat yang sulit ...,” ucap berat hati Amira karena sebenarnya dirinya tidak ingin melakukan apapun, apapun syarat yang akan diberikan Erzhan, tetapi demi tinggal satu malam lagi maka gadis ini harus melawan egonya.

“Mudah, hanya berpura-pura jadi kekasihku!” Tatapan Erzhan bak elang yang hendak memangsa menggunakan cara licik.

“Itu susah ....” Amira memerotes. Segera, Erzhan keluar dari garis batas ambang pintu hingga melewati Amira begitu saja.

“Lupakan. Kemasi barangmu!” Dinginnya seiring menuruni anak tangga. Tentu saja kalimatnya yang ini membuat Amira tersentak kaget. Langkahnya segera membuntuti tuan rumah.

“Ta-tapi, Tuan.”

Erzhan tidak menoleh sama sekali bahkan langkahnya dilebarkan hingga sangat mudah menuju daun pintu utama.

“Baiklah ....” Kalimat paling berat yang dikatakan Amira, “aku akan berpura-pura, tapi setelah itu aku akan pergi. Aku hanya meminta menginap satu malam lagi ...,” mohon Amira alih-alih terdengar seperti kalimat persetujuan.

Erzhan menghentikan langkahnya bersama senyuman licik, kemudian berbalik hingga dirinya dan Amira saling bertukar tatapan. “Iya.” Setelah memberikan jawaban datar, pria ini berlalu bagikan angin hingga Amira dibuat tabu dengan sikapnya.

“Sebenarnya dia butuh aku berpura-pura jadi pacarnya atau tidak?” Amira menggaruk kepala bingung.

Satu jam kemudian, Erzhan menyampaikan tentang Amira pada ayahnya. “Maaf Pa, pertunangan malam ini tidak bisa dilakukan karena Erzhan sudah punya kekasih yang ingin Erzhan jadikan istri.” Sikap santun adalah modal utamanya, apalagi dalam keadaan seperti sekarang.

Cakrawala menatap putranya, menunjukan rasa tidak suka. “Perjodohan kamu dan Alisya sudah di atur sejak kalian masih kuliah, kamu tidak bisa membatalkannya begitu saja!”

Erzhan mencoba memerotes secara baik-baik, “Pa, bukankah yang akan menjalani rumah tangga itu Erzhan, seharusnya Erzhan berhak memilih siapa yang membuat Erzhan nyaman, tapi orangnya bukan Alisha ....”

“Nyaman atau tidak, cinta atau tidak, kamu dan Alisha akan bertunangan.” Cakrawala tidak menerima penolakan.

“Pa, biarkan Erzhan mengenalkan Amira pada Papa. Erzhan yakin akhirnya Papa akan menerima Amira ....” Pria ini sedang mencoba memohon. Sebenarnya dirinya dan Amira tidak memiliki masa depan sama sekali, gadis itu hanyalah gadis buangan bahkan ibunya yang melakukannya. Jadi, dia pikir jika Amira mungkin sumber masalah. Namun, jika perjodohan dengan Alisha diteruskan maka Erzhan akan semakin mendapatkan masalah. Pernikahan tanpa cinta adalah musibah yang dianggapnya paling berat.

Cakrawala masih tidak menerima kalimat yang dilontarkan putranya, tetapi dirinya mencoba memberikan kesempatan yang tidak akan didapatkan Erzhan untuk kedua kalinya. Maka, sore harinya pria ini memerintahkan Amira untuk ikut bersamanya, mengunjungi kediaman orangtuanya. “Pakai baju ini.” Sebuah dress disodorkan dengan lembut sebagai salah satu cara supaya gadis itu tidak berubah pikiran. Itu bukanlah dress terbuka, justru memiliki kesan sopan dan elegan.

“Kenapa memberi dress?” heran Amira yang belum menyadari maksud Erzhan.

“Kamu akan menemui orangtuaku, yakinkanlah mereka kalau kamu adalah calon pendamping yang baik untukku.” Nada suara Erzhan lebih lunak dari biasanya, pun tatapan matanya sangat hangat walau menyimpan keseriusan sebagaimana kalimatnya.

“Eu-tapi ... aku masih belum percaya diri.” Amira mengungkapkan isi hatinya sebelum hal tidak diharapkan terjadi.

“Tidak ada waktu, percaya diri atau tidak, siap atau tidak kamu akan tetap menemui orangtuaku malam ini!” tegas Erzhan yang mulai melonggarkan dasinya, kemudian menjatuhkan tubuhnya yang lelah secara mental, “beraktinglah dengan baik karena akting kamu malam ini menentukan nasibku,” desahnya.

‘Apa peduliku dengan nasibmu.’ Rajuk Amira dalam hatinya, tetapi kemudian akal sehatnya kembali mengingatkan. ‘Tapi aku bisa tetap tinggal malam ini kalau aku berpura-pura jadi pacarnya.’ Amira memberikan jawaban, “Aku akan berakting sebaik mungkin.” Anggukan kecilnya.

Erzhan memandang datar ke arah Amira, tetapi kemudian memberikan senyuman kecil. “Pakai dress itu, kita akan pergi pukul enam.” Lalu, pria ini menyodorkan sebuah paper bag berukuran kecil. “Terdapat alat make up di dalamnya, pakailah, tapi jangan terlihat bagaikan wanita nakal,” titahnya, kemudian melirik Amira dengan tatapan seolah mengintimidasi, “aku yakin kamu gadis baik-baik!”

Jadi, Amira masuk ke dalam kamarnya. Dirinya duduk di depan cermin. “Aku terlalu bingung memikirkan hidupku, nasibku dan sebenarnya aku ini siapa, apakah aku berarti untuk mama?” Bayangan ibunya masih menari-nari, hatinya masih menyangkal jika ibunya sendiri menjualnya.

Namun, kenyataan pahit mengatakan segalanya jika Fatma memang tidak menganggap Amira berarti sama sekali. Dengan menjual putri sambungnya, itu sudah menunjukan betapa kejamnya seorang ibu tiri yang tidak akan memerdulikan anak yang dibawa suami barunya. Amira mulai mengosongkan ingatan tentang ibunya, kini dress dipakai, pun dirinya memoles wajah dengan polesan tipis dan secukupnya. Penampilan Amira selayaknya Amira yang selalu terpantul pada permukaan cermin. Murni.

Tap tap tap

Heels yang tidak terlalu tinggi dipakainya, tentu saja itu adalah heels pilihan Erzhan. Satu persatu anak tangga dilewati hingga akhirnya Amira hadir di hadapan Erzhan. “Aku sudah siap, Erzhan.” Suara lembut nan manisnya.

Erzhan melirik, seketika kedua matanya membulat melihat pesona yang terpancar pada Amira. 'Haruskah aku membatalkannya dan mengurung dia di sini,' geram pria itu dalam hati.

Bersambung ....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
lourdes amaral
kenapa harus selalu beli koin baru bisa dibaca.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status